Pelajaran Dari Venezuela: Dewan Komunal Mengelola Keuangan Mereka Sendiri

( Disadur dari Berdikari Online, oleh Degnis merlo) Untuk asosiasi kehidupan: Begitu juru bicara dewan komunal menggambarkan asosiasi lingkungan sebelumnya. Organisasi ini seharusnya menjadi representasi komunitas namun sebaliknya justru tidak membuka ruang bagi keragaman. Namun akhirnya, kehendak masyarakat lah yang menjadi pemenang.

Cerita ini berkisah tentang bagaimana komune Antonio Jose de Sucre di lingkungan (barrio) Petare bermula; Setelah 20 tahun berjuang agar suara mereka didengar dan menemukan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi komunitas, khususnya bagi anak-anak, sebuah kelompok lingkungan (semacam RT) di sektor Antonio Jose de Sucre akhirnya mendirikan Dewan Komunal Tia Elena.

Sebagai upaya untuk mengembangkan dewan komunal tersebut, para anggota mendapatkan suntikan pengetahuan oleh para professional dari berbagai disiplin seperti manajemen sosial dan hak-hak anak. Enam orang dari anggota pendiri komune ini mengambil studi manajemen sosial, dan lima orang mengambil studi hukum.

Pada tahun 2005, kelompok ini memulai aktivitas kultural, pendidikan, dan hiburan yang didesain khususnya untuk anak-anak, yang menurut juru bicara komune Mariela Castillo, “merupakan sumber nilai (values) dari sebuah visi dan kehidupan baru.”

Permulaan

Sebelum komunitas ini melakukan perbaikan terhadap lingkungannya, daerah tersebut dikuasai oleh pengedar narkoba dan para pelaku kriminal yang praktis tidak bisa melakukan apa-apa terhadap komunitas tersebut. Namun kondisi ini perlahan-lahan mulai berubah setelah pada tahun 2007 didirikan sebuah komunitas yang didaftarkan sebagai Dewan Komunal Antonio Jose de Sucre, yang juga merupakan bentuk baru partisipasi anggota masyarakat di lingkungan tersebut.

Dewan Komunal ini pada awalnya mendapatkan hibah sebesar 2 juta BsF (sekitar 400,000 US$) dari program yang bertajuk Rencana Transformasi Komprehensif Habitat pada tahun 2009. Hibah ini kemudian digunakan untuk memperbaiki 120 unit rumah, yang menurut Castillo: “begitu banyak keluarga yang menggunakan satu kamar untuk semua anggota keluarganya. Namun sekarang tiap anggota keluarga bisa menikmati kondisi hidup yang jauh lebih baik.”

Salah satunya adalah keluarga Judith Farray. Dia bercerita tentang kondisi kehidupannya kini dari dapurnya yang baru saja diperbaiki. 17 tahun yang lalu, dia pindah dan mendirikan sebuah rumah beratap yang berdinding terbuat dari seng. Namun kini rumah yang ditempatinya bersama 9 anggota keluarganya tidak nampak seperti dulu lagi.

“Saya bekerja begitu lama untuk komunitas ini namun tidak pernah mendapatkan apa-apa, bahkan untuk sebuah batu bata, sama sekali tidak pernah. Bukan untuk saya dan bukan untuk siapa-siapa. Namun setelah terlibat dalam dewan komunal, saya kembali didekati oleh mereka yang sebelumnya mengurus komunitas ini dan saya berkata kepada mereka: bekerja bersama anda selama 30 tahun sangat sia-sia, tak satu pun yang dilakukan. Tapi sekarang dengan pemerintahan ini saya akhirnya bisa melakukan sesuatu untuk keluarga dan komunitas saya. Kami telah mendirikan dinding saran (semacam papan saran), tangga, dan pasar. Apa yang belum kami capai?”

Pengalaman Judith juga dibenarkan oleh Fatima Tous Arteaga, yang mengkoordinasi Wadah Perjuangan Komune. Dia menyoroti beberapa capaian-capaian pembangunan lainnya seperti Pusat Perawatan Gigi dan Ruang Komputer dengan teknologi maju.

Kerja-kerja komunitas terus berlanjut dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapi komunitas dan selanjutnya melibatkan semakin banyak rukun tetangga . Saat proses legalisasi dewan komunal tealh selesai pada tahun 2010, dewan ini bergabung dengan 6 dewan komunal lainnya dan komune yang dihasilkan kemudian dibagi kedalam 7 komite kesehatan, 6 komite lahan perkotaan, 7 komite perumahan, 1 jaringan kerja penyewa, 7 komite olah raga, 1 komite transportasi, 1 komite pelajar, 1 komite telekomunikasi dan 1 komite energi. Tiap komite memiliki juru bicara yang diberi pelatihan oleh Sekolah Penguatan Kekuasaan Rakyat.

Memukul Inflasi

“Pada tahun 2009, kami menerima BsF 400,000 untuk membeli sebuah Rumah Perawatan Harian bagi anak yang berumur 0-12 tahun, sebuah klub lansia, dan sebuah toko roti. Surplus dari dana tersebut digunakan untuk proyek yang diusulkan oleh dewan-dewan komunal lainnya. Ini dilakukan

setelah melalui proses pengambilan suara oleh majelis,” ungkap Mariela Castillo.

Surplus dana tersebut diperuntukkan untuk tujuan yang berbeda-beda, seperti: pengecetan rumah, penyediaan dana sosial dan pelaksanaan aktivitas outdoor oleh Semilleros de la Patria (sebuah program untuk pengembangan “nilai” yang diikuti oleh 200 anak-anak). “Masih tersisa surplus sekitar BsF 100,000 yang akan digunakan perbaikan rumah-rumah,” lanjut Castello.

Proyek-pryek tersebut juga sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi 87 orang (laki-laki dan perempuan) yang sebelumnya mendapatkan pelatihan berbagai macam keterampilan seperti konstruksi dan pemasangan pipa di INCE (Institut Nasional Pelatihan dan Pendidikan Sosialis).

Seperti Sebuah Keluarga

Setelah hujan lebat yang mendera Venezuela pada selama beberapa bulan pada akhir tahun 2010, semakin terlihat jelas bahwa kualitas kemanusiaan ikut berkembang seiring perkembangan Komune Antonio Jose de Sucre.

Mariela Castilo menyatakan bahwa anggota dewan komunal memberikan bantuan selama 8 hari pertama saat kondisi darurat hingga larut malam. Mereka mengambil bagian secara aktif dalam upaya penyelamatan, evakuasi, dan pertolongan pertama bagi para korban yang kehilangan rumah.

Kemudian, dewan juga memberikan perhatian bagi pemukiman “William Lara”, sebuah pemukiman yang juga sering disebut El Fortin. Dewan juga menjadikan Rumah Perawatan Harian untuk anak-anak sebagai tempat pemukiman sementara bagi anak-anak yang menjadi korban banjir. Namun yang juga tidak kalah pentingnya adalah sambutan hangat yang diberikan dan harapan yang terus disuntikkan kepada para keluarga korban.

Di pemukiman inilah Cintia Lara melahirkan anak pertamanya setelah kehilangan rumah yang ia tempati bersama 15 anggota keluarganya. Namun bagi Cintia, ia tidak kehilangan segalanya. Karena ia memiliki lingkungan yang terus memberikan bantuan dan perhatian, layaknya sebuah keluarga besar.

Diterjemahkan dari artikel http://venezuelanalysis.com/analysis/6113 (Penerjemah:Zulkhair Burhan)

Venezuela dan Libya : Ini Bukan Kudeta 11 April, Ini Adalah Sebuah Caracazo 27 February

Telah terjadi banyak diskusi di Amerika Latin tentang peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di Libya. Artikel ini menjelaskan posisi IMT (International Marxist Tendency), yang mendukung perlawanan rakyat Libya, sementara pada saat yang sama mengutuk intervensi apapun dari pihak imperialis. Kami juga secara kritis mengkaji posisi yang diambil oleh Hugo Chavez dan Fidel Castro.

Pemerintah Venezuela dan Pemerintah Kuba dengan tepat telah berdiri dalam lembaga-lembaga internasional untuk menentang intervensi apapun dari pihak imperialis di Libya. Mereka telah mengkritik kemunafikan negeri-negeri yang berteriak-teriak mengenai pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Libya, sementara pada saat yang sama telah berpartisipasi dalam perang-perang imperialis yang berlumuran darah di Irak dan Afghanistan, serta mendukung represi yang brutal terhadap rakyat Palestina oleh negara Israel.

Duta Besar Venezuela untuk PBB, Jorge Valero, memaparkannya sebagai berikut:

“Siapa yang membayar untuk lebih dari satu juta orang yang tewas di Irak? Siapa yang membayar untuk pembantaian yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina? Mengapa mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan perang, genosida, dan terhadap umat manusia – yang diketahui oleh semua orang dan secara publik mengakui perbuatan mereka – tidak dibawa ke Mahkamah Pengadilan Internasional? Apa yang dilakukan Dewan Keamanan ketika berhadapan dengan pembantaian-pembantaian mengerikan yang terjadi ini?”

Dengan sangat tepat, perwakilan-perwakilan Venezuela menggugat maksud dan tujuan yang sesungguhnya dari intervensi imperialisme di kawasan itu:

“Mereka yang mempromosikan penggunaan kekuatan militer terhadap Libya, tidak berupaya untuk membela Hak-hak Asasi Manusia, tapi untuk mendirikan sebuah protektorat guna melanggarnya, sebagaimana selalu demikian halnya, di sebuah negeri yang merupakan salah satu sumber minyak dan enerji yang paling penting di Timur Tengah”.

Rakyat Irak adalah sebuah kesaksian tentang fakta ini. Washington membuat-buat suatu alasan (yang disebut “senjata pemusnah massal” atau weapons of mass destruction) sebagai dalih untuk menyerang Irak sehingga mereka dapat memperoleh kembali kekuasaan mereka dan mendapatkan kembali kontrol langsung atas sumber-sumber minyak yang krusial. Maksud dan tujuan dari invasi itu bukanlah untuk “mendirikan demokrasi”, dan tentu saja ada sangat sedikit demokrasi di Irak saat ini di bawah pemerintahan Maliki. Ribuan warga Irak berdemonstrasi bulan lalu untuk menuntut listrik, air, lapangan kerja, dan roti, dan mereka disambut dengan represi yang brutal dari pasukan-pasukan pemerintah, yang mengakibatkan kematian, luka-luka, penangkapan, dan penculikan. Tapi tidak seorang pun menganjurkan agar pemerintah Irak diajukan ke Pengadilan Internasional!

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) faktanya adalah sebuah sandiwara. PBB adalah sebuah badan yang hanya mencerminkan dominasi imperialisme AS. Tatkala AS bisa mendapatkan resolusi-resolusi guna membenarkan tindakan-tindakan mereka, mereka menggunakan PBB sebagai kedok. Ketika, untuk alasan apapun, mereka tidak bisa mencapai tujuan-tujuan mereka melalui PBB, mereka mengabaikan PBB dan tetap mengejar tujuan-tujuan itu. Dan, akhirnya, ketika resolusi-resolusi yang dikeluarkan menentang tujuan-tujuan imperialis mereka (misalnya menentang blokade terhadap Kuba atau mengutuk penindasan Israel terhadap rakyat Palestina), mereka begitu saja mengabaikan resolusi-resolusi tersebut, dan resolusi-resolusi itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam kasus resolusi yang baru-baru ini dikeluarkan tentang pendudukan Israel atas Wilayah Palestiina, AS menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi tersebut. Begitulah soal keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia.

Dalam beberapa hari terakhir ada banyak kegaduhan dan beberapa tindakan konkret dari pihak bangsa-bangsa imperialis sehubungan dengan Libya. AS sekarang telah mengerahkan dua kapal perang amfibi, USS Ponce dan USS Kearsarge, yang mengangkut helikopter-helikopter dan jet-jet tempur, ke Laut Tengah. Di bawah selubung yang dinamakan “intervensi kemanusiaan”, kekuatan-kekuatan imperialis (termasuk AS, Inggris, Prancis, dan Italia) di antara yang lain-lainnya, sedang mendiskusikan tindakan apa yang dapat mereka ambil untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Negeri-negeri Eropa terutama khawatir tentang datangnya massa para pengungsi ke pantai-pantai mereka. Kekhawatiran yang lain adalah kontrol atas sumber-sumber minyak dan di atas segalanya dampak dari gelombang revolusioner yang menyapu Dunia Arab terhadap harga minyak dan pukulan terhadap perekonomian kapitalis secara keseluruhan.

Pilihan yang paling banyak didiskusikan adalah “zona larangan terbang”, yang telah dianjurkan di antara yang lain-lain baik oleh senator Republikan John McCain dan senator Demokrat John Kerry. Untuk alasan-alasannya sendiri, Perdana Menteri Inggris David Cameron, telah juga membuat kasak-kusuk tentang perang, guna membesar-besarkan peran Inggris dalam politik dunia; suatu peran yang sebenarnya tidak bisa lagi dimainkan oleh Inggris.

Namun, kebenarannya adalah, bahkan sebuah intervensi terbatas dalam bentuk zona larangan terbang akan berisiko dan rumit untuk diimplementasikan. Sekretaris Pertahanan AS Robert Gates mengeluh bahwa “ada banyak, jujur saja, perbincangan yang kebablasan tentang beberapa dari opsi-opsi militer ini.” Ia memperingatkan tentang implikasi-implikasi dari tindakan seperti itu. “Mari kita namakan sebuah sekop sebagai sebuah sekop: sebuah zona larangan terbang dimulai dengan suatu serangan terhadap Libya, untuk menghancurkan pertahanan udaranya. Itulah caranya Anda mengadakan sebuah zona larangan terbang … Itu juga membutuhkan lebih banyak pesawat terbang daripada yang dapat Anda temukan pada satu kapal pengangkut pesawat. Jadi ini adalah sebuah operasi besar di sebuah negeri yang besar.”

Militer AS sudah terlalu lama di Irak dan Afghanistan, seperti ditekankannya: “Bila kita memindahkan aset-aset tambahan, apa konsekuensinya dari pemindahan itu bagi Afghanistan, bagi Teluk Persia?” Katanya, “Dan apakah sekutu-sekutu yang lain siap untuk bekerja dengan kita dalam beberapa dari hal-hal ini?”

Namun, kekhawatiran utama yang ada pada para perencana imperialis sehubungan dengan intervensi di Libya adalah reaksi negatif yang akan terjadi di seluruh kawasan tersebut. Massa-rakyat sudah muak dan jenuh dengan imperialisme, dan gelombang revolusioner yang sedang menyapu Dunia Arab secara langsung tertuju pada rezim-rezim yang disponsori AS. Gates memperlihatkan bahwa klas-penguasa AS sadar tentang hal ini ketika ia mengatakan, “Kita juga harus berpikir tentang, dengan jujur, penggunaan militer AS di negeri lain di Timur Tengah.”

Pertimbangan-pertimbangan ini, tentu saja, tidak mengenyahkan intervensi imperialis di Libya atau di mana saja, bila kepentingan-kepentingan vital mereka terancam. Tapi pertimbangan-pertimbangan itu menggarisbawahi fakta bahwa AS telah kedapatan tidak siap menghadapi gelombang revolusioner sekarang ini dan tidak mampu mengintervensi secara cepat dan efektif untuk mengemudikan jalannya kejadian-kejadian menurut keinginan mereka.

Di hadapan manuver-manuver imperialisme, dan juga ketidakkonsisten kaum imperialis dalam menangani perkara “Hak-hak Asasi Manusia” dan “kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan”, Venezuela dan Kuba benar dalam menyingkap kemunafikan imperialisme dan beragitasi melawan kekuatan-kekuatan asing yang mengintervensi Libya.

Namun, yang dikemukakan oleh kedua negara tersebut, dan terutama sekali oleh Hugo Chavez dan Fidel Castro, tergangsir oleh fakta bahwa mereka dipandang mendukung Khaddafy, alih-alih mendukung massa-rakyat Libya yang telah bangkit menentang rezimnya.

Adalah benar bahwa Duta Besar Venezuela untuk PBB mengatakan di dalam pidatonya bahwa Venezuela “menyambut hangat rakyat-rakyat Arab yang sedang berada dalam proses pemberontakan yang damai dan mencari keadilan, dan menatap pada sebuah masa depan yang lebih baik melalui jalan-jalan damai.” Tapi pada saat yang sama Fidel Castro telah berargumen bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi Libya berbeda dengan yang dihadapi Tunisia dan Mesir. Ia telah menambahkan bahwa kendati “tidak ada keraguan bahwa wajah-wajah mereka yang berdemo di Benghazi mengekspresikan kemarahan yang sungguh-sungguh,” telah ada “sebuah kampanye fitnah yang besar-besaran, yang diluncurkan oleh media massa, yang mengakibatkan kebingungan besar dalam opini publik dunia.”

Presiden Venezuela Hugo Chavez juga telah mengatakan bahwa ia “menolak untuk mengutuk Khaddafy” yang telah menjadi “seorang sahabat lama Venezuela” karena nampaknya tidak ada cukup informasi tentang situasi di sana. Ia telah menggunakan contoh 11 April 2002, tatkala media dunia menuduh Chavez telah memerintahkan tentara untuk menembaki para demonstran yang damai guna membenarkan kudeta terhadap dirinya. Sebagaimana kita semua ketahui, belakangan terbukti bahwa segala sesuatunya telah dirancang, dengan para penembak-jitu (sniper) yang disewa, yang menembaki baik para demonstran oposisi maupun para demonstran revolusioner pada April 2002.

Namun, dalam kasus Libya, situasinya sama sekali berbeda. Di Venezuela, yang terjadi adalah sebuah gerakan reaksioner melawan sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis yang berupaya untuk mengimplementasikan reforma-reforma yang progresif dan berdiri-kukuh melawan imperialisme. Di Libya kita mendapati sebuah perlawanan rakyat terhadap sebuah rezim penindas yang telah membuat segala macam kesepakatan dengan imperialisme.

Pada tingkatan tertentu, dapat dipahami mengapa ada kebingungan di Venezuela tentang watak dari apa yang sebenarnya terjadi di Libya. Rakyat Venezuela tidak lagi mempercayai media kapitalis, yang sama sekali didiskreditkan oleh peran yang mereka mainkan dalam kudeta 2002. Lebih-lebih, oposisi kontra-revolusioner Venezuela sedang berupaya untuk menyelinap ke dalam gerbong Revolusi Arab, dengan mengatakan bahwa “diktator berikutnya yang akan jatuh adalah Hugo Chavez”.

Adalah suatu soal catatan publik bahwa oposisi kontra-revolusioner Venezuela menerima pendanaan, pelatihan, dan segala jenis dukungan dari Washington. Dalam sejumlah kesempatan, mereka telah mengorganisir pasukan-pasukan mereka di jalan-jalan untuk membuat seolah-olah Chavez adalah seorang tiran yang menghadapi oposisi rakyat (jelang kudeta 11 April 2002, semasa penghentian produksi minyak pada Desember 2002, semasa guarimba pada 2004, protes-protes mahasiswa demi membela RCTV, dsb). Mereka tidak akan segan-segan untuk melakukannya lagi. Namun, apa yang sedang kita lihat di Dunia Arab persis sebaliknya: serangkaian perlawanan revolusioner terhadap rezim-rezim diktatorial yang dibeking AS.

Benar bahwa rezim Khaddafy meraih kekuasaan di atas gerakan yang didukung oleh rakyat melawan monarki yang membusuk, Raja Idris, pada tahun 1969. Pada 1970-an, dengan dipengaruhi oleh gelombang Revolusi Arab, dan karena dampak resesi dunia 1974, rezim Khaddafy bergerak lebih jauh ke Kiri, dengan mengusir imperialisme dan memperdalam serangan-serangan terhadap properti kapitalis. Mendasarkan dirinya pada kekayaan minyak negeri tersebut dan jumlah penduduknya yang relatif kecil, Rezim Khaddafy mampu mengimplementasikan banyak reforma progresif dan secara substansial meningkatkan standar hidup mayoritas besar rakyat Libya.

Namun, setelah kejatuhan Uni Soviet, rezim ini mulai membuka diri terhadap imperialisme. Sejak sedini tahun 1993 undang-undang yang menjamin investasi asing disahkan. Dan setelah kejatuhan Saddam Hussein pada 2003 Khaddafy memutuskan untuk berdamai dengan imperialisme dengan menandatangani sejumlah kesepakatan untuk melucuti senjata pemusnah massalnya, membayar ganti-rugi kepada korban-korban pengeboman teroris, dsb. Rezim ini menjadi mitra yang loyal bagi imperialisme dalam apa yang dinamakan “perang terhadap terror” dan bekerjasama dengan Uni Eropa dalam rangka memperkuat “benteng Eropa” terhadap masuknya para imigran illegal dari sub-Sahara.

Ini dibarengi dengan permohonan untuk bergabung dengan WTO, menciptakan Zona Perdagangan Khusus, memprivatisasi bagian-bagian besar dari perekonomian, mengizinkan perusahaan-perusahaan minyak multinasional ke dalam industri minyak dan memangkas subsidi atas bahan-bahan pangan pokok. Tujuannya adalah memprivatisasi 100% perekonomian, menurut para pejabat Libya. Implementasi dari kebijakan-kebijakan inilah yang menyebabkan membengkaknya penganguran (antara 20 dan 30%), kemiskinan, dan ketidaksetaraan, yang memainkan suatu peran kunci dalam perlawanan akhir-akhir ini.

Dalam artikelnya yang paling baru tentang situasi di Libya, Fidel Castro menekankan fakta bahwa, “fakta yang tidak dapat disangkal bahwa relasi-relasi antara AS dan sekutu-sekutu NATO-nya dengan Libya dalam tahun-tahun terakhir sangat bagus,” dengan menambahkan bahwa Libya “telah membuka sektor-sektor strategis seperti produksi dan distribusi minyak bagi investasi asing” dan bahwa, “banyak perusahaan milik negara diprivatisasi. IMF memainkan perannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini.” Dan sebagai akibatnya, “Aznar penuh dengan puja-puji kepada Khaddafy, dan ia diikuti oleh Blair, Berlusconi, Sarkozy, Zapatero, dan sahabat saya Raja Spanyol, mereka semua mengantri di bawah senyum mengejek dari pemimpin Libya. Mereka senang.” (Cuba Debate)

Khaddafy sendiri menjelaskan bagaimana ia merasa “dikhianati” oleh negara-negara Barat. Setelah mendukung mereka dan mengikuti kebijakan-kebijakan mereka selama beberapa tahun, sekarang mereka malah mencampakkan dia. Bahkan retorika yang digunakannya mendemonstrasikan itu. Ketika menuduh para pemberontak dimanipulasi oleh Al Qaeda, ia sedang menggunakan taktik menjajakan ketakutan seperti yang sebelumnya dilakukan Ben Ali dan terutama Mubarak, dan dalam kenyataannya meminta dukungan Barat untuk menghadapi musuh bersama. Karakter sesungguhnya dari rezim Khaddafy dapat disimpulkan dari posisinya terhadap perlawanan revolusioner di Tunisia, di mana ia tampil dengan teguh di pihak sekutu Barat, Ben Ali, dan mengkritik kaum buruh dan kaum muda Tunisia karena telah menggulingkan Ben Ali!

Berkenaan dengan kebenaran tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di Libya, orang tidak perlu menyimak media Barat. Saif al Islam, putra Khaddafy sekaligus tangan kanannya, mengakui penggunaan tentara untuk menghadapi para demonstran yang tak bersenjata dalam pidatonya, 20 Februari yang silam:

“Tentu ada banyak kematian, yang membangkitkan kemarahan banyak orang di Benghazi, tapi mengapa orang-orang terbunuh di sana? Tentara ada dalam tekanan; tidak terbiasa mengontrol kerumunan massa, mereka menembak, tetapi saya mengkontak mereka. Tentara mengatakan bahwa beberapa demonstran mabuk, yang lain-lain ada dalam pengaruh obat halusinasi atau obat-obatan terlaranga. Tentara harus mempertahankan senjata-senjatanya. Dan orang-orang marah. Jadi memang ada banyak yang mati, tapi pada akhirnya orang-orang Libya-lah yang terbunuh.”

Khaddafy sendiri telah mengakui bahwa “beberapa ratus orang terbunuh,” tapi menuduh Al Qaeda mendistribusikan obat-obatan kepada kaum muda!!

Kisah yang dilaporkan koresponden TeleSUR di Libya, Reed Lindsay (twitter.com/reedtelesur), mengkonfirmasi laporan-laporan yang datang dari sumber-sumber lain: ada demonstrasi-demonstrasi rakyat yang damai dan tak bersenjata, dan tentara melepaskan tembakan (lihat, misalnya, untuk laporan ini: (Telesur). Dalam suatu laporan yang dikirimkannya dari Brega, 2 Maret (Telesur), ia menggambarkan bagaimana ada prajurit-prajurit yang telah bergabung dengan Pemberontakan tapi juga “warga dari berbagai latar belakang, saya telah berbicara kepada para dokter, insinyur, buruh dari perusahaan minyak, di sini mereka semua memberontak, menjadi bagian dari perlawanan dan bersenjata”, dengan menambahkan bahwa “Pemberontakan ini dimulai dengan damai, dua minggu yang lalu, tapi sekarang rakyat menyandang senjata untuk berjuang sampai mereka berhasil menggulingkan Khaddafy.” Ia juga menolak anggapan bahwa perang sipil sedang terjadi di Libya: “Kita tidak sedang berbicara tentang sebuah perang sipil di sini… ini dimulai ketika para demonstran yang damai diserang oleh pasukan-pasukan keamanan dengan menggunakan senjata berat,” (Union Radio)

Sebagai bagian dari laporannya, Reed Lindsay, juga telah mengkonfirmasi semua laporan yang memperlihatkan bagaimana rakyat Libya yang bangkit melawan Khaddafy dengan tegas menentang intervensi asing. “Mereka berkata bahwa bila pasukan-pasukan AS tiba di sini, mereka akan memerangi pasukan-pasukan itu dengan cara yang sama dengan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan Khaddafy.”

Butir penting lainnya yang dikemukakan Lindsay dalam laporannya adalah mengenai sikap rakyat, baik di Benghazi maupun di Brega, terhadap pemerintah-pemerintah Amerika Latin, dan khususnya negeri-negeri ALBA. Di Brega banyak orang bertanya “mengapa presiden Venezuela dan presiden-presiden Amerika Latin lainnya yang sepakat dengan keadilan sosial dan perubahan revolusioner malah mendukung seorang dictator yang menggunakan Tentara terhadap rakyatnya sendiri” katanya (Union Radio). “Mereka meminta negeri-negeri ALBA untuk memutuskan hubungan dengan Khaddafy dan mendukung perjuangan revolusioner rakyat Libya,” lapornya dari Benghazi. Menurut Lindsay, rakyat di Ajdabiya berbicara tentang suatu “perjuangan bersama dengan rakyat-rakyat Amerika Latin” (Kami mengutip dari Reed Lindsay, karena ia tidak bisa dituduh sebagai agen imperialisme atau memutarbalikkan berita guna membenarkan intervensi imperialisme).

Bahkan koresponden TeleSUR lainnya, Jordan Rodríguez, yang hanya melaporkan apa yang dikatakan Khaddafy dan para pejabatnya tanpa membubuhi komentarnya sendiri, mendapat masalah ketika berupaya meliput bentrokan-bentrokan di lingkungan-lingkungan di Tripoli. Timnya ditahan oleh polisi selama empat jam, dipukuli, diancam dengan senapan yang diarahkan kepada mereka, dan film mereka dirampas (Telesur). Ini adalah kedua kalinya mereka ditahan dan ini terjadi kendati mereka mengendarai sebuah mobil diplomatik Venezuela.

Ada suatu butir yang sangat penting yang dikemukakan dalam liputan-liputan ini. Revolusi Venezuela dan khususnya Presiden Chavez luar biasa populer di Dunia Arab, khususnya setelah penentangannya yang vokal terhadap invasi Israel ke Lebanon. Massa-rakyat di negeri-negeri ini memandang Hugo Chavez sebagai pemimpin sebuah negeri minyak yang berdiri teguh melawan imperialisme dan menggunakan uang dari minyak untuk memperbaiki kondisi-kondisi kehidupan rakyatnya. Ini sama sekali bertentangan dengan para penguasa di negeri-negeri mereka sendiri, yang justru menjadi boneka-boneka imperialisme AS, dan tidak membuka mulut mereka sama sekali terhadap agresi-agresi Israel, serta menggunakan kekayaan negeri untuk memperkaya diri mereka sendiri. Inilah salah satu alasan di balik perlawanan revolusioner massa-rakyat Arab. Dalam jajak-pendapat yang dilakukan pada tahun 2009 di beberapa negeri Arab, pemimpin yang paling populer adalah Hugo Chavez dengan 36% dukungan, mengungguli pemimpin-pemimpin yang lain.

Basis dukungan satu-satunya yang dapat diandalkan Revolusi Venezuela adalah massa-rakyat kaum buruh dan kaum muda di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan di seluruh dunia, yang merasa bersimpati dan solider dengan Revolusi Bolivarian karena mereka juga menginginkan sebuah revolusi yang serupa terjadi di negeri-negeri mereka sendiri. Hugo Chavez dan Revolusi Bolivarian harus mengambil posisi yang jelas yang mendukung gelombang revolusioner yang sedang menyapu Dunia Arab, karena ini merupakan bagian dari revolusi dunia, di mana selama beberapa tahun Amerika Latin telah menjadi pengawalnya yang terdepan. Ini mencakup pemberian dukungan kepada rakyat Libya yang sedang bangkit melawan Khaddafy, sementara pada saat yang sama menentang intervensi imperialis.

Dalam upayanya mencegah intervensi militer asing di Libya, Hugo Chavez telah mengusulkan agar sebuah komisi mediasi internasional pergi ke Libya. Laporan-laporan terbaru di media mengindikasikan bahwa kendati Khaddafy dikatakan telah menerima usulan ini, puteranya Saif al-Islam dengan tegas telah menolaknya. “Kami harus mengucapkan terimakasih kepada Anda, tapi kami cukup mampu dan sanggup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kami dengan rakyat kami sendiri.” Orang-orang Venezuela, tambah Saif, “adalah sahabat-sahabat kami, kami menghormati mereka, kami menyukai mereka, tapi mereka sangat jauh di sana. Mereka tidak mengerti Libya. Libya ada di Timur Tengah dan Afrika Utara. Venezuela di Amerika Tengah.” Sekadar informasi untuk Saif, Venezuela bukan di Amerika Tengah; tapi kita maklum, pikirannya sedang terkonsentrasi pada soal-soal yang lain.

Di lain pihak, para pemberontak Libya juga telah menolak mediasi, dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendengar tentang itu, tapi sudah terlalu terlambat untuk negosiasi apapun, sementara sudah terlalu banyak rakyat Libya yang dibunuh oleh Khaddafy. Bila seseorang memahami esensi yang sebenarnya dari situasi d Libya, dimana pemerintahan dengan brutal menindas demonstrasi-demonstrasi damai rakyatnya sendiri, yang kemudian menjadi sebuah perlawanan rakyat yang bersenjata, maka orang dapat memahami mengapa usulan atau proposal Chavez keliru. Ini seperti andai kata dalam hari-hari terakhir Revolusi Kuba, ketika tentara revolusioner hampir menggulingkan Batista, seorang mengatakan, “tunggu sebentar, marilah kita bentuk mediasi internasional sehingga bisa ada pengertian antara Batista dan Gerakan 26 Juli .”

Dalam situasi seperti ini, posisi satu-satunya yang dapat diambil oleh seorang revolusioner adalah mendukung perlawanan revolusioner rakyat Libya. Bila Hugo Chavez tidak mempososikan dirinya dengan jelas untuk mendukung massa-rakyat yang revolusioner di Dunia Arab, ia membuat kesalahan serius; kesalahan yang akan dibayar dengan sangat mahal oleh rakyat Venezuela. Hugo Chavez sedang mengamati situasi Libya dengan menggunakan lensa Venezuela, dengan membuat perbandingan yang keliru. Para pemberontak Libya tidak dapat dibandingkan dengan kaum oposisi Venezuela, dan posisi Rezim Khaddafy tidak bisa dibandingkan sama sekali dengan posisi Chavez.

Kita harus jelas: apa yang sedang kita saksikan di Libya dan selebihnya dari Dunia Arab bukanlah kudeta 11 April 2002 yang dijustifikasi atau dibenarkan dengan manipulasi media; alih-alih, yang sedang terjadi di Libya adalah sebuah 27 Februari 1989, sebuah perlawanan yang serupa dengan Caracazo, yang di dalamnya pemerintah-pemerintah sedang menggungakan Tentara untuk menghadapi para demonstran yang tak bersenjata. Sementara kita menentang tegas intervensi imperialis, kita harus jelas di pihak mana kita berada: pihak rakyat Libya yang sedang bangkit melawan Rezim Khaddafy. ***

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “Venezuela and Libya: it is not an April 11 coup, it is a February 27 Caracazo,” Jorge Martin, 4 Maret 2011.

Solidaritas untuk Revolusi Arab

Lucha de Clases, Tendensi Marxis kaum buruh dan kaum muda dalam PSUV, menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Solidaritas dengan revolusi-revolusi di Dunia Arab.
  2. Kutukan terhadap represi terhadap rakyat-pekerja Libya.
  3. Kami menolak upaya apapun untuk mengalihkan perhatian rakyat revolusioner Venezuela sehubungan dengan watak revolusioner dari perlawanan rakyat Libya.
  4. Sebagaimana di Amerika Latin, tahun-tahun penjarahan kapitalis, eksploitasi, privatisasi, dan paket-paket ekonomi telah menyulut suatu revolusi sosial.
  5. Kami menentang upaya apapun dari pihak imperialisme untuk mengintervensi Libya.
  6. Adalah tugas kaum revolusioner di seluruh dunia, dan secara khusus di Venezuela, untuk mendukung Revolusi Arab, dengan menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keluar dari kutuk-sengsara kapitalis yang melanda rakyat kita adalah melalui perjuangan sosialisme. Revolusi berwatak internasional, atau bukan revolusi sama sekali.

Jangan pernah terulang suatu Caracazo lagi!

Enyahlah represi!

Hidup revolusi di Tunisia, Mesir, dan Libya!

Venezuela Rayakan 12 Tahun Revolusi Bolivarian

Oleh Nophee Yohana

Selama seminggu terakhir, organisasi-organisasi sosial, para pemimpin politik, dan individu-individu di Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan di beberapa belahan bumi barat mengadakan acara untuk merayakan ulang tahun Revolusi Bolivarian Venezuela, yang mana, penetapan tahun ulang tahunnya dimulai dengan sejak sumpah jabatan pertama Hugo Chavez sebagai presiden pada tahun 1999. Continue reading “Venezuela Rayakan 12 Tahun Revolusi Bolivarian”

Bedah Film “No Volveran”, Diskusi Venezuela dan Tunisia di Jombang

Oleh HOV Indonesia


Pada hari Minggu, 30 Januari 2011, Hands Off Venezuela (HOV) Indonesia bekerjasama dengan Serikat Buruh Plywood Jombang (SBPJ) mengadakan diskusi progresif mengenai perkembangan revolusi sosialis di Venezuela dan revolusi di Tunisia yang sedang terjadi hari ini. Acara tersebut bertempat di sekretariat Forum Pemuda Mambang (FPM) Jombang dengan dihadiri oleh seluruh pengurus SBPJ. Dalam acara ini, hadir sebagai narasumber, Nophee Yohana (Koodinator HOV Indonesia), Jesus SA (Militan Indonesia), dan Agus Mulya Abadi (SBPJ). Continue reading “Bedah Film “No Volveran”, Diskusi Venezuela dan Tunisia di Jombang”

Venezuela Menjadi Episentrum Perubahan Di Amerika Latin

(Disadur dari berdikarionline)

Venezuela sedang memainkan peranan menentukan dalam konteks Amerika Latin baru, dengan bertindak sebagai pusat dari perubahan di benua itu, demikian dikatakan Aristobulo Isturiz, wakil presiden pertama Majelis Nasional.

“Korelasi kekuatan di benua ini sudah tidak sama dengan sebelumnya, “ kata Aristobulo Isturiz kepada Prensa Latina hanya beberapa saat setelah pengambilan sumpah parlemen, di gedung legislatif federal.

“Pemerintahan di Ekuador, Bolivia, dan Argentina, sekedar menyebut beberapa nama, adalah buah dari kemauan politik para pemimpinnya dan gerakan sosial,” katanya.

Di tengah-tengah langskap politik perubahan di Amerika latin, dua visi politik saling berhada-hadapan. Satu menghendaki mengaktifkan kembali doktrin Monroe dan menjadikan Amerika Latin sebagai halaman belakang imperialisme baru, sementara yang lainnya sedang melakukan perubahan untuk emansipasi rakyat.

“Ini dalam konteks Amerika Latin sudah diatur,” kata Aristobulo Isturiz.

Di tengah proses perubahan di Amerika Latin,” apakah kembali kepada kolonialisme, kontrol, dan ketergantungan, ataukah memajukan kedaulatan rakyat kita,” katanya.

Dari Rio Grande hingga ke Patagonia, proses penyatuan harus didasarkan kepada solidaritas, persaudaraan, dan kerjasama, yang merupakan model yang didorong oleh Presiden Hugo Chavez.

Revolusi Venezuela Maju dengan Hak Dekrit

Oleh Ted Sprague

Pada tanggal 19 Desember, rakyat miskin Venezuela mendapatkan hadiah natal mereka agak awal, yakni dengan diratifikasinya Hak Dekrit untuk Presiden Chavez. Bencana musibah yang disebabkan oleh hujan badai telah menghancurkan rumah-rumah lebih dari 100 ribu rakyat. Hak Dekrit ini akan memberikan kuasa kepada Chavez untuk memerintah dengan dekrit untuk jangka waktu 18 bulan.

Hak dekrit ini disambut dengan sorak sorai oleh rakyat pekerja Venezuela bukan hanya karena ini adalah kebijakan untuk menghadapi masalah bencana, namun seperti yang dikatakan oleh Chavez, hak dekrit ini akan digunakan olehnya untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih tegas untuk majunya revolusi.

Front Petani Ezeguiel Zamora telah mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap hak dekrit ini, dan menuntut Presiden Chavez untuk memperdalam Reforma Agraria yang sampai sekarang baru mendistribusikan 3 juta hektar tanah kepada petani miskin. Baru-baru ini Chavez memutuskan untuk mengambil tindakan keras terhadap 47 latifundia (tuan tanah besar) di Venezuela guna mengikis ketergantungan Venezuela pada impor bahan makanan.

Sebaliknya, kaum kapitalis dan tuan tanah Venezuela bereaksi keras menentang kebijakan hak dekrit ini dan ekspropriasi tanah yang diperintahkan oleh Chavez. Histeria besar diciptakan di media swasta mengenai kediktaturan Chavez dan bagaimana Chavez adalah seperti Hitler dan Mussolini. Sungguh mengherankan bagaimana media swasta ini dapat mengeluh mengenai kebebasan pers di Venezuela ketika mereka bisa bebas mengkritik dan menghujat kepala negara. Kalau ada koran di Indonesia yang menghujat SBY dan membandingkan dia dengan Hitler dan Mussolini, koran tersebut pasti sudah dibredel.

Selain penguasa lokal, imperialis Amerika juga sangat kawatir. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Philip Crowley mengatakan bahwa pemerintah AS merasa “kawatir” akan Hak Dekrit ini. Sementara media-media internasional melaporkan bahwa “para bankir dan pemilik properti mempersiapkan diri mereka untuk gelombang nasionalisasi yang baru.”

Pihak oposisi telah menyerukan sebuah demonstrasi pada tanggal 23 Januari untuk “mempertahankan hak kepemilikan pribadi”. Sungguh satu lelucon ketika justru para bankir dan kapitalislah dengan krisis yang baru-baru ini telah menghancurkan properti ratusan juta rakyat pekerja, yang kehilangan pensiun mereka, rumah mereka, simpanan mereka, dan pekerjaan mereka karena permainan kasino di bursa-bursa saham dunia. Satu-satunya kelas yang bisa mempertahankan hak kepemilikan pribadi adalah kelas yang menciptakan properti dengan keringat mereka, yakni kelas pekerja dan tani.

Parlemen Nasional Venezuela akan bersidang kembali mulai 5 Januari dan ini akan digunakan oleh pihak oposisi sebagai medan tempur untuk menghentikan laju revolusi, selain menggunakan cara-cara ekstra-parlementer yang “legal” maupun “ilegal”. Dengan “kepemilikan pribadi” mereka atas koran, radio, tv, mereka akan menebarkan fitnah dan hujatan, dan memobilisasi kekuatan mereka. Dengan “kepemilikan pribadi” mereka atas tanah-tanah pertanian, perusahaan distribusi makanan, dan pabrik-pabrik lainnya, mereka akan menerapkan kebebasan mereka untuk mensabotase ekonomi Venezuela.

Kekuatan Revolusi Bolivarian juga harus memobilisasi kekuatan mereka, bukan hanya dalam ranah parlementer, tetapi terutama dalam ranah ekstra-parlementer karena disinilah kekuatan sejati rakyat pekerja Venezuela. Kepemilikan pribadi kaum kapitalis tidak ada artinya tanpa tangan-tangan kaum buruh yang menggerakan mesin. Okupasi pabrik dan tempat-tempat kerja dan pelaksanaan kontrol buruh harus digencarkan untuk menghentikan usaha-usaha kontra-revolusioner dari pihak oposisi.

Kaum revolusioner tentu menyambut dengan gegap gempita hak dekrit ini. Namun kita tidak boleh punya ilusi. Tahun 2007 juga dibuka dengan diberikannya hak dekrit pada presiden Chavez, namun kebijakan-kebijakan yang diambil kuranglah tegas dan juga disabotase oleh kaum birokrat di dalam pemerintah. Akibatnya jelas, rakyat merasa letih karena belum ada perubahan fundamental di dalam kehidupan mereka dan ini menyebabkan kekalahan referendum untuk reforma konstitusi pada tahun yang sama.

Presiden Chavez telah merespon tekanan dari buruh dan tani untuk memperdalam revolusi. Langkah selanjutnya adalah menggunakan hak dekrit ini untuk memenuhi program-program sosialis yang akan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat: inflasi, pengangguran, kelangkaan bahan makanan, dsb. Tahun 2011 ini sungguh akan dipenuhi pertentangan yang tajam, bukan hanya di Venezuela tetapi juga di seluruh dunia.

Presiden Chaves: Tidak Ada dan Tak Seorang Pun Yang Boleh Menghentikan Revolusi Bolivarian

Ditulis oleh Prensa Latina (Disadur dari berdikarionline.com)
CARACAS: Presiden Venezuela, Hugo Chavez, menegaskan bahwa tidak ada hal atau tak seorang pun yang dapat menghentikan revolusi Bolivarian, sebuah proses perubahan yang diawali sejak satu dekade yang lalu.

Chavez menyerukan untuk memperdalam revolusi dan transpormasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1999, dan menambahkan lebih rinci mengenai perencanaan dan penelitian ilmiah. Kami harus menciptakan situasi untuk memperluas sosialisme, dan menggantikan kapitalisme dengan model baru, katanya menegaskan.

Dalam pertemuan kemarin dengan wakil-wakil terpilih dari Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV), Chavez mendesak organisasinya untuk bekerja tanpa lelah untuk pemilu Presiden pada tahun 2012. Mengacu pada komposisi baru dalam parlemen Venezuela, yang akan mulai berkantor pada Januari 2011, ia mengatakan bahwa ini akan membuat Undang-Undang lebih revolusioner dari majelis nasional saat ini. Dia menegaskan bahwa sampai sekarang ini proses legislatif akan melanjutkan membuat UU sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam pidatonya yang disiarkan langsung stasiun TV, ia menyerukan untuk merefleksikan kembali hasil pemilihan 26 September, dimana kaum sosialis memenangkan 60% kursi parlemen. Longsoran ini, Chavez berkata, “bagaimanapun, kita akan mengkritik secara mendalam untuk meningkatkan dan memulihkan dimana kita kehilangan untuk menjadi bangun.” Dia menyerukan meningkatan kritik oto kritik dalam jajaran partai dengan meliputi tujuh juta anggota.

Usaha Melemahkan Revolusi

Menurut Gregory Wilpert, analis politik dari Venezuelananalysis.com, sejak pemilu parlemen 26 September lalu kaum oposisi kembali berusaha melemahkan pemerintahan Chavez, setelah sebelumnya pernah gagal; kudeta tahun 2002, sabotase minyak (2003), dan boikot pemilu (2005). Sejak itu, katanya, oposisi mulai mengintegrasikan dirinya kembali ke dalam politik Venezuela, yakni dengan berpartisipasi dalam pemilu Presiden (2006) pemilihan kepala daerah (2008), dan pemilu parlemen baru-baru ini. Selain itu, dengan membentuk persatuan seluruh oposisi di bawah payung aliansi kesatuan baru (MUD), oposisi semakin menyadari bahwa mereka harus bersatu untuk mengefektikan kekuatan dalam melawan Chavez, katanya dalam artikel di Venezuelananalysis.com.

Selain itu, sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan, bahwa oposisi sangat rajin menerima dukungan dana dari luar negeri, terutama lembaga yang berpusat di Washington, yang nilainya mencapai puluhan juta dollar per-tahun. Apalagi, seperti dikatakan Gregory Wilpert, di tengah revolusi Bolivarian seperti mengalami keausan, seperti program-program sosial yang buruk pelaksanaannya, persoalan akibat krisis ekonomi, dan kejahatan, semakin memudahkan oposisi untuk melancarkan serangan. Namun, di berbagai pedalaman Venezuela, rakyat masih memperlihatkan kesetiaannya kepada “commandante Chavez”, katanya. “Reformasi tanah, dewan komunal yang memberi banyak kekuatan kepada komunitas mereka, dan banyak program sosial yang sangat berharga bagi komunitas ini,” ujarnya. Gregory menjelaskan, Venezuela adalah negara yang sangat terpolarisasi secara politik, namun tidak dalam populasinya.
Menurut survey, lebih dari sepertiga penduduk yang merupakan pendukung mati-matian Chavez, sementara kurang dari seperpertiga yang menjadi penentang kerasnya. Dan diluar itu adalah bagian penduduk yang diperebutkan Chavez dan oposisi untuk meraih kemenangan. Salah satu partai yang berusaha mengambil keuntungan dari segmen penduduk itu, dengan tidak mendukung Chavez ataupun oposisi, adalah partai PPT (tanah air untuk semua), yang sekian lama menjadi pendukung Chavez, memisahkan diri dari koalisi pro-Chavez pada awal tahun ini dan berusaha, dengan bantuan gubernur sangat populer dari negara bagian Lara, Henri falcon, membentuk segitiga kekuatan berlaku di negeri itu.

