Venezuela dan Libya : Ini Bukan Kudeta 11 April, Ini Adalah Sebuah Caracazo 27 February

Telah terjadi banyak diskusi di Amerika Latin tentang peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di Libya. Artikel ini menjelaskan posisi IMT (International Marxist Tendency), yang mendukung perlawanan rakyat Libya, sementara pada saat yang sama mengutuk intervensi apapun dari pihak imperialis. Kami juga secara kritis mengkaji posisi yang diambil oleh Hugo Chavez dan Fidel Castro.

Pemerintah Venezuela dan Pemerintah Kuba dengan tepat telah berdiri dalam lembaga-lembaga internasional untuk menentang intervensi apapun dari pihak imperialis di Libya. Mereka telah mengkritik kemunafikan negeri-negeri yang berteriak-teriak mengenai pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Libya, sementara pada saat yang sama telah berpartisipasi dalam perang-perang imperialis yang berlumuran darah di Irak dan Afghanistan, serta mendukung represi yang brutal terhadap rakyat Palestina oleh negara Israel.

Duta Besar Venezuela untuk PBB, Jorge Valero, memaparkannya sebagai berikut:

“Siapa yang membayar untuk lebih dari satu juta orang yang tewas di Irak? Siapa yang membayar untuk pembantaian yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina? Mengapa mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan perang, genosida, dan terhadap umat manusia – yang diketahui oleh semua orang dan secara publik mengakui perbuatan mereka – tidak dibawa ke Mahkamah Pengadilan Internasional? Apa yang dilakukan Dewan Keamanan ketika berhadapan dengan pembantaian-pembantaian mengerikan yang terjadi ini?”

Dengan sangat tepat, perwakilan-perwakilan Venezuela menggugat maksud dan tujuan yang sesungguhnya dari intervensi imperialisme di kawasan itu:

“Mereka yang mempromosikan penggunaan kekuatan militer terhadap Libya, tidak berupaya untuk membela Hak-hak Asasi Manusia, tapi untuk mendirikan sebuah protektorat guna melanggarnya, sebagaimana selalu demikian halnya, di sebuah negeri yang merupakan salah satu sumber minyak dan enerji yang paling penting di Timur Tengah”.

Rakyat Irak adalah sebuah kesaksian tentang fakta ini. Washington membuat-buat suatu alasan (yang disebut “senjata pemusnah massal” atau weapons of mass destruction) sebagai dalih untuk menyerang Irak sehingga mereka dapat memperoleh kembali kekuasaan mereka dan mendapatkan kembali kontrol langsung atas sumber-sumber minyak yang krusial. Maksud dan tujuan dari invasi itu bukanlah untuk “mendirikan demokrasi”, dan tentu saja ada sangat sedikit demokrasi di Irak saat ini di bawah pemerintahan Maliki. Ribuan warga Irak berdemonstrasi bulan lalu untuk menuntut listrik, air, lapangan kerja, dan roti, dan mereka disambut dengan represi yang brutal dari pasukan-pasukan pemerintah, yang mengakibatkan kematian, luka-luka, penangkapan, dan penculikan. Tapi tidak seorang pun menganjurkan agar pemerintah Irak diajukan ke Pengadilan Internasional!

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) faktanya adalah sebuah sandiwara. PBB adalah sebuah badan yang hanya mencerminkan dominasi imperialisme AS. Tatkala AS bisa mendapatkan resolusi-resolusi guna membenarkan tindakan-tindakan mereka, mereka menggunakan PBB sebagai kedok. Ketika, untuk alasan apapun, mereka tidak bisa mencapai tujuan-tujuan mereka melalui PBB, mereka mengabaikan PBB dan tetap mengejar tujuan-tujuan itu. Dan, akhirnya, ketika resolusi-resolusi yang dikeluarkan menentang tujuan-tujuan imperialis mereka (misalnya menentang blokade terhadap Kuba atau mengutuk penindasan Israel terhadap rakyat Palestina), mereka begitu saja mengabaikan resolusi-resolusi tersebut, dan resolusi-resolusi itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam kasus resolusi yang baru-baru ini dikeluarkan tentang pendudukan Israel atas Wilayah Palestiina, AS menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi tersebut. Begitulah soal keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia.

Dalam beberapa hari terakhir ada banyak kegaduhan dan beberapa tindakan konkret dari pihak bangsa-bangsa imperialis sehubungan dengan Libya. AS sekarang telah mengerahkan dua kapal perang amfibi, USS Ponce dan USS Kearsarge, yang mengangkut helikopter-helikopter dan jet-jet tempur, ke Laut Tengah. Di bawah selubung yang dinamakan “intervensi kemanusiaan”, kekuatan-kekuatan imperialis (termasuk AS, Inggris, Prancis, dan Italia) di antara yang lain-lainnya, sedang mendiskusikan tindakan apa yang dapat mereka ambil untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Negeri-negeri Eropa terutama khawatir tentang datangnya massa para pengungsi ke pantai-pantai mereka. Kekhawatiran yang lain adalah kontrol atas sumber-sumber minyak dan di atas segalanya dampak dari gelombang revolusioner yang menyapu Dunia Arab terhadap harga minyak dan pukulan terhadap perekonomian kapitalis secara keseluruhan.

Pilihan yang paling banyak didiskusikan adalah “zona larangan terbang”, yang telah dianjurkan di antara yang lain-lain baik oleh senator Republikan John McCain dan senator Demokrat John Kerry. Untuk alasan-alasannya sendiri, Perdana Menteri Inggris David Cameron, telah juga membuat kasak-kusuk tentang perang, guna membesar-besarkan peran Inggris dalam politik dunia; suatu peran yang sebenarnya tidak bisa lagi dimainkan oleh Inggris.

Namun, kebenarannya adalah, bahkan sebuah intervensi terbatas dalam bentuk zona larangan terbang akan berisiko dan rumit untuk diimplementasikan. Sekretaris Pertahanan AS Robert Gates mengeluh bahwa “ada banyak, jujur saja, perbincangan yang kebablasan tentang beberapa dari opsi-opsi militer ini.” Ia memperingatkan tentang implikasi-implikasi dari tindakan seperti itu. “Mari kita namakan sebuah sekop sebagai sebuah sekop: sebuah zona larangan terbang dimulai dengan suatu serangan terhadap Libya, untuk menghancurkan pertahanan udaranya. Itulah caranya Anda mengadakan sebuah zona larangan terbang … Itu juga membutuhkan lebih banyak pesawat terbang daripada yang dapat Anda temukan pada satu kapal pengangkut pesawat. Jadi ini adalah sebuah operasi besar di sebuah negeri yang besar.”

Militer AS sudah terlalu lama di Irak dan Afghanistan, seperti ditekankannya: “Bila kita memindahkan aset-aset tambahan, apa konsekuensinya dari pemindahan itu bagi Afghanistan, bagi Teluk Persia?” Katanya, “Dan apakah sekutu-sekutu yang lain siap untuk bekerja dengan kita dalam beberapa dari hal-hal ini?”

Namun, kekhawatiran utama yang ada pada para perencana imperialis sehubungan dengan intervensi di Libya adalah reaksi negatif yang akan terjadi di seluruh kawasan tersebut. Massa-rakyat sudah muak dan jenuh dengan imperialisme, dan gelombang revolusioner yang sedang menyapu Dunia Arab secara langsung tertuju pada rezim-rezim yang disponsori AS. Gates memperlihatkan bahwa klas-penguasa AS sadar tentang hal ini ketika ia mengatakan, “Kita juga harus berpikir tentang, dengan jujur, penggunaan militer AS di negeri lain di Timur Tengah.”

Pertimbangan-pertimbangan ini, tentu saja, tidak mengenyahkan intervensi imperialis di Libya atau di mana saja, bila kepentingan-kepentingan vital mereka terancam. Tapi pertimbangan-pertimbangan itu menggarisbawahi fakta bahwa AS telah kedapatan tidak siap menghadapi gelombang revolusioner sekarang ini dan tidak mampu mengintervensi secara cepat dan efektif untuk mengemudikan jalannya kejadian-kejadian menurut keinginan mereka.

Di hadapan manuver-manuver imperialisme, dan juga ketidakkonsisten kaum imperialis dalam menangani perkara “Hak-hak Asasi Manusia” dan “kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan”, Venezuela dan Kuba benar dalam menyingkap kemunafikan imperialisme dan beragitasi melawan kekuatan-kekuatan asing yang mengintervensi Libya.

Namun, yang dikemukakan oleh kedua negara tersebut, dan terutama sekali oleh Hugo Chavez dan Fidel Castro, tergangsir oleh fakta bahwa mereka dipandang mendukung Khaddafy, alih-alih mendukung massa-rakyat Libya yang telah bangkit menentang rezimnya.

Adalah benar bahwa Duta Besar Venezuela untuk PBB mengatakan di dalam pidatonya bahwa Venezuela “menyambut hangat rakyat-rakyat Arab yang sedang berada dalam proses pemberontakan yang damai dan mencari keadilan, dan menatap pada sebuah masa depan yang lebih baik melalui jalan-jalan damai.” Tapi pada saat yang sama Fidel Castro telah berargumen bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi Libya berbeda dengan yang dihadapi Tunisia dan Mesir. Ia telah menambahkan bahwa kendati “tidak ada keraguan bahwa wajah-wajah mereka yang berdemo di Benghazi mengekspresikan kemarahan yang sungguh-sungguh,” telah ada “sebuah kampanye fitnah yang besar-besaran, yang diluncurkan oleh media massa, yang mengakibatkan kebingungan besar dalam opini publik dunia.”

Presiden Venezuela Hugo Chavez juga telah mengatakan bahwa ia “menolak untuk mengutuk Khaddafy” yang telah menjadi “seorang sahabat lama Venezuela” karena nampaknya tidak ada cukup informasi tentang situasi di sana. Ia telah menggunakan contoh 11 April 2002, tatkala media dunia menuduh Chavez telah memerintahkan tentara untuk menembaki para demonstran yang damai guna membenarkan kudeta terhadap dirinya. Sebagaimana kita semua ketahui, belakangan terbukti bahwa segala sesuatunya telah dirancang, dengan para penembak-jitu (sniper) yang disewa, yang menembaki baik para demonstran oposisi maupun para demonstran revolusioner pada April 2002.

Namun, dalam kasus Libya, situasinya sama sekali berbeda. Di Venezuela, yang terjadi adalah sebuah gerakan reaksioner melawan sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis yang berupaya untuk mengimplementasikan reforma-reforma yang progresif dan berdiri-kukuh melawan imperialisme. Di Libya kita mendapati sebuah perlawanan rakyat terhadap sebuah rezim penindas yang telah membuat segala macam kesepakatan dengan imperialisme.

Pada tingkatan tertentu, dapat dipahami mengapa ada kebingungan di Venezuela tentang watak dari apa yang sebenarnya terjadi di Libya. Rakyat Venezuela tidak lagi mempercayai media kapitalis, yang sama sekali didiskreditkan oleh peran yang mereka mainkan dalam kudeta 2002. Lebih-lebih, oposisi kontra-revolusioner Venezuela sedang berupaya untuk menyelinap ke dalam gerbong Revolusi Arab, dengan mengatakan bahwa “diktator berikutnya yang akan jatuh adalah Hugo Chavez”.

Adalah suatu soal catatan publik bahwa oposisi kontra-revolusioner Venezuela menerima pendanaan, pelatihan, dan segala jenis dukungan dari Washington. Dalam sejumlah kesempatan, mereka telah mengorganisir pasukan-pasukan mereka di jalan-jalan untuk membuat seolah-olah Chavez adalah seorang tiran yang menghadapi oposisi rakyat (jelang kudeta 11 April 2002, semasa penghentian produksi minyak pada Desember 2002, semasa guarimba pada 2004, protes-protes mahasiswa demi membela RCTV, dsb). Mereka tidak akan segan-segan untuk melakukannya lagi. Namun, apa yang sedang kita lihat di Dunia Arab persis sebaliknya: serangkaian perlawanan revolusioner terhadap rezim-rezim diktatorial yang dibeking AS.

Benar bahwa rezim Khaddafy meraih kekuasaan di atas gerakan yang didukung oleh rakyat melawan monarki yang membusuk, Raja Idris, pada tahun 1969. Pada 1970-an, dengan dipengaruhi oleh gelombang Revolusi Arab, dan karena dampak resesi dunia 1974, rezim Khaddafy bergerak lebih jauh ke Kiri, dengan mengusir imperialisme dan memperdalam serangan-serangan terhadap properti kapitalis. Mendasarkan dirinya pada kekayaan minyak negeri tersebut dan jumlah penduduknya yang relatif kecil, Rezim Khaddafy mampu mengimplementasikan banyak reforma progresif dan secara substansial meningkatkan standar hidup mayoritas besar rakyat Libya.

Namun, setelah kejatuhan Uni Soviet, rezim ini mulai membuka diri terhadap imperialisme. Sejak sedini tahun 1993 undang-undang yang menjamin investasi asing disahkan. Dan setelah kejatuhan Saddam Hussein pada 2003 Khaddafy memutuskan untuk berdamai dengan imperialisme dengan menandatangani sejumlah kesepakatan untuk melucuti senjata pemusnah massalnya, membayar ganti-rugi kepada korban-korban pengeboman teroris, dsb. Rezim ini menjadi mitra yang loyal bagi imperialisme dalam apa yang dinamakan “perang terhadap terror” dan bekerjasama dengan Uni Eropa dalam rangka memperkuat “benteng Eropa” terhadap masuknya para imigran illegal dari sub-Sahara.

Ini dibarengi dengan permohonan untuk bergabung dengan WTO, menciptakan Zona Perdagangan Khusus, memprivatisasi bagian-bagian besar dari perekonomian, mengizinkan perusahaan-perusahaan minyak multinasional ke dalam industri minyak dan memangkas subsidi atas bahan-bahan pangan pokok. Tujuannya adalah memprivatisasi 100% perekonomian, menurut para pejabat Libya. Implementasi dari kebijakan-kebijakan inilah yang menyebabkan membengkaknya penganguran (antara 20 dan 30%), kemiskinan, dan ketidaksetaraan, yang memainkan suatu peran kunci dalam perlawanan akhir-akhir ini.

Dalam artikelnya yang paling baru tentang situasi di Libya, Fidel Castro menekankan fakta bahwa, “fakta yang tidak dapat disangkal bahwa relasi-relasi antara AS dan sekutu-sekutu NATO-nya dengan Libya dalam tahun-tahun terakhir sangat bagus,” dengan menambahkan bahwa Libya “telah membuka sektor-sektor strategis seperti produksi dan distribusi minyak bagi investasi asing” dan bahwa, “banyak perusahaan milik negara diprivatisasi. IMF memainkan perannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini.” Dan sebagai akibatnya, “Aznar penuh dengan puja-puji kepada Khaddafy, dan ia diikuti oleh Blair, Berlusconi, Sarkozy, Zapatero, dan sahabat saya Raja Spanyol, mereka semua mengantri di bawah senyum mengejek dari pemimpin Libya. Mereka senang.” (Cuba Debate)

Khaddafy sendiri menjelaskan bagaimana ia merasa “dikhianati” oleh negara-negara Barat. Setelah mendukung mereka dan mengikuti kebijakan-kebijakan mereka selama beberapa tahun, sekarang mereka malah mencampakkan dia. Bahkan retorika yang digunakannya mendemonstrasikan itu. Ketika menuduh para pemberontak dimanipulasi oleh Al Qaeda, ia sedang menggunakan taktik menjajakan ketakutan seperti yang sebelumnya dilakukan Ben Ali dan terutama Mubarak, dan dalam kenyataannya meminta dukungan Barat untuk menghadapi musuh bersama. Karakter sesungguhnya dari rezim Khaddafy dapat disimpulkan dari posisinya terhadap perlawanan revolusioner di Tunisia, di mana ia tampil dengan teguh di pihak sekutu Barat, Ben Ali, dan mengkritik kaum buruh dan kaum muda Tunisia karena telah menggulingkan Ben Ali!

Berkenaan dengan kebenaran tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di Libya, orang tidak perlu menyimak media Barat. Saif al Islam, putra Khaddafy sekaligus tangan kanannya, mengakui penggunaan tentara untuk menghadapi para demonstran yang tak bersenjata dalam pidatonya, 20 Februari yang silam:

“Tentu ada banyak kematian, yang membangkitkan kemarahan banyak orang di Benghazi, tapi mengapa orang-orang terbunuh di sana? Tentara ada dalam tekanan; tidak terbiasa mengontrol kerumunan massa, mereka menembak, tetapi saya mengkontak mereka. Tentara mengatakan bahwa beberapa demonstran mabuk, yang lain-lain ada dalam pengaruh obat halusinasi atau obat-obatan terlaranga. Tentara harus mempertahankan senjata-senjatanya. Dan orang-orang marah. Jadi memang ada banyak yang mati, tapi pada akhirnya orang-orang Libya-lah yang terbunuh.”

Khaddafy sendiri telah mengakui bahwa “beberapa ratus orang terbunuh,” tapi menuduh Al Qaeda mendistribusikan obat-obatan kepada kaum muda!!

Kisah yang dilaporkan koresponden TeleSUR di Libya, Reed Lindsay (twitter.com/reedtelesur), mengkonfirmasi laporan-laporan yang datang dari sumber-sumber lain: ada demonstrasi-demonstrasi rakyat yang damai dan tak bersenjata, dan tentara melepaskan tembakan (lihat, misalnya, untuk laporan ini: (Telesur). Dalam suatu laporan yang dikirimkannya dari Brega, 2 Maret (Telesur), ia menggambarkan bagaimana ada prajurit-prajurit yang telah bergabung dengan Pemberontakan tapi juga “warga dari berbagai latar belakang, saya telah berbicara kepada para dokter, insinyur, buruh dari perusahaan minyak, di sini mereka semua memberontak, menjadi bagian dari perlawanan dan bersenjata”, dengan menambahkan bahwa “Pemberontakan ini dimulai dengan damai, dua minggu yang lalu, tapi sekarang rakyat menyandang senjata untuk berjuang sampai mereka berhasil menggulingkan Khaddafy.” Ia juga menolak anggapan bahwa perang sipil sedang terjadi di Libya: “Kita tidak sedang berbicara tentang sebuah perang sipil di sini… ini dimulai ketika para demonstran yang damai diserang oleh pasukan-pasukan keamanan dengan menggunakan senjata berat,” (Union Radio)

Sebagai bagian dari laporannya, Reed Lindsay, juga telah mengkonfirmasi semua laporan yang memperlihatkan bagaimana rakyat Libya yang bangkit melawan Khaddafy dengan tegas menentang intervensi asing. “Mereka berkata bahwa bila pasukan-pasukan AS tiba di sini, mereka akan memerangi pasukan-pasukan itu dengan cara yang sama dengan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan Khaddafy.”

Butir penting lainnya yang dikemukakan Lindsay dalam laporannya adalah mengenai sikap rakyat, baik di Benghazi maupun di Brega, terhadap pemerintah-pemerintah Amerika Latin, dan khususnya negeri-negeri ALBA. Di Brega banyak orang bertanya “mengapa presiden Venezuela dan presiden-presiden Amerika Latin lainnya yang sepakat dengan keadilan sosial dan perubahan revolusioner malah mendukung seorang dictator yang menggunakan Tentara terhadap rakyatnya sendiri” katanya (Union Radio). “Mereka meminta negeri-negeri ALBA untuk memutuskan hubungan dengan Khaddafy dan mendukung perjuangan revolusioner rakyat Libya,” lapornya dari Benghazi. Menurut Lindsay, rakyat di Ajdabiya berbicara tentang suatu “perjuangan bersama dengan rakyat-rakyat Amerika Latin” (Kami mengutip dari Reed Lindsay, karena ia tidak bisa dituduh sebagai agen imperialisme atau memutarbalikkan berita guna membenarkan intervensi imperialisme).

Bahkan koresponden TeleSUR lainnya, Jordan Rodríguez, yang hanya melaporkan apa yang dikatakan Khaddafy dan para pejabatnya tanpa membubuhi komentarnya sendiri, mendapat masalah ketika berupaya meliput bentrokan-bentrokan di lingkungan-lingkungan di Tripoli. Timnya ditahan oleh polisi selama empat jam, dipukuli, diancam dengan senapan yang diarahkan kepada mereka, dan film mereka dirampas (Telesur). Ini adalah kedua kalinya mereka ditahan dan ini terjadi kendati mereka mengendarai sebuah mobil diplomatik Venezuela.

Ada suatu butir yang sangat penting yang dikemukakan dalam liputan-liputan ini. Revolusi Venezuela dan khususnya Presiden Chavez luar biasa populer di Dunia Arab, khususnya setelah penentangannya yang vokal terhadap invasi Israel ke Lebanon. Massa-rakyat di negeri-negeri ini memandang Hugo Chavez sebagai pemimpin sebuah negeri minyak yang berdiri teguh melawan imperialisme dan menggunakan uang dari minyak untuk memperbaiki kondisi-kondisi kehidupan rakyatnya. Ini sama sekali bertentangan dengan para penguasa di negeri-negeri mereka sendiri, yang justru menjadi boneka-boneka imperialisme AS, dan tidak membuka mulut mereka sama sekali terhadap agresi-agresi Israel, serta menggunakan kekayaan negeri untuk memperkaya diri mereka sendiri. Inilah salah satu alasan di balik perlawanan revolusioner massa-rakyat Arab. Dalam jajak-pendapat yang dilakukan pada tahun 2009 di beberapa negeri Arab, pemimpin yang paling populer adalah Hugo Chavez dengan 36% dukungan, mengungguli pemimpin-pemimpin yang lain.

Basis dukungan satu-satunya yang dapat diandalkan Revolusi Venezuela adalah massa-rakyat kaum buruh dan kaum muda di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan di seluruh dunia, yang merasa bersimpati dan solider dengan Revolusi Bolivarian karena mereka juga menginginkan sebuah revolusi yang serupa terjadi di negeri-negeri mereka sendiri. Hugo Chavez dan Revolusi Bolivarian harus mengambil posisi yang jelas yang mendukung gelombang revolusioner yang sedang menyapu Dunia Arab, karena ini merupakan bagian dari revolusi dunia, di mana selama beberapa tahun Amerika Latin telah menjadi pengawalnya yang terdepan. Ini mencakup pemberian dukungan kepada rakyat Libya yang sedang bangkit melawan Khaddafy, sementara pada saat yang sama menentang intervensi imperialis.

Dalam upayanya mencegah intervensi militer asing di Libya, Hugo Chavez telah mengusulkan agar sebuah komisi mediasi internasional pergi ke Libya. Laporan-laporan terbaru di media mengindikasikan bahwa kendati Khaddafy dikatakan telah menerima usulan ini, puteranya Saif al-Islam dengan tegas telah menolaknya. “Kami harus mengucapkan terimakasih kepada Anda, tapi kami cukup mampu dan sanggup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kami dengan rakyat kami sendiri.” Orang-orang Venezuela, tambah Saif, “adalah sahabat-sahabat kami, kami menghormati mereka, kami menyukai mereka, tapi mereka sangat jauh di sana. Mereka tidak mengerti Libya. Libya ada di Timur Tengah dan Afrika Utara. Venezuela di Amerika Tengah.” Sekadar informasi untuk Saif, Venezuela bukan di Amerika Tengah; tapi kita maklum, pikirannya sedang terkonsentrasi pada soal-soal yang lain.

Di lain pihak, para pemberontak Libya juga telah menolak mediasi, dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendengar tentang itu, tapi sudah terlalu terlambat untuk negosiasi apapun, sementara sudah terlalu banyak rakyat Libya yang dibunuh oleh Khaddafy. Bila seseorang memahami esensi yang sebenarnya dari situasi d Libya, dimana pemerintahan dengan brutal menindas demonstrasi-demonstrasi damai rakyatnya sendiri, yang kemudian menjadi sebuah perlawanan rakyat yang bersenjata, maka orang dapat memahami mengapa usulan atau proposal Chavez keliru. Ini seperti andai kata dalam hari-hari terakhir Revolusi Kuba, ketika tentara revolusioner hampir menggulingkan Batista, seorang mengatakan, “tunggu sebentar, marilah kita bentuk mediasi internasional sehingga bisa ada pengertian antara Batista dan Gerakan 26 Juli .”

Dalam situasi seperti ini, posisi satu-satunya yang dapat diambil oleh seorang revolusioner adalah mendukung perlawanan revolusioner rakyat Libya. Bila Hugo Chavez tidak mempososikan dirinya dengan jelas untuk mendukung massa-rakyat yang revolusioner di Dunia Arab, ia membuat kesalahan serius; kesalahan yang akan dibayar dengan sangat mahal oleh rakyat Venezuela. Hugo Chavez sedang mengamati situasi Libya dengan menggunakan lensa Venezuela, dengan membuat perbandingan yang keliru. Para pemberontak Libya tidak dapat dibandingkan dengan kaum oposisi Venezuela, dan posisi Rezim Khaddafy tidak bisa dibandingkan sama sekali dengan posisi Chavez.

Kita harus jelas: apa yang sedang kita saksikan di Libya dan selebihnya dari Dunia Arab bukanlah kudeta 11 April 2002 yang dijustifikasi atau dibenarkan dengan manipulasi media; alih-alih, yang sedang terjadi di Libya adalah sebuah 27 Februari 1989, sebuah perlawanan yang serupa dengan Caracazo, yang di dalamnya pemerintah-pemerintah sedang menggungakan Tentara untuk menghadapi para demonstran yang tak bersenjata. Sementara kita menentang tegas intervensi imperialis, kita harus jelas di pihak mana kita berada: pihak rakyat Libya yang sedang bangkit melawan Rezim Khaddafy. ***

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “Venezuela and Libya: it is not an April 11 coup, it is a February 27 Caracazo,” Jorge Martin, 4 Maret 2011.

Venezuela, Indonesia, dan Perjuangan Untuk Kedaulatan Nasional

Oleh Ted Sprague

Perjuangan untuk kedaulatan nasional atau perjuangan pembebasan nasional secara historis merupakan perjuangan utama dari negara-negara “ketiga”. Dimulai dari perjuangan negara-negara kolonial untuk merebut kemerdekaannya puluhan tahun yang lalu, sampai perjuangan hari ini untuk membebaskan diri mereka dari cengkraman modal asing. Perjuangan untuk kesejahteraan rakyat negara-negara ketiga tidak pernah terpisah dari perlawanan terhadap modal asing, terhadap imperialisme.

Di abad ke-21 ini, Revolusi Bolivarian di Venezuela membuka sebuah babak baru di dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Setelah runtuhnya Uni Soviet, yang dielu-elukan oleh kelas kapitalis sebagai akhir dari sosialisme dan revolusi, rakyat Venezuela telah menunjukkan secara konkrit bahwa perjuangan sosialisme tidaklah berakhir dengan keruntuhan dan kegagalan Uni Soviet. Pengalaman di Venezuela telah menjadi inspirasi bagi jutaan rakyat yang tertindas dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari gerakan Bolivarian.

Di Indonesia sendiri, gerakan anti neo-liberal (anti imperialis) sudah bukan menjadi monopoli kaum kiri. Elit-elit politik sudah mulai menggunakan jargon dan retorika anti neo-liberal untuk meraup dukungan dari rakyat tertindas.

Evolusi Revolusi Bolivarian

Lahirnya Revolusi Bolivarian bisa ditelusuri dari peristiwa Caracazo pada tahun 1989. Jutaan rakyat miskin Venezuela tumpah ruah ke jalanan ketika presiden Carlos Andres Perez menerapkan kebijakan pasar bebas atas rekomendasi IMF yang memotong subsidi dan menprivatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Akibat dari kebijakan ini, harga BBM dan ongkos transportasi serta harga barang sehari-hari melonjak tinggi. Presiden Perez lalu memerintahkan polisi dan tentara untuk menembaki rakyat yang melawan. Ribuan orang terbunuh dan banyak lainnya yang menghilang.

Beberapa tahun kemudian pada tahun 1992, sekelompok tentara progresif di bawah kepemimpinan Chavez mencoba melakukan kudeta militer. Ketika pemerintah Carlos Andres Perez menggunakan tentara untuk merepresi pemberontakan Caracazo, ini memecahkan tentara ke dalam garis kelas. Tentara-tentara bawahan yang lebih dekat dengan rakyat merasa muak digunakan sebagai alat untuk menindas kelasnya sendiri dan mereka memberontak. Pada saat kudeta ini terjadi tidak ada dukungan dari rakyat luas karena mereka tidak tahu apakah kudeta ini hanyalah kudeta reaksioner, yakni perebutan kekuasaan antara elit politik, atau kudeta progresif. Tetapi ketika berita mengenai karakter kudeta ini tersebar, terutama ketika Chavez tampil di televisi memerintahkan pasukannya untuk mundur “untuk sekarang” (por ahora), rakyat Venezuela tahu bahwa mereka telah menemukan pemimpin mereka, ekspresi dari kehendak mereka.

Situasi politik di Venezuela semenjak itu tidak pernah sama lagi. Guncangan pemberontakan Caracazo dan usaha kudeta militer progresif telah membuat kaum borjuasi Venezuela gemetar. Mereka telah kehilangan legitimasi dan terpaksa membuat konsensi-konsensi. Satu bagian dari kaum borjuasi mengerti bahwa mereka harus melakukan reformasi untuk menenangkan amarah rakyat, bahwa pemerintahan yang ada sekarang tidak bisa dipertahankan lagi dan semakin lama ia dipertahankan semakin berbahaya situasi ini. Ini seperti yang terjadi juga di Indonesia ketika para elit-elit politik dan militer Indonesia mengerti bahwa Soeharto haruslah turun demi menjaga kelanggengan kekuasaan mereka secara keseluruhan.

Pemerintah yang selanjutnya naik pada tahun 1994 adalah pemerintah yang bernuansa reformis di bawah presiden Caldera (dari MAS) dengan salah satu platform demokrasi yakni memberikan amnesti kepada para pelaku kudeta 1992. Chavez dibebaskan dan segera membentuk sebuah partai baru, MVR (Gerakan Republik Kelima). MVR membentuk koalisi dengan partai-partai kecil lainnya yang kemudian membawa Chavez terpilih sebagai presiden pada tahun 1998.

Harus diingat, pada awalnya, Chavez hanyalah menawarkan program “Jalan Ketiga” guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia adalah pengagum “Jalan Ketiga”nya Tony Blair, yakni gabungan antara kebijakan pasar bebas dengan kebijakan “sosialis” Akan tetapi, ia segera menemukan halangan yang besar. Kebijakan-kebijakan reformasinya yang moderat untuk mengangkat rakyat Venezuela dari kemiskinan segera ditentang oleh kaum kapitalis Venezuela. Kaum borjuis nasional Venezuela tidak ingin terlibat sama sekali dengan kebijakan “Jalan Ketiga”nya Chavez karena di belakang Chavez adalah rakyat miskin yang semakin terradikalisasi secara politik. Sabotase-sabotase dilakukan tetapi para pemimpin Revolusi Bolivarian pada saat itu masihlah memiliki ilusi untuk merangkul kaum borjuis nasional yang progresif. Chavez masih menyerukan ajakan-ajakan kepada kaum borjuis nasional Venezuela untuk turut serta dalam gerakan nasionalnya untuk membawa Venezuela maju.

Apa jawaban dari kaum borjuis nasional Venezuela? Campakkan program reformasi kamu atau kami akan bertindak! Maka bertindaklah mereka dengan sabotase-sabotase ekonomi dan politik, kampanye media fitnah besar-besaran, yang memuncak pada kudeta April 2002. Akan tetapi, di belakang Chavez adalah massa yang sudah terbangunkan secara politik dan sadar akan kekuatan mereka. Jutaan rakyat Venezuela bergerak menyelamatkan revolusi. Kudeta April 2002 digagalkan.

Akan tetapi Chavez dan para pemimpin reformis Gerakan Bolivarian masih menyerukan kepada kaum oligarki Venezuela untuk berdialog. Namun tidak ada kaum borjuis yang progresif di Venezuela. Seruan ini seperti angin berlalu. Pada akhir tahun 2002 dan awal 2003, para pemilik modal Venezuela melakukan sabotase ekonomi. Industri minyak negara disabotase dengan bantuan manajer-manajer level tinggi di PDVSA (Perusahaan Minyak Negara), yang diikuti dengan penutupan toko-toko dan bisnis untuk melumpuhkan Venezuela. Sekali lagi, rakyat Venezuela lah yang bergerak untuk menyelamatkan revolusi Venezuela. Sabotase ekonomi tersebut dipatahkan. Para buruh minyak PDVSA menjalankan industri minyak tanpa manajer. Seruan kepada kaum borjuis progresif tidak mendapat angin sama sekali bukan karena seruan tersebut kurang karismatik atau tidak dilakukan dengan cara yang tepat, tetapi karena mereka tidak eksis sama sekali.

Setelah kudeta militer dan sabotase ekonomi gagal, rakyat Venezuela semakin terradikalisasi karena mereka menyadari kekuatan mereka. Lalu taktik kaum borjuis nasional selanjutnya adalah dengan menyerukan kampanye recall untuk memecat presiden Chavez. Usaha ini sekali lagi dipatahkan oleh rakyat Venezuela. Elemen-elemen reformis kiri di dalam gerakan Bolivarian, yang berpendapat bahwa revolusi ini adalah revolusi borjuis demokratik yang harus melibatkan kaum borjuis nasional, semakin kehilangan dukungan karena perspektif mereka terbukti keliru di dalam praktek. Rakyat menjadi semakin radikal dan Chavez pun terdorong semakin radikal.

Lalu pada tahun 2005, Chavez menyatakan bahwa Revolusi Bolivarian adalah revolusi yang berwatakkan sosialisme, bahwa tidak ada jalan keluar di dalam kapitalisme. Apa tanggapan rakyat miskin Venezuela? Mereka bersorak sorai dan semakin mendukung Chavez; insting mereka selama ini yang menentang kapitalisme dan mendukung sosialisme mendapatkan ekspresinya dan kepemimpinannya. Gerakan Bolivarian mengalami loncatan kualitatif; yang dulunya terkerangkeng dalam batasan revolusi demokrasi – batasan artifisial yang dibangun oleh kaum reformis kiri Venezuela dan absennya kepemimpinan – sekarang  terbebaskan untuk mengambil langkah-langkah menuju sosialisme.

Semenjak itu, nasionalisasi pabrik-pabrik semakin gencar dilakukan di Venezuela. Gerakan okupasi pabrik dan kontrol buruh berjamuran. Dewan-dewan komunal tumbuh secara akar rumput.

Kedaulatan nasional dan kapitalisme

Satu pelajaran penting dari Venezuela adalah bahwa kedaulatan nasional tidak akan dapat tercapai di bawah kapitalisme. Tidak ada satupun kaum borjuis nasional yang mampu dan ingin secara serius membawa kedaulatan nasional. Mereka terikat dengan kekuatan modal asing. Inilah pelajaran dari Revolusi Bolivarian. Adalah suatu keajaiban bahwa Revolusi Bolivarian telah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Ini hanya karena keberanian rakyat Venezuela yang berulang kali menyelamatkan Revolusi Venezula, dan juga karena kelemahan kaum oligarki Venezuela yang tidak mampu merebut kekuasaan, dan juga kelemahan imperialisme secara umum pada periode ini.

Revolusi Bolivarian berkali-kali harus menghadang maut karena kesalahan perspektif (perspektif “jalan ketiga” dan perspektif merangkul kaum borjuis nasional) dari kepemimpinan mereka; dalam situasi normal ini biasanya akan berakhir di dalam konter-revolusi (seperti dalam kasus Allende di Chili). Tidak ada revolusi yang berlangsung begitu lama di dalam sejarah tanpa adanya perebutan kekuasaan yang pasti dari satu pihak. Tetapi keberuntungan ini tidaklah akan bertahan lama, dan Revolusi Venezuela harus segera mengambil langkah-langkah pasti menuju sosialisme.

Indonesia dan perjuangan kedaulatan nasional

Di Indonesia, perjuangan untuk pembebasan nasional tidak bisa terpisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Satu-satunya kekuatan yang mampu membawa pembebasan nasional adalah kelas buruh dengan bantuan kelas tani dan kaum miskin kota. Inilah satu-satunya kekuatan yang harus diandalkan.

Beberapa sektor borjuis nasional menggonggong kepada tuan imperialis mereka hanya karena mereka ingin kue jarahan yang lebih besar, dan juga karena mereka sadar bahwa eksploitasi modal asing yang terlalu berlebihan adalah berbahaya bagi kelanggengan kapitalisme di Indonesia. Kapitalisme telah memasuki krisis dan ini biasanya akan membawa juga perpecahan di dalam tubuh kaum borjuis, perpecahan dalam taktik bagaimana menyelamatkan kapitalisme. Krisis ekonomi membawa krisis politik, bukan hanya antar kelas tetapi juga di dalam kelas itu sendiri. Akan tetapi pada akhirnya, kaum borjuis nasional setuju dalam satu hal: bagaimana menyelamatkan kapitalisme.

Pertanyaannya adalah bagaimana menggunakan keretakan tersebut untuk memajukan gerakan rakyat pekerja. Caranya adalah bukan dengan menyerukan kolaborasi kelas dengan sektor-sektor borjuis reformis yang akan menumpulkan kesadaran kelas buruh, tetapi dengan mengekspos kebangkrutan kaum borjuis reformis tersebut yang akan menguatkan rasa percaya diri kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang mampu secara penuh dan serius menuntaskan program-program reformasi (kedaulatan nasional, demokrasi, dll) dan sosialis.

Venezuela Semakin Waspada Terhadap Ancaman Militer AS

Oleh Ady Thea
14 Agustus 2009

chavez_300x225Belum selesai masalah di Honduras selesai, dimana Presiden Manuel Zelaya yang terpilih secara demokratis dikudeta oleh petinggi-petinggi militer yang pro-kapitalis, kini kaum revolusioner di Amerika Latin digerahkan oleh sikap pemerintahan Kolombia di bawah kepemimpinan Presiden Alvaro Uribe yang menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Sebelumnya Uribe telah menuduh pemerintahan Venezuela memasok senjata kepada kelompok gerilyawan di Kolombia, Revolutionary Forces of Colombia (FARC). Pemerintahan Venezuela menanggapi tuduhan Kolombia itu dengan mengatakan bahwa kelompok gerilyawan telah mencuri persenjataan milik Venezuela di pos militer milik Venezuela yang letaknya berbatasan atau berdekatan dengan Kolombia pada tahun 1995, dimana Chavez ketika itu belum menjabat sebagai presiden. Chavez juga mengatakan bahwa badan intelijen AS, Central Intelligence Agency (CIA), bekerjasama dengan pemerintahan Kolombia dengan mendukung pasukan paramiliter masuk secara ilegal ke wilayah Venezuela untuk melakukan skenario pembunuhan dan kudeta. Melihat kondisi pemerintahan Kolombia yang semakin “tidak bersahabat”, pekan lalu pemerintahan Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan Kolombia dan berencana untuk membeli sejumlah peralatan tempur seperti tank dari Rusia untuk merespon kebijakan yang dilakukan oleh AS dan Kolombia.

Karena saat ini Kolombia membolehkan pemerintah AS mengirim ratusan tentaranya untuk menempati basis-basis militer yang ada di Kolombia. Pemerintahan Uribe berdalih bahwa tindakan itu merupakan bentuk kerjasama antara Kolombia – AS untuk memerangi terorisme dan perdagangan narkoba. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir ini, Kongres AS telah menyetujui bantuan militer sebesar 5,5 milyar Dollar AS untuk Kolombia, kebijakan ini disebut Plan Colombia. Presiden AS, Barack Obama, mengatakan bahwa AS dan Kolombia telah melakukan kerjasama militer dan penempatan pasukan ini merupakan bagian dari kesepakatan itu. Obama juga menjelaskan bahwa ia tidak berkeinginan untuk membangun basis militer AS di Kolombia.

Chavez melihat kebijakan yang diambil oleh AS-Kolombia itu merupakan langkah awal dari peperangan yang akan berkobar di wilayah Amerika Selatan. “Kaum Yankees (AS) tidak menginginkan kita bersatu sebagai sebuah kesatuan regional, mereka tidak ingin adanya persatuan antara Venezuela dan Kolombia”, kata Chavez. Kolombia di bawah kepemimpinan Uribe menjalin hubungan yang sangat mesra dengan AS. Oleh karena itu bantuan ekonomi politik AS terus mengalir ke Kolombia. Hubungan ini dijalin semakin erat karena saat ini AS tidak banyak mendapat simpati dari pemerintahan revolusioner di beberapa negara di wilayah Amerika Latin. Hegemoni AS di Amerika Latin semakin berkurang drastis semenjak bermunculannya kekuatan pemerintahan progresif yang menentang penindasan AS.

Menyangkut persoalan antara pemerintahan Venezuela dan Kolombia, beberapa negara Amerika Latin yang berada di bawah kepemimpinan kaum progresif seperti Chili, Bolivia dan lain-lain merekomendasikan agar Kolombia menjalin kerjasama dengan negara-negara Amerika Latin lainnya untuk mengatasi masalah keamanan di negaranya, terutama tentang perdagangan narkoba dan memerangi terorisme. Hal itu dapat dibicarakan bersama lewat organisasi integrasi politik dan militer UNASUR (Persatuan Negara-negara Amerika Selatan). Langkah ini dinilai tepat karena dapat memperkuat hubungan antar negara di kawasan Amerika Latin. Namun rekomendasi itu tidak diindahkan oleh pemerintahan Uribe.

Negara-negara Amerika Latin saat ini sedang giat untuk melakukan kerjasama di segala bidang baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya, militer dan lain-lain. Langkah ini diambil agar negara-negara di Amerika Latin dapat berdiri secara independen, bebas dari aturan-aturan tidak adil dari kaum kapitalis global, sehingga massa rakyat dapat bersatu dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka dari cengkraman kuku-kuku kapitalisme. AS semakin gigit jari ketika negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Kepulauan Karibia banyak yang bergabung dalam ALBA (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika). ALBA merupakan organisasi antar negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia yang menolak konsep perdagangan bebas yang ditawarkan AS beserta sekutunya lewat FTAA (Area Perdagangan Bebas di Amerika). ALBA merupakan organisasi alternatif yang dibentuk dan dipelopori oleh Kuba dan Venezuela. Hingga saat ini jumlah negara anggota ALBA berjumlah 9 negara yaitu Antigua dan Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Honduras, Nikaragua, Saint Vincent dan Grenadines, dan Venezuela.

Seperti halnya ALBA, organisasi lainnya yaitu UNASUR, juga dibentuk sebagai sebuah alternatif bagi kerjasama antara negara-negara di kawasan Amerika Latin. Langkah ini penting karena kerjasama yang dilakukan bukan hanya sebatas keuntungan ekonomi semata, namun lebih daripada itu. Kerjasama yang dilakukan didasarkan pada semangat sosialisme, dimana negara-negara yang tergolong miskin akan dibantu semaksimal mungkin agar ia dapat membangun negaranya dengan segenap kekuatan kelas pekerja. Seperti halnya kerjasama yang telah dilakukan oleh Kuba dan Venezuela ketika ALBA pertama kali dibentuk dimana kelas pekerja di Venezuela, lewat pemerintahan Chavez, mengirim kurang lebih 96.000 barrel bahan bakar minyak per-hari untuk massa rakyat Cuba dan sebagai gantinya, kelas pekerja di Kuba, lewat pemerintahan Fidel Castro, mengirimkan kurang lebih 20.000 tenaga-tenaga medis terlatih dan ribuan tenaga pengajar profesional yang ditempatkan di daerah-daerah miskin di Venezuela. Bentuk kerjasama seperti itulah yang tentunya juga dirasakan oleh negara-negara anggota ALBA ataupun UNASUR lainnya.

Namun tampaknya pemerintahan Uribe tidak menginginkan hal itu. Rupanya ia lebih memilih untuk bekerjasama dengan emperium kapitalisme AS dan sekutunya. Bahkan ia telah membuka pintu lebar-lebar agar tentara AS dapat masuk dan menempati basis-basis militer di Kolombia. Chavez menyesali kebijakan yang diambil pemerintahan Uribe. “Saya lebih suka berdiskusi tentang kerjasama dalam pembangunan jalur kereta, pipa minyak, kesehatan, literatur dan pendidikan antara Kolombia dan Venezuela, namun sayang sekali kita mendiskusikan hal yang lain”, kata Chavez.

Referensi:
•    http://www.venezuelanalysis.com/news/4696
•    http://www.venezuelanalysis.com/news/4701

Kontrol Buruh dan Nasionalisasi – Bagian IV

By Rob Lyon
Senin, 20 Februari 2006

Dalam Bagian Empat ini kita akan melihat sebuah perjuangan untuk kontrol buruh yang sedang tumbuh di Venezuela. Perjuangan ini mengindikasikan bahwa kelas buruh Venezuela mulai mengintervensi secara aktif dalam revolusi Bolivarian dan telah membawa beberapa lapisan gerakan yang lebih maju pada sebuah kesimpulan bahwa transformasi masyarakat ke arah sosialisme merupakan satu-satunya langkah maju untuk revolusi Amerika Latin.

Kontrol Buruh dan Revolusi Venezuela

Dan ini membawa kita ke Venezuela. Apakah artinya ini bagi Revolusi Bolivarian dan gerakan cogestion? Apa yang terjadi di Venezuela menunjukkan bahwa kaum buruh mampu menjalankan industri. Benar kata pepatah: bos butuh pekerja, tetapi pekerja tidak butuh bos. Tentu saja, para teknisi, para ahli dan para spesialis sangat dibutuhkan, tetapi mereka harus ditempatkan di bawah kontrol buruh. Pengalaman para pekerja di PDVSA jelas menunjukkan ini. PDVSA bukanlah perusahaan kecil. Bahkan PDVSA adalah salah satu perusahaan terbesar di Amerika Latin dan menggunakan koordinasi berteknologi tinggi, dengan seperangkat komputer, satelit dan lain sebagainya.

Ini merupakan salah satu keuntungan yang dimiliki Venezuela dibandingkan Rusia pada tahun 1917. Perkembangan dan perluasan kapitalisme sejak Perang Dunia Kedua telah mendorong kokohnya proletariat dalam skala dunia. Kaum buruh hari ini memiliki pengetahuan yang jauh lebih baik dibandingkan pada tahun 1917. Mereka bekerja dengan mesin-mesin yang rumit, seperangkat komputer, satelit, dll, dan membutuhkan pendidikan yang relatif lebih tinggi. PDVSA menunjukkan bahwa kaum buruh bisa mengelola industri jauh lebih mudah dari pada di Rusia 1917.

Satu hal penting untuk diingat adalah bahwa gagasan mengenai cogestion dimasukkan dalam konstitusi Venezuela. Meskipun bentuk cogestion tidak selalu jelas, dan meskipun bahasa yang digunakan bisa membingungkan kita dan hukumnya juga tidak begitu jelas, hal ini tidaklah menjadi persoalan. Kontrol buruh bukan bagaimana hukum menetapkannya, tetapi bagaimana kaum buruh membentuknya. Sebagaimana yang telah Trotsky jelaskan, “Pada tahapan tertentu kaum buruh akan melepaskan kerangka hukum atau menghancurkannya, atau samasekali tidak menghiraukannya. Justru disinilah terdapat transisi menuju situasi revolusioner yang sejati.”

Ini jelas bahwa dengan cogestion kelas buruh di Venezuela mengartikannya sebagai kontrol dan manajemen buruh. Jika anda mengunjungi website ALCASA, sebuah pabrik pelebur aluminium, dimana co-management-nya yang sangat maju saat ini tengah berlangsung, anda bisa melihat sebuah poster yang dibuat oleh kaum buruh dengan slogan utama, “Kontrol Buruh” dan “Seluruh Kekuasaan untuk Kelas Buruh”.

Perjuangan untuk kontrol dan manajemen buruh menemukan permulaannya saat para bos menutup pabrik pada tahun 2002-2003. Para buruh di PDVSA, perusahaan minyak milik negara, mengambil alih instalasi-instalasinya dan menjalankannya sendiri, mengatasi sabotase yang diorganisir oleh para manajer. Para buruh CADAFE, perusahaan listrik negara yang menyuplai 60% listrik  Venezuela, mengimplementasikan rencana-rencana darurat untuk mencegah sabotase yang dilakukan oleh para manajer reaksioner. Para buruh di perusahaan-perusahan ini secara efektif mencegah sabotase industri. Para buruh perusahaan minyak ini pada awalnya tidak menyangka bahwa mereka dapat menjalankan seluruh instalasi, tetapi segera menyadari bahwa mereka bisa menjalankannya. Mereka menyadari bahwa pihak manajemen seringkali berlibur atau tidak masuk kerja dan mereka telah menjalankan sendiri perusahaan tersebut sebelumnya.

Setelah lock-out berakhir, kontrol buruh menghilang di PDVSA. Namun, para buruh sadar bahwa perusahaan tersebut kembali berjalan di jalur kapitalis. Setelah lock-out tersebut, para buruh PDVSA mengadakan sejumlah diskusi mengenai isu kontrol buruh. Sebagai hasil dari pertemuan ini, Pedro Montilla dari gerakan buruh minyak La Jornada merancang proposal guna disahkannya co-management di PDVSA. Sayangnya, usulan ini tidak pernah disahkan. Akibatnya, ketegangan-ketegangan meningkat di industri minyak tersebut dimana para buruh menuntut implementasi kontrol buruh.

Ini beberapa tuntutan yang dibuat oleh buruh PDVSA:

  • bahwa cogestion harus meliputi seluruh aspek dari ekstraksi, distribusi, produksi dan penyimpanan minyak, termasuk kontrol harga atas pembelian dan penjualan
  • bahwa semua pembukuan harus terbuka bagi seluruh wakil-wakil di semua level yang telah dipilih oleh buruh
  • bahwa cogestion harus dijalankan oleh seluruh buruh lewat wakil-wakil mereka di tiap-tiap perusahaan dan pabrik, dan mereka tidak akan berhenti bekerja dan diberi kesempatan untuk tugas-tugas manajemen
  • setiap orang bertanggung jawab kepada dewan buruh, dan harus ketat menjaga tata tertib dan kedisiplinan dan juga mengamankan barang-barang
  • laporan harus dibuat untuk dewan buruh secara berkala
  • seluruh wakil harus tunduk pada ketentuan recall (proposal lengkap dalam bahasa Spanyol: http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=93)

Atas dasar proposal ini para buruh perusahaan minyak tersebut juga membuat beberapa argumentasi sebagai berikut:

  • Bahwa sabotase terhadap PDVSA tidak dapat dicegah tanpa kontrol buruh dan tanpa mengambil langkah-langkah di atas untuk memastikan akuntabilitas, disiplin, dan transparansi
  • Presiden Chavez telah mengancam untuk menghentikan penjualan minyak ke Amerika Serikat. Jika ancaman ini terbukti, ini tidak akan terjadi tanpa kontrol buruh dari industri minyak karena pihak manajemen akan mencoba untuk menyabotase

Pada saat yang sama para buruh di CADAFE telah memulai berjuang untuk cogestion. Kaum buruh PDVSA dan CADAFE menyadari perbedaan antara kontrol buruh dan partisipasi buruh. Para buruh CADAFE juga menulis sejumlah usulan konkret untuk kontrol buruh. Para buruh marah karena beberapa tindakan dan langkah-langkah kecil telah diambil, tetapi kontrol buruh yang sejati belum diimplementasikan. Dari 5 anggota komite koordinasi, 2 posisi disediakan bagi anggota serikat buruh yang ditunjuk dan tidak bisa di recall. Presiden perusahaan tidak perlu arahan atau instruksi dari komite koordinasi tersebut. Dalam kasus ini adalah para manajer dalam perusahaan negara ini yang menolak tuntutan para buruh. Para manajer kedua perusahaan tersebut dan negara ingin membatasi kekuasaan buruh kepada masalah-masalah sekunder (di Valencia misalnya mereka memberikan kepada buruh hak-hak konsultasi penuh tentang dekorasi natal dalam gedung-gedung perusahaan!). Para buruh telah berjuang untuk setiap inci kontrol buruh, dan sekarang tengah melancarkan perjuangan untuk cogestion yang sejati.

Buruh di kedua industri ini sekarang menghadapi argumentasi lain dari pihak manajemen yang mengatakan bahwa tidak boleh ada partisipasi atau kontrol buruh dalam industri-industri strategis. Ini adalah lelucon. Buruh-buruh PDVSA-lah yang mengembalikan produksi selama lock-out yang dilakukan oleh para bos (pada 2002-2003), buruh-buruh aluminium dan baja di Guayana-lah yang berjuang untuk menguasai instalasi gas guna menjaga pasokan, dan buruh-buruh CADAFE-lah yang mempertahankan pasokan listrik ke negara dan mencegah sabotase industri dan ekonomi Venezuela secara keseluruhan. Argumentasi bahwa buruh tidak bisa dipercaya untuk mengontrol industri-industri penting dan strategis, seperti sebuah asap yang dibaliknya adalah serangan terhadap ide kontrol buruh. Akan tetapi, jika pemerintah Venezuela ingin memastikan produksi yang lancar dari industri-industri ini dan menghadang sabotase, mereka harus mempercayakan industri-industri tersebut kepada kaum buruh, seperti yang telah terbukti bahwa kaum buruh akan mempertahankan dan melindungi industri-industri ini dari sabotase para bos dan para manajer guna mempertahankan revolusi. Tetapi ada poin penting lain yang serupa dengan apa yang pernah Trotsky katakan mengenai tambang batubara di daerah Donets (Ukraina), bahwa jika PDVSA dibiarkan berada di tangan koperasi buruh, koperasi ini akan mengontrol minyak PDVSA dan bisa menyandera seluruh negara Venezuela. Kekuatan yang paling besar dalam masyarakat Venezuela akan ada di tangan manajer-manajer PDVSA, yang akan mengendalikan sekitar 70-80% ekonomi Venezuela. Jika apa yang sedang terjadi di Venepal juga terjadi di PDVSA, hal tersebut akan menjadi kenyataan. Kontrol dan manajemen buruh harus dijalankan di PDVSA, tetapi untuk memastikan bahwa kaum buruh secara keseluruhan mengontrol perekonomian secara demokratis, dan untuk memastikan demokrasi buruh secara umum, semua perusahaan besar, termasuk PDVSA, harus disatukan ke dalam suatu perencanaan ekonomi demokratis terpusat. Ini berarti bahwa dewan direksi PDVSA harus terdiri dari 1/3 dari buruh, 1/3 dari serikat buruh, dan 1/3 dari negara (atau beberapa variasi daripadanya).

Contoh yang bagus dari kontrol buruh adalah CADELA, anak perusahaan CADAFE di Merida yang dijalankan di bawah satu bentuk cogestion buruh. Beberapa minggu lalu terjadi longsor dan banjir serius yang memotong pasokan listrik ke masyarakat sekitar. Para ahli berpikir bahwa ini akan memakan waktu 2 bulan untuk mengembalikan pasokan listrik. Namun, komunitas-komunitas yang terorganisir melakukan kontak langsung dengan para pekerja dan membantu memperbaiki kerusakan. Dengan bekerja sama dan merencanakan perbaikan tersebut, dan setelah banyak lembur untuk kebaikan masyarakat, pasokan listrik dapat kembali dalam waktu 2 minggu.

Setelah kekalahan lock-out dari para bos, para bos di seluruh Venezuela menutup  dan mengunci banyak perusahaan dan pabrik karena alasan politik dan bukan alasan ekonomi. Sekitar 250.000 hingga 500.000 orang telah kehilangan pekerjaan. Di sini anda bisa melihat bahwa kontrol buruh umumnya tidak terjadi karena masalah produksi, tetapi untuk mengamankan pekerjaan, masyarakat dan sebagainya.

Segera setelah lock-out dan penutupan pabrik yang meluas, para buruh mulai mengambil alih pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja. Perjuangan yang paling maju saat ini adalah Venepal. Kaum buruh mengambil alih pabrik dan ingin menjalankannya sebagai koperasi. Kaum buruh mampu menunjukkan keunggulan kontrol buruh. Di pabrik tersebut, ada satu mesin buatan Jerman. Mesin tersebut rusak dan perlu perbaikan. Pihak manajemen menolak untuk memperbaikinya karena ini memerlukan seorang insinyur yang harus diterbangkan dari Jerman guna memperbaikinya (demikian kata mereka). Ini membuat pabrik berjalan dengan kapasitas yang kurang. Setelah pihak manajemen meninggalkan pabrik dan para buruh menduduki pabrik, mereka berimprovisasi dan memperbaiki mesin  tersebut dan mengembalikan produksi pabrik ke kapasitas penuh.

Kamerad-kamerad kita di CMR (Corriente Marxista Revolucionaria, seksi Tendensi Marxis Internasional di Venezuela) yang pertama kali mengajukan tuntutan untuk kontrol buruh dan nasionalisasi, dan kemudian ini diadopsi oleh para buruh. Pada tanggal 19 Januari tahun ini (2006) INVEPAL diekspropriasi dan Chavez mengumumkan bahwa perusahaan ini akan dijalankan di bawah kontrol buruh. Saat ini koperasi buruh memiliki 49% saham perusahaan dan negara 51%, guna menjamin karakter nasionalisasi INVEPAL. Kaum buruh memilih para direktur dan seorang menteri mengirim dua wakil untuk terlibat dalam pengalaman menjalankan pabrik bersama dengan buruh.

Namun, beberapa masalah muncul. Dewan buruh mengambil keputusan untuk membubarkan serikat buruh di sana dan sekarang ingin membeli saham pemerintah sehingga mereka dapat menjadi pemilik perusahaan tersebut dan mendapatkan semua laba yang dihasilkan dari produksi.

Pada awal tahun ini, Alexis Ornevo, anggota direktorat INVEPAL pada   Pertemuan Internasional Solidaritas dengan Revolusi Venezuela, menyatakan bahwa buruh tidak lagi membutuhkan sebuah serikat karena sudah tidak ada bos di pabrik. Menurut konstitusi, melalui sebuah lubang di dalam konstitusi tersebut, koperasi buruh secara hukum dapat meningkatkan saham mereka dari 49% menjadi 95%. Ornevo secara terbuka telah menyatakan niatnya untuk melakukan hal ini. Kontradiksi seperti ini tak dapat dihindari. Kontrol buruh yang penuh dan sejati sangatlah diperlukan untuk mencegah terperosoknya kaum buruh ke jalan memperkaya diri sendiri

Angel Navas, presiden serikat buruh CADAFE khawatir bahwa perkembangan di INVEPAL akan menciptakan sebuah model cogestion sebagai koperasi kapitalis. Ia mengatakan:

“Sebagaimana yang telah kita lihat dalam presentasi INVEPAL kemarin, mereka memiliki beberapa masalah, mereka tampak sedang berpikir seperti para manajer. Sesuai dengan apa yang yang telah kita dengar kemarin, mereka ingin memiliki semua saham perusahaan. 800 buruh akan menjadi pemilik perusahaan. Dan jika perusahaan ini untung, apakah buruh-buruh ini akan menjadi kaya? Ini adalah sebuah perusahaan yang harus menjadi milik seluruh bangsa; perusahaan saya tidak boleh hanya menjadi milik buruh. Jika kita memperoleh laba, laba ini adalah milik seluruh populasi. Ini merupakan suatu tanggung jawab yang kita semua miliki – buruh-buruh industri minyak, yang menghasilkan laba terbesar: bagaimana kita mendistribusikan laba ini ke seluruh negeri? Keuntungan ini bukan untuk saya. Tidak masuk akal kalau karena saya bekerja di industri minyak, misalnya, saya dapat memperoleh 90 juta bolivar sedangkan upah minimum adalah 4 juta Bolivar.”

Bandingkan dengan Yugoslavia, di mana kaum buruh merasa bahwa mereka memiliki pabrik dan bersaing di pasar. Sekali lagi, ini merupakan masalah utama dimana ketidaksetaraan gaji terjadi di Yugoslavia. Beberapa buruh cukup beruntung karena mereka memiliki monopoli akses atas pekerjaan yang bagus, sementara buruh yang lainnya ditinggalkan begitu saja. Intinya adalah bahwa keuntungan dari perusahaan negara yang dinasionalisasi harus diambil oleh negara dan didistribusikan serta diinvestasikan kembali ke masyarakat secara keseluruhan, guna mengembangkan ekonomi dan membebaskannya dari kesenjangan. Inilah apa yang dimaksud dengan sosialisasi ekonomi. Jika produktivitas ditingkatkan, ada lebih banyak laba yang bisa didistribusikan kepada masyarakat, yang pada gilirannya menciptakan kekayaan sosial yang melimpah, membebaskan masyarakat dari kesenjangan. Di Yugoslavia pada saat itu, yang ada adalah sebuah sistem dimana laba dari tiap-tiap perusahaan disimpan secara individual, tidak disosialisasikan. Jika sekelompok direksi INVEPAL sekarang ini berhasil mengambil-alih mayoritas saham perusahaan guna memperkaya buruh-buruh INVEPAL, ini akan mempertentangkan sekelompok buruh dengan buruh yang lain dan memperlebar jurang kesenjangan. Ini juga bisa menciptakan pertentangan internal di  INVEPAL untuk menguasai saham perusahaan. Jika para buruh di tiap-tiap industri atau di tiap-tiap perusahaan diizinkan untuk menguasai laba dari produksi, laba tersebut tidak akan didistribusikan kembali secara sosial, tetapi tetap menjdi milik pribadi yang merupakan inti dari ekonomi kapitalisme dan tidak akan mengarah pada pembangunan relasi-relasi sosialis dalam produksi.

Selanjutnya ada pabrik CNV, di mana kita juga memiliki sejumlah pengaruh. CNV telah dinasionalisasi pada bulan Mei dan ganti nama menjadi INVEVAL. Di sini kesulitan berasal bukan dari koperasi buruh tetapi dari pemerintah. Benar kalau mantan pemilik melancarkan sebuah tuntutan untuk diberikan kompensasi untuk ekspropriasi tersebut, tetapi masalah yang sebenarnya adalah bahwa ketika perusahaan tersebut dinasionalisasi Chavez mengatakan dengan sangat jelas bahwa para buruh harus memiliki mayoritas wakil-wakil di dewan direksi dan bahwa badan pemegang keputusan tertinggi adalah Majelis Buruh. Akan tetapi, ketika wakil-wakil dari Kementerian Ekonomi Rakyat membacakan proposal AD/RT perusahaan, tidak disebutkan partisipasi buruh sama sekali. Buruh lalu mengadakan pertemuan dan menolak usulan ini dan mulai memobilisasi tuntutan kontrol buruh. Mereka sekarang telah berhubungan dengan buruh-buruh di perusahaan-perusahaan lain di mana terdapat kontrol buruh dalam rangka menyebarkan perjuangan di luar INVEVAL. Kita akan kembali ke masalah ini di bawah. [1]

Pengalaman yang paling maju dari kontrol buruh tengah terjadi di ALCASA, sebuah pabrik aluminium besar milik negara. Sangatlah menakjubkan bila kita membaca materi mengenai cogestion di Venezuela. Perdebatan dan diskusi mengenai kontrol buruh dan sosialisme sudah sangat maju, dalam banyak hal bahkan lebih maju dibanding dengan Rusia pada tahun 1917, dan ini tanpa keberadaan sebuah Partai Bolshevik di Venezuela!

Para buruh di ALCASA benar-benar jelas mengenai apa arti cogestion. Edgar Caldera, salah satu pemimpin serikat buruh telah menulis sebagai berikut:

“Jika ada satu hal yang harus dipahami oleh para buruh dengan jelas adalah bahwa co-management kita tidak bisa menjadi senjata untuk memperdalam mode produksi kapitalis yang eksploitatif. Kita tidak boleh mengulang kisah sedih di Eropa, di mana sistem co-management digunakan untuk menghapus hak-hak para buruh dan hak-hak yang telah diperolehnya. Co-management yang telah kita mulai pelaksanaannya di ALCASA tidak ada kesamaannya dengan hal tersebut. Ini adalah emansipasi sejati dari kelas kita, yang didasarkan pada prinsip-prinsip revolusioner dari Marx, Rosa Luxemburg, Gramsci, dan Trotsky. Ini adalah menciptakan suatu model co-management dengan tujuan mentransformasi mode produksi kapitalis, yang didasarkan pada eksploitasi manusia oleh manusia, menjadi mode hubungan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama, solidaritas, keadilan, kesetaraan, tanggung jawab bersama dan kesejahteraan bersama dari kaum buruh dan populasi secara umum.” (ALCASA: Cogestion, workers control and production, http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=1999)

Dalam artikel lain ia menulis:

“Kaum buruh ALCASA sedang mendorong maju kontrol buruh dan kontrol komunitas, yang berdasarkan Majelis-Majelis Umum sebagai otoritas tertinggi …  yang telah secara total mengubah struktur kekuasaan lama dan memberikan seluruh kekuasaan untuk kaum buruh dan komunitas … Di ALCASA kaum buruh memilih para manajer, yang digaji sama, dan dapat di-recall. Keputusan-keputusan penting dibuat oleh Majelis Buruh. Para manajer juga telah mengatakan mereka tidak akan berdiam diri di kantor, mereka akan terus bekerja.”
(ALCASA: bourgeois cogestion or workers cogestion, http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=1917)

Trino Silva, salah satu dari pemimpin buruh lainnya mengatakan dalam sebuah wawancara::

“Para buruh harus memilih presiden ALCASA. Tetapi Dewan Direksi tidak boleh hanya terdiri dari buruh. Kami sedang berpikir mengenai sebuah badan direksi yang beranggotakan 14 orang: tujuh anggota inti, dan tujuh anggota cadangan. Dari tujuh anggota inti tersebut, empatnya adalah buruh ALCASA, yang dua wakil dari pemerintah (sehingga mereka bisa mengawasi apa yang sedang kita lakukan dengan perusahaan kita), dan yang satu lagi adalah perwakilan dari komunitas yang telah diorganisir.”

Ia lalu menambahkan:

“ALCASA bukan hanya milik buruh ALCASA, juga bukan hanya untuk Trina Silva dan buruh ALCASA, tetapi milik semua masyarakat. Oleh karena itu masyarakat publik punya hak untuk mengirim perwakilan ke Dewan Direksi; pertama untuk transparansi, dan kedua untuk memastikan bahwa ALCASA bermanfaat bagi semua rakyat.” (Aluminum Workers in Venezuela Choose Their Managers and Increase Production, interview by M. Harnecker, http://www.venezuelanalysis.com/articles.php?artno=1407)

Pengalaman di ALCASA dan partisipasi komunitas di dalam pengelolaan pabrik ini telah membawa mereka kepada gagasan-gagasan unggul lainnya, yang menunjukkan kekuatan dari kontrol buruh untuk merubah masyarakat. Tahun lalu ALCASA menghabiskan dana 24 miliar bolivar untuk pelayanan kesehatan bagi buruh di klinik-klinik swasta. Serikat buruh mengklaim memiliki beberapa tanah dekat dengan pabrik dan mereka akan memberikan tanah ini kepada negara untuk dibangun sebuah klinik publik untuk buruh ALCASA dan masyarakat sekitar. ALCASA dan beberapa perusahaan di daerah juga ikut menyumbang dan membangun sebuah dapur industri untuk buruh dan masyarakat. Ada sekitar 200 juru masak di daerah tersebut yang bisa mereka organisir dan dipekerjakan. Mereka juga ingin menghentikan monopoli transportasi di daerah tersebut. Mereka ingin membantu mendanai dan menciptakan sebuah sistem transportasi publik yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih terjangkau. Ini merupakan tindakan nyata dari kontrol buruh, demokrasi buruh, yang dapat menggantikan pasar sebagai regulator ekonomi. Kaum buruh bisa melihat dengan jelas apa yang perlu dilakukan, apa yang perlu ditingkatkan, dan bisa mengusulkan investasi di daerah-daerah ini. Jika pengalaman ini diikuti dalam skala nasional, dan kekayaan sosial tersedia untuk semua melalui ekonomi yang terencana secara demokratis, dengan mudah Venezuela dapat berkembang cepat.

Namun ada beberapa bahaya yang dihadapi ALCASA. ALCASA sebenarnya adalah perusahaan yang tengah merugi. Kaum reformis dan para birokrat dapat menggunakan kreativitas para buruh guna membuatnya menjadi perusahaan yang menghasilkan laba, dan kemudian mencoba mendepak kontrol buruh. Atau, jika ALCASA terus merugi, kaum reformis mungkin mencoba berargumentasi bahwa kontrol buruh tidak bisa bekerja secara efektif dan harus ditinggalkan; argumen ini adalah bagian dari serangan umum terhadap kelas buruh dan elemen-elemen kontrol buruh atau manajemen atas ekonomi yang mereka memiliki.

Saya berharap setiap orang di sini memiliki kesempatan untuk melihat artikel Jorge Martin yang terbit sekitar satu setengah minggu yang lalu mengenai pengambil-alihan pabrik yang terbengkelai. Jumlah total perusahaan yang terbengkelai yang sedang diinvestigasi di Venezuela adalah 1149. Ini merupakan tindakan yang direncanakan untuk mempertahankan pekerjaan, menghentikan  sabotase dari para bos, dan menghentikan ketergantungan Venezuela pada impor. Jika negara menjalankan perusahaan-perusahaan ini di bawah kontrol buruh, mereka perlu menyediakan perusahaan-perusahaan ini sumber bahan baku. Perusahaan-perusahaan ini pada gilirannya akan menjual produk jadi. Hal ini akan memaksa dimulainya sebuah perencanaan ekonomi dan pada akhirnya memaksa  Chavez untuk mempertimbangkan pengambil-alihan perusahaan milik kaum borjuis. Tuntutan ini kemungkinan besar akan datang dari kelas buruh sendiri. Kaum buruh akan mulai menanyakan beberapa pertanyaan: kenapa nasionalisasi terbatas pada pabrik-pabrik yang bangkrut atau sekarat? Kenapa negara cenderung menasionalisasi kerugian dan memprivatisasi laba? Agar perusahaan-perusahaan ini tidak keburu terbengkelai, perusahaan-perusahaan yang masih sehat harus segera dinasionalisasi, mereka harus menjadi bagian dari perencanaan umum produksi. Hal ini tidak akan mungkin terjadi selama bagian-bagian kunci dari ekonomi, seperti lembaga kredit dan perbankan, tetap berada di tangan swasta. Perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi ini akan berada di atas belas kasih kapitalisme, akan menghadapi sabotase, dan akan menghadapi penolakan dalam penjualan produk. Hal ini akan memaksa Chavez dan pemerintah untuk mengambil jalan ekspropriasi.

Artikel Jorge Martin juga menjelaskan bahwa bagi setiap pemilik perusahaan yang ingin tetap membuka perusahaannya, negara akan membantu mereka dengan kredit berbunga rendah, tetapi hanya dengan syarat “dimana para pemilik perusahaan memberikan partisipasi buruh dalam manajemen, pelaksanaan, dan keuntungan perusahaan.”

Di bawah kondisi normal, ini akan menjadi trik yang cerdas untuk melucuti kelas buruh. Namun di Venezuela sekarang, ini akan meningkatkan kepercayaan-diri para buruh dan mempertajam perjuangan kelas di pabrik-pabrik ini.

Kini, poin akhir yang ingin saya sampaikan mengenai Venezuela adalah pertemuan nasional buruh-buruh yang terlibat di dalam pengalaman-pengalaman kontrol buruh yang dilaksanakan pada tanggal 16-18 Juni. Ini melibatkan buruh INVEVAL, ALCASA, PDVSA dan beberapa perusahaan-perusahaan lainnya. Beberapa keputusan yang diambil adalah:

  1. Membangun Front Nasional Untuk Mempertahankan Co-Manajemen Revolusioner, perkembangan sosialis dari salam … di tingkat lokal dan negara.
  2. Mengkarakterisasikan cogestion kita sebagai gerakan yang akan mempengaruhi relasi-relasi kapitalis dan bergerak menuju kontrol buruh, kekuasaan dewan-dewan rakyat dan konstruksi negara sosialis.
  3. Front Nasional mengusulkan co-manajemen tenaga kerja, sosial, dan militer.
  4. Proposal-proposal untuk co-management revolusioner harus juga mengikutsertakan proposal bahwa perusahaan-perusahaan mesti menjadi milik Negara, tanpa ada pembagian saham dengan buruh, dan bahwa semua keuntungan akan dibagikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui dewan-dewan perencanaan sosialis. Dewan-dewan perencanaan sosialis ini harus dipahami sebagai badan yang melaksanakan keputusan yang diambil oleh rakyat di dalam majelis-majelis.
  5. Memperjuangkan, mempromosikan dan mensistematisasikan pendidikan sosial dan politik dan ideologi sosialis guna memperdalam Revolusi Bolivarian dengan membentuk posko-posko lokal, regional dan nasional dengan tujuan membangun Jaringan Nasional Pendidikan Sosial Politik Revolusioner.
  6. Membangun solidaritas dan menyebarkan revolusi ke seluruh Amerika Latin dan dunia.
  7. Merangkul kelas-jelas yang tersingkirkan, tereskploitasi, dan tertindas sebagai kelas sekutu dalam perjuangan untuk membangun sosialisme di abad ke-21.

Dari resolusi-resolusi ini sangat jelas bahwa cogestion atau co-management di Venezuela dilihat sebagai sebuah langkah menuju pembangunan masyarakat sosialis. Pertemuan nasional mengenai pengalaman kontrol buruh jelas merupakan sebuah langkah besar ke arah yang tepat. Ini membawa bersama-sama berbagai kelompok buruh yang berbeda-beda dan membawa mereka semua di bawah satu bandera, ini memberikan bentuk pada gerakan dan memberikan bentuk pada ideologi kaum buruh, yang, dengan tak terelakkan, bergerak ke arah sosialisme. Para buruh, melalui pengalaman mereka sendiri, telah mengambil kesimpulan bahwa kontrol buruh merupakan alat yang sangat kuat di tangan kelas buruh. Perjuangan untuk kontrol buruh secara langsung menolak kepemilikan pribadi atas alat-alat  produksi, dan merupakan perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang baru di dalam masyarakat yang lama. Transformasi masyarakat sosialis bergantung pada transformasi mode produksi, dan kontrol buruh dan manajemen buruh merupakan metode revolusioner dari kelas buruh untuk menjalankan transformasi ini dan menyerang jantung kapitalisme – dari dalam pabrik-pabrik dan tempat kerja. Inilah mengapa revolusi di Venezuela sedang bergerak ke arah sosialisme – karena bentuk perjuangan kelas buruh yang bertujuan untuk membela revolusi, pekerjaan, kehidupan, dan kepentingan-kepentingan mereka terjadi di dalam pabrik di mana mereka melawan musuh mereka, kapitalisme dan para bos, dalam bentuk pemogokan dan demonstrasi, dan juga dalam bentuk kontrol buruh dan manajemen buruh. Tujuan sosialis dari gerakan revolusioner lahir dari perjuangan ini, dan manajemen buruh meletakkan pondasi-pondasi untuk masyarakat yang baru.

Gerakan kontrol buruh sedang membawa kelas buruh pada satu kesimpulan: bahwa revolusi Bolivarian harus putus dengan kapitalisme. Kaum buruh melihat bahwa untuk mencapai tujuan mereka, Revolusi harus putus, secara radikal, dengan kapitalisme. Untuk memecahkan masalah-masalah seperti pengangguran, perumahan, pendidikan, dan produksi pangan, kita perlu menyusun dan merencanakan ekonomi berdasarkan pada kebutuhan mayoritas, bukan keuntungan bagi minoritas. Namun, kita tidak dapat merencanakan apa yang kita tidak kontrol, dan kita tidak dapat mengontrol apa yang bukan milik kita sendiri. Sepanjang tuas-tuas paling penting dari kekuatan ekonomi tetap berada di tangan para bos, mereka akan dapat mengorganisir sabotase, dan bahkan mungkin menumbangkan revolusi.

Kontrol dari satu atau beberapa pabrik, seperti di Spanyol 1936, atau di Chile pada awal tahun 1970-an, atau di Venezuela hari ini bukan berarti akhir dari kapitalisme. Tak dapat diabaikan, selama para kapitalis tetap mengendalikan keseluruhan ekonomi, kontrol buruh tidak dapat dipertahankan. Kontrol buruh merupakan sebuah langkah yang besar. Ini memberikan buruh pengalaman yang tak ternilai dalam administrasi yang merupakan esensi dalam ekonomi terencana sosialis. Namun, sekali lagi, sepanjang elemen-elemen kunci dari ekonomi tetap di tangan pribadi, sepanjang tidak ada nasionalisasi ekonomi terencana yang sejati, pengalaman kontrol buruh tidak akan memiliki karakter yang penuh dan memuaskan.

Sekali lagi, dimana kontrol buruh berkembang dari bawah, dari dalam pabrik-pabrik, manajemen buruh berkembang dari atas dan hanya signifikan dalam konteks ekonomi terencana sosialis, dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan monopoli. Ini berarti manajemen dari keseluruhan rencana ekonomi dijalankan oleh buruh, tidak hanya terbatas pada pabrik milik mereka sendiri atau ekonomi dalam skala lokal, tetapi juga membuat keputusan investasi secara umum dan merencanakan pertumbuhan ekonomi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Kaum sosialis bukanlah sindikalis yang percaya bahwa kontrol atas industri-industri atau perusahaan-perusahaan individu oleh para buruh di dalamnya bisa menjamin jalannya industri tersebut secara harmonis tanpa manajemen ekonomi oleh buruh secara keseluruhan.

Ini juga berarti bahwa kepemilikan atas industri tidak bisa tetap berada di tangan kapitalis. Hanya kepemilikan publik atas monopoli-monopoli besar yang akan menjamin manajemen buruh dan kontrol buruh di tiap-tiap pabrik.

Dewan-dewan buruh ini harus melibatkan semua seksi dari kelas buruh termasuk penyewa rumah, ibu rumah tangga, mahasiswa dan para pensiunan serta organisasi-organisasi serikat buruh. Pemilihan-pemilihan para delegasi yang reguler, tunduk pada recall sewaktu-waktu, dan para pejabat terpilih yang memperoleh upah sama dengan seorang tenaga ahli akan melindungi kaum buruh dari tumbuhnya birokrasi yang dapat merebut kekuasaan.

Perjuangan untuk kontrol buruh harus bergerak maju, harus diperluas, dan harus dikaitkan dengan tuntutan untuk transformasi masyarakat sosialis. Kaum buruh di Venezuela sedang melakukan hal ini. Nasionalisasi harus diperluas ke bank-bank, sektor telekomunikasi, tanah dan pusat-pusat produksi pangan, dan ke industri-industri manufaktur dan industri berat. Kekuasaan ekonomi oligarki dan kaum imperialis harus dihancurkan. Kelas buruh Venezuela sedang mengalami transformasi secara massif dan sadar akan kekuatan dan tujuannya. Disilah letak harapan bagi Revolusi Bolivarian. Keberhasilan perluasan kontrol buruh dan pembangunan sosialisme di Venezuela akan tersebar ke seluruh benua. Ini akan memberikan harapan dan keyakinan kepada kaum buruh di Bolivia, Argentina, Brasil, Meksiko, dan Kuba. Revolusi Amerika Latin akan menjadi sumber inspirasi bagi seluruh dunia.

Saya akan mengakhirinya di sini dengan kata-kata Hugo Chavez: “Sebuah Revolusi merupakan suatu proses di mana model dan gagasan-gagasan yang baru lahir, sedangkan gagasan-gagasan yang lama mati, dan dalam Revolusi Bolivarian, kapitalisme akan dihapuskan!”

(1) Konflik ini telah diselesaikan melalui kompromi jalan tengah. Para dewan direksi akan dibentuk dari tiga anggota yang ditunjuk oleh pemerintah dan dua oleh koperasi buruh. Tetapi Chavez bersikeras bahwa direktur utama yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemimpin utama dari perjuangan buruh.

Diterjemahkan oleh Syaiful dari “Workers’ Control and Nationalization – Part Four”, Rob Lyon, 20 Februari 2006.

Hands off Venezuela dan Iran

Oleh Ted Sprague
27 Juni 2009

Mengobarnya gerakan di Iran menimbulkan banyak kebingungan di antara pendukung Revolusi Venezuela dalam menyikapi apa yang sedang terjadi di Iran. Ini semakin diperparah dengan pernyataan Chavez bahwa dia mendukung Ahmadinejad dan menggambarkan rejim Iran sebagai rejim progresif anti-imperialis. Kampanye Hands off Venezuela (HoV) selalu mengambil posisinya dari prinsip membela kemenangan Revolusi Venezuela, dan bila Chavez melakukan hal-hal yang keliru maka adalah tugas dari aktivis-aktivis kampanye HoV untuk mengkritisinya dengan keras.

Ketika Chavez melakukan hal-hal yang mendorong kemenangan Revolusi Bolivarian (seperti menyerukan pendudukan pabrik, pembentukan dewan komunal dan dewan pabrik, dan lain-lain), ini kita dukung dengan segenap hati dan bersama-sama dengan rakyat Venezuela kita berusaha merealisasikan seruan-seruan dan kebijakan-kebijakan tersebut. Akan tetapi, HoV bukanlah Chavista atau pengekor Chavez. Ini yang membedakan kita dari banyak kampanye-kampanye solidaritas lainnya. Banyak orang yang kadang-kadang bingung dan menanyakan: kamu pro-Chavez? Dan kita jawab: tidak, kita pro-Revolusi Venezuela. Aktivis-aktivis yang kebingungan dan tidak mengerti prinsip ini biasanya jatuh ke dalam dua ekstrim: menjadi pendukung Chavez yang buta atau menjadi penghujat Chavez yang buta juga.

Dari prinsip membela Revolusi Venezuela ini maka kita bisa lebih jelas menyikapi gerakan yang sedang terjadi di Iran, dan tetap konsisten. Pertama-tama, sekutu sejati dari Revolusi Venezuela adalah kaum pekerja seluruh dunia, dan dalam hal Iran maka sekutu sejatinya adalah kaum buruh Iran yang selama 30 tahun telah ditindas oleh rejim Mullah Iran. Hanya karena rejim Iran itu anti-Amerika bukan berarti rejim tersebut adalah rejim pro-pekerja. Bukankah rejim Korea Utara adalah juga anti-Amerika? Dan Taliban juga adalah anti-Amerika.

Selama 5 tahun belakangan ini, Venezuela telah melakukan hubungan dagang dan diplomasi dengan Iran. Dalam ekonomi global, tidak ada salahnya melakukan hubungan dagang dengan negara-negara lain, bahkan bila negara tersebut bukanlah negara pro-pekerja. Tidak mungkin Venezuela bisa mengisolasi dirinya secara ekonomi. Ini akan berakibat buruk terhadap perkembangan ekonomi Venezuela. Venezuela pun masih melakukan hubungan dagang minyak dengan Amerika yang sudah berulang kali mencoba menggulingkan pemerintahan Chavez. Akan tetapi kita tidak boleh membingungkan hubungan ekonomi dengan sikap kita akan karakter sesungguhnya dari negara-negara tersebut. Iran bukanlah negara pro-pekerja. Semenjak kegagalan Revolusi Iran 1979 yang dibajak oleh para Mullah, semua hak pekerja dan wanita telah dirampas. Tidak ada kebebasan membentuk serikat buruh dan untuk mogok. Bahkan perayaan May Day dilarang. Tahun ini, ratusan buruh dipukuli dan ditangkap saat mencoba merayakan May Day.

Pernyataan Chavez bahwa rejim Iran adalah sahabat Venezuela sangatlah merugikan, sebab ini akan membingungkan rakyat Venezuela dan mengasingkan kaum revolusioner Iran yang sedang berjuang melawan penindasan pemerintahan Iran. Banyak kaum revolusioner Venezuela yang sudah mengkritik dengan keras langkah Chavez ini, salah satunya adalah kelompok Marxis Venezuela CMR (Corriente Marxista Revolucionaria, Tendensi Marxis Revolusioner). Aktivis-aktivis HoV pun sudah mengeluarkan kritik yang keras. Dalam momen seperti yang sekarang terjadi di Iran, kita bisa melihat bahwa sikap Chavez terhadap Iran sangat berbahaya karena ini membuat Venezuela berdiri di camp reaksioner yang membunuhi para demonstran beberapa minggu terakhir ini.  Chavez dilihat sebagai pemimpin dan dia punya tanggung jawab yang besar. Bukan hanya rakyat Venezuela yang menghormati dan mendengarkan dia, jutaan rakyat di dunia mendukungnya juga dan dukungan Chavez terhadap Iran akan (dan telah) membingungkan mereka. Di Timur Tengah, berdasarkan survey pada bulan April dan Mei 2009 Chavez adalah pemimpin yang paling populer karena Revolusi Bolivarian dilihat sebagai inspirasi. Chavez seharusnya menggunakan sentimen ini untuk mengobarkan revolusi di Timur Tengah dengan cara mendukung gerakan-gerakan buruh di sana, dan bukannya bersahabat erat dengan pemerintah Iran sembari memujinya sebagai negara anti-imperialis

Di Indonesia sendiri, media-media juga telah berusaha menggambarkan situasi di Iran sebagai intervensi asing. Dengan menggunakan sentimen Islam dan anti-imperialis, kelompok-kelompok fundamentalis Islam di Indonesia mencoba mendiskreditkan gerakan demokrasi di Iran yang sekarang sedang berkobar. Kemenangan gerakan rakyat Iran jelas akan memukul fundamentalisme dengan sangat telak, dan inilah mengapa kelompok-kelompok fundamentalis di Indonesia mendukung rejim Iran.

Di Iran sendiri, para demonstran meneriakkan “Allahu Akbar” karena ini bukanlah pertentangan antara Islam dan Barat (intervensi asing), melainkan antara Islam Kanan Reaksioner (baca para penguasa Iran) dan Islam Kiri (baca rakyat jelata). Ini bukanlah pertentangan agama seperti yang ingin digambarkan oleh para pendukung Iran yang menuduh jutaan rakyat Iran yang turun ke jalan sebagai agen-agen Amerika Serikat yang ingin menghancurkan Islam. Ini adalah klasik perjuangan kelas yang sekarang masih dalam tahapan embrio di Iran.

Hands off Venezuela mengutuk semua intervensi kapitalis-asing di Iran yang mencoba memanuver untuk kepentingan imperialis mereka. HoV mendukung intervensi buruh sedunia, yakni dukungan solidaritas dari rakyat pekerja sedunia kepada perjuangan buruh Iran. Inilah satu-satunya intervensi revolusioner yang kita dukung. Seperti yang diserukan oleh Marx dan yang telah menjadi slogan rakyat pekerja di semua negara: “Buruh sedunia, bersatulah!”

Revolusi di Iran telah dimulai. Walaupun sekarang rejim Iran telah berhasil merepresi para demonstran, tetapi untuk pertama kalinya rakyat Iran bergerak secara massif. Mereka telah belajar banyak dan akan bergerak lagi di kemudian hari dengan lebih besar dan lebih terorganisasi. Venezuela harus mengambil posisi yang tepat, yakni mendukung gerakan buruh Iran untuk menumbangkan rejim reaksioner Iran. Revolusi di Iran akan menjadi percikan revolusi di Timur Tengah, seperti halnya Revolusi Venezuela telah memercikkan revolusi di Amerika Latin. Bersama-sama, Venezuela dan Iran, Amerika Latin dan Timur Tengah, dapat menjadi titik tolak revolusi untuk sosialisme sedunia

Ted Sprague, aktivis Hands off Venezuela

Kaum Buruh Revolusioner di Iran dan Venezuela Mengkritik Chavez

Oleh: Ady Thea
27 Juni 2009

Menyikapi Pemilu Presiden 2009 di Iran, kementrian luar negeri Venezuela menyebutkan “Venezuela menyatakan penentangan terhadap kampanye fitnah yang mengerikan dan tidak berdasar yang berasal dari pihak luar” dan Venezuela juga mengecam intervensi pihak asing untuk menggoyang stabilitas di Iran (Kompas, 18 Juni 2009). Pemilu Presiden 2009 di Iran berakhir dengan kemenangan mutlak Ahmadinejad yang kembali menjabat sebagai Presiden Iran dengan memperoleh 63% suara. Iran digoncang gelombang besar demonstrasi massa rakyat. Mereka menggugat sistem Pemilu Iran yang diindikasikan penuh dengan kecurangan. Kandidat presiden Iran lainnya yaitu Mir Mousavi, yang menempati urutan kedua dengan memperoleh 34% suara, menanggapi kecurangan itu dengan menyerukan kepada seluruh pendukungnya untuk turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi damai. Namun demonstrasi itu dihadapi oleh pemerintah Iran dengan sikap yang represif, penuh kekerasan, yang mengakibatkan sedikitnya puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Pemerintah Iran telah terbiasa melakukan berbagai macam tindak kekerasan terhadap gerakan revolusioner di Iran. Padahal mereka mengklaim sebagai pemerintahan yang Revolusioner, namun pernyataan itu tidak sesuai dengan realitas yang ada di Iran. Bahkan rezim yang berkuasa di Iran saat ini lebih cocok disebut dengan rezim reaksioner. Mereka tidak memberikan ruang terhadap kegiatan-kegiatan revolusioner, mereka menutup seluruh akses demokratik yang harusnya dapat dimiliki oleh masyarakat sipil di Iran. Serikat buruh revolusioner di Iran seperti serikat buruh Vahed, Iran Khodro dan gerakan-gerakan revolusioner lainnya direpresi oleh rezim pemerintah. Dengan cara mengintimidasi, menangkap para pemimpin buruh dan melakukan penyiksaan bahkan tak segan-segan untuk membunuh .

Saat ini Iran bergejolak, massa rakyat menggugat rezim reaksioner di Iran, menuntut pembaharuan dalam Republik Islam Iran, karena tidak ada sistem politik demokratik di Iran. Pemilu Presiden di Iran bukanlah pemilu yang demokratis, karena kandidat-kandidat presiden yang maju dalam Pemilu tidak ditentukan secara demokratik, tapi diseleksi dan ditentukan oleh Majelis Wali (Guardian Council). Dalam teknis pelaksanaan pemilu, para kandidat calon presiden atau kelompoknya tidak diperbolehkan untuk memonitor dan mengawasi jalannya pemilu di lokasi-lokasi pemilihan (TPS) termasuk lembaga-lembaga pemantau pemilu independen lainnya. Sehingga tidak ada transparansi yang jelas mengenai perhitungan perolehan suara. Dan semuanya itu diindikasikan telah dirancang oleh rezim jauh sebelum pemilu dilaksanakan.

Dalam ranah internasional di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, Iran terlihat sebagai negara  “revolusioner”, ia menentang imperialisme, memusuhi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Untuk mendukung dan memperkuat status quo di Iran, Ahmadinejad melakukan manuver politik luar negeri yang cukup baik sehingga pencitraan massa rakyat Internasional melihat  Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad merupakan salah satu negara revolusioner di dunia, apalagi semakin eratnya hubungan antara Iran dengan Venezuela sejak kunjungan Chavez ke Iran di tahun 2004. Hubungan antar kedua negara itu berlanjut ketika Ahmadinejad dan beberapa tokoh politik Iran lainnya melakukan kunjungan balasan ke Venezuela di tahun 2006. Dalam 2 hari kunjungannya ke Venezuela, telah dicapai kesepakatan antara kedua negara untuk melakukan kerjasama ekonomi dan kurang lebih terdapat 20 nota kesepakatan yang ditandatangani kedua belah negara. Bahkan pemerintahan Iran telah berinvestasi jutaan dollar AS di Venezuela.

Namun apakah cukup dengan pencitraan seperti itu, Ahmadinejad beserta seluruh rezim yang berkuasa di Iran dikatakan sebagai para pemimpin revolusioner sejati? Apakah retorika-retorika yang terkesan revolusioner itu juga diterapkan dalam kebijakan politik domestik di Iran? Diberangusnya kekuatan-kekuatan revolusioner serikat-serikat buruh, gerakan mahasiswa dan gerakan progresif lainnya di Iran merupakan cerminan bagaimana pencitraan itu tidak sesuai dengan realitas yang ada di Iran. Rezim Iran tidak mengangkat derajat kaum proletariat, malahan mereka menghancurkan kekuatan revolusioner dengan segenap kekuatan reaksioner. Di satu sisi, pemerintahan Venezuela di bawah kepemimpinan Chavez, mendukung segenap gerakan revolusioner yang ada di Venezuela. Mendukung terbentuknya serikat buruh revolusioner sejati, menyerukan agar buruh mengendalikan pabrik yang ditinggalkan majikannya, membangun basis-basis revolusioner di seluruh penjuru Venezuela, membentuk beraneka ragam program-program sosial yang pro-kaum proletar dan hal-hal revolusioner lainnya. Namun di sisi lain, Iran, di bawah cengkraman rezim yang sekarang berkuasa, kelas buruh mengalami nasib yang sebaliknya, pekerja tidak memiliki hak untuk mendirikan serikat buruh independen, melakukan pemogokan dan melakukan kegiatan-kegiatan revolusioner lainnya. Bahkan setiap demonstrasi dan pemogokan yang dilakukan kaum buruh di Iran untuk menuntut hak-hak mereka seperti kenaikan upah, jaminan kesejahteraan dan lain-lain, seringkali berakhir dengan penangkapan, penyiksaan dan bahkan pembunuhan.

Dalam konteks politik Internasional, Venezuela mengadakan kerjasama antar negara untuk membangun perekonomian tanpa campur tangan imperialisme AS dan sekutunya, membangun hubungan diplomatik dan kegiatan-kegiatan protokoler lainnya. Diplomasi dan hubungan dagang adalah bagian dari kebijakan luar negeri, bahkan ketika ada revolusi yang sedang terjadi. Apalagi Venezuela sekarang masih membutuhkan teknologi dan industri untuk mengembangkan ekonominya, dan tanpa adanya negara-negara sosialis yang bisa saling membantu (dan kita harus jelas kalau Venezuela pun belumlah menjadi negara sosialis) maka Venezuela harus memberikan konsensi dagang pada negara-negara kapitalis lainnya, termasuk Iran. Bahkan dengan Amerika pun Venezuela masih mempertahankan hubungan dagangnya, yakni masih mensuplai minyak ke Amerika.

Akan tetapi, dalam melakukan diplomasi dan hubungan dagang ini, kita harus mengetahui dan sadar akan karakter sesungguhnya dari rejim-rejim tersebut. Iran bukanlah rejim revolusioner, Iran bukanlah rejim anti-imperialis. Iran adalah rejim reaksioner anti kelas pekerja. Untuk merepresentasikan Iran sebagai rejim progresif, seperti yang Chavez sedang lakukan, adalah sebuah kesalahan besar yang akan membingungkan rakyat Venezuela dan merusak basis dukungan dari kaum buruh dan muda Iran yang merupakan sekutu sejati dari Revolusi Venezuela. Sebagai pendukung Revolusi Venezuela, kita harus mengkritik dengan keras sikap Chavez terhadap Iran ini yang justru akan membahayakan Revolusi Venezuela. Pendukung Revolusi Venezuela bukanlah berarti pengekor Chavez.

Seperti halnya banyak kaum kiri yang kebingungan akan apa yang sebenarnya terjadi di Iran, di mana cukup banyak kaum kiri justru mendukung Ahmadinejad dan mengatakan bahwa Iran adalah rejim progresif anti-imperialis (bahkan ada partai-partai “komunis” yang mendukung rejim Iran sekarang), Chavez juga kebingungan. Ini dikarenakan banyak informasi yang tidak jelas mengenai karakter sesungguhnya dari rejim Iran sekarang ini, yang lahir dari konter-revolusi terhadap Revolusi 1979 yang menumbangkan Shah. Kita harus mengerti jelas karakter rejim Iran dan sejarahnya, kalau tidak kita akan kebingungan (Baca “Revolusi Iran – Sejarah dan Hari Depannya” oleh Dr. Zayar dari Iran)

Chavez sebagai pemimpin dari segenap elemen revolusioner di Venezuela harusnya melakukan langkah-langkah kongkrit untuk membantu memperkuat basis revolusioner di Iran. Membantu kaum proletar di Iran untuk melawan rezim reaksioner. Dalam surat terbuka yang dilayangkan oleh Liga Sosialis Revolusioner Iran kepada Chavez, menyerukan agar Chavez membantu mereka untuk mengangkat isu-isu tentang kekerasan yang dialami serikat buruh revolusioner di Iran.

Dari kubu garis keras yang diwakili oleh Ahmadinejad dan dari kubu reformis yang diwakili oleh Mousavi, merupakan satu kesatuan dari rezim yang saat ini berkuasa. Mousavi, walaupun dia saat ini menjadi tokoh yang populer di tengah-tengah massa rakyat Iran yang kebingungan, namun tetap saja dia bukanlah pemimpin revolusioner sejati yang mampu mengakomodir dan mewujudkan cita-cita elemen progresif revolusioner di Iran. Kaum proletariat Iran harus mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang revolusioner untuk dapat memenangkan gerakan revolusi yang saat ini sedang bergairah di Iran. Karena tanpa kepemimpinan revolusioner sejati yang berpihak kepada kaum proletariat, maka massa rakyat Iran tidak akan meraih kemenangan.

Hidup kaum proletar di Iran…!!!

Quo Vadis 10 tahun Revolusi Venezuela menuju Sosialisme: Kesejahteraan Rakyat Membaik atau Memburuk

Oleh Ady Thea
3 Juni 2009

Venezuela termasuk negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Kandungan minyak yang terdapat di daerah Orinoco Basin yang terletak di wilayah Venezuela bagian timur diperkirakan memiliki cadangan sebesar 370 miliar barel dan dinyatakan sebagai cadangan minyak terbesar di dunia. Namun ladang minyak itu tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah yang lalu sebelum Chavez, bahkan banyak perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi disana seperti Exxon Mobil (perusahaan minyak AS), Chevron (Inggris), Total (Perancis), dan lain-lain. Akibatnya, massa rakyat Venezuela tidak dapat menikmati hasil kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Venezuela. Bahkan pada tahun 1989, di masa kepemimpinan Carlos Andres Perez yang pro-kapitalis, sebanyak 80,42% dari keseluruhan jumlah penduduk Venezuela terjerumus dalam jurang kemiskinan.

Sejak 1999 Hugo Chavez terpilih menjadi presiden Venezuela. Ia dipilih secara demokratis melalui pemilu. Mulai saat itulah Venezuela yang sebelumnya berada dalam cengkraman kapitalisme mulai mengarah menuju sosialisme. Langkah pertama yang diambil Chavez pada saat ia berkuasa adalah membuat konstitusi untuk melindungi hak-hak massa rakyat lewat Dewan Konstituante yang secara resmi dibentuk pada tahun 1999. Dari situ kemudian ia mengubah kebijakan-kebijakan yang selama ini pro-kapitalis menjadi pro-sosialis. Sebagai salah satu upaya yang dilakukan Chavez untuk menyejahterakan kelas pekerja, ia mengeluarkan dekrit untuk menaikkan upah minimum menjadi 144.000 Bolivar pada tahun 2000. Langkah itu tentu saja memberi angin segar bagi kelas pekerja di Venezuela, karena kesejahteraan mereka kini lebih baik daripada masa sebelumnya. Pada semester kedua di tahun 2000, angka kemiskinan di Venezuela turun menjadi 46,20%.

Untuk meningkatkan gizi anak-anak usia sekolah, pada tahun 1999 pemerintahan Chavez membuat program makanan tambahan bagi anak sekolah yang dinamakan Programa Alimenticio Escolar (PAE). Melalui program itu anak-anak sekolah mendapatkan sarapan, makan siang, dan makanan ringan (snack) gratis dari pemerintah. Program ini pada tahun 1999 mampu dinikmati sekitar seperempat juta anak sekolah di Venezuela dan dari tahun ke tahun jumlah itu semakin meningkat.

Melihat kebijakan-kebijakan pemerintahan Chavez yang progresif revolusioner, pihak oposisi (pro-kapitalis) melakukan segala daya upaya untuk menggulingkan pemerintahan demokratis di bawah kepemimpinan Chavez. Puncaknya terjadi pada tahun 2002 dimana pihak oposisi melakukan kudeta. Mereka menobatkan pemimpin Fedecamaras (Federasi Bisnis Venezuela), Pedro Carmona, sebagai Presiden Venezuela. Selain itu kelompok oposisi juga menyerang kelompok-kelompok pro-Chavez. Bahkan mereka juga menyerang kedutaan besar Kuba di Caracas, ibukota Venezuela .

Di satu sisi kudeta itu dapat dipatahkan oleh massa rakyat. Kelompok-kelompok pro-Chavez memainkan peran yang sangat penting untuk membela Revolusi Bolivarian. Sehingga terhitung sejak 14 April 2002 Presiden Hugo Chavez dapat kembali menempati posisinya sebagai Presiden Venezuela. Namun di sisi lain pihak oposisi masih terus berusaha untuk melemahkan pemerintahan Chavez dengan cara melakukan pemogokan di perusahaan minyak milik pemerintah yaitu PDVSA. Para pekerja PDVSA yang berasal dari tingkat manajerial menghentikan proses produksi, sehingga jumlah produksi PDVSA berkurang hingga mencapai 1 juta barel/hari. 40 sumur minyak berhenti beroperasi dan minyak menjadi langka di Venezuela. Peristiwa ini memberi pukulan keras terhadap pemerintahan Chavez dan juga massa rakyat.

Dengan berhentinya produksi minyak PDVSA, secara otomatis pemerintah mengalami penurunan pemasukan keuangan negara. Selain itu mobil-mobil dan mesin-mesin tidak dapat dioperasikan karena kelangkaan bahan bakar. Namun manuver pihak oposisi itu mampu dipatahkan kembali oleh kekuatan massa rakyat pekerja. Para pekerja minyak bawahan mengambil alih produksi minyak yang sangat kompleks ini tanpa bantuan teknis para manajer. Sehingga pada 9 Februari 2009 pemerintahan Chavez dapat mengendalikan PDVSA agar kembali berproduksi secara normal. Akibat tindakan yang dilakukan pihak oposisi ini, perekonomian Venezuela menurun dan angka kemiskinan kembali naik pada semester kedua di tahun 2003 menjadi 62,10%. Peristiwa ini semakin menyadarkan massa rakyat bahwa pihak pro-kapitalis akan terus berupaya untuk menggulingkan pemerintahan pro-sosialis dan dengan itu massa rakyat sadar bahwa musuh utama mereka adalah kapitalisme. Massa rakyat menyadari bahwa dalam pemerintahan Chavez masih terdapat birokrat-birokrat yang pro-kapitalis, namun mereka bersembunyi di balik pemerintahan Chavez yang progresif revolusioner. Dan sampai detik ini pun, Presiden Chavez berupaya semaksimal mungkin untuk membersihkan pemerintahannya dari kelompok-kelompok yang pro-kapitalis.

Kapitalisme merangsek ke berbagai lini di Venezuela, terutama ke sektor-sektor penting yang berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan massa rakyat, dimana seharusnya dapat dinikmati sebagai kebutuhan dasar dan menjadi hak-hak massa rakyat. Seperti makanan murah dan berkualitas, pelayanan kesehatan, akses pendidikan dan lain sebagainya. Namun sebelum Chavez berkuasa, hak-hak rakyat itu tidak terpenuhi, bahkan cenderung diabaikan. Oleh karena itu di masa pemerintahan Chavez banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar massa rakyat melalui program-program transisional menuju sosialisme.

Pada tanggal 21 April 2003 pemerintahan Chavez membentuk program kesehatan yang dinamakan Mission Barrio Adentro. Selama ini kesehatan massa rakyat Venezuela diatur oleh pasar sehingga kapitalisme di bidang kesehatan merajalela. Hanya penduduk dari golongan menengah atas yang mampu menikmati fasilitas kesehatan sedangkan sebagian massa rakyat Venezuela yang hidup miskin tidak mampu mendapatkan akses kesehatan yang layak. Oleh karena itu, melalui program Mission Barrio Adentro, Presiden Chavez mendobrak keangkuhan kapitalisme agar massa rakyat mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

Sektor pendidikan pun tak lepas dari genggaman kapitalisme. Sebelum Chavez berkuasa, pendidikan hanya mampu dinikmati oleh anak-anak orang kaya. Sedangkan sebagian massa rakyat Venezuela tidak mampu mendapatkan akses pendidikan yang bermutu. Jerat kemiskinan menjadi penyebab utama kenapa pendidikan bermutu tidak dapat dinikmati anak-anak usia sekolah kurang mampu. Bahkan mereka harus bekerja untuk membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk mengatasi masalah pendidikan itu, Chavez membuat program melek huruf yang dinamakan Mission Robinson. Program itu mulai berjalan di tahun 2003. Alhasil tingkat kemampuan membaca dan menulis massa rakyat Venezuela naik menjadi 93,8% untuk kaum pria dan 93,1% untuk kaum wanita. Dan saat ini pemerintah Venezuela membebaskan biaya pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai Universitas bagi massa rakyat miskin.

Untuk menjamin kesediaan pangan bagi kaum miskin, mulai dari tahun 2003 pemerintahan Chavez memulai program Mercal yang ditujukan untuk menyediakan bahan-bahan makanan yang murah dan berkualitas bagi massa rakyat. Pemerintah menunjuk toko-toko sembako tertentu yang tersebar di seluruh penjuru Venezuela, terutama di daerah yang miskin sebagai agen untuk mendistribusikan bahan-bahan makanan itu. Pada tahun 2003, bahan-bahan makanan yang sudah terjual melalui toko-toko itu mencapai 45.662 metrik ton dan jumlah itu semakin meningkat menjadi 1,25 juta metrik ton di tahun 2008.

Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan sosialis yang memberikan pengaruh langsung bagi kesejahteraan massa rakyat di Venezuela seperti pembangunan rumah untuk kaum miskin, menaikkan gaji guru hingga 30% dan lain-lain. Beberapa kebijakan yang telah ditulis di atas merupakan contoh dari perubahan nyata selama revolusi terjadi sehingga massa rakyat secara langsung dapat menikmati hasilnya. Jika dilihat dari angka kemiskinan yang ada di Venezuela, selama masa pemerintahan Chavez kesejahteraan massa rakyat Venezuela semakin membaik. Sejak kebijakan transisional menuju sosialisme dilaksanakan oleh pemerintahan Chavez, angka kemiskinan di Venezuela semakin menurun, bahkan pada semester ke dua di tahun 2008 angka kemiskinan di Venezuela turun menjadi 31,50%.

Nasionalisasi pabrik di bawah kontrol buruh merupakan kata kunci terwujudnya kemajuan-kemajuan progresif di Venezuela. Nasionalisasi harus dilakukan di sektor-sektor industri penting untuk membiayai program-program sosialis di Venezuela, seperti perusahaan minyak PDVSA, perusahaan besi baja SIDOR, beberapa perusahaan semen milik asing yang beroperasi di Venezuela, dan lain-lain. Setelah dinasionalisasi, kemudian perusahaan-perusahaan itu harus sepenuhnya dikelola oleh buruh dan pemerintah. Dari situlah kedaulatan massa rakyat dijunjung tinggi, mereka merencanakan, mengelola dan menjalankan pembangunan massa rakyat tanpa dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.

Partisipasi seluruh massa rakyat Venezuela merupakan tulang punggung bagi revolusi sosialis di Venezuela karena tanpa partisipasi aktif dari massa rakyat, revolusi sosialisme akan menuju kegagalan. Perkembangan progresif revolusioner yang ada di Venezuela merupakan buah manis dari pohon revolusi yang ditanam oleh kelas pekerja di Venezuela. Mereka tidak henti-hentinya berorganisasi, merapatkan barisan, mengasah kesadaran kelas sampai akhirnya mampu membawa Venezuela bergerak menuju sosialisme. Selain itu sosok Hugo Chavez yang karismatik dan revolusioner mampu tampil memimpin jalannya revolusi. Sinergisitas ini menjadi sebuah energi revolusioner yang sangat dahsyat untuk memutuskan belenggu rantai besi kapitalisme di Venezuela.

Namun bukan berarti saat ini massa rakyat telah meraih kemenangan, bukan berarti sekarang Venezuela telah menjadi Negara sosialis atau Negara kelas pekerja sejati. Masih banyak sektor yang harus dibenahi dan diperkuat untuk membangun sebuah Negara sosialis di Venezuela. Dan dari kesemuanya itu yang perlu diingat adalah Venezuela saat ini telah berjalan menuju sosialisme. Konsep internasionalisme akan mewujudkan dan memperkuat basis sosialisme di Venezuela. Dan mulai saat ini di kawasan Amerika Latin bukan hanya Kuba yang menjadi kobaran api revolusioner, namun kobaran api itu telah menyambar ke Venezuela, Bolivia, Ekuador, Nikaragua, dan lainnya. Kobaran api revolusioner itulah yang nantinya akan menerangi dunia, menghanguskan keangkuhan kapitalisme, melelehkan kebrutalan imperialisme, dan membuat neoliberalisme menjadi abu.

Referensi:
– http://www.antara.co.id/view/?i=1178088506&c=EKB&s=, diakses pada tanggal 3 Juni 2009
– http://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_Venezuela, diakses pada tanggal 3 Juni 2009
– Mark Weisbrot, Rebecca Ray dan Luis Sandoval, “The Chavez Administration at 10 Years: The Economy and Social Indicators”. Makalah CEPR. ( Washington DC , Februari 2009)

Perspektif Marxis Mengenai Revolusi Venezuela

Oleh : Jesus S. Anam

the-venezuelan-revolution1November tahun lalu, kamerad Jorge Martin, sekretaris internasional Hands off Venezuela (HoV), memberikan buku kepada saya berjudul The Venezuelan Revolution: A Marxis Perspective karya Alan Woods, tokoh sentral International Marxist Tendency (IMT). Buku itu berisikan 14 artikel yang ditulis oleh Alan Woods mengenai realitas politik di Venezuela seputar kegagalan kudeta tahun 2002 dan arah revolusi Bolivarian menuju sosialisme awal tahun 2005. Setelah membacanya, saya membuat sebuah catatan ringkas pandangan brilian Alan Woods mengenai revolusi Venezuela dan menyuguhkannya di forum ini. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelumnya, Kaum Kiri dan Revolusi Venezuela.

Alan Woods menulis sejumlah artikel itu dalam rentang waktu antara tahun 2002 (setelah kegagalan kudeta) hingga tahun 2005. Artikel-artikel dalam buku ini tidak hanya mendiskripsikan sebuah kejadian, tetapi sebuah analisis Marxis mengenai revolusi Venezuela, kelemahan, kekuatan, kontradiksi dan karakter-karakter uniknya.

Dalam buku itu, Alan Woods juga memberi apresiasi yang tinggi terhadap perjuangan rakyat di Venezuela dan melihatnya sebagai jalan menuju revolusi sosialis dunia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Venezuela adalah jalan utama yang akan menjadi titik tolak pembangunan revolusi dunia, karena kaum pekerja di Venezuela saat ini memiliki kesadaran lebih maju dibanding kesadaran kaum pekerja di tempat lain. Artikel-artikel yang ditulis Alan Woods itu mendorong keterlibatan kaum Marxis, kaum pekerja revolusioner, dan kaum muda militan seluruh dunia dalam proses revolusi di Venezuela dengan media-media yang memungkinkan.

Pandangan politik Alan Woods yang dipaparkan dalam artikel-artikelnya memperlihatkan sebuah sikap politik yang progresif, tajam, dan internasionalis. Woods ingin menyatukan elemen-elemen terbaik dari kaum Marxis seluruh dunia dengan gerakan dan kepemimpinan baru yang revolusioner. Ini merupakan poin yang luar biasa bagi Alan Woods dan IMT karena mampu menjelajah dunia (setidaknya baru sebagian), bergabung dengan gerakan Bolivarian dan memasukkan ide-ide Marxisme ke dalam gerakan tersebut.

Banyak sekali kelompok-kelompok dan partai-partai revolusioner yang skeptis dan dingin terhadap revolusi yang terjadi di Venezuela. Hal ini bukan tanpa sebab. Ada beberapa alasan fundamental yang menjadi sumber keberatan mereka untuk mendukung revolusi Bolivarian. Pertama, sejumlah pemimpin Bolivarian datang dari kalangan militer. Kedua, program Bolivarian, pada tahap awalnya, bukanlah sosialis. Ketiga, Chavez bukan seorang sosialis, tetapi hanya seorang borjuis yang radikal.

Sikap skeptis dan dingin dari beberapa kelompok dan partai revolusioner tersebut berbeda jauh dengan pandangan politik Alan Woods yang menganggap penting keterlibatan kaum Marxis di Venezuela dan seluruh dunia dalam proses revolusi di Venezuela. Bahkan, sebagai cerminan sikap progresifnya, Alan Woods membangun media kampanye solidaritas internasional untuk mendukung proses selanjutnya dalam revolusi di Venezuela, yakni Hands Off Venezuela (HOV).

Dari awal Alan Woods memang telah menganggap penting hal ini. Kaum Marxis tidak hanya mengritik dan berdiri di luar arena sebagai penonton. Tetapi terlibat dan menjadi bagian dari revolusi. Karena tugas krusial yang harus dilakukan oleh kaum Marxis di Venezuela saat itu, sebagai sikap dari kaum Marxis sejati, yakni mempengaruhi gerakan Bolivarian dengan ide-ide Marxis untuk mengarahkan jalannya revolusi ke arah sosialisme.

Gagasan-gagasan maju Alan Woods tercermin dalam setiap artikelnya. Revolusi Venezuela tidak boleh berhenti di tengah jalan dengan membiarkan kelompok sayap kanan yang didukung Amerika Serikat dalam sektor-sektor penting dan menjadi aparatus negara yang kuat yang sewaktu-waktu bisa menggagalkan jalannya revolusi. “Kekuatan kontra-revolusi tidak boleh dibiarkan,” kata Alan Woods. “Mereka semakin putus asa… nekat dan kasar…. Rakyat pekerja harus mengambil alih kepemilikan kapitalis dan meletakkan dasar bagi pembangunan sosialisme. Dengan kemenangan besar atau dalam keadaan buruk sekalipun.” (Bab 9)

Mengenai pengambil alihan kepemilikan kapitalis, Woods menggambarkannya sebagai suatu pekerjaan yang tidak mudah. Hal ini memerlukan kesiapan manajerial dari kaum pekerja, dan juga faktor-faktor lain yang tak kalah berat. Nasionalisasi, menurut Woods, hanya bisa diemban oleh gerakan massa rakyat pekerja yang telah memahami bahwa tidak ada alternatif lain dan yang sudah siap untuk mengambil alih tanggungjawab manajemen. Mereka juga harus siap dengan masalah-masalah dalam mengelola kegiatan-kegiatan produksi. Karena pengambil alihan perusahaan-perusahan asing ke tangan mereka bisa menyebabkan kekurangan bahan baku, pasokan alat-alat untuk produksi, dan tentunya pasar untuk menjual barang-barang produksi.

