Revolusi di Venezuela: Memecah Keheningan Sejarah

Written by Jesus S. Anam*

“Hiduplah di tahun 1953, maka kau akan menemui dua peristiwa besar yang menyejarah: mangkatnya Stalin dan matinya ideologi,” begitulah kata seorang kawan kapada saya, suatu malam, di ruang perpustakaan sebuah seminarium teologia.

Suasana hening, murung dan sedih tengah terjadi di malam 5 Maret 1953. Itulah hari meninggalnya Stalin. Dunia seakan terdiam, menahan gerak. Pemimpin Soviet yang berkuasa mutlak dan disembah-sembah itu telah menyelesaikan hidupnya, meninggalkan goresan hitam di tubuh sosialisme dan menjeburkannya di selokan peradaban. Seluruh Uni Soviet terguncang.

Hari itu rakyat Moskow berkerumun di lapangan Trubnaya, ingin mendekati keranda Stalin dan melambaikan tangan terakhir buat sang pemimpin. Soviet terlihat agak gelisah saat keranda yang membawa Stalin perlahan meninggalkannya. Tangis, senyum, diam, tawa, bercampur tidak jelas. Ia begitu terkenal meskipun menyakitkan. Ia memang ikon yang kontroversial.

Seusai 1953, banyak orang mulai enggan bicara sosialisme. Sosialisme tampak sekedar kontemplasi politis dan keheningan sejarah. Ia begitu eksotik sebagai perenungan tetapi bukan untuk dijalani.

Pada sekitar tahun yang sama, muncul pemikiran sinin terhadap ideologi. Daniel Bell dengan bukunya The End of Ideology tampil memukau di tengah-tengah publik. Buku itu segera mengisi rak-rak perpustakaan universitas. Dibaca banyak orang dan mendatangkan kebingungan. “Berakhirnya ideologi.” Orang pun manggut-manggut, kemudian ragu: mungkinkah ideologi bisa berakhir; mungkinkah sosialisme sudah terkubur bersama jasad Stalin?

Pada tahun 1960-an dan 70-an The End of Ideology ditendang dari rak-rak perpustakaan dan dicampakkan di keranjang sampah pemikiran. Orang-orang muda progresif tidak percaya bahwa ide-ide radikal sudah lekang meskipun Barat berulangkali mengulangi kata-kata sinisnya, bahwa revolusi sudah terlalu letih untuk dilanjutkan, ideologi sudah mati, dan sosialisme hanyalah utopia orang-orang miskin.

Kecurigaan dan sinisme Barat kini ditepis oleh sejarah yang sedang bangkit dari keheningannya. Pagi yang cerah telah menghapus duka senja. Revolusi tengah hadir di bumi Venezuela, tanah Simon Bolivar. Nyanyian riang terus mengiringi rakyat Venezuela yang sedang kegirangan. Mereka sedang menyambut sosialisme, seperti orang-orang majus dari timur saat menyambut kedatangan Kristus.

Perjuangan rakyat Venezuela adalah fenomena tersendiri yang layak dikaji. Kesadaran kelasnya dan keberhasilan mereka mengorganisir diri serta berjuang bersama-sama untuk melawan imperialisