Mengaca Pada Venezuela

Jakarta, 13 mei 2008

Sekelompok perempuan di Kelurahan Duripulo, Gambir, Jakarta Pusat, yang dimotori oleh Ivo dan Vivi dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Selasa malam tanggal 13 Mei 2008 menggelar pemutaran film dan diskusi tentang Venezuela. Acara ini digelar guna merespon rencana pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Juni nanti. Meskipun tidak seperti yang diharapkan, sekolompok perempuan yang sebagian besar ibu-ibu rumahtangga tersebut tampak serius mengikuti acara hingga akhir. “Kita telah melihat bersama peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di Venezuela dan kita bisa belajar dari sana,” kata Ivo, koordinator acara dan sekaligus pendamping komunitas perempuan tersebut.

Toni, dari Hands Off Venezuela – Indonesia, mengatakan bahwa rakyat miskin harus bersatu dan menuntut agar pemerintah menasionalisasi sumber-sumber minyak yang sekarang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang menyebabkan krisis energi di negeri ini. Toni juga menyerukan agar rakyat melawan rencana kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Juni 2008 mendatang.

Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia, Jesus SA, juga hadir dalam acara ini. Jesus mengatakan bahwa kita bisa belajar banyak dari rakyat miskin Venezuela yang mampu menorganisir diri dan bergerak. Menurut Jesus, kekayaan alam negeri ini (Indonesia) seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, rakyat menjadi gelandangan di negeri sendiri dan kemakmuran hanya bisa diakses oleh segelintir orang. “Jika Venezuela bisa bangkit dari krisis akibat penjajahan modal asing dan mati-matian berjuang melawan mereka, kita seharusnya juga bisa,” begitulah kata Jesus di akhir acara tersebut. (HOV-Indonesia)

Para Pembela Venezuela

9 Mei 2008 – 13:21 WIB

Oleh : Mulyani Hasan

Sekelompok anak muda di Jakarta membela Venezuela dari serangan media massa yang mendukung Amerika Serikat. Mereka tak sendiri. Anak muda di 30 negara membentuk kelompok solidaritas untuk Venezuela: menyiarkan kabar baik dari rakyat Venezuela yang tengah suka cita menyambut revolusi.

Di pojok kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sore itu ada pertunjukan. Sebuah film dokumenter berjudul No Volveran diputar. Film itu merekam kehidupan rakyat Venezuela. Di sana ada revolusi tanpa moncong senjata. Sang revolusioner, Hugo Chavez, terpilih sebagai presiden secara konstitusional.

Rakyat begitu gegap gempita menyambut revolusi. Suka cita di mana-mana. Sangat memukau. Mereka bekerja keras, mengendalikan industri, membangun rumah-rumah, bersama-sama membuat konstitusi. Mereka melunasi utang luar negeri, menyalurkan kekayaan negeri, dan memutuskan hubungan dengan International Monetary Fund atau IMF.

Lebih dari itu, revolusi Republik Bolivarian Venezuela adalah inspirasi bagi kekuatan rakyat di mana pun di muka bumi. Venezuela adalah inspirasi. Revolusi Bolivarian sebuah kemenangan sekaligus pembuktian sosialisme adalah keniscayaan. Ia kini menjadi simbol masyarakat sosialis abad ke-21. Maka, mereka yang meyakini sosialisme sebagai sistem kehidupan sosial, perlu membela negara mana pun yang sedang berjalan di atas kemenangan revolusi rakyat.

Apa yang terjadi di Jakarta sore itu rupanya bagian dari solidaritas untuk Venezuela. Anak-anak muda itu seperti berjalan bersama rakyat Venezuela. Solidaritas itu bernama Hands off Venezuela, dalam bahasa Indonesia berarti Jangan Sentuh Venezuela. Solidaritas itu sudah merebak di lebih 30 negara. Di Indonesia diluncurkan sore itu, 28 Maret 2008.

Solidaritas itu pertama kali dibentuk pada Desember 2002 di Inggris. Itu adalah bentuk kekhawatiran para aktivis pendukung revolusi Venezuela di Inggris yang menyaksikan kelicikan propaganda kelompok oposisi reaksioner Venezuela yang berusaha menggulingkan Presiden Hugo Chavez yang terpilih secara konstitusional. Mereka melihat kerja-kerja media massa di dunia sudah didomplengi kekuatan imperialisme yang tidak senang negara sosialis macam Venezuela berdiri. Aktivitas kampanye ini telah diakui Presiden Chavez sendiri. Mereka ingin mendukung dan mempertahankan revolusi di Venezuela dari serangan imperialisme dan agen lokal di Venezuela. Mereka juga ingin memberikan informasi yang benar tentang Venezuela yang selama ini, menurut mereka, telah diselewengkan oleh pemberitaan media.

Satu demi satu solidaritas itu menguap dari banyak negara di dunia. Tak banyak orang yang ikut campur, tapi mereka membangun hubungan dengan aktivis lain di berbagai belahan dunia untuk Venezuela. Bahkan wakil-wakil Hands off Venezuela tampil secara mencolok di pertemuan sedunia untuk solidaritas dengan revolusi kedua pada April 2004.

Pada awal pembentukannya, Hands off Venezuela semacam bentuk media alternatif melawan pemberitaan yang menyesatkan. Alan Woods, editor situs In Defence of Marxist memulainya dengan menyerukan pembelaan terhadap revolusi Venezuela, menentang intervensi Amerika dan memastikan agar serikat buruh dan gerakan buruh di seluruh dunia dapat memperoleh informasi yang benar mengenai situasi yang sebenarnya sedang terjadi di Venezuela.

Seruan itu dipicu ketika kelompok oposisi Venezuela yang terdiri atas para petinggi militer yang berkumpul di Altamira Square di Caracas Timur, lalu menyerukan boikot terhadap Chavez. Para oposisi itu mengeluarkan perintah mogok kerja nasional tanpa batas waktu. Padahal itu adalah kerjaan para bos yang mengatasnamakan rakyat. Manajer-manajer dan direktur-direktur perusahaan minyak negara yang kaya raya serentak menggerakkan sabotase terhadap industri. Mereka ingin melumpuhkan negara, seolah-olah rakyat menentang Chavez.

Berita dusta soal Venezuela bergelora di dunia. Media internasional penyambung lidah kebijakan politik Amerika juga punya andil. Berita yang beredar adalah telah terjadi mogok kerja umum di Venezuela menolak rezim otoriter yang sudah tidak populer. Kelompok itu mendompleng demokrasi untuk menghantam Chavez. Jaringan televisi RCTV dan Globovision digunakan untuk menyokong misi mereka dan menghantam kekuasaan Chavez lewat liputan yang manipulatif dan sepihak.

Jeremy Dear, Sekretaris Jendral British National Union of Journalists, dan sejumlah pemimpin penting serikat buruh di Inggris menyambut baik rencana Alan Woods. Kampanye ini dengan cepat menjalar ke negara-negara di Eropa, Amerika Utara, Asia, dan Afrika. Lebih dari 30 negara bersolidaritas untuk Venezuela.

Alan Woods adalah aktivis organisasi International Marxist Tendency. Organisasi ini mengeluarkan situs In Defence of Marxist dan Woods sebagai editornya. Organisasi ini sudah ada di 34 negara. Mereka mendukung gerakan sosialisme di seluruh dunia.

Dalam wawancara dengan Humania del Sur, Alan Woods mengatakan bagaimana kita bisa berbicara mengenai kemerdekaan media, ketika semua media dimiliki oleh segelintir orang kaya seperti Rupert Murdoch? “Apa yang disebut kemerdekaan berekspresi di Inggris dan Amerika hanyalah guyonan dengan selera yang sangat rendah,” katanya.

Itulah sebabnya di Amerika Latin sudah ada Televisi Pan Amerika Latin, Telesur. Ia adalah media alternatif untuk melawan dominasi kekuasaan media imperialis macam CNN dan sejenisnya. Telesur mengudara atas inisiatif Presiden Huge Chavez yang merangkul Venezuela, Kuba, Argentina, Bolivia, Ekuador, Nikaragua, dan Uruguay.

Bagaimana di Indonesia?

“Meski tidak seperti media-media barat yang jelas-jelas mendistorsi kenyataan di Venezuela, media di Indonesia belum objektif menyikapi fakta politik di Venezuela, ,” tutur Jesus Syaiful Anam, koordinator Hands off Venezuela-Indonesia. Menurut dia, media barat itu macam CNN dan BBC.

Selama ini pemberitaan soal Venezuela di media-media di Indonesia lebih banyak diambil dari media-media internasional macam Reuter, The Associated Press atau AP. Bisa dipahami, karena cara kerja seperti ini lebih mudah dan murah, ketimbang mengirim wartawan ke lokasi.

“Media-media di bawah kekuasaan kapitalisme kan seperti industri yang cari untung,” lanjut Anam. “Sekalipun ada keberpihakan media terhadap rakyat, tetap saja itu semua sudah diperhitungkan berdasarkan keuntungan bisnis.” Farid Gaban yang menyaksikan acara itu berpendapat, dalam lingkungan kapitalisme, media cenderung dipandang sebagai industri semata, sehingga makin jauh meninggalkan hakikat awalnya sebagai lembaga publik. Bekas wartawan majalah Tempo kini bekerja untuk Pena Indonesia.

Ia juga tak sepenuhnya membenarkan bahwa sistem kapitalisme serta merta menumbuhkan demokrasi dan partasipasi politik publik yang kuat lewat media yang bebas. Media di Amerika Serikat yang dianggap matang, profesional, kritis, dan independen mengapa gagal mencegah pemerintahnya melakukan agresi dan teror ke Irak? “Kenapa media tidak bisa menangkal, justru mengamini kebohongan pemerintah George Bush tentang alasan utama menyerbu Irak? Kenapa media gagal meyakinkan publik Amerika untuk tidak memilih lagi George Bush, presiden terburuk sepanjang sejarah negeri itu?” ucap Farid mempertanyakan sikap media di Amerika yang sering dianggap kritis dan independen.

Di Indonesia juga begitu, malah lebih parah. Di negara-negara maju macam Amerika dan Inggris, perlawanan terhadap dominasi media kapitalis digandeng dengan tumbuhnya media-media alternatif dan berhaluan kiri. Sejak Orde Baru mengambil kekuasaan, dunia jurnalisme mengalami titik terburuk. Tak ada kebebasan informasi. Semua yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah dihabisi. Nilai bahasa juga menjadi kacau di bawah kekuasaan Soeharto. Media diarahkan untuk berpihak pada pemerintah. Sensor diperketat. Informasi publik disajikan sesuai resep pemerintah.

Hal itu berlangsung selama puluhan tahun. Generasi Indonesia tumbuh dalam lingkungan semacam itu. Masih ingat bagaimana Orde Baru mengharamkan segala sesuatu yang berhubungan dengan marxisme? Itu masih berlangsung sampai sekarang. Itulah sebabnya wacana kiri menjadi sangat menakutkan. Juga di lingkungan media dan jurnalistik. Takut dicap kiri, tidak independen.

Seorang wartawan Indonesia, Andreas Harsono, menempuh pendidikan jurnalistik di Amerika. Pernah juga bekerja di beberapa media internasional. Melihat media di Indonesia yang tumbuh di lingkungan kapitalisme, dia menilai mereka sangat buruk. Dia menilai pemahaman wartawan soal kapitalisme, sosialisme, maupun pemikiran politik lain tidak proporsional. “Dia harus mengerti analisis kelas. Dia juga harus belajar soal konflik etnik, agama, dan sebagainya. Kalau hanya diarahkan guna melayani kepentingan modal, saya kira si wartawan akan kesulitan untuk melihat realita masyarakat yang sesungguhnya,” ujarnya.

“Hari ini praktis kita makin sulit melihat media yang berhaluan sosialisme sejak rezim Soeharto menghantam golongan kiri, termasuk media mereka, pada 1965-1966. Hari ini kebanyakan media di Pulau Jawa, terutama pada konglomeratnya, punya pandangan pentingnya modal dalam menjalankan kehidupan masyarakat,” lanjutnya. Saya menghubungi Andreas melalui email. Dia kini mengelola Yayasan Pantau, lembaga yang berkonsentrasi pada persoalan media dan meningkatkan mutu jurnalisme.

Penyelewengan informasi soal Venezuela begitu cepat dan beragam. Zely Ariane, juru bicara Hands off Venezuela-Indonesia, merasakan dampaknya. Perempuan muda ini keberatan atas perilaku politisi Indonesia yang menggunakan Venezuela sebagai barang dagangan untuk menarik simpati saja. Seolah-olah tentara tulang punggung perubahan. Kita tahu, Hugo Chavez seorang tentara revolusioner. Lebih membahayakan lagi jika para politisi menggunakan alasan bahwa menyejahterakan rakyat tidak harus dengan jalan demokrasi. “Mengerikan,” ujar Zely. Apalagi itu disiarkan oleh media-media di Indonesia

Di Indonesia, menurut Zely, tidak ada partai politik yang berpihak pada pembebasan rakyat miskin, sebagaimana diungkapkan Chavez, bahwa pembebasan rakyat miskin satu-satunya cara untuk membangun sebuah bangsa. Hands off Venezuela bagian kecil dari upaya membangun perubahan itu. Mereka, orang-orang yang membela Venezuela, merasa saudara senasib di bagian bumi mana pun mereka berada. Semangat di Indonesia disambut jutaan rakyat di Amerika Latin. Mereka bersorak menyambutnya (lihat di situs rumahkiri.net dan aporrea.org).Kemunculan ini diberitakan di TV Telesur di Amerika Latin dan ditayangkan di lebih dari 15 negara. Rakyat Amerika Latin mengetahui di Indonensia ada dukungan bagi mereka. Mereka tidak sendirian rupanya. (E4)

______________________________

Tulisan ini diambil dari : http://www.amerikalatin.blogspot.com/

Pesan-Pesan Solidaritas dari Kelompok HOV Negara Lain Untuk Peluncuran HOV Indonesia Pada Tanggal 28 Maret 2008

HoV Argentina

Buenos Aires, 20 de marzo de 2008

La Campaña “Manos Fuera de Venezuela” de Argentina saluda con entusiasmo la salida de la página web, Indonesian HOV, de nuestros hermanos de Indonesia. Estamos seguros que el esfuerzo de los compañeros indonesios será una gran contribución a difundir la solidaridad con la revolución venezolana y denunciar las conspiraciones reaccionarias del imperialismo y de sus lacayos locales. Las masas trabajadoras de Indonesia y Argentina también sufren la opresión del imperialismo y de sus títeres locales, por lo tanto el avance y el triunfo de la revolución venezolana también representa una victoria para el pueblo trabajador de nuestros países porque los fortalecerá en la lucha contra quienes lo oprimen y explotan.

Long Live Indonesian HOV!


Long Live HOV International Campaign!


Long Live the Venezuelan revolution!

Argentinian HOV

Buenos Aires, 20 Maret 2008

“Hands Off Venezuela” Argentina menyambut dengan penuh antusias peluncuran website HOV–Indonesia oleh kawan-kawan di Indonesia. Kami yakin bahwa usaha dari kawan-kawan akan memberikan kontribusi yang teramat besar dalam menyebarkan solidaritas dengan Revolusi Venezuela dan mengutuk konspirasi-konspirasi reaksioner dari imperialisme dan boneka-boneka mereka (kaum borjuis lokal). Massa pekerja di Indonesia dan Argentina juga menderita opresi dari kaum imperialis dan borjuis lokal, oleh karena itu kemajuan dan kemenangan Revolusi Venezeula juga mewakilkan sebuah kemenangan bagi rakyat pekerja di negara-negara kita karena kemenangan ini akan membuat rakyat menjadi lebih kuat di dalam perjuangan melawan kelompok-kelompok yang menindas dan mengeksploitasi mereka.

Hidup HOV Indonesia!

Hidup Kampanye Internasional HOV!

Hidup Revolusi Venezuela!

HoV Inggris

Revolutionary greetings on behalf of the Hands Off Venezuela Campaign in Britain! We welcome the launch of Hands Off Venezuela in Indonesia as an important step forward in the international movement of solidarity with the Venezuelan Revolution.


Very best wishes,

Rob Walsh, Hands Off Venezuela, London, UK

Salam revolusi dari kampanye Hands Off Venezuela di Inggris! Kami menyambut peluncuran HOV di Indonesia sebagai sebuah langkah penting di dalam gerakan solidaritas internasional dengan Revolusi Venezuela.

Salam Hangat,

Rob Walsh, Hands Off Venezuela, London, Inggris

HoV Belgia
Dear comrades!


We are extremely pleased to hear about the launching of HOV Indonesia.bWe believe this is the first step to develop the campaign in solidarity with the most advanced revolutionary process in the planet to the whole of Asia.


Workers, youth and students around the globe are looking at the situation in Venezuela and the debates around the Socialism of the 21st century for guidance and inspiration. We believe that Hands Off Venezuela should play a role in this debate internationally. At the same time we must place ourselves in the forefront of the struggle for the defence of the Venezuelan Revolution.


We hope that the solidarity work will help you to build a strong campaign as much as it is helping us putting the debate about socialism on the agenda, here in Belgium.


Yours in solidarity and internationalism,

Salam Revolusi Sosialis!
Hands Off Venezuela – Handen van aff Venezuela – Touche Pas au
Venezuela Belgium
Dear Comrades!

Kami sangat gembira mendengar kabar mengenai peluncuran HOV Indonesia. Kami percaya bahwa ini adalah langkah pertama untuk membangun kampanye solidaritas dengan proses revolusi termaju di muka bumi kepada seluruh Asia.

Kaum pekerja, kaum muda, dan mahasiswa seluruh dunia sekarang sedang menyimaki situasi di Venezuela dan berdiskusi mengenai Sosialisme Abad Ke-21 untuk mencari arahan dan inspirasi. Kami percaya bahwa kampanye Hands Off Venezuela harus memainkan peran di dalam diskusi ini secara internasional. Pada saat yang sama, kita harus maju ke depan di dalam perjuangan membela Revolusi Venezuela.

Kami berharap bahwa kerja solidaritas ini dapat membantu kawan-kawan untuk membangun sebuah kampanye yang kuat, karena ini juga akan membantu kami mendorong diskusi mengenai sosialisme di Belgia.

Salam Solidaritas dan Internasionalisme,
Salam Revolusi Sosialis!

Hands Off Venezuela Belgia

Alan Woods – Editor In Defence of Marxism dan Pencetus Kampanye Hands Off Venezuela

Dear Comrades,


I have just learned of the establishment of HOV in Indonesia. This is splendid news! I am sure that the campaign will find a strong echo among the workers, peasants, intellectuals and militant youth in Indonesia, which is a key country in the struggle for world socialism. I look forward with eager anticipation to further news of your important work


and I wish you every success!


Long live the fight for world socialism!


Down with capitalism and imperialism!


Hands off Venezuela!

Alan Woods

Dear Comrades,

Saya baru saja mengetahui mengenai peluncuran kampanye HOV di Indonesia. Ini adalah berita yang sangat menggembirakan! Saya yakin kalau kampanye ini akan mendapatkan gaung yang besar di antara kaum pekerja, petani, intelektual, dan pemuda-pemudi yang militan di Indonesia, yang merupakan negara kunci di dalam perjuangan untuk revolusi sosialis. Saya akan tunggu kabar terbaru mengenai kerja kawan-kawan dan semoga sukses!

Hidup Perjuangan untuk Sosialisme Sedunia!

Tumbangkan Kapitalisme dan Imperialisme!

Hands Off Venezuela!

Alan Woods

HoV Amerika Serikat


Dear comrades of HOV Indonesia,

From the United States, please received our warmest greetings of international solidarity, and our congratulations on this tremendous achievement. The Bolivarian Revolution is at the forefront of the world revolution, and workers and youth around the world are inspired by it. The defense of the revolution from U.S. imperialism is a task for all class-conscious workers and youth. We must also learn from the experience of the Venezuelan revolution, because the only way to ensure its safety and success is to bring about revolutionary change in our own countries. Indonesia, with its marvelous revolutionary traditions, will be at the forefront of this worldwide struggle, and the setting up of the Indonesian Hands Off Venezuela Campaign is a giant step forward to this end. Keep up the good work!


In solidarity,

John Peterson

National Secretary, U.S. Hands Off Venezuela

Dear comrades of HOV Indonesia,

Dari Amerika Serikat, kami sampaikan salam solidaritas internasional yang hangat, dan juga selamat untuk pencapaian yang hebat ini. Revolusi Bolivarian sekarang ada di lini depan revolusi dunia, dan kaum pekerja dan kaum muda di seluruh dunia terinspirasi olehnya. Membela Revolusi Venezuela dari ancaman imperialisme AS adalah tugas dari semua pekerja dan muda-mudi yang sadar kelas. Kita juga harus belajar dari pengalaman Revolusi Venezuela, karena satu-satunya cara untuk menjaga revolusi Venezuela adalah dengan membawa perubahan revolusioner di negara kita masing-masing. Indonesia, dengan tradisi revolusionernya yang menakjubkan, akan berada di lini depan perjuangan sosialis sedunia, dan peluncuran kampanye HOV Indonesia ini adalah langkah besar untuk menuju kesana. Lanjutkan usaha kawan-kawan!

Salam Solidaritas,

John Peterson

Sekretaris Nasional, Hands Off Venezuela AS

HoV Kanada
Congratulations from HOV Canada!


The Venezuelan Revolution is an inspiration to workers, youth and anybody who wishes to live in world where the people control their own resources. Venezuela proves that there is a different path than US corporate control and war. Venezuela is embarking on a socialist path that is becoming more and more popular in Latin America. With the formation of HOV groups around the world people can learn of the successes of Venezuela and defend the revolution.


In Solidarity,

Alex Grant

HOV Canada National Coordinator

Ucapan selamat dari HoV Kanada!

Revolusi Venezuela adalah sumber inspirasi bagi kaum pekerja, kaum muda, dan siapa saja yang ingin hidup di dunia dimana rakyatlah yang menguasai sumber daya alam mereka. Venezuela telah menunjukkan bahwa ada jalan lain selain kuasa korporasi AS dan peperangan. Venezuela sekarang sedang menempuh jalan sosialisme yang semakin popular di Amerika Latin. Dengan pembentukan kelompok-kelompok kerja HOV di seluruh dunia, rakyat akan dapat mempelajari keberhasilan-keberhasilan revolusi Venezuela dan membela revolusi tersebut.

Salam solidaritas,

Alex Grant

Koordinator Nasional Hands Off Venezuela Kanada

HoV Spanyol

A la atención de Manos Fuera de Venezuela de Indonesia,


Estimados camaradas:


Es con gran alegría que recibimos la noticia del lanzamiento oficial de la campaña Manos Fuera de Venezuela en Indonesia. La revolución venezolana marcó un cambio cualitativo en la situación política mundial y está teniendo un impacto muy importante en la conciencia de una capa de jóvenes y trabajadores de todo el mundo. Los poderosos siempre han tratado de que ideas como socialismo, revolución, lucha contra el imperialismo, etc. estuviesen asociadas a una especie de “romanticismo trasnochado” sin ninguna viabilidad, y la revolución venezolana ha sido como un gran torpedo que a estallado en la línea de flotación ideológica de la burguesía y del imperialismo.


Dentro de pocas semanas se celebrará el sexto aniversario del fracasado golpe de Estado y de la histórica movilización de masas que lo derrotó. La revolución venezolana ha desmostrado ya, en varias ocasiones, que las masas son capaces de luchar y dar su vida por grandes ideas y por tratar de transformar profundamente sus condiciones de existencia. La revolución venezolana ha vuelto a validar, plenamente, la viabiliad de las ideas revolucionarias.


Sin embargo es evidente que los peligros siguen acechando a la revolución venezolana, y su triunfo definitivo es una tarea a resolver. En este sentido, la solidaridad internacional es fundamental y el lanzamiento de MFV, en el acto que celebráis el 28 de marzo, en un país de las dimensiones y las tradiciones revolucionarias de Indonesia no pueden ser calificados de otra manera más que de un acontecimiento histórico.


Rebicid un caluroso saludo revolucionario de MFV de España.


¡Viva la revolución venezolana!


¡Viva la revolución en Indonesia!


¡Viva la revolución mundial!

Madrid, 26 de marzo de 2008

Dear Comrade,

Kami sangat gembira mendengar mengenai peluncuran kampanye Hands Off Venezuela di Indonesia. Revolusi Venezuela menandai sebuah perubahan kualitatif di dalam situasi politik dunia dan revolusi ini memiliki pengaruh yang besar di dalam kesadaran rakyat pekerja dan kaum muda di seluruh dunia. Kelompok yang berkuasa selalu berusaha membuat ide-ide seperti sosialisme, revolusi, perjuangan melawan imperialisme, dsb. sebagai ide-ide romantis yang sudah ketinggalan jaman dan mustahil. Revolusi Venezuela adalah seperti torpedo yang menghancurkan ideologi kaum borjuis dan imperialisme.
Dalam beberapa minggu ke depan, akan dirayakan 6-tahun kegagalan kudeta April 2002 di Venezuela dan mobilisasi massa yang mengalahkan kudeta tersebut. Revolusi Venezuela telah menunjukkan berkali-kali bahwa rakyat mampu berjuang dan akan memberikan nyawanya demi ide-ide yang hebat dan mencoba merubah keadaan hidup mereka. Revolusi Venezuela telah memberikan validasi terhadap ide-ide revolusioner.
Tetapi, adalah nyata kalau mara-bahaya masih mengancam Revolusi Venezuela, dan kemenangan akhir revolusi ini adalah tugas yang masih harus dipenuhi. Oleh karena itu, peluncuran kampanye HOV di Indonesia pada tanggal 28 Maret di negara sebesar Indonesia yang memiliki tradisi revolusioner adalah sebuah peristiwa yang bersejarah.

Salam Revolusi dari HOV Spanyol,

Hidup Revolusi Venezuela!

Hidup Revolusi di Indonesia!

Hidup Revolusi Sedunia!

Madrid, 26 Maret 2008

HoV Denmark

Copenhagen, March 26, 2008


To the activists of the Hands off Venezuela Campaign in Indonesia.


It is with great enthusiasm that we hear that you are about to launch the Hands off Venezuela Campaign in Indonesia. The Venezuelan revolution and the masses continuous struggle for socialism is an inspiring event for all revolutionaries around the world. It offers the lessons that revolutionaries need to learn to overcome ruling class of capitalists. By studying the Venezuelan revolution it will help us to understand the revolutionary movement.


The Venezuelan revolution has been threatened by the US imperialism and the local oligarchy since it began almost ten years ago. It is of great importance that revolutionaries in every country defend the revolution by extend people’s knowledge of the movement and that the exploited masses of the world is able to take responsibility for their own future. In the end; the best way of defending the Venezuelan revolution is fighting for the revolution in your own country and world revolution.


We hope that you will build a strong solidarity campaign in Indonesia. It is a big step forward for the campaign in Asia and it demonstrates the concrete solidarity between the masses in Indonesia and Venezuela.

Revolutionary greetings from Hands off Venezuela in Denmark

Kepada Aktivis Hands Off Venezuela di Indonesia,

Dengan antusias sekali kami mendengar kabar kalau kawan-kawan akan meluncurkan kampanye HOV di Indonesia. Revolusi Venezuela dan perjuangan rakyat untuk sosialisme adalah sebuah inspirasi bagi seluruh kaum revolusioner sedunia. Revolusi Venezuela ini menawarkan pelajaran-pelajaran yang perlu disimak oleh kaum revolusioner untuk melawan kelas penguasa kapitalis. Dengan mempelajari revolusi Venezuela, ini akan membantu kita mengerti gerakan revolusioner.

Revolusi Venezuela telah diancam oleh imperialisme AS dan kaum oligarki lokal semenjak ia mulai sepuluh tahun yang lalu. Sangatlah penting bagi kaum revolusioner di setiap negara untuk membela revolusi ini dengan cara menyebarluaskan informasi mengenai revolusi ini ke rakyat banyak, dan bahwa rakyat tertindas sedunia dapat menentukan nasibnya sendiri. Pada akhirnya, cara terbaik untuk membela revolusi Venezuela adalah dengan memperjuangkan revolusi di negara kita sendiri dan memperjuangkan revolusi sedunia. Kami sangat mengharapkan kalau kawan-kawan akan membangun sebuah kampanye solidaritas yang kuat di Indonesia. Ini merupakan langkah yang besar bagi kampanye HOV di Asia dan ini mendemonstrasikan solidaritas yang konkrit antara rakyat di Indonesia dan Venezuela.

Salam Revolusi dari Hands Off Venezuela di Denmark,

Copenhagen, 26 Maret 2008

_________________________
Dihimpun oleh Ted Sprague

Hands Off Venezuela Campaign to be launched in Indonesia

By Ted Sprague
Tuesday, 18 March 2008

It is not an overstatement that the Bolivarian Revolution in Venezuela is a shining beacon of hope for struggling masses around the world. Not only inspiring, the Venezuelan revolution offers many lessons for revolutionaries who are genuinely seeking radical solutions to problems faced by the toiling masses. With these ideas in mind, a group of Leftist organizations and individuals in Indonesia have decided to launch the Hands Off Venezuela campaign, thus making it the first HOV campaign present in the Asia Pacific region.

The official launch of the campaign will be held in conjunction with the first public premiere screening of “No Volveran” on March 28, 2008. The campaign’s website is already up and running and has served as a source of information on the Venezuelan Revolution. Local organizations that have supported and endorsed this campaign include the PRP (Working People Association), the KPRM-PRD (The Political Committee of The Poor – People’s Democratic Party), SERIAL (Indonesian People Solidarity for Latin America), Rumah Kiri, Ultimus Bandung, Resist Book, SMI (Indonesian Students’ Union), IGJ (Institute for Global Justice), and LMND-PRM (National Student League for Democracy – The Politics of the Poor). Many other progressive groups are expected to join as the campaign becomes more and more established.

“HOV-Indonesia is built as an effort to widen the support for the Bolivarian Revolution, as a propaganda tool for socialist programs in Venezuela (its achievements, its process, etc), and as an educational tool for revolutionary movements and labor movements in Indonesia in order to build a revolution in Indonesia.”

This is how it was announced in the invitation letter to the launching event.

For the movement in Indonesia, the fate and the lessons of the Venezuelan Revolution are crucial. Just as in Venezuela, Indonesia is rich in oil and yet 110 million of its 220-million population live on less than $2 a day, 13 million children in Indonesia go hungry for lack of food, and 25 million people are illiterate. Nationalization of oil (and other mining industries) as carried out by the Bolivarian government, where the profit is then distributed to the people through social programs, is one of the demands that can also be applied in Indonesia to tackle its dire poverty.

The launching of the HOV campaign in Indonesia should be a cause for celebration for all revolutionaries around the globe. It symbolizes yet another concrete example of solidarity between the exploited masses in Indonesia and Venezuela, in Asia and Latin America. It is another step forward toward greater unity amongst all toiling masses in their struggle against global capitalism and imperialism.

Please send your message of support to HOV-Indonesia campaign to:  hovindonesia@yahoo.com

_______________________________________________________

Ted Sprague adalah aktivis Hands Off Venezuela, tinggal di Montreal

Hands Off Venezuela – Indonesia: The Solidarity

Written by Jesus S. Anam*

“Proletariat tidak dapat menggulingkan borjuasi tanpa terlebih dulu merebut kekuasaan politik.” (Lenin, Negara dan Revolusi)

Lukisan besar Revolusi Bolivarian saat ini sedang terpampang di koridor utama sebuah galeri revolusi. Lukisan itu telah memberi ketegasan makna di tengah garis yang kusut dan muram dari sejarah. Ini hasil pertapaan panjang kaum proletar dalam mencari kemurnian—mencari gambaran yang lebih menggembirakan tentang kehidupan manusia.

Revolusi Bolivarian tidak boleh ragu: semangat revolusioner, kebulatan tekad dan seluruh gelora tidak boleh lelah. Ongkos revolusi memang besar, tetapi bukankah setiap revolusi perlu pengorbanan?

Revolusi Bolivarian memang masih harus menemui banyak malam. Ia belum tuntas. Masih banyak persoalan yang belum selesai. Kekuatan kontra-revolusi terus berusaha menggagalkannya. Kampanye yang penuh kebohongan dan informasi yang keliru tentang Venezuela kerap kali menghiasi halaman-halaman berbagai media imperialis untuk santapan publik internasional. Mereka melukiskannya di kanvas kotor dengan bercak-bercak hitam yang menyakitkan. Mereka menciptakan perspektif yang terbalik dari kenyataan yang sesungguhnya. Memberikan bacaan yang salah tentang Venezuela: ada sebuah “rezim” otoriter disana!

Menanggapi hal itu, Alan Woods, editor In Defence of Marxism, mengeluarkan sebuah seruan untuk membela revolusi Bolivarian, untuk menentang intervensi Amerika di Venezuela dan untuk memastikan bahwa serikat buruh dan gerakan buruh di seluruh dunia dapat memperoleh informasi yang benar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Venezuela (baca HANDS OFF VENEZUELA! An appeal to the international Labour Movement )

Seruan ini dengan segera didukung oleh Jeremy Dear (sekretaris jendral British National Union of Journalists) dan sejumlah pemimpin-pemimpin penting serikat buruh di Inggris lainnya. Kampanye ini dengan cepat menyebar ke negara-negara lain di Eropa, Amerika Utara, Asia, dan Afrika (lihat signatures page). Sekarang, kampanye ini memiliki pendukung di lebih dari 30 negara di dunia.

Tanpa mengenal lelah, kami telah mengorganisir aktivitas-aktivitas solidaritas dengan revolusi Bolivarian melalui pertemuan-pertemuan publik, penayangan-penayangan film dokumenter, mengangkat isu ini di dalam gerakan serikat buruh di negara-negara lain, mengorganisir tur-tur untuk pembicara, mendorong resolusi-resolusi di parlemen, dan mengirim delegasi solidaritas ke Venezuela.

Aktivitas kampanye ini telah diakui oleh president Chavez sendiri (baca Chavez backs Hands Off Venezuela campaign) dan wakil-wakil dari Hands Off Venezuela tampil secara menyolok di Pertemuan Sedunia Untuk Solidaritas Dengan Revolusi kedua pada bulan April 2004.

Prinsip-prinsip dasar kampanye Hands Off Venezuela adalah:

  • Pertama, membangun solidaritas dengan Revolusi Bolivarian
  • Kedua, menentang intervensi imperialis di Venezuela
  • Ketiga, menjalin hubungan hubungan dengan gerakan revolusioner dan gerakan serikat buruh di Venezuela.

Hari ini, tanggal 2 Februari 2008, Hands Off Venezuela – Indonesia mengundang beberapa organ kiri revolusioner Indonesia untuk bersama-sama membahas dan terlibat dalam kampanye HOV sebagai usaha mengkonter kampanye anti-Chavez oleh media-media imperialis. Organ-organ kiri revolusioner yang sudah siap terlibat dalam kampanye adalah Rumah Kiri (Media Progresif Kaum Kiri), Perhimpunan Rakyat Pekerja, SERIAL, Resist Book, SMI, KPRM – PRD, Ultimus Bandung, dan beberapa organ kampus revolusioner.

Akhirnya, bagi organ-organ kiri revolusioner Indonesia, tidak ada alasan untuk menolak atau tidak terlibat dalam kampanye HOV mengengingat Venezuela dengan revolusi Bolivariannya adalah wahana belajar bagi kaum kiri dimanapun, termasuk di Indonesia. Kegagalan Revolusi Bolivarian bisa menjadi goresan hitam dan memberi warna yang suram bagi perjuangan revolusioner dimanapun, dan semakin memberi keleluasaan bagi kekuatan borjuis untuk menggencet gerak dari perjuangan rakyat.

Salam Pembebasan!

____________________

*Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia

Belajar dari Kasus RCTV di Venezuela

Written by Indro Suprobo*

Berita menarik yang pantas dicermati dari negeri Venezuela akhir-akhir ini adalah tidak diperpanjangnya ijin siaran Radio Caracas Television (RCTV) yang menuai gelombang protes. Yang lebih menarik lagi dari berita itu adalah bagaimana banyak media memberitakannya. Tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV diberitakan dengan judul-judul yang menarik pikiran, antara lain “Stasiun Televisi Oposisi Ditutup”, “Berakhirnya Pluralisme Media” dan sebagainya. Judul-judul dan isi pemberitaan yang beredar itu telah menciptakan suatu imaji tertentu tentang kebijakan pemerintahan Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chaves. Beberapa imaji yang muncul berkaitan dengan berita ini antara lain adalah terjadinya pelanggaran hak asasi oleh pemerintah Venezuela, kebijakan Chaves adalah anti demokrasi, dan terjadinya pemberangusan kebebasan bersuara. Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apa yang sebenarnya terjadi?

Kebijakan Politik Radikal

Naiknya kepemimpinan Hugo Chaves di Venezuela didukung oleh 63% suara dalam pemilu. Kepemimpinan baru ini telah diikuti oleh lahirnya Konstitusi Bolivarian pada tahun 1999 yang menjadi dasar utama bagi seluruh kebijakan pemerintahan dalam banyak bidang. Pembaharuan-pembaharuan yang dijalankan di atas dasar konstitusi ini oleh karenanya lebih akrab disebut sebagai perubahan revolusioner bolivarian. Perubahan revolusioner bolivarian ini ditandai oleh visi kerakyatan yang diamanatkan oleh konstitusi 1999 yakni tegaknya kedaulatan politik dan ekonomi rakyat Venezuela yang anti imperialisme, demokrasi partisipatif yang membuka ruang luas bagi keterlibatan politis akar rumput, swadaya ekonomi, distribusi yang adil dari pendapatan pertambangan minyak Venezuela dan penghapusan tindakan korupsi.

Visi kerakyatan itu oleh pemerintahan Chaves diwujudkan dalam beragam program kesejahteraan sosial yang meliputi pengadaan transportasi gratis untuk rakyat yang sangat membutuhkan namun tak mampu membayar, penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dan gratis, perlindungan hak-hak komunitas lokal yang selama ini terpinggirkan oleh kebudayaan dominan, pelayanan perumahan gratis bagi mereka yang miskin, upaya pengadaan kedaulatan pangan yang murah, berkualitas, organik dan bersifat lokal untuk membuka akses nutrisi bagi masyarakat yang tak mampu dan seabrek program lain yang memprioritaskan mayoritas rakyat miskin Venezuela yang selama ini selalu berada di pinggiran kebijakan. Sangat jelas di sini bagaimana kedaulatan dan kesejahteraan rakyat menjadi visi dasar seluruh kebijakan. Tentu saja kebijakan semacam ini sangat menggoncang kemapanan segelintir orang yang telah menuai banyak keuntungan sebelumnya.


Kebijakan tentang Media

Tak dapat disangkal bahwa kebijakan pemerintahan Chaves tentang media selalu harus mendasarkan diri pada Konstitusi Bolivarian tahun 1999. Konstitusi ini mendorong persyaratan yang sangat tegas berkaitan dengan penyelenggaraan lembaga media, terutama oleh lembaga-lembaga swasta. Undang-undang tentang Pertanggungjawaban Media yang berlaku di Venezuela, biasa disebut Ley Resorte, sangat tegas dalam menuntut tanggung jawab sosial dari para penyelenggara media radio dan televisi, dan berorientasi kepada komitmen yang sangat kuat terhadap dua hal mendasar yakni “hak-hak anak” dan “meningkatnya jumlah program siaran yang diproduksi sendiri secara nasional maupun lokal”. Kebijakan dalam hal media ini sangat jelas terkait dengan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat dalam pelayanan dan produksi media siaran.

Dalam konteks kebijakan inilah ijin siaran RCTV tidak diperpanjang oleh pemerintah. RCTV merupakan stasiun televisi milik swasta yang pada bulan April 2002 terlibat aktif dalam kampanye kudeta terhadap pemerintahan Chaves dan turut memblokir siaran Venezolana de Television, siaran televisi milik pemerintah yang merepresentasikan mayoritas penduduk miskin di Venezuela dengan program siaran unggulan berupa tanya jawab langsung dengan presiden tentang semua persoalan yang dihadapi secara real oleh masyarakat. Alasan yang diajukan oleh pihak pemerintah berkaitan dengan tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV ini adalah untuk mendemokratisasikan gelombang siaran, agar gelombang siaran itu menjadi milik lebih banyak orang yang merepresentasikan kepentingan mayoritas warga Venezuela daripada hanya menjadi milik segelintir juragan media yang melakukan oligopoly dengan dukungan internasional.

Lebih jauh, pemerintah memberikan penjelasan bahwa Channel 2 yang selama ini menjadi milik RCTV tidak ditutup, siaran di gelombang ini tetap akan diteruskan. Hanya ijin siaran yang dimiliki oleh sebuah perusahaan swasta inilah yang tidak diperpanjang, dan sebagai gantinya, ijin siaran itu akan diberikan kepada swasta lain yang lebih dapat mengemban visi konstitusi, atau kepada perusahaan gabungan swasta dan publik, atau kepada perkumpulan kaum pekerja itu sendiri. Pemerintah justru memberikan prioritas dan mendorong para pekerja RCTV untuk mengorganisir diri dalam suatu perkumpulan dan mendapatkan ijin untuk mengelola siaran secara mandiri. Persyaratan dasarnya, program-program siaran yang akan dijalankan mengacu secara tegas kepada komitmen mendasar terhadap dua hal yaitu “perlindungan terhadap hak-hak anak” (program siaran yang edukatif) dan “mendorong peningkatan produksi program siaran mandiri baik lokal maupun nasional”, bukan produk impor yang menyedot biaya mahal, menguntungkan segelintir orang, dan tidak memberi kontribusi ekonomis bagi rakyat Venezuela.

Kebebasan Bersuara

Langkah demokratisasi media yang dijalankan dalam tindakan tidak memperpanjang ijin siaran ini diarahkan untuk membuka ruang lebih luas bagi sebagian besar rakyat yang mengorganisir diri dalam banyak perkumpulan untuk mengekspresikan kepentingannya melalui media siaran. Salah satu hal penting yang dibangun oleh pemerintahan baru dalam kepemimpinan Hugo Chaves adalah dibukanya ruang-ruang pendidikan populer hak-hak rakyat berdasarkan Konstitusi Bolivarian agar mereka lebih mandiri dalam partisipasi aktif berpolitik, dalam memperjuangkan hak-haknya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang abai terhadap kepentingan mereka, dalam mengajukan alterhatif-alternatif solutif real dan kontekstual berkaitan dengan problem sosial di wilayah masing-masing. Kekuatan politik rakyat semacam inilah yang pada saat terjadi kudeta di bulan April 2002, menjadi kekuatan populis utama yang mampu mengembalikan kepemimpinan dan pemerintahan Chaves. Mayoritas kaum miskin Venezuela yang selama ini tak pernah mendapatkan bagian dari kue keuntungan kekayaan negara ini menjadi subjek pertama yang dipertimbangkan oleh kebijakan sosialisme demokratis Venezuela. Merekalah harta utama bagi gerakan-gerakan pembaharuan populis negeri Venezuela. Apabila gelombang siaran yang selama ini dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik saham perusahaan swasta itu ditawarkan kepada 63% rakyat pendukung Chaves yang senyatanya berasal dari beragam latar belakang, bukankah itu berarti membuka keran bagi mereka yang selama ini tak pernah mendapatkan saluran untuk bersuara, mengemukakan cara berpikir sesuai dengan konteksnya, memandang permasalahan sosial real yang dihadapi dari kacamata mereka sendiri, dan tidak didekte oleh sekelompok kecil juragan media pemegang hak gelombang siaran?

Dengan demikian, tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV barangkali dapat dibaca sebagai demokratisasi media, dibukanya lebih banyak kemungkinan bagi mereka yang selama ini kalah untuk bersuara, dan lebih dari itu, kedaulatan rakyat dalam pengelolaan media yang berkomitmen kepada siaran edukatif demi perlindungan hak-hak anak dan peningkatan jumlah program siaran yang mampu diproduksi sendiri secara lokal maupun nasional, mendapatkan lebih banyak jaminan. Bagi mayoritas rakyat miskin Venezuela, barangkali kebijakan ini dipahami sebagai sebuah kebijakan populis. Seandainya kita bertanya kepada Chaves sendiri tentang kebijakan ini, barangkali ia akan menjawab dengan mengutip sebuah ungkapan lama,”Di mana hartamu berada, di situlah hatimu”.***

______________________


*Resist Book

Enam Jam di Caracas

Written by Indro Suprobo*

Bagi orang yang biasa-biasa saja seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Venezuela secara gratis, merupakan pengalaman luar biasa. Ini terjadi karena undangan seorang teman lama, Alejandro Pino d”Araujo, yang kebetulan mengajar filsafat di College of Social and Humanistic Sciences, Simon Bolivar University. Pada saat itu, Universitas Simon Bolivar menyelenggarakan Workshop National berjudul “Simon Bolivar : The Liberation Movement in Philosophycal and Political Perspective”. Yang menarik dalam seminar itu adalah hadirnya Hugo Chaves, sang presiden, sebagai salah satu narasumber karena dia adalah salah satu mantan mahasiswa yang pernah kuliah di universitas tersebut. Narasumber yang lain adalah Ambrosio Wegemento Segundo, salah seorang murid dari teolog besar penggagas A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez.

Dalam paper setebal 15 halaman yang berjudul Contra l’estigma (Melawan Stigmatisasi), Hugo Chaves menyatakan bahwa selama sekian lama rakyat Venezuela telah berada dalam berbagai macam bentuk penindasan dan penjarahan namun selalu saja mengalami halangan besar untuk melakukan pemberontakan karena sejak kecil, dalam keluarga-keluarga, telah ditanamkan alat sensor yang sangat ampuh yakni kesadaran stigmatis. Kesadaran stigmatis ini telah menumpulkan kesadaran kritis warga masyarakat dan pada gilirannya memupus segala kemungkinan untuk melakukan kritik, perubahan, apalagi pembebasan. Salah satu contoh stigmatisasi itu dialaminya sendiri ketika masih kecil. Keluarga besarnya secara turun temurun menuturkan bahwa kakeknya adalah seorang pembunuh. Setelah dewasa, dengan wawasan dan bacaan sejarah tentang gerakan-gerakan revolusioner di banyak tempat, Chaves menyadari bahwa sebenarnya kakeknya bukanlah seorang pembunuh, melaikan seorang pejuang yang emoh terhadap segala bentuk ketidakadilan di hadapan matanya. Kesadaran yang ditanamkan sejak kecil itu merupakan kesadaran stigmatis yang bertujuan agar orang-orang biasa yang setiap hari hidup dalam kesusahan, tidak menirukan tindakan protes maupun perlawanan seperti para pejuang pendahulu itu. Lebih dari itu, sosialisme sebagai sebuah model pemikiran dan gerakan telah diberi stigma sebagai satu-satunya keburukan pemikiran yang arogan dan terbukti telah bertekuk lutut di hadapan kegagalan besar. Sosialisme lalu dengan mudah telah dilipat-lipat dalam kesadaran hanya sebagai sebentuk komunisme, ateisme, kediktatoran dan represi yang justru menyengsarakan. Itulah stigma terhadap sosialisme.

Karena sebagian besar rakyat Venezuela adalah pemeluk agama katolik Roma, Chaves menggunakan teologi pembebasan Amerika Latin sebagai bahasa komunikasi yang ampuh. Prinsip-prinsip dasar sosialisme memang menjiwai pendekatan teologi pembebasan ini. Ia menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah orang yang dalam iman yang besar, melakukan pemberontakan secara individual, social, politis, cultural dan religius pada jamannya. Yesus adalah inspirasi bagi gerakan pembebasan dan revolusi. Yesus adalah tokoh revolusioner dan progresif yang melawan segala bentuk manipulasi, stigmatisasi, akumulasi keuntungan oleh segelintir orang yang menyengsarakan ribuan bahkan jutaan orang yang lainnya. Sebagaimana Yesus telah melakukan revolusi pada jamannya, maka pada saat ini, adalah tugas semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, untuk secara radikal melakukan gerakan revolusioner. Setan paling nyata dalam kehidupan dunia sekarang adalah kebijakan politik-ekonomi dan dominasi Amerika yang merampas hak dan menghancurkan kehidupan sebagaian besar warga dunia. Kemiskinan dalam semua dimensinya telah merenggut kehidupan rakyat Venezuela dan rakyat di sebagian besar belahan dunia ini. Kemiskinan adalah sebuah penghancuran terhadap kehidupan manusia dalam banyak sendi. Kemiskinan yang mematikan ini tidaklah sesuai dengan apa dipesankan oleh Yesus yakni hadirnya kerajaan kehidupan. Oleh karena itu, dalam semangat yang sama seperti Yesus, “Kita harus melawan segelintir orang yang terus menerus menghancurkan sebagian besar dunia ini. Sekarang juga harus kita lakukan!”, tegasnya dengan nada tinggi, sorot mata yang menatap tajam karena kesedihan dan komitmen, sambil mengepalkan tangan ke atas. Semua yang hadir tanpa dikomando serentak berdiri dan bertepuk tangan. Saya ikut berdiri di antara mereka yang hadir dengan hati yang luar biasa tergetar. Beberapa yang hadir bahkan meneteskan air mata entah karena kobaran semangat, kemarahan maupun keharuan.

Kampus Universitas Simon Bolivar yang terletak di lembah Sartenejas, dan termasuk daerah kotamadya Baruta, wilayah ibu kota Caracas bagian selatan itu terasa bergetar dalam kemegahan semangat, sesuai dengan nama yang dikenakan padanya, Simon Bolivar, El Libertador, sang pembebas bagi beberapa Negara Amerika Latin. Sesi seminar itu dilanjutkan dengan diskusi kelompok di luar ruangan aula.

Dalam diskusi kelompok, saya mendapatkan tempat diskusi yang cukup menarik, yakni di sebuah gazebo kecil di pinggiran Laguna de los patos, sebuah danau kecil buatan yang indah di dekat pintu gerbang masuk universitas. Danau buatan itu menjadi semakin menarik karena dipenuhi bebek putih yang berenang dan berlompatan di atas air. Laguna de los patos memang berarti “danau bebek”.

Hugo Chaves memang presiden yang tegas dalam prinsip namun sangat low profile. Dengan santainya dia meminta para pengawalnya untuk menikmati danau, sementara dia sendiri menyelonong nimbrung dalam diskusi kecil kami. Salah seorang anggota kelompok diskusi kami adalah seorang Marxis tulen bernama Milan Machovec. Ia adalah seorang profesor senior yang jauh-jauh datang dari Charles University, Praha. Salah satu buku terkenal yang pernah ditulisnya adalah Jesus Fur Atheisten yang diterbitkan oleh Kreuz Verlag Stuttgart, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Darton, Longman & Todd, London dengan judul A Marxist Looks At Jesus.

“Saya sangat sepakat dengan apa yang tadi telah dinyatakan oleh mister Presiden, Hugo Chaves dalam forum. Yesus adalah manusia radikal dan progresif yang dapat menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan saat ini, bukan hanya bagi rakyat Venezuela, melainkan bagi sebagian besar warga dunia yang cenderung mengalami ketidakadilan. Kita semua musti terlibat penuh komitmen di dalamnya”, kata Machovec memulai pikirannya.

“Benar, dan terima kasih tuan Machovec. Anda adalah teman bagi kami, rakyat Venezuela, dan Anda pantas mendapatkan lebih banyak teman dari berbagai belahan dunia kita”, potong Hugo Chaves meneguhkan pernyataannya.

“Tetapi saya memiliki kritik terhadap kekristenan secara khusus berkaitan dengan bagaimana mereka memahami pesan Yesus”, kata Machovec lagi. Teman saya yang sangat katolik, Alejandro Pino d’Araujo tampak serius menantikan tuturan Machovec selanjutnya.

“Pesan Yesus yang asli sebenarnya terdiri dari dua elemen penting”, sambung Machovec. “Yang pertama, Yesus menyatakan bahwa suatu jaman baru sedang datang. Kedatangan jaman baru itu menjadi efektif karena usaha dan kerja keras manusia sendiri. Kedua, jaman baru itu bukan hanya merupakan jaman yang akan datang kelak, melainkan terwujud dalam situasi konkret kekinian hidup kita ini, pada saat sekarang ini dan di sini, serta bersifat imperatif bagi hidup manusia sehari-hari. Oleh karena itu, semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus sang manusia revolusioner itu, musti mewujudkan daya pembaharuan dan progresivitas itu saat sekarang ini juga dalam konteks yang sangat real ini. Namun sayangnya, daripada mewujudkan daya kekuatan radikal dan progresif bagi penegakan keadilan jaman ini, melawan secara tegas semua yang melakukan perampasan, manipulasi dan peminggiran serta pemiskinan terhadap kemanusiaan, kristianitas telah cenderung membelokkan pesan itu kepada pencapaian kedamaian dan kebahagiaan pada akhir jaman. Dengan cara itu, kekristenan pada saat sekarang ini justru cenderung menawarkan opium atau candu bagi manusia yang lebih asyik dengan kebahagiaan batiniah pribadi tanpa memberi dampak nyata bagi situasi kemiskinan yang akut”.

Semua anggota kelompok tampak serius mencermati jalan pikiran sang profesor yang Marxis dan gandrung kepada Yesus itu. Semuanya masih menunggu-nunggu akhir dari paparan pikiran Machovec. Saya juga demikian.

“Saya percaya bahwa kekristenan tidak mati, melainkan pincang saja. Namun, pesan Yesus itu justru masih sangat hidup sampai sekarang ini. Saya melihat bahwa pesan itu sangat hidup dalam sebagian besar rakyat Venezuela yang menginginkan kehidupan dunia yang lebih adil. Pilihan politik mister Presiden dan rakyat Venezuela adalah bukti nyata”, kata Machovec melambat, mengakhiri paparannya dalam diskusi kecil itu.

Diskusi kecil menjadi semakin hangat oleh beberapa tanggapan kemudian. Contoh-contoh konkret kebijakan politik radikal populis di Venezuela yang lebih dikenal dengan bolivarianisme itu, meneguhkan para peserta diskusi bahwa alternatif itu sangat mungkin dan sangat terbuka. Namun alternatif itu membutuhkan komitmen yang besar dan kerja keras serta kerjasama yang lebih luas. Sebagaian kecil warga tentu masih saja ada yang tak sepakat dengan ini karena mereka telah lama menikmati untung tanpa peduli kepada sebagian besar lain yang buntung.

Jam makan bersama menjadi penentu berakhirnya diskusi kelompok kecil ini. Semuanya menuju ke tempat perjamuan lalu pulang ke tempat masing-masing. Saya masih punya waktu dua hari dan menginap di rumah teman yang mengundang saya itu. Rumah si Alejandro Pino d’Araujo itu kecil dan sederhana namun sangat nyaman. Kasurnya yang empuk dan pepohonan sejuk di sekitar kamar membuat saya cepat tertidur. Namun ternyata, ketika bangun tidur, saya sudah berada di rumah sendiri, di pinggiran desa Ngaglik, Sleman.

“Kamu tidur pulas sekali siang ini”, kata isteri saya sambil mengenakan pakaian sehabis mandi sore. Saya merapikan buku-buku yang tersebar di tempat tidur lalu berangkat mandi. Ah….hari minggu yang segar… dan mimpi yang indah.***

_____________________

* Resist Book

Sumbangan Revolusi Venezuela kepada Rakyat Dunia

-Mengapa kaum gerakan di Indonesia harus bersolidaritas-

Written by Zely Ariane*

Tulisan ini merupakan pokok-pokok pikiran yang mendukung pembangunan Sosialisme Abad 21 di Venezuela. Sumbangan penting Revolusi Venezuela terhadap masa depan perjuangan sosialisme di dunia menuntut tanggung jawab gerakan revolusioner di seluruh dunia untuk memertahankan dan memajukan proses revolusioner di negeri itu; sekaligus membangun solidaritas diantara kaum kiri dan gerakan rakyat di negeri kita sendiri terhadap Revolusi Venezuela.

Sekarang, alternatif itu ada; mari mempertahankan dan memajukannya.

Ada Alternatif

Neoliberalisme telah kehilangan legitimasi dan landasannya, sejak ia tidak bisa “membebaskan pasar dan membiarkan tangan-tangan tak terlihat melakukan pekerjaan” untuk mengglobalisasikan kesejahteraan. Neoliberalisme telah mengkhianati filosofinya sendiri dan terpaksa kembali pada tipe Negara Kesejahteraan (Keynesianism) demi terlihat lebih manusiawi dan dermawan. Millennium Development Goals (MDGs), Corporate Social Responsibility (CSR), sokongan terhadap kebijakan Mikro Kredit (paling jauh) semacam Greemen Bank, adalah diantara formula klise mereka untuk mempertahankan sistem (kapitalisme), namun, tak pernah bisa menanggulangi globalisasi kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif dunia saat ini.

Namun sekarang, dunia sudah berubah dan neoliberalisme sedang dipertanyakan. Revolusi Venezuela (bersamaan dengan kemajuan sosialisme Kuba) telah mempercantik dunia, membuat suatu (sistem) alternative menjadi mustahil dan menggugat apa yang dianggap oleh perspektif dominan sebagai akhir dari sejarah. Seiring perlawanan terhadap neoliberalisme di banyak tempat di dunia, perluasan alternative Venezuela telah menjadi isu besar diantara gerakan social: suatu alternative yang mengembalikan revolusi dan sosialisme ke dalam agenda perjuangan rakyat.

Revolusi Venezuela telah memutus rantai involusi di bawah neoliberalisme; merevolusionerkannya melalui proses transfer kekuasaan ke tangan rakyat (dengan demokrasi langsung dan partisipatif) serta mendistribusi kepememilikan pribadi (baik secara bertahap maupun simultan) yang membuka jalan bagi sosialisme abad 21. Sosialisme ini harus sanggup memberi jawaban kongkret bagi kemajuan tenaga produktif yang telah dihancurkan oleh kapitalisme yang rakus di banyak negeri di dunia ketiga; meningkatkan produktivitas rakyat yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan; memperjuangkan suatu demokrasi langsung yang partisipatif untuk membangkitkan kesadaran rakyat atas kekuatannya sendiri untuk mengatur Negara dan kehidupannya.

Proses revolusioner yang menempatkan Chavez-Venezuela-Sosialisme Abad 21 sebagai suatu pilihan tandingan dari Bush-Washington-Neoliberalisme, bersamaan dengan kemajuan di Kuba, Bolivia, dan Ekuador, telah menginspirasi banyak kekuatan demokratik dan revolusioner di seluruh dunia. Pada kenyataannya, ada pusaran baru di dunia saat ini; pusaran alternative yang harus dibela oleh kaum kiri dan gerakan social di seluruh dunia.

Sumbangan Revolusi Venezuela

Revolusi sosialis dalam pengertian kongkritnya berupa sosialisasi kepemilikan pribadi, transformasi kesadaran dan kebudayaan, serta peningkatan tenaga produktif, sedang berkembang di Venezeula. Melalui apa yang disebut ‘revolusi damai’, proses tersebut terus berlanjut dan membuat yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Momen-momen penting dan menentukan dalam tahap revolusi adalah 13 April 2002—ketika mobilisasi jutaan rakyat miskin Venezuela berhasil mengalahkan kudeta oposisi sayap kanan—serta keberhasilan perjuangan melawan pemogokan para pemilik bisnis di akhir tahun yang sama.

Sejak itulah, proses revolusioner semakin ditingkatkan, meski beberapa pendapat menganggapnya masih terlalu lamban. Karena sosialisme tidak terjadi lewat dekrit atau deklarasi—walau Chavez sudah mendeklarasikannya di akhir Desember 2005—maka pemahaman terhadap proses revolusi Venezuela sangatlah penting dalam rangka menentukan kesimpulan bersama yang bermanfaat bagi kampanye sosialisme.

Pemenuhan kebutuhan darurat rakyat bukanlah hal mudah bagi negeri-negeri miskin di bawah imperialisme. Kontradiksi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya membuat propaganda social demokrasi hanya di atas awan. Seperti itulah nasib yang akan terjadi pada masa depan kebijakan MDGs; suatu pajangan ‘niat baik’ di bawah liberalisasi pasar domestic, liberasilisasi pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian dst, di bawah dikte institusi keuangan internasional dan perancang ekonomi konsensus Washington. Venezuela telah meninggalkan involusi ini, dan meradikalisir proses perubahan negerinya dengan memutus hubungan dengan IMF dan Bank Dunia, serta pengambil-alihan alat produksi dari tangan imperialis.

Misi-misi sosial (Missions) Venezuela merupakan program-program transisional darurat untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat sekaligus meningkatkan kapasitas tenaga produktifnya. Sekilas tampak mirip dengan kebijakan-kebijakan sosial demokrasi (Negara kesejahteraan), namun memiliki perbedaan mendasar dalam karakter politiknya, yakni partisipasi/inisiatif rakyat dan sumber pembiayaanya. Misi-misi tersebut dibiayai langsung dari pemasukan minyak (yang sudah dinasionalisasi) dan diatur sendiri oleh rakyat (tidak ada institusi ‘formal’ pemerintah terlibat) melalui berbagai komite seperti komite kesehatan; pendidikan; makanan; perumahan, pertanian, dst.

Penguasaan alat produksi dan distribusi kepemilikan pribadi berlanjut. Dalam beberapa kasus (seperti di Invepal—pabrik kertas, dan Alcasa—pabrik alumunium), tingkat dan tipe penguasaan buruh terhadap produksi dan distribusi pabrik berbeda satu dengan lainnya (lihat wawancara dengan Rafael Rodriguez oleh International Viewpoint, bulan Oktober 2006). Di sector pertanian, reforma agrarian tak hanya meliputi distribusi tanah pada para petani tak bertanah, namun juga peningkatan teknologi dan system produksi pertanian.

Peningkatan tenaga produktif dan teknologi. Venezuela sekarang adalah negeri kedua di dunia (setelah Kuba) yang bebas buta huruf. Program-program peningkatan penguasaan teknologi seperti perangkat lunak gratis, komputerisasi tingkat sekolah dasar, produksi komputer dalam negeri , merupakan sebagian dari langkah-langkah pentingnya.

Praktek demokrasi partisipatoris dan kekuasaan kerakyatan sekarang mulai menantang demokrasi perwakilan. Meski belum begitu jelas bagaimana mekanisme nasional dan otoritasnya terhadap pemerintah, pembentukan ribuan Dewan-dewan Komunitas (lokal) merupakan langkah yang menguntungkan.

Poros internasionalisme baru telah berdiri. Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin (ALBA) dan Bank Selatan (Bancosur) merupakan kampanye yang penting untuk membangun solidaritas yang progressif diantara negeri-negeri miskin di selatan.

Kerja Solidaritas

Pekerjaan solidaritas terhadap pembangunan sosialisme di Venezuela (dan Kuba) adalah tugas penting yang menentukan sukses tidaknya perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme di negeri-negeri dunia ketiga. Kekalahan sosialisme di Venezuela akan memundurkan perjuangan untuk sosialisme di negeri manapun di dunia.

Di Indonesia, selama 33 tahun rezim diktator Soeharto berkuasa, telah berhasil menghapus memori sejarah rakyat Indonesia dari pengalaman-pengalaman sejarah revolusionernya; gagasan-gagasan kiri dan sosialis yang subur di masa-masa pergerakan nasional (paruh pertama abad 20) hingga sebelum 1965, hampir-hampir mati potensi. Terima kasih kepada Revolusi Kuba, Revolusi Sandinista, kemenangan Front Popular di Chile, termasuk kemenangan rakyat Vietnam, yang turut menyumbang inspirasi pada kebangkitan kesadaran politik kiri-kerakyatan mahasiswa di era 1970-an, melalui berbagai kelompok studi dan ruang-ruang diskusinya.

Setelah Soeharto dijatuhkan, dan hampir 10 tahun reformasi berjalan, ruang-ruang keterbukaan yang berhasil diperjuangan gerakan mahasiswa dan rakyat belum berhasil dimanfaatkan untuk meluaskan kampanye mengenai kebutuhan dan pembangunan kekuasaan alternative. Banyak aktivis gerakan radikal yang popular di era 90-an (termasuk pimpinan-pimpinan Partai Rakyat Demokratik—PRD, tokoh-tokoh LSM, tokoh-tokoh mahasiswa) , terkooptasi ke dalam politik parlementer di bawah bendera pemerintahan rezim neoliberal, partai-partai sisa lama dan reformis gadungan.. Situasi tersebut telah memperlambat perjuangan untuk menuntaskan reformasi dan mengampanyekan suatu politik alternatif.

Apa yang terjadi di Venezuela di akhir tahun 90-an (1998 dan 1999) serupa dengan situsi politik di Indonesia saat ini, yang ditandai dengan kekecewaan rakyat pada partai politik tradisional. Namun, di Indonesia tidak ada elit politik dan partai politik sisa lama (Orde Baru) dan reformis gadungan di Indonesia yang menyatakan keberpihakan terhadap pembebasan rakyat miskin, seperti yang dikatakan Chavez di banyak pidatonya bahwa pembebasan rakyat miskin adalah satu-satunya cara untuk membangun sebuah bangsa.

Ditengah situasi inilah pekerjaan solidaritas untuk revolusi sosialis di Venezuela mendapatkan momentumnya. Kaum aktivis gerakan (kiri) di Indonesia (seharusnya) merupakan mereka yang berkepentingan untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan revolusi Venezuela; meluruskan propaganda sesat tentang demokrasi dan Chavez dari tangan elemen-elemen sisa lama (orba) dan tentara di Indonesia.
Propaganda sesat yang dilancarkan kekuatan lama di Indonesia terhadap Venezuela saat ini adalah, bahwa kesejahteraan rakyat dapat dicapai tanpa demokrasi; dan tentara adalah elemen penting yang berkesanggupan melakukan perubahan. Termasuk di antara elemen sisa orba tersebut adalah Prabowo—pelaku penculikan aktivis gerakan 90-an—dan Wiranto—mantan Jenderal pelanggar HAM—yang mencoba masuk dalam politik nasional kembali dengan menunggangi perubahan di Venezuela di bawah kepemimpinan Chavez.

Demikian pula para politisi reformis palsu seperti Amien Rais—mantan ketua MPR—dan beberapa anggota DPR dari partai-partai reformis gadungan semacam partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP), yang mulai bersuara mengenai nasionalisasi minyak Venezuela. Mereka khususnya mengambil contoh renegosiasi kontrak karya terhadap perusahaan minyak asing di Venezuela. Tapi tentu saja, mereka tidak bicara mengenai demokrasi partisipatif; nasionalisasi di bawah kontrol buruh (rakyat); referendum; dewan-dewan komunal sebagai elemen yang paling penting dari revolusi Venezuela.

Dalam kepentingan inilah pekerjaan solidaritas terhadap Revolusi Venezuela dapat sekaligus memberikan landasan bagi perjuangan pembebasan nasional di Indonesia, yakni perjuangan pembebasan rakyat miskin oleh kekuatan rakyat miskin sendiri. Revolusi Venezuela merupakan bukti bahwa berjuang (untuk perubahan yang mendasar) tidaklah mustahil; bahwa rakyat bisa melakukan perubahan dengan kekuatannya sendiri; bahwa mobilisasi kekuatan rakyat sendiri adalah senjata paling ampuh untuk merebut kekuasaan. Inilah senjata utama revolusi yang tidak boleh dilucuti oleh politik kooptasi dan kooperasi dengan musuh-musuh rakyat.

Banyak kalangan yang skeptis mengatakan bahwa tidak mungkin Indonesia bisa mencontoh Venezuela, oleh karena latar belakang sejarah, ekonomi dan politik yang berbeda. Pertanyaannya adalah, mengapa tidak mungkin? Mengapa membatasi diri? Dalam logika yang sama, banyak masyarakat klas menengah Indonesia tak segan untuk dengan terbuka berkiblat pada mimpi-mimpi Amerika atau Eropa yang bisa maju karena kolonialisme dan imperialisme modern. Atau kagum pada China dan India yang bisa besar karena mengambil madu dari perjalanan sejarah bangsanya yang revolusioner—dari Revolusi Kebudayaan Mao Tsetung dan militansi Gandi. Para pejuang pergerakan nasional Indonesia pun mengambil manfaat sebesar-besarnya dari Revolusi Rusia 1917 dan Nasionalisme Tiongkok, untuk pergerakan rakyat yang lebih modern demi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Mengapa kita takut untuk membebaskan diri mempelajari Revolusi yang terjadi Venezuela, Kuba, dan Bolivia? Apakah ketakutan itu akibat prasangka terhadap sosialisme yang dijadikan hantu berpuluh-puluh tahun oleh rezim Soeharto? Atau karena kita terperangkap oleh sistem ‘bebas nilai’ dunia akademik yang palsu? Bila benar demikian, maka tamatlah riwayat kita sebagai manusia berilmu yang bertanggung jawab untuk merubah situasi dunia menjadi lebih baik dan manusiawi.

Untuk kepentingan inilah Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL) didirikan pertengahan tahun 2006 lalu. Meski belum maksimal dalam perluasan propaganda, beberapa aktivitas yang sudah dilakukan antara lain:

Kegiatan penerbitan

  1. Buku: “Perubahan Sejati Terbukti Bisa”, Pidato Presiden Venezuela Hugo Chavez di depan Majelis Nasional bulan Januari tahun 2005. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia bulan Agustus 2006.
  2. Pamflet: “Strategi Pembangunan Gerakan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian”, diterbitkan bulan November, 2006.
  3. Mendukung penerbitan buku: “Memahami Revolusi Venezuela”, Wawancara Martha Harnecker dengan Hugo Chavez, Monthly Review Book, Februari 2007.
  4. Memberikan teks bahasa Indonesia pada film dokumenter: “A Revolution Will Not be Televised”, tahun 2005.
  5. Memberikan teks bahasa Indonesia pada film dokumenter “Bersama Rakyat Miskin Dunia-Con Los Pobres Del Tierra”, tahun 2007.

Kegiatan seminar

  1. P elucuran SERIAL, dengan tema: Ada Alternatif, Bercermin dari Amerika Latin, 15 Agustus 2006
  2. Belajar dari Amerika Latin, Solo, Oktober, 2006
  3. Perubahan di Amerika Latin; Apa Manfaatnya Buat Indonesia, 22 Februari 2007
  4. Talk Show di TV Kabel: Q-TV, Venezuela-Chavez dan Indonesia.

Melanjutkan pekerjaan tersebut, pada awal Februari 2008, SERIAL bersama beberapa aktivis dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Rumah Kiri (RK), dan mahasiswa dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, berkumpul dan mendiskusikan suatu proyek kerja bersama untuk membangun komunitas solidaritas Hands Off Venezuela (HOV) di Indonesia. Inisiatif ini segera mendapat dukungan dari banyak pihak seperti: penerbit buku-buku radikal Resist Book- Jogjakarta; Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI); dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Politik Rakyat Miskin (LMND-PRM). Pekerjaan terdekat yang akan dilakukan adalah pertunjukan film No Volveran, dan deklarasi Hands Off Venezuela-Indonesia.

Kerja-kerja solidaritas yang masih perlu ditingkatkan meliputi

  • Pembangunan komite-komite SERIAL dan atau HOV di berbagai Universitas di Indonesia
  • Produksi lebih banyak bahan bacaan; subtitling dan pertunjukan film; web site; diskusi publik, dll.
  • Aksi-aksi solidaritas
  • Konfrensi-konfrensi taktik diantara aktivis gerakan, belajar dari pengalaman taktik perjuangan di AL.
  • Membuka ajang-ajang studi dan perdebatan ilmiah mengenai sosialisme abad 21.

Sedikit disayangkan, bahwa pekerjaan kampanye Venezuela sendiri dalam bahasa Indonesia tidak banyak dikeluarkan oleh Kedutaan Venezuela di Jakarta. Serangkaian pertemuan yang kami lakukan untuk mendorong Kedutaan Venezuela lebih mampu terbuka mengampanyekan perubahan Venezuela, belum membuahkan hasil. Hingga saat ini belum ada satu bentuk kampanye dalam bahasa Indonesia (penerbitan maupun website) yang reguler dikeluarkan oleh kedutaan Venezuela, yang memberitakan kemajuan perjuangan sosialisme abad 21 di negerinya kepada rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, kami berharap Rakyat Venezuela dan Pemerintahan Chavez memainkan peran penting untuk mendukung pekerjaan solidaritas diantara gerakan rakyat di seluruh dunia. Penyebarluasan informasi tentang kemajuan sosialisme di Venezuela, Kuba, dan Bolivia, dalam berbagai bahasa, adalah kunci bagi membesarnya gerakan solidaritas terhadap perjuangan sosialisme abad 21 di seluruh dunia.

Sampai Menang.***

_______________________

Zely Ariane adalah Juru Bicara Hands off Venezuela – Indonesia; Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL): www.amerikalatin.blogspot.com;

Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD):

www.kprm-prd.blogspot.com;

www.kprm-peoples-democratic-party.blogspot.com

Revolusi di Venezuela: Memecah Keheningan Sejarah

Written by Jesus S. Anam*

“Hiduplah di tahun 1953, maka kau akan menemui dua peristiwa besar yang menyejarah: mangkatnya Stalin dan matinya ideologi,” begitulah kata seorang kawan kapada saya, suatu malam, di ruang perpustakaan sebuah seminarium teologia.

Suasana hening, murung dan sedih tengah terjadi di malam 5 Maret 1953. Itulah hari meninggalnya Stalin. Dunia seakan terdiam, menahan gerak. Pemimpin Soviet yang berkuasa mutlak dan disembah-sembah itu telah menyelesaikan hidupnya, meninggalkan goresan hitam di tubuh sosialisme dan menjeburkannya di selokan peradaban. Seluruh Uni Soviet terguncang.

Hari itu rakyat Moskow berkerumun di lapangan Trubnaya, ingin mendekati keranda Stalin dan melambaikan tangan terakhir buat sang pemimpin. Soviet terlihat agak gelisah saat keranda yang membawa Stalin perlahan meninggalkannya. Tangis, senyum, diam, tawa, bercampur tidak jelas. Ia begitu terkenal meskipun menyakitkan. Ia memang ikon yang kontroversial.

Seusai 1953, banyak orang mulai enggan bicara sosialisme. Sosialisme tampak sekedar kontemplasi politis dan keheningan sejarah. Ia begitu eksotik sebagai perenungan tetapi bukan untuk dijalani.

Pada sekitar tahun yang sama, muncul pemikiran sinin terhadap ideologi. Daniel Bell dengan bukunya The End of Ideology tampil memukau di tengah-tengah publik. Buku itu segera mengisi rak-rak perpustakaan universitas. Dibaca banyak orang dan mendatangkan kebingungan. “Berakhirnya ideologi.” Orang pun manggut-manggut, kemudian ragu: mungkinkah ideologi bisa berakhir; mungkinkah sosialisme sudah terkubur bersama jasad Stalin?

Pada tahun 1960-an dan 70-an The End of Ideology ditendang dari rak-rak perpustakaan dan dicampakkan di keranjang sampah pemikiran. Orang-orang muda progresif tidak percaya bahwa ide-ide radikal sudah lekang meskipun Barat berulangkali mengulangi kata-kata sinisnya, bahwa revolusi sudah terlalu letih untuk dilanjutkan, ideologi sudah mati, dan sosialisme hanyalah utopia orang-orang miskin.

Kecurigaan dan sinisme Barat kini ditepis oleh sejarah yang sedang bangkit dari keheningannya. Pagi yang cerah telah menghapus duka senja. Revolusi tengah hadir di bumi Venezuela, tanah Simon Bolivar. Nyanyian riang terus mengiringi rakyat Venezuela yang sedang kegirangan. Mereka sedang menyambut sosialisme, seperti orang-orang majus dari timur saat menyambut kedatangan Kristus.

Perjuangan rakyat Venezuela adalah fenomena tersendiri yang layak dikaji. Kesadaran kelasnya dan keberhasilan mereka mengorganisir diri serta berjuang bersama-sama untuk melawan imperialisme, kapitalisme, dan mengambil alih kekuasaan adalah hal yang luar biasa di abad ini. Mengingat di belahan dunia yang lain, masyarakatnya sudah terkungkung oleh semangat individualisme dan asyik dengan benda-benda.

Selain itu, rakyat paham benar bahwa perjuangan bisa membuatnya berkeping-keping, seperti serpihan-serpihan yang berserakan. Darah bisa tertumpah sewaktu-waktu, dan kelaparan bisa mendera setiap saat. Mereka tidak gentar. Bahkan seorang ibu rela menjual TV-nya untuk membeli senapan – tentunya – demi revolusi.

Hal buruk pernah dialami dalam proses revolusi di Venezuela karena tindakan sabotase dari para bos. Disember 2002, para bos menutup bisnis mereka di penjuru Venezuela. Menelantarkan para pekerja dan pelanggannya selama 2 bulan. Di industri minyak, manajer dan ahli teknisi menyabotase mesin dan komputer sebelum meninggalkan posnya.Produksi minyak jatuh dari 3 juta barel sehari menjadi 25 ribu. Tanker-tanker minyak berhenti di lepas pantai. Pompa-pompa bensin di kota mongering. Tidak ada transportasi dan semakin menipisnya sumber daya. Tidak ada gas untuk memasak, sedikit makanan, dan rakyat terpaksa berjalan kaki. Bahkan ambulans tak bisa jalan dan para pasien di rumahsakit banyak yang meninggal. Tapi sebagai responnya, rakyat mulai mengorganisir diri, pekerja mengambil kendali minyak teknologi tinggi dan menjalankan kembali pompa-pompa.

Semangat rakyat dalam berjuang untuk memperoleh hak-haknya tidak lepas dari pidato-pidato provokatif Sang Presiden, Hugo Chavez. Pidato-pidato Chavez yang lantang melawan kapitalisme telah menjadi spirit yang terus bergejolak. Kapitalisme harus dihancurkan. Kapitalisme adalah biang dari semua persoalan.

“Kapitalisme adalah praktek yang bejat. Praktek bejat yang mengarah pada egoisme ekstrim. Pada individualisme, pada kebencian. Kapitalisme adalah penyebab Perang Dunia Pertama dan Kedua. Kapitalisme sesungguhnya biang kerok invasi ke Irak dan kudeta di Venezuela.” Itulah kata-kata Chavez yang terekam dalam film dokumenter No Volveran.

Pidato Chavez ini disambut dengan antusias oleh seluruh rakyat Venezuela yang pernah menelan pahitnya penindasan oleh karena kapitalisme. Kesadaran politik yang tinggi muncul di tengah-tengah rakyat. Rakyat paham bahwa kapitalisme biang dari seluruh persoalan dan mereka menyelesaikannya dengan sosialisme.

Gerakan rakyat, rakyat yang mengoganisir diri, dan intervensi aktif massa dalam kejadian-kejadian historis adalah hal yang sangat penting dalam revolusi. Sebagaimana kata Trotsky, bahwa revolusi diciptakan oleh manusia dan melalui manusia. Revolusi adalah bergantian tatanan sosial. Tatanan baru akan terjadi jika ia berbasis pada kelas yang progresif, yang mampu mengorganisir mayoritas rakyat yang besar jumlahnya.

Kenyataan ini terjadi di Venezuela. Sosialisme di Venezuela hadir dan memecah keheningan sejarah. Sejarah sosialisme yang muram karena kesalahan Stalis dalam memahami Marxisme.

Salam Revolusi!

___________________________________
* Koordinator Hands off Venezuela Indonesia

Repression of Venezuela discussion in Indonesia highlights hypocrisy of West over “freedom of speech”

Written by Ted Sprague

Jumat, 8 Juni 2007

In the midst of the hue and cry over the non-renewal of RCTV’s license in Venezuela, freedom of speech is being blatantly violated in other parts of the world. In Indonesia, an event to discuss Marta Harnecker’s book ‘Understanding the Venezuelan Revolution’ was disrupted through intimidations by the police and hooligans. As expected, we have yet to hear any hue and cry over the latter incident amongst the western media. The lackeys of the ruling class – the governments and the private media – have their own definition of what constitutes a violation of freedom of speech. When it comes to their freedom to slander and spread lies about the Chavez government, a democratically elected government, they will defend it tooth and nail. But when it comes to the right of the people to discuss about the Venezuelan Revolution, they turn a blind eye when those rights are suppressed. Once again, the hypocrisy of the ruling class is exposed.

It is not a cliché to say that what is happening in Venezuela is affecting the whole world. It affects those who fight for radical social change and also those who are desperately clinging to their power. For the former, particularly in this case for Indonesian youth, the Bolivarian revolution offers a glimpse of hope of what can be achieved by the people. And as for the latter, their knees tremble over the example the courageous Venezuelan masses have shown to their brothers and sisters throughout the world; that they can shake their old society and start to get rid of the fetters that have bound humanity for centuries – the old decrepit ruling class and its state. This fear was again shown just a week ago when the Indonesian police and the hooligans of the ruling class, through intimidations, prevented the youth from having a discussion on Hugo Chavez and Venezuelan Revolution.

The Chronology of Repression

The book discussion was a part of the ‘May Rally 2007’ event that took place from May 27th to June 1st at Ultimus Book Store (Jalan Lengkong Besar No.127, Bandung). Organized by many grassroots organizations from Jakarta and Bandung, the event was filled with activities ranging from a play to a documentary screening. The event was to culminate in a book discussion of Marta Harnecker’s interview with President Chavez in ‘Understanding the Venezuelan Revolution’. This book has been received with a warm welcome from Indonesian activists who are curious about Chavez’s political thoughts. This book surely offers a more truthful glimpse of the nature of the Venezuelan Revolution than the rabid lies spread by the media about how the Venezuelan Revolution is a personal project of an authoritarian power-hungry Chavez. On the contrary, Chavez is but a man who is pushed forward by the course of history to lead the dissatisfied Venezuelan people. This revolution is a social project, unprecedented in the history of Latin America, with the masses as its power house. Such is the idea and the experience that the Indonesian youth want to learn from so that they can apply it accordingly to the situation in Indonesia.

But learning is a privilege in Indonesia; the organizers of the event were forced to postpone the book discussion for fear of violent repression from a fundamentalist mob that has been instrumental in dispersing many public events and rallies. Entering Day 2 of the ‘May Rally 2007’ event, some unknown people were already seen ‘observing’ the event. But on Day 4, the day before the book discussion event, the intimidation become more open. The police visited and called the organizers several times, asking about the book discussion. The venue, which is a book store, was visited numerous times by suspicious people who were also asking about the book discussion. And the documentary screening on Day 4 was attended by a large group of people, most were never seen before around the book store. Such intimidation is all too familiar. Last year, on December 14, 2006, a public discussion on Marxism which was organized at the same venue was violently dispersed by a group of anti-communist thugs; the main organizer and the speaker were beaten while 9 other people were arrested. A couple of days before the fateful December 14 incident, the organizers of the event were also visited and called by the police numerous times, and there were many calls and visits by unknown people. Given the similarity of the intimidations, the book discussion on Venezuelan revolution was postponed for reasons of security. It seemed certain that the same thugs with the help of the police would try to break up the book discussion.

Indonesia and Venezuela

It is not unusual that the Venezuelan revolution holds the interest of many youth in Indonesia. Many similarities exist between Indonesia and Venezuela. Both countries share the same fate under free market where their natural resources are being plundered while their poor become poorer. Much like Venezuela, Indonesia is a country with abundant natural resources: oil, gas, minerals, forestry, etc. It has fertile soil, so fertile that there is an anecdote that if you throw away mango seed anywhere on the ground, it will grow into a mango tree without being attended. However, as of 2006, according to the World Bank [1], 49% of its 220-million population still lives on less than US$ 2 per day. Now one might think that US$ 2 a day is enough for Indonesian people; the following rough buying-power conversion rate will give you an idea how much US$ 2 can get you in Indonesia. At current rates, 2 dollars will only get you 3 liters of premium gasoline in Indonesia. It will only get you 4 kg of low-grade rice. Such is the real buying power of the majority of Indonesian people. Such a blatant contradiction between abundant natural resources and the unbearable life for the majority was the reason why the Venezuelan people moved to the left as manifested in Bolivarian Revolution. And it won’t be long before the Indonesian people, lead by the Venezuelan example, reach the same conclusion and undertake the same path.

Venezuela has provided many lessons. The most important lesson of Venezuelan revolution is that there is no way out under capitalism, that one cannot reform capitalism. For those in Indonesia who have an illusion that what is needed is a better reformed capitalism, Venezuela has shown that it is impossible to do so. When Chavez was elected in 1998, he was keen on reforming capitalism. He respected Tony Blair and was keen on undertaking Blair’s third way (a so-called middle path between capitalism and socialism). He tried to introduce progressive reforms here and there to help the poor, but the ruling class could not even accept such reforms. They organized a huge media campaign against the Chavez government that culminated in the April 2002 coup. This was defeated by the action of the masses in the streets, but the ruling class then organized an oil industry sabotage which was again defeated by the workers. Up until early 2005, Chavez never talked about socialism nor of going beyond capitalism, he had just tried to improve the situation of the majority of the population by introducing a series of reforms and reclaiming control over natural resources. But his experience, along with the experience of the people, taught him and the people that there is no way forward under capitalism. And in early 2005, Chavez for the first time talked about socialism:

“Everyday I become more convinced, there is no doubt in my mind, and as many intellectuals have said, that it is necessary to transcend capitalism. But capitalism can’t be transcended from within capitalism itself, but through socialism, true socialism, with equality and justice. But I’m also convinced that it is possible to do it under democracy, but not in the type of democracy being imposed from Washington,” Hugo Chavez (Caracas, January 30th 2005)

So, this is the lesson that the Indonesian left must learn. There is no way out under capitalism. There is no way out under reformism. For those who argue that we shouldn’t provoke the ruling class by talking about socialism, that we should just talk about reforms that can be accepted by the ruling class, the experience of Venezuelan revolution has shown us how far we can go with reforms. Not too far! The modest progressive reforms that Chavez once tried to implement were answered with a military coup and economic sabotage.

A socialist revolution in Venezuela could spark a movement in Indonesia. And while the Venezuelan revolution is the bastion of hope in Latin America, a revolution in Indonesia can have the same effect in Asia. Tan Malaka, an Indonesian revolutionary hero once said:

“If we can imagine capitalism as a building and all the countries in the world are its posts, then Indonesia is one of those posts. We know sooner or later that the whole building is going to collapse. But the form and the scope of its collapse and how it collapses, only experience will determine it. It is very possible that all the posts collapse simultaneously and along with it too the whole building collapses. But it is also possible that each of the posts don’t collapse simultaneously, but successively, every time a post collapses it brings another part of the building to collapses” Tan Malaka (Toward the Republic of Indonesia, 1925)

It is now the task of the Indonesian youth to learn the lessons and experiences of the Venezuelan revolution. The learning task itself is not easy as the recent repression of the book discussion has shown; but a repression is a sign of fear, a fear toward an idea so great that it shakes the whole foundation of society. To learn about Venezuela is the first step toward supporting the revolution in Venezuela, because the best way to support the revolution in Venezuela is to prepare the conditions for revolution in your own country, and the lessons of the Venezuelan revolution can help the Indonesian youth in building their own revolution.

Message of Solidarity

We appeal to all of those who defend the Venezuelan Revolution to send messages of solidarity to our comrades in Indonesia.

Send messages to: rumahkiri@rumahkiri.net

Let the Indonesian youth know that they are not alone, that there are those who are also learning from the experience of the Venezuelan Revolution and trying to build similar revolutionary conditions in their home countries.

In addition to the message of solidarity, we appeal to all workers to write protest letters to the Indonesian embassy or consulate in your country, and also to the below listed institutions, expressing your grave concerns regarding the intimidations against Ultimus Book Store (Jalan Lengkong Besar No.127, Bandung). Indonesian youth deserve freedom of expression. Let us raise our voice in condemnation of the intimidations of the police and the hooligans of the ruling class toward the Indonesian youth!

Model Letter:

We are writing to express our grave concern regarding intimidations against the Ultimus Book Store, (Jalan Lengkong Besar No.127, Bandung). Intimidatory actions by the Indonesian police supporting right-wing thugs have caused the disruption of a meeting on Marta Harnecker’s book ‘Understanding the Venezuelan Revolution’ originally planned for June 1st 2007. We demand that this meeting be allowed to continue without disruption and we will hold the Indonesian authorities responsible for any restriction of freedom of expression.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (The Republic of Indonesia National Police)

General Sutanto, Chief of National Police

Jl. Trunojoyo 3

Jakarta Selatan, Indonesia

Phone: +62-21-7218012, 7218144

Fax: +62-21-7207277

email: polri@polri.go.id

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (People’s Representative Council of Indonesia)

Mr. Trimedya Panjaitan

Chair of Commission III: Law, Human Rights, and Security

Jl. Gatot Subroto No. 6

Jakarta, Indonesia

Phone: +62-21-5715566, 5715569, 5715864

Email: humas@dpr.go.id

Lembaga Bantuan Hukum Bandung (Bandung Legal Aid Institute)

Mr. Gatot Rianto, President

Jalan Pagaden No.21

Antapani – Bandung, Indonesia

Phone/Fax: +62-22-7208312

Email: lbhbandung@lbhbandung.org

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (National Commission of Human Rights)

Mr. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Chairperson

Jln. Latuharhary No. 4B, Menteng,

Jakarta Pusat 10310, Indonesia

Telp. +62 21 3925230 ext.225/221

Fax. +62 21 3925227

Email: info@komnasham.go.id

KONTRAS (The Commission for Disappearance and Victims of Violence)

Mr. Mouvty Makaarim Al Akhlak, Secretary General

Jl. Borobudur No.14 Menteng

Jakarta Pusat 10320, Indonesia

Phone: +62-21-3926983, 3928564

Fax: +62-21-3926821

Email: kontras_98@kontras.org

___________________________________________________________________
[1] World Bank Making the New Indonesia Work for the Poor – Overview.