Woods juga mempresentasikan perlunya menasionalisasi kepemilikan kapitalis melalui cara yang konstitusional. “For the immediate expropriation of the property of the imperialists and the Venezuelan bourgeoisie! The only way to remove the danger of counter-revolution…. An emergency decree to this effect must be put to the National Assembly,” kata Woods, tidak lama setelah kegagalan kudeta tahun 2002. (Halaman 17)

Hal penting lain yang perlu dicermati dalam buku ini, bahwa, secara implisit, Woods juga mengkritisi sikap politik Chavez yang masih cenderung inkonsisten. Dalam bab pembukaan, yang ditulis dari London dan Buenos Aires tidak lama setelah percobaan kudeta tahun 2002, Woods mengkhawatirkan langkah-langkah politik Chavez ke depan. Woods menulis bahwa Chavez cenderung bertindak inkonsisten dan sering memperlihatkan sikap ragu-ragu. Dia terkesan menyia-nyiakan kesempatan dan berusaha berdamai dengan kekuatan kontra-revolusi. (Bab 1)

Kekhawatiran Woods yang diucapkan 7 tahun lalu, meskipun secara eksplisit tidak terbukti, setidaknya menjadi pijakan kita untuk terus bersikap kritis terhadap kebijakan politik Chavez dan proses dari Revolusi Venezuela. Karena masih banyak tugas-tugas revolusi yang belum selesai. Sistem ekonomi Venezuela juga masih didominasi oleh kapitalis. Sebagaimana dikatakan oleh Kamerad Ted Sprague dalam artikelnya yang berjudul Peringatan Kudeta April 2002 di Venezuela dan Kemunafikan Demokrasi Barat, bahwa sistem ekonomi Venezuela masih didominasi oleh kapitalis dan negara Venezuela masihlah berbentuk negara borjuis yang dipenuhi oleh elemen-elemen birokrasi korup dari pemerintahan yang lama, yang secara sengaja menyabotase usaha-usaha Chavez dari dalam.

Premis dasar dari Marxisme yang telah diajukan Alan Woods dalam bukunya itu telah dikonfirmasikan pada tiap-tiap tahap dalam perjuangan rakyat Venezuela, mampu membangkitkan kepekaan politik di kalangan kaum Bolivarian. Studi yang teliti di setiap artikel Alan Woods dalam buku itu akan menjadi referensi guna mengawal revolusi Venezuela.

Hidup Revolusi Venezuela!

Hidup Sosialisme!


Kaum Kiri dan Revolusi Venezuela: Sebuah Perspektif

Oleh Jesus SA

Revolusi sosialis di Venezuela merupakan peristiwa politik yang spektakuler. Revolusi ini akan mengguncang dunia kapitalis dan akan menyebar dengan cepat dari tanah Amerika Latin menuju tanah-tanah yang lain. Lahirnya revolusi ini digerakkan oleh tampilnya kepeloporan Hugo Chavez dan didukung oleh kekuatan-kekuatan progresif dari kaum pekerja dan kaum muda militan. Tetapi perjalanan revolusi ini dengan program-program sosialisnya dihadapkan pada situasi yang berat. Musuh-musuh revolusi berdiri menghimpit tidak hanya dari satu arah. Musuh-musuh itu tidak hanya berasal dari kelompok sayap kanan, tetapi juga dari kaum kiri di Venezuela.

Tulisan ini bermaksud mengulas kembali dengan singkat perdebatan yang pernah terjadi diantara kaum kiri di Venezuela mengenai Revolusi Bolivarian. Tulisan ini juga menghadirkan pemikiran Trotsky, salah satu tokoh kunci dalam revolusi Rusia dan juga salah satu teoritikus terbaik Partai Bolshevik — mengenai revolusi.

Keberatan utama dari kaum kiri di Venezuela mengenai Revolusi Bolivarian bisa dirangkum dalam dua peratanyaan penting: apakah sudah saatnya revolusi terjadi di Venezuela? Dan bukankah Chavez berasal dari kelas borjuis?

Untuk menjawab keberatan yang pertama kita bisa masuk dalam tulisan Trotsky ”History of the Russian Revolution”. Dalam tulisan tersebut Trotsky menjelaskan bahwa revolusi adalah situasi dimana massa mulai membawa takdirnya ke dalam tangan mereka sendiri. Pandangan Trotsky tentang revolusi ini bisa memberi penjelasan yang masuk akal mengenai apakah revolusi Venezuela ”sudah saatnya terjadi?”

Menurut Trotsky, ciri utama dari sebuah revolusi adalah massa terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa historis. Dalam keadaan biasa, negara, baik yang menganut sistim monarki ataupun demokrasi, dibentuk oleh para ahli yang terlibat dalam jalur bisnis — para raja, menteri, birokrat, anggota parlemen, dan jurnalis. Tetapi dalam keadaan darurat, ketika kondisi sudah cukup matang, massa tidak bisa menahan lagi untuk menghancurkan seluruh rintangan dan mengeluarkan mereka dari arena politik, dan meletakkan dasar bagi sebuah rejim baru dengan keterlibatan langsung dari massa.

bolivarian-campaignDalam peristiwa politik di Venezuela, tampak sekali kesadaran massa dan partisipasi aktif mereka dalam politik. Dan ini merupakan hal yang paling menentukan dalam Revolusi Venezuela. Dalam keaadaan normal, massa tidak berpartisipasi aktif dalam politik. Kondisi kehidupan di bawah sistim kapitalisme segala duri yang berserakan di jalan tidak bisa disingkirkan. Hari-hari dari kehidupan kaum pekerja, baik fisik maupun mental, sudah sangat lelah. Akan tetapi, dalam situasi kritis, massa akan bangkit semangat revolusionernya dan akan merangsek dalam kancah sejarah. Mereka akan mengambil hidup dan takdirnya ke dalam tangan mereka sendiri dan mengubah sikap pasifnya dengan menjadi pelaku utama dalam proses sejarah. Dan situasi seperti inilah yang tengah terjadi di venezuela.

Sejak percobaan kudeta pada bulan April 2002, jutaan kaum buruh dan massa tertindas tengah bergerak, berjuang keras untuk mengubah masyarakatnya, membela Chavez dengan harapan akan membawa perubahan signifikan. Hal ini sering tidak dipahami oleh gerekan kiri di Venezuela sebagai dialektika sejarah. Mereka juga tidak memahami hubungan dialektik antara Chavez dan massa. Mereka menggunakan pemahaman yang formal dan mekanik mengenai revolusi. Mereka tidak memahaminya sebagai proses dari kehidupan, yang tidak beraturan dan penuh kontradiksi. Ini tidak sesuai dengan ”skema jadi” milik mereka mengenai bagaimana revolusi harus terjadi. Oleh karena itu, mereka menolak Revolusi Venezuela sebagai sesuatu yang harus terjadi.

Untuk memahami revolusi Venezuela, menggeledah peristiwa-peristiwa revolusi sebelumnya merupakan tindakan yang cerdas. Karena kita akan menemukan proses dan karakter yang berbeda-beda dalam revolusi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Trotsky, masih dalam buku yang sama, bahwa tahapan dalam proses revolusi akan berbeda-beda. Dinamika dalam peristiwa-peristiwa revolusioner tergantung secara langsung oleh kecepatan, intensitas, dan dinamika gairah dalam psikologi kelas-kelas, yang telah membentuknya sebelum revolusi.

Keberatan yang kedua, yakni ”bukankah Chavez berasal dari kelas borjuis?” merupakan cara berpikir yang simplistik. Mereka hanya melihatnya sebagai hitam atau putih, benar atau salah, ya atau tidak, borjuis atau proletar. Jika kita mengkaji dengan cara yang lebih sosiologis, latar belakang sosial Chavez bukanlah borjuis, tetapi dari kelas menengah. Berulangkali dia menyebut dirinya petani. Kelas menengah bukanlah kelas yang homogen. Di lapisan atasnya, seperti jabatan pengacara, dokter, profesor, memang berdiri dekat dengan kelas borjuis bahkan sering menjadi alat dari kepentingan borjuasi. Tetapi di lapisan bawahnya, seperti pemilik toko kecil, petani kecil, para intelektual miskin, berdiri dekat dengan kelas pekerja dan, dalam situasi tertentu, mereka akan mendukung dan terlibat dalam revolusi sosialis.

Originalitas kelas seorang pemimpin tidaklah mengindikasikan sifat kelas dari sebuah partai atau gerakan yang ia pimpin. Sifat kelas sebuah partai atau gerakan ditentukan oleh program, kebijakan, dan basis kelasnya.

Venezuela: UNT dan Komite Pabrik – Analisa Marxis Untuk Strategi Revolusioner

Oleh Yonnie Moreno (Venezuela)

Apakah tugas dari soviet, komite buruh, dan serikat buruh di dalam revolusi? Apakah bentuk organisasi tersebut saling bertentangan? Apa sikap yang harus diambil oleh kaum revolusioner dalam hal komite buruh? Yonnie Moreno, kamerad dari Venezuela, memberikan analisanya berdasarkan pengalaman di Venezuela dan juga pengalaman dari Revolusi Rusia 1917 dan Revolusi Jerman 1923.

[Catatan: Artikel ini ditulis sebelum nasionalisasi SIDOR (pabrik besi terbesar di Venezuela) dan pemecatan José Rámon Rivero sebagai Menteri Buruh. Artikel ini diterbitkan di koran El Militante, no. 11, April 2008, yakni koran organisasi Marxis CMR (Corriente Marxista Revolucionaria) di Venezuela]

Pengambil-alihan perusahaan produksi susu “Los Andes” oleh pemerintahan Venezuela telah sekali lagi mendorong ke depan diskusi mengenai komite-komite buruh di dalam Revolusi Bolivarian, dan apa sikap kaum revolusioner dan kelas pekerja terhadap komite-komite tersebut.

Saat mengunjungi Merida setelah menyita perusahaan tersebut dan di dalam pidatonya kepada aktivis-aktivis PSUV (Partido Socialista de Venezuela, Partai Persatuan Sosialis Venezuela) di gedung pertemuan Poliedro, Chavez mengatakan:

“Komite-komite buruh harus dibentuk, yakni komite-komite sosialis, guna mentransformasi pabrik dari dalam. Para pekerja harus mengetahui apa yang terjadi di dalam perusahaan, dan berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan”. Dia kemudian menyimpulkan: “Kelas pekerja dan rakyat haruslah menjadi pelopor di dalam proses sosial ini”.

Ini bukanlah pertama kalinya Chavez menyerukan kelas pekerja untuk menjadi kaum pelopor revolusi dan seruan ini tidak boleh diremehkan oleh para pemimpin serikat buruh revolusioner. Untuk alasan ini, adalah sangat penting untuk mempunyai posisi yang tepat mengenai komite-komite pabrik yang disarankan belum lama ini oleh Menteri Buruh, José Rámon Rivero, dan sekarang oleh presiden Chavez.

UNT (Union Nacional de Trabajadores, Serikat Buruh Nasional Venezuela) dan seluruh gerakan buruh harus mengambil sebuah posisi yang tepat, dan yang paling penting mereka harus bertindak untuk membentuk komite-komite buruh dari bawah. Ini harus dilakukan di pabrik-pabrik yang sudah diokupasi oleh buruh, di pabrik-pabrik yang masih dikontrol oleh kapitalis, dan di perusahaan-perusaha an milik publik.

Langkah ini adalah fundamental bila kelas pekerja Venezuela ingin memenuhi tugas-tugasnya guna mendorong revolusi ini menuju Sosialisme. Ini berarti: ekspropriasi alat-alat produksi milik kapitalis, pabrik-pabrik, monopoli-monopoli besar, bank-bank dan tanah. Terlebih lagi, aparatus negara yang tua yang diwarisi dari Republik Keempat (Pemerintahan sebelum Chavez) harus dihancurkan dan digantikan dengan negara atau semi-state yang benar-benar revolusioner.

Bagi kaum Marxis, kelas pekerja Venezuela adalah satu-satunya sektor yang dapat mengorganisir sebuah negara revolusioner sebagai sebuah alternatif dari negara borjuis. Ini adalah satu poin fundamental yang membedakan kaum Marxis dari tendensi-tendensi lain di kiri.

Kaum tani, “sektor popular” [kaum miskin kota], dan kaum borjuis kecil, secara sendirian mereka tidak dapat mengorganisir struktur yang stabil. Yang diperlukan adalah partisipasi kelas pekerja secara terorganisir, dengan organ-organnya, dengan struktur kekuataan nasionalnya untuk berkoordinasi (bukan bertentangan atau tanpa berkonsultasi dengan mereka) dengan “sektor-sektor popular”, kaum tani, dan lapisan kelas menengah. Dengan begitu, akan mungkin untuk membangun negara revolusioner, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Revolusi Bolivarian ini.

Inilah alasan utama mengapa dewan-dewan komunal yang berdasarkan komunitas-komunitas tidak mampu mengorganisir sebuah alternatif dari negara borjuis selama bertahun-tahun revolusi, walaupun semua usaha dan kemajuan telah tercapai dan walaupun semua bantuan ekonomi telah diberikan kepada mereka oleh pemerintahan Venezuela.

Komunitas-komunitas ini, yakni komunitas kaum miskin kota di Venezuela, memiliki sebuah komposisi sosial yang heterogen. Tentu saja ada kaum revolusioner yang militan dan berdedikasi di dalam komunitas ini, akan tetapi sayangnya negera revolusioner tidaklah mungkin dibentuk hanya berdasarkan komunitas-komunitas .

Satu-satunya jalan adalah kelas pekerja membentuk organ kekuasaan mereka sendiri dan organ-organ ini harus berkoordinasi dengan dewan-dewan komunal; bukan untuk berkompetisi dengan mereka atau berdiri sendirian, tetapi membentuk komunikasi dan koordinasi. Sama halnya dengan komunitas-komunitas yang tidak mampu mengorganisir negara yang baru dengan sendirinya, kelas pekerja juga tidak akan bisa merebut kekuasaan dengan sendirinya bila ia tidak mampu mendapatkan kepercayaan, dukungan, dan solidaritas dari “sektor-sektor popular”. Untuk mencapai hal tersebut, sangatlah fundamental bagi kelas pekerja untuk mengikutsertakan tuntutan-tuntutan komunitas ke dalam tuntutan mereka dan di dalam semua perjuangan mereka kelas pekerja harus membuat hubungan dengan lapisan-lapisan “sektor popular” yang mencakupi mungkin 50% dari populasi Venezuela.

Proposal Dewan-Dewan Buruh

Dewan-dewan buruh yang pertama dibentuk di pabrik INVEVAL dan selama perjuangan buruh di Sanitarios Maracay dan di pabrik INAF di Cagua dengan inisiatif dari CMR dan FRETECO (Front Buruh Revolusioner di Pabrik-pabrik yang Diambilalih dan Dikendalikan Buruh) di Venezuela. Sayangnya, tidak ada organisasi politik lainnya di Venezuela yang memulai inisiatif membentuk organ-organ kontrol buruh di dalam produksi sebagai organ-organ kontrol buruh yang demokratis guna menjalankan produksi dan manajemen perusahaan.

Pada bulan Januari 2007, Menteri Buruh, José Rámon Rivero, secara verbal menggagaskan pembentukan dewan-dewan buruh. Sampai sekarang, belum ada undang-undang atau dekrit yang akan memungkinkan implementasi dewan-dewan buruh ini, ataupun indikasi mengenai apa fungsi dewan ini di dalam pabrik. Kekalahan referendum 2 Desember yang lalu telah memblok sebuah amendemen dimana disebutkan dewan-dewan buruh sebagai organ kekuasaan popular. Kemenangan referendum tersebut dapat memberikan dorongan yang besar untuk membentuk dewan-dewan buruh.

Dari tendensi serikat buruh FSBT (Fuerza Socialista Bolivariana de Trabajadores) dimana José Rámon Rivero adalah anggota, belum ada langkah-langkah konkrit untuk mengimplementasikan dewan-dewan buruh, dalam arena parlemen maupun dalam perjuangan di pabrik-pabrik. Ini tidaklah mengejutkan karena kepemimpinan FSBT adalah sektor serikat buruh yang paling dekat dengan kaum birokrasi reformis di dalam revolusi Bolivarian.

Proposal dari Mentri Buruh ditolak oleh tendensi-tendensi lain di dalam gerakan buruh, terutama oleh Orlando Chirino, salah satu pemimpin yang paling terkenal di UNT. Orlando Chirino juga menentang Referendum 2 Desember yang lalu. Ini adalah kesalahan yang sangat serius. Argumen utama dari Chirino dalam menentang pembentukan dewan buruh adalah bahwa ini merupakan manuver dari kaum birokrasi reformis di dalam pemerintahan untuk meng-subordinasi dan melemahkan gerakan serikat buruh di Venezuela dan untuk menghancurkan UNT.

“Akan sangat penting sekali bila organisasi-organisa si serikat buruh dapat mencapai persetujuan dengan komite-komite buruh, tetapi petunjuk persetujuan ini akan datang dari negara. Komite-komite buruh haruslah mempunyai otonomi dan apa yang kita sekarang saksikan adalah bahwa mereka mencoba untuk mengendalikan para buruh dan organisasi-organisa si serikat buruh mereka … Yang akan saya katakan secara terbuka adalah bahwa tujuan dari dewan buruh ini adalah untuk melemahkan aksi gerakan serikat buruh. Sayangnya, hari ini kita menyaksikan sebuah aksi yang berbahaya dari pemerintah melalui Menteri Buruh dalam melawan kebebasan dan otonomi serikat buruh.” (Wawancara dengan Orlando Chirinos, Koordinator Nasional UN, El Universal, 14 Oktober 2007)

Konflik antara Chirino dan sayap kanan FSBT dan Menteri Buruh diketahui dengan baik oleh banyak orang. Perpecahan antara Chirino, Marcela Maspero dan FSBT telah melumpuhkan UNT sebagai sebuah organisasi nasional, dan sebagai akibatnya ini telah melumpuhkan kelas pekerja dan maka dari itu membuatnya tidak mampu memenuhi tugas-tugas revolusionernya.

Menghadapi situasi ini, banyak pekerja yang kebingungan. Ini bahkan diperparah ketika FSBT mengatakan bahwa serikat buruh adalah institusi yang sudah kadaluarsa yang diciptakan oleh kapitalis dan hanya komite buruh lah yang harus dibentuk.

