Written by Indro Suprobo*
Bagi orang yang biasa-biasa saja seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Venezuela secara gratis, merupakan pengalaman luar biasa. Ini terjadi karena undangan seorang teman lama, Alejandro Pino d”Araujo, yang kebetulan mengajar filsafat di College of Social and Humanistic Sciences, Simon Bolivar University. Pada saat itu, Universitas Simon Bolivar menyelenggarakan Workshop National berjudul “Simon Bolivar : The Liberation Movement in Philosophycal and Political Perspective”. Yang menarik dalam seminar itu adalah hadirnya Hugo Chaves, sang presiden, sebagai salah satu narasumber karena dia adalah salah satu mantan mahasiswa yang pernah kuliah di universitas tersebut. Narasumber yang lain adalah Ambrosio Wegemento Segundo, salah seorang murid dari teolog besar penggagas A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez.
Dalam paper setebal 15 halaman yang berjudul Contra l’estigma (Melawan Stigmatisasi), Hugo Chaves menyatakan bahwa selama sekian lama rakyat Venezuela telah berada dalam berbagai macam bentuk penindasan dan penjarahan namun selalu saja mengalami halangan besar untuk melakukan pemberontakan karena sejak kecil, dalam keluarga-keluarga, telah ditanamkan alat sensor yang sangat ampuh yakni kesadaran stigmatis. Kesadaran stigmatis ini telah menumpulkan kesadaran kritis warga masyarakat dan pada gilirannya memupus segala kemungkinan untuk melakukan kritik, perubahan, apalagi pembebasan. Salah satu contoh stigmatisasi itu dialaminya sendiri ketika masih kecil. Keluarga besarnya secara turun temurun menuturkan bahwa kakeknya adalah seorang pembunuh. Setelah dewasa, dengan wawasan dan bacaan sejarah tentang gerakan-gerakan revolusioner di banyak tempat, Chaves menyadari bahwa sebenarnya kakeknya bukanlah seorang pembunuh, melaikan seorang pejuang yang emoh terhadap segala bentuk ketidakadilan di hadapan matanya. Kesadaran yang ditanamkan sejak kecil itu merupakan kesadaran stigmatis yang bertujuan agar orang-orang biasa yang setiap hari hidup dalam kesusahan, tidak menirukan tindakan protes maupun perlawanan seperti para pejuang pendahulu itu. Lebih dari itu, sosialisme sebagai sebuah model pemikiran dan gerakan telah diberi stigma sebagai satu-satunya keburukan pemikiran yang arogan dan terbukti telah bertekuk lutut di hadapan kegagalan besar. Sosialisme lalu dengan mudah telah dilipat-lipat dalam kesadaran hanya sebagai sebentuk komunisme, ateisme, kediktatoran dan represi yang justru menyengsarakan. Itulah stigma terhadap sosialisme.
Karena sebagian besar rakyat Venezuela adalah pemeluk agama katolik Roma, Chaves menggunakan teologi pembebasan Amerika Latin sebagai bahasa komunikasi yang ampuh. Prinsip-prinsip dasar sosialisme memang menjiwai pendekatan teologi pembebasan ini. Ia menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah orang yang dalam iman yang besar, melakukan pemberontakan secara individual, social, politis, cultural dan religius pada jamannya. Yesus adalah inspirasi bagi gerakan pembebasan dan revolusi. Yesus adalah tokoh revolusioner dan progresif yang melawan segala bentuk manipulasi, stigmatisasi, akumulasi keuntungan oleh segelintir orang yang menyengsarakan ribuan bahkan jutaan orang yang lainnya. Sebagaimana Yesus telah melakukan revolusi pada jamannya, maka pada saat ini, adalah tugas semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, untuk secara radikal melakukan gerakan revolusioner. Setan paling nyata dalam kehidupan dunia sekarang adalah kebijakan politik-ekonomi dan dominasi Amerika yang merampas hak dan menghancurkan kehidupan sebagaian besar warga dunia. Kemiskinan dalam semua dimensinya telah merenggut kehidupan rakyat Venezuela dan rakyat di sebagian besar belahan dunia ini. Kemiskinan adalah sebuah penghancuran terhadap kehidupan manusia dalam banyak sendi. Kemiskinan yang mematikan ini tidaklah sesuai dengan apa dipesankan oleh Yesus yakni hadirnya kerajaan kehidupan. Oleh karena itu, dalam semangat yang sama seperti Yesus, “Kita harus melawan segelintir orang yang terus menerus menghancurkan sebagian besar dunia ini. Sekarang juga harus kita lakukan!”, tegasnya dengan nada tinggi, sorot mata yang menatap tajam karena kesedihan dan komitmen, sambil mengepalkan tangan ke atas. Semua yang hadir tanpa dikomando serentak berdiri dan bertepuk tangan. Saya ikut berdiri di antara mereka yang hadir dengan hati yang luar biasa tergetar. Beberapa yang hadir bahkan meneteskan air mata entah karena kobaran semangat, kemarahan maupun keharuan.
Kampus Universitas Simon Bolivar yang terletak di lembah Sartenejas, dan termasuk daerah kotamadya Baruta, wilayah ibu kota Caracas bagian selatan itu terasa bergetar dalam kemegahan semangat, sesuai dengan nama yang dikenakan padanya, Simon Bolivar, El Libertador, sang pembebas bagi beberapa Negara Amerika Latin. Sesi seminar itu dilanjutkan dengan diskusi kelompok di luar ruangan aula.
Dalam diskusi kelompok, saya mendapatkan tempat diskusi yang cukup menarik, yakni di sebuah gazebo kecil di pinggiran Laguna de los patos, sebuah danau kecil buatan yang indah di dekat pintu gerbang masuk universitas. Danau buatan itu menjadi semakin menarik karena dipenuhi bebek putih yang berenang dan berlompatan di atas air. Laguna de los patos memang berarti “danau bebek”.
Hugo Chaves memang presiden yang tegas dalam prinsip namun sangat low profile. Dengan santainya dia meminta para pengawalnya untuk menikmati danau, sementara dia sendiri menyelonong nimbrung dalam diskusi kecil kami. Salah seorang anggota kelompok diskusi kami adalah seorang Marxis tulen bernama Milan Machovec. Ia adalah seorang profesor senior yang jauh-jauh datang dari Charles University, Praha. Salah satu buku terkenal yang pernah ditulisnya adalah Jesus Fur Atheisten yang diterbitkan oleh Kreuz Verlag Stuttgart, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Darton, Longman & Todd, London dengan judul A Marxist Looks At Jesus.
“Saya sangat sepakat dengan apa yang tadi telah dinyatakan oleh mister Presiden, Hugo Chaves dalam forum. Yesus adalah manusia radikal dan progresif yang dapat menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan saat ini, bukan hanya bagi rakyat Venezuela, melainkan bagi sebagian besar warga dunia yang cenderung mengalami ketidakadilan. Kita semua musti terlibat penuh komitmen di dalamnya”, kata Machovec memulai pikirannya.
“Benar, dan terima kasih tuan Machovec. Anda adalah teman bagi kami, rakyat Venezuela, dan Anda pantas mendapatkan lebih banyak teman dari berbagai belahan dunia kita”, potong Hugo Chaves meneguhkan pernyataannya.
“Tetapi saya memiliki kritik terhadap kekristenan secara khusus berkaitan dengan bagaimana mereka memahami pesan Yesus”, kata Machovec lagi. Teman saya yang sangat katolik, Alejandro Pino d’Araujo tampak serius menantikan tuturan Machovec selanjutnya.
“Pesan Yesus yang asli sebenarnya terdiri dari dua elemen penting”, sambung Machovec. “Yang pertama, Yesus menyatakan bahwa suatu jaman baru sedang datang. Kedatangan jaman baru itu menjadi efektif karena usaha dan kerja keras manusia sendiri. Kedua, jaman baru itu bukan hanya merupakan jaman yang akan datang kelak, melainkan terwujud dalam situasi konkret kekinian hidup kita ini, pada saat sekarang ini dan di sini, serta bersifat imperatif bagi hidup manusia sehari-hari. Oleh karena itu, semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus sang manusia revolusioner itu, musti mewujudkan daya pembaharuan dan progresivitas itu saat sekarang ini juga dalam konteks yang sangat real ini. Namun sayangnya, daripada mewujudkan daya kekuatan radikal dan progresif bagi penegakan keadilan jaman ini, melawan secara tegas semua yang melakukan perampasan, manipulasi dan peminggiran serta pemiskinan terhadap kemanusiaan, kristianitas telah cenderung membelokkan pesan itu kepada pencapaian kedamaian dan kebahagiaan pada akhir jaman. Dengan cara itu, kekristenan pada saat sekarang ini justru cenderung menawarkan opium atau candu bagi manusia yang lebih asyik dengan kebahagiaan batiniah pribadi tanpa memberi dampak nyata bagi situasi kemiskinan yang akut”.
Semua anggota kelompok tampak serius mencermati jalan pikiran sang profesor yang Marxis dan gandrung kepada Yesus itu. Semuanya masih menunggu-nunggu akhir dari paparan pikiran Machovec. Saya juga demikian.
“Saya percaya bahwa kekristenan tidak mati, melainkan pincang saja. Namun, pesan Yesus itu justru masih sangat hidup sampai sekarang ini. Saya melihat bahwa pesan itu sangat hidup dalam sebagian besar rakyat Venezuela yang menginginkan kehidupan dunia yang lebih adil. Pilihan politik mister Presiden dan rakyat Venezuela adalah bukti nyata”, kata Machovec melambat, mengakhiri paparannya dalam diskusi kecil itu.
Diskusi kecil menjadi semakin hangat oleh beberapa tanggapan kemudian. Contoh-contoh konkret kebijakan politik radikal populis di Venezuela yang lebih dikenal dengan bolivarianisme itu, meneguhkan para peserta diskusi bahwa alternatif itu sangat mungkin dan sangat terbuka. Namun alternatif itu membutuhkan komitmen yang besar dan kerja keras serta kerjasama yang lebih luas. Sebagaian kecil warga tentu masih saja ada yang tak sepakat dengan ini karena mereka telah lama menikmati untung tanpa peduli kepada sebagian besar lain yang buntung.
Jam makan bersama menjadi penentu berakhirnya diskusi kelompok kecil ini. Semuanya menuju ke tempat perjamuan lalu pulang ke tempat masing-masing. Saya masih punya waktu dua hari dan menginap di rumah teman yang mengundang saya itu. Rumah si Alejandro Pino d’Araujo itu kecil dan sederhana namun sangat nyaman. Kasurnya yang empuk dan pepohonan sejuk di sekitar kamar membuat saya cepat tertidur. Namun ternyata, ketika bangun tidur, saya sudah berada di rumah sendiri, di pinggiran desa Ngaglik, Sleman.
“Kamu tidur pulas sekali siang ini”, kata isteri saya sambil mengenakan pakaian sehabis mandi sore. Saya merapikan buku-buku yang tersebar di tempat tidur lalu berangkat mandi. Ah….hari minggu yang segar… dan mimpi yang indah.***
_____________________
* Resist Book
keren juga tulisannya, kenalan dunk.nama gw caesar mhsw teol uksw,lagi belajar mo jo kristen kiri yang revolusioner.klo ada tulisannya lagi tlg krm k emailku ok.