Prospek Sosialisme Abad 21

Meskipun hasil perolehan suara relatif sama di kedua sisi, namun oposisi mengklaim bahwa ini merupakan awal untuk mengakhiri Chavez. Pernyataan itu, menuru Gregory Wilpert, tampak masuk akal jika menganggap bahwa Chavez sudah menikmati puncak popularitasnya pada tahun 2006, setelah terpilih kembali sebagai Presiden dengan suara 63%.

Program utama Chavez untuk jangka waktu sampai pemilu berikutnya, adalah melanjutkan upaya membangung “sosialisme abad-21” di Venezuela. Terkait hal ini, Wilpert mengatakan, “tepatnya pengertian ini memang belum jelas, tetapi ada sejumlah indikasi.” Untuk menuju agenda puncak itu, ada program hukum baru di bidang perburuhan, yang tidak hanya akan mendemokratiskan perusahaan negara, tetapi juga perusahaan swasta, melalui dewan-dewan pekerja. Juga memperkuat peran dewan komunal harus diperkuat, khususnya di wilayah kota dan seluruh negeri. Negara juga harus membuat perencanaan ekonomi untuk memperluas industry dan mendukung industry swasta strategis, sehingga negara tidak begitu bergantung kepada minyak.

Banyak pihak di Venezuela, baik dari kalangan oposisi maupun dari sayap moderat di PSUV, berusaha menyakinkan Chavez bahwa alasan kerugian ini adalah karena pendekatan yang terlalu radikal, sehingga direkomendasikan untuk “diperlambat” atau dimoderatkan. Gregory wilpert juga menggaris bawahi sejumlah permasalahan mendasar, seperti pengangguran, ketidakamanan, dan pelayanan pemerintah terhadap orang miskin. Dia menyakinkan bahwa masih banyak orang Venezuela, khususnya kaum miskin, yang bereaksi positif terhadap program Chavez untuk memperdalam demokratisasi ekonomi, media, dan politik, dan ini menjadi alasan untuk melanjutkan mendukung Chavez karena program ini. “Jika Chaves dan pendukungnya bisa tegas menyelesaikan permasalahan mendasar dan program strategis, maka Chavez akan mendapat kesempatan yang sangat baik untuk dipilih kembali pada tahun 2012 dan sekaligus membalikkan oposisi,” usulnya.

Pemilu 26 September di Venezuela: Revolusi di Persimpangan

Ditulis oleh Ted Sprague

Sungguh satu pengecilan bila kita mengatakan bahwa Pemilu mendatang di Venezuela merupakan persimpangan bagi Revolusi Bolivarian yang telah berlangsung 11 tahun ini. Mungkin akan lebih tepat kalau kita mengatakan bahwa nasib Revolusi Venezuela ada di ujung tanduk. Bahaya kekalahan di dalam pemilu ini sungguh nyata, dan akibatnya akan sangat menentukan kemana arah Revolusi ini bergerak selanjutnya. Continue reading “Pemilu 26 September di Venezuela: Revolusi di Persimpangan”

Chávez di Kopenhagen: Kita Membutuhkan sebuah Revolusi Dunia

Ditulis oleh Hands Off Venezuela Denmark

Dalam sebuah rapat umum yang diorganisir oleh beragam serikat buruh, organisasi politik, dan kampanye solidaritas (termasuk Hands Off Venezuela), lebih dari 3000 orang di Kopenhagen mendengarkan Presiden Hugo Chávez dengan tepat menggarisbawahi bahwa sebuah revolusi sosialis adalah solusi satu-satunya bagi persoalan-persoalan umat manusia.

Chávez menekankan perlunya sebuah revolusi sedunia dan mengulangi usulannya tentang Internasionale Kelima untuk menjadi instrumen tujuan ini. Ia mengatakan bahwa Karl Marx telah memulai Internasionale Pertama, Engels dan Rosa Luxemburg berpartisipasi dalam Internasionale Kedua, Lenin mengambil inisiatif untuk Internasionale Ketiga, dan Trotsky mendirikan Internasionale Keempat. Tak satu pun dari organisasi-organisasi ini ada sekarang ini, tapi Chávez berkata bahwa sebuah Internasionale Kelima akan menolong proses revolusi di seluruh dunia.

Dalam rapat umum tersebut, Presiden Evo Morales dari Bolivia juga menyampaikan pidato yang mengutuk kapitalisme. Para pembicara lain meliputi wakil presiden Kuba, Estaban Lazo, dan menteri luar negeri Nicaragua, Samuel Santos.

Chávez mengawali pidatonya dengan mengutuk represi di jalan-jalan Kopenhagen selama KTT Iklim PBB. Menyebutkan KTT Iklim, ia berkata, “Beberapa pihak tidak ingin mendiskusikan sebab-musabab perubahan iklim. Saya akan memberitahu Anda apa sebab-musababnya: kapitalisme. Kapitalisme adalah musuh terburuk – bagi kehidupan dan bagi iklim.”

Sebuah delegasi dari Hands Off Venezuela menemui Chávez tak lama sebelum pidatonya dan menyerahkan kepada sang presiden dua surat dari para pekerja di pabrik-pabrik Gotcha dan Vivex di Venezuela. Kami mengungkapkan solidaritas dengan sang presiden dan gagasan tentang sebuah Internasionale Kelima.

Dalam pidatonya, Chávez menggaribawahi pokok-pikiran bahwa revolusi Venezuela hanyalah awal dari revolusi dunia, dan bahwa revolusi Venezuela masih belum selesai; tugas membangun sosialisme di Venezuela masih di ada depan. Ia mengatakan bahwa ia yakin bahwa peristiwa-peristiwa revolusioner di Venezuela dan negeri-negeri Amerika Latin lainnya akan berulang di negeri-negeri Utara – di Erupa dan A

Para pemirsa – aktivis-aktivis sayap kiri, kaum muda, dan kaum serikat buruh – menginterupsi pidato beberapa kali dengan tepuk tangan meriah dan nyanyian seperti “el pueblo unido, jamás será vencido” [Rakyat bersatu, tidak akan terkalahkan]. Tepuk tangan yang paling meriah terjadi ketika Chávez berbicara tentang Fidel Castro dan perjuangan melawan imperialisme AS, dan tentang sosialisme sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri kesengsaraan global dan memastikan suatu masa depan bagi umat manusia.

Dalam pidatonya, Chávez berterimakasih kepada Hands off Venezuela dan kelompok-kelompok lainnya karena telah menyelenggarakan rapat umum ini. Ia menekankan fakta bahwa semua perubahan datang dari bawah – dari organisasi dan pendidikan politik massa.

Para aktivis dari Hands off Venezuela berintervensi dalam rapat tersebut dengan sebuah stan, yang menjual kaos, buku-buku, dan bahan-bahan lainnya, dan membagi-bagikan selebaran.

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “Chavez in Copenhagen: We need a world revolution”, 18 Desember 2009, Hands Off Venezuela Denmark. Sumber tulisan: http://militanindonesia.org/internasional/eropa/8038-chavez-kopenhagen.html