Ini adalah pendekatan yang reaksioner karena serikat buruh adalah alat perjuangan buruh untuk membela kepentingan mereka, yang diciptakan melalui pengorbanan yang luar biasa besar. Bila dibawah kondisi tertentu kepemimpinan serikat buruh dapat menjadi korup dan mengadopsi posisi yang pro-boss, ini disebabkan oleh sebuah pendekatan yang melihat perjuangan pekerja hanya dari sudut pandang serikat buruh-isme, yang hanya menekankan perjuangan sehari-hari dan menghindari hubungan dengan perjuangan untuk sosialisme dan melawan kapitalisme. Akan tetapi, ini bukanlah salah organisasi serikat buruh itu sendiri atau para buruh yang ada didalamnya, tetapi adalah kesalahan para pemimpin serikat buruh yang reformis dan pro-boss yang “memimpin” kelas pekerja pada momen-momen tertentu.

Kaum Marxis membela serikat-serikat buruh dan berjuang di dalamnya untuk sebuah kebijakan yang militan dan revolusioner. Tetapi kita tidak berhenti disana, kita juga menekankan bahwa tugas-tugas serikat buruh di dalam sebuah revolusi harus melampaui tugas-tugas “normal” mereka dan mereka harus merubah diri mereka menjadi instrumen untuk merebut kekuasaan. Inilah tugas utama UNT.

Dengan tujuan ini di dalam pikiran kita, para pekerja dari serikat-serikat buruh revolusioner harus mengambil sebuah posisi yang tepat dalam permasalahan komite buruh. Apa sikap yang harus diambil oleh aktivis buruh Venezuela dalam hal komite buruh? Apa kita harus mendukungnya atau menentangnya? Apakah ini adalah serikat buruh versus komite buruh? Kenyataannya adalah bahwa komite buruh adalah pondasi untuk membangun sebuah negara alternatif yang revolusioner.

Pengalaman Revolusi Rusia 1917 and Revolusi German 1923

Secara historis, komite-komite buruh muncul ketika perjuangan kelas telah mencapai satu titik dimana bentuk kepemilikan kapitalis dan kontrol kapitalis atas pabrik-pabrik dipertanyakan. Para buruh mulai menduduki pabrik-pabrik dan mengimplementasikan kontrol buruh dalam produksi. Munculnya komite-komite buruh menunjukkan betapa dalamnya krisis revolusioner dan potensial untuk mengorganisir kelas pekerja sebagai kelas penguasa dengan organ-organ kekuasaannya sendiri. Berulang kali di dalam sejarah, komite buruh adalah batu pondasi dari negara revolusioner.

Dalam hal ini, pengalaman Revolusi Rusia 1917 adalah penting. Soviet buruh (komite buruh) muncul dari komite mogok kerja yang berkepanjangan, yang mengkoordinasi pabrik-pabrik lain dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri, ke seluruh komunitas rakyat pekerja dan seluruh daerah. Komite buruh berfungsi sebagai bagian dari organ kontrol buruh, yang menjalankan kontrol buruh atas produksi, maka dari itu ia menjadi kepemimpinan buruh di dalam pabrik, yang anggotanya dipilih oleh buruh sendiri.

Soviet adalah organ embrio dari negara buruh. Akan tetapi, kaum Bolshevik tidak memuja bentuk Soviet seperti berhala. Pada satu ketika, mereka juga memikirkan kalau komite-komite pabrik dan bahkan serikat-serikat buruh dapat memainkan peran sebagai embrio negara buruh.

Pada tahun 1917, Bolshevik tidak menarik diri dalam berpartisipasi di komite-komite pabrik; bahkan mereka mulai membentuk komite-komite tersebut di seluruh pelosok negeri. Pada bulan Juli 1919 – setelah “Hari-Hari Juli” dimana kaum birokrasi reformis menindas kaum Bolshevik dan para buruh – Lenin menyarankan kelas pekerja untuk mengambil alih tampuk kekuasaan lewat komite pabrik, daripada lewat Soviet.

Seperti yang dijelaskan oleh Trotsky di dalam bukunya Sejarah Revolusi Rusia (Bab 26, Bolshevik dan Soviet):

“Pertanyaan mengenai organisasi massa mana yang akan menjadi kepemimpinan insureksi bagi partai Bolshevik tidak boleh dijawab dengan sebuah jawaban yang apriori. Instrumen insureksi bisa saja dimainkan oleh komite pabrik dan serikat buruh, yang sudah berada di bawah kepemimpinan Bolshevik, dan di dalam beberapa kasus oleh soviet-soviet tertentu yang telah bebas dari jeratan para reformis. Lenin, contohnya, mengatakan kepada Ordzhonikidze: ‘Kita harus memusatkan perhatian kita kepada komite pabrik dan perusahaan. Komite-komite ini harus menjadi organ-organ insureksi.(…)

“Hari-hari terakhir bulan Agustus membawa sebuah pergeseran korelasi kekuatan yang tiba-tiba. Rakyat ketika mereka terpanggil untuk berjuang tidak memiliki kesulitan untuk membawa Soviet ke posisi dimana mereka berada sebelum krisis bulan Juli. Dari sini, nasib soviet-soviet ada di tangan mereka sendiri. Kekuasaan dapat diraih oleh mereka tanpa kesulitan.”

Di dalam Revolusi Jerman 1923, peran komite-komite pabrik sangatlah penting. Sayangnya revolusi ini dikalahkan, karena kesalahan-kesalahan dari kepemimpinan Partai Komunis Jerman, yang diberi saran oleh Zinoviev dan Stalin.

Sebab kekalahan revolusi ini akan diulas di artikel yang berbeda. Tetapi di antara sebab-sebab kekalahan ini, kita harus menggarisbawahi ketidakmampuan kepemimpinan Partai Komunis Jerman untuk memahami peran revolusioner dari komite pabrik, dan pemahaman sempit mereka bahwa kekuasaan hanya bisa direbut melalui soviet.

Seperti yang Trotsky tulis di dalam artikelnya Pelajaran Revolusi Oktober, yang ditulis pada tahun 1924:

“Di negara kita, pada tahun 1905 dan 1917, soviet buruh tumbuh dari gerakan itu sendiri sebagai bentuk organisasi yang alami pada satu tahapan perjuangan. Tetapi partai-partai Eropa yang masih muda ini, yang kurang lebih telah menerima soviet sebagai sebuah ‘doktrin’ dan ‘prinsip’, akan selalu menemui bahaya fetisisme terhadap soviet, menganggap soviet semacam faktor yang harus dipenuhi di dalam sebuah revolusi. Akan tetapi, walaupun soviet memiliki keunggulan-keunggul an yang hebat sebagai organ perjuangan, ada kemungkinan dimana insureksi terjadi melalui bentuk organisasi yang berbeda (komite pabrik, serikat buruh, dsb), dan soviet mungkin akan terbentuk pada saat insureksi itu sendiri, atau bahkan setelah kemenangan telah diraih, sebagai organ kekuasaan negara.”

“Satu hal yang menekankan kembali poin ini adalah perjuangan dilakukan oleh Lenin setelah Hari-Hari Juli dalam melawan fetisisme terhadap bentuk organisasi Soviet. Karena Soviet-Soviet yang berada dibawah SR dan Menshevik telah menjadi, pada bulan Juli, organisasi-organisa si yang secara terbuka mendorong para tentara untuk melakukan penyerangan dan menghancurkan Bolshevik, maka dari itu gerakan revolusioner dari massa proletar harus dan terpaksa mencari jalan-jalan dan channel-channel baru. Lenin mengindikasikan komite-komite pabrik sebagai organisasi untuk perjuangan merebut kekuasaan. Sangat mungkin sekali ini dapat terjadi bila bukan karena pemberontakan Kornilov, yang mendorong soviet-soviet konsiliasonis untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan memberikan kesempatan kepada Bolshevik untuk menginjeksi sebuah tenaga revolusioner yang baru, mengikat soviet-soviet ini dengan rakyat melalui sayap kiri, yakni kaum Bolshevik.”

“Permasalahan ini memiliki arti yang sangat penting secara internasional, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman di Jerman baru-baru ini. Di Jermanlah dimana soviet-soviet dibentuk beberapa kali sebagai organ insureksi tanpa ada sebuah insureksi yang terjadi – dan sebagai organ kekuasaan negara tanpa sebuah kekuasaan. Ini menyebabkan: pada tahun 1923, gerakan luas rakyat proletar dan semi-proletar mulai terkristalisasi sekitar komite-komite pabrik, yang pada prinsipnya memenuhi semua fungsi yang dimiliki oleh soviet-soviet kita (di Rusia) pada periode sebelum perjuangan langsung untuk merebut kekuasaan. Tapi justru pada bulan Agustus dan September 1923, beberapa kamerad mengusulkan untuk membentuk soviet-soviet di Jerman. Setelah sebuah diskusi yang panjang dan panas, proposal ini ditolak, dan memang ini mesti ditolak. Melihat kenyataan bahwa komite-komite pabrik telah menjadi pusat penggalangan rakyat revolusioner, soviet hanya bisa menjadi sebuah bentuk organisasi paralel tanpa isi sama sekali. Mereka hanya dapat mengalihkan perhatian dari target material insureksi (tentara, polisi, kelompok-kelompok bersenjata, rel kereta api, dll) dengan menerapkan bentuk organisasi yang lengkap.” (Leon Trotsky, Pelajaran Oktober, Bab 8)

Di dalam karya di atas, Trotsky menekankan bahwa kita tidak boleh memiliki fetisisme terhadap Soviet, bahwa kita harus fleksibel dan bahwa organ yang dapat digunakan oleh kelas pekerja untuk merebut kekuasaan adalah bukan hanya Soviet saja tetapi juga serikat buruh dan komite pabrik.

Di Venezuela, pelajaran utama yang dapat diambil dari pengalaman masa lalu ini adalah bahwa komite-komite pabrik, dan juga serikat-serikat buruh, di dalam revolusi-revolusi yang lain memainkan peran organ negara buruh yang baru, dan bahkan sebagai organ untuk merebut kekuasaan. Dan untuk alasan ini, mereka juga dapat memainkan sebuah peran revolusioner yang menentukan di Venezuela.

Buruh Venezuela Harus Menduduki dan Mengambilalih Pabrik-Pabrik

Proposal Mentri Buruh, dan presiden Chavez, untuk membentuk komite-komite buruh harus diadopsi oleh seluruh gerakan serikat buruh dan pekerja revolusioner, dan harus diimplementasikan. Bila komite-komite pabrik tersebar di seluruh Venezuela, atau setidaknya di pabrik-pabrik yang penting, mereka akan menjadi basis, bersama-sama dengan serikat-serikat buruh, untuk negara revolusioner di masa yang akan datang yang dibutuhkan oleh revolusi ini.

Tidak ada kontradiksi antara serikat buruh dan komite buruh atau pabrik. Sebaliknya, mereka saling melengkapi. Pengalaman perjuangan di Sanitarios Maracay sangatlah relevan dalam hal ini. Ketika pabrik Sanitarios Maracay diduduki, Komite Pabrik terdiri dari eksekutif serikat buruh dan sekelompok buruh yang dipilih oleh majelis buruh. Ini adalah struktur yang lebih fleksibel dan luas dibandingkan dengan serikat buruh. Pemimpin serikat buruh yang paling penting adalah juga pemimpin komite pabrik. Anggota-anggota komite pabrik juga dipilih oleh para buruh sendiri di dalam majelis buruh dan dapat dicabut mandatnya melalui recall.

Di negara mana ada seorang presiden yang menekankan bahwa rakyat harus membentuk komite-komite buruh? Tidak ada satu pun. Ini karena komite-komite buruh atau pabrik secara langsung akan mendorong isu kontrol buruh. Ini jelas-jelas berkontradiksi dengan kepemilikan kaum borjuis atas alat-alat produksi dan keberadaan negara borjuasi.

Inilah mengapa gerakan buruh revolusioner di Venezuela harus mengambil inisiatif ini dan mengembangkannya dari bawah daripada menunggu pemerintah untuk mengimplementasikan nya. Sektor-sektor reformis dari FSBT, dengan Menteri Buruh di depannya, mungkin ingin membentuk komite-komite pabrik dengan cara birokratik dengan tujuan untuk membangun basis mereka sendiri di antara para buruh dan menggunakannya untuk melawan serikat-serikat buruh yang revolusioner, dan terutama untuk melawan tendensi-tendensi lainnya di UNT.

Kita harus selalu waspada dan melawan setiap usaha untuk merubah komite-komite buruh menjadi alat kaum birokrat reformis yang bekerja sama dengan para bos untuk melawan gerakan serikat buruh. Tetapi akan sangat bodoh sekali bila kita tidak mengadopsi proposal tersebut (proposal pembentukan komite-komite pabrik – catatan penerjemah) dan mempraktekkannya, bukan dengan cara yang birokratis dan bukan untuk tujuan sektarian, tetapi untuk membangun struktur-struktur organisasi yang dapat menjadi batu-batu pembangun untuk kontrol buruh dan embrio dari negara buruh.

Revolusi Spanyol (1931-1937) dan Revolusi Bolivarian

Pengalaman di Venezuela sangatlah serupa dengan Revolusi Spanyol pada satu momen yang spesifik. Pada tahun 1931, pemimpin reformis dari PSOE (Partai Sosialis Spanyol), Largo Caballero, mulai menyerukan pembentukan komite-komite buruh di pabrik-pabrik.

Ini adalah sebuah proposal birokratik yang bertujuan untuk mengontrol gerakan buruh. Akan tetapi, nasehat Trotsky dan kaum komunis Spanyol adalah untuk tidak menyerukan sabotase terhadap komite-komite tersebut dan tidak mengutuknya sebagai sebuah manuver dari kaum birokrat reformis, tetapi sebaliknya untuk mengambil proposal Caballero dan mempraktekkannya secara revolusioner.

Di dalam suratnya kepada Andres Nin (pemimpin POUM, Partai Buruh Marxis Persatuan), seorang aktivis revolusioner di Spanyol, Soviet dan Masalah Balkanisasi, Trotsky mengatakan:

“Untuk mengutuk kontrol buruh hanya karena kaum reformis mendukungnya – di dalam kata-kata – adalah suatu kebodohan yang besar. Sebaliknya, justru karena alasan itu kita harus merebut slogan ini dengan penuh semangat dan mendorong para buruh reformis untuk mempraktekkannya melalui front persatuan dengan kita; dan melalui pengalaman ini kita akan mendorong para buruh reformis ini untuk menentang Caballero dan para pemimpin buruh yang palsu lainnya.”

“Kita berhasil membentuk Soviet-Soviet di Rusia hanya karena tuntutan tersebut didorong, bersama-sama dengan kita, oleh Menshevik dan SR, walaupun mereka memiliki tujuan yang berbeda. Kita tidak dapat membentuk Soviet-soviet di Spanyol karena kaum sosialis dan kaum sindikalis tidak menginginkan Soviet. Ini berarti bahwa front persatuan dan kesatuan organisasional dengan mayoritas kelas pekerja tidak dapat dilaksanakan dibawah slogan ini.”

“Tetapi disini, Caballero didorong oleh tekanan dari rakyat, dan sebagai akibatnya dia mengadopsi slogan kontrol buruh dan membuka sebuah kesempatan yang besar untuk kebijakan front persatuan dan untuk membentuk sebuah organisasi yang memeluk mayoritas kelas pekerja. Kita harus mengambil kesempatan ini dengan kedua tangan kita.”

“Tentu saja, Caballero akan mencoba untuk merubah kontrol buruh ini menjadi kontrol kapitalis terhadap kaum buruh. Tetapi permasalahan ini sudah berada di lingkupan yang lain, yakni relasi kekuatan di dalam kelas pekerja. Bila kita berhasil membentuk komite-komite pabrik di seluruh Spanyol, maka di dalam era revolusioner yang kita saksikan sekarang ini, tuan Caballero dan kroni-kroninya akan kalah di dalam perang yang menentukan ini.” (Mengenai Slogan Soviet, Leon Trotsky, Revolusi Spanyol)

Kalimat-kalimat di atas sangat cocok dengan kondisi Revolusi Venezuela sekarang dan mengindikasikan apa sikap yang harus diambil oleh serikat buruh dalam hal komite buruh. Aktivis buruh revolusioner dari UNT harus merebut inisiatif ini dengan kedua tangannya dan membangun komite-komite buruh di semua perusahaan di seluruh Venezuela guna memperkenalkan kontrol buruh atas produksi di dalam perusahaan-perusaha an tersebut.

Mereka harus meluncurkan sebuah kampanye nasional untuk menuntut pemerintahan Chavez menasionalisasi semua perusahaan yang sedang di ambang kebangkrutan, telah ditutup, telah diokupasi, atau yang sedang ada di dalam persengketaan dengan para pekerja, dan juga perusahaan-perusaha an yang menyabotase ekonomi dan menyebabkan kelangkaan produk-produk. Dalam hal ini, nasionalisasi industri semen baru-baru ini harus disoroti sebagai sebuah contoh yang harus diikuti dengan lebih banyak nasionalisasi.

Majelis-majelis rakyat dan pertemuan-pertemuan publik harus diorganisir di pabrik-pabrik bila memungkinkan, dimana komite-komite harus dibentuk dan resolusi-resolusi harus diputuskan. Hari aksi sedaerah harus diorganisir untuk mendukung pembentukan komite-komite buruh, dimana tugas sentral kelas pekerja di dalam konstruksi sosialisme dan perannya di dalam revolusi harus dibicarakan. Ini juga harus digunakan sebagai platform untuk meluncurkan kontrol buruh dan mempersiapkan satu tanggal untuk menduduki pabrik-pabrik yang menyabotase revolusi atau mengeksploitasi pekerjanya.

UNT tidak perlu menunggu pemerintah untuk mengekspropriasi pabrik-pabrik tersebut. Anggota-anggota serikat buruh di dalam UNT harus langsung mengambil aksi, duduki pabrik-pabrik tersebut dan memulai produksi: pabrik-pabrik harus dijalankan di bawah kontrol pekerja, dan tanah di bawah kontrol petani.

Inilah satu-satunya jalan untuk membangun sosialisme di Venezuela. Semua ini, yang harus dijalankan di sektor swasta, juga harus dijalankan di perusahaan-perusaha an publik yang sumber dayanya disalahgunakan oleh kaum birokrasi, disini kontrol buruh sangatlah dibutuhkan.

Tugas-tugas komite buruh adalah untuk melaksanakan kontrol sosial, berjuang melawan sabotase dan penimbunan produk, mengontrol produksi di setiap perusahaan, membuka pembukuan perusahaan, mengarahkan hasil surplus pabrik, dan melatih para pekerja di dalam manajemen dan kontrol pabrik-pabrik. Semua ini dengan perspektif kaum buruh mengambilalih kontrol perusahaan-perusaha an dan menyingkirkan para kapitalis dan birokrat.

Dengan menyebarluaskan komite-komite buruh, mengkoordinasikanny a dan membangun mereka berdasarkan serikat-serikat buruh UNT di setiap pabrik, kota, atau daerah, dengan bekerja sama dengan dewan-dewan komunal, kita dapat membangun struktur untuk sebuah negara revolusioner yang baru. Negara pekerja ini, bersama-sama dengan komunitas-komunitas yang terorganisir, akan dapat menggantikan negara yang diwarisi dari Republik Keempat dengan birokrasinya yang sangat berbahaya bagi Revolusi Venezuela. Inilah satu-satunya cara untuk membangun sosialisme di Venezuela.

______________________________________

(Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari Venezuela: The UNT and factory committees – A Marxist analysis of revolutionary strategy, Yonnie Moreno, 22 Mei 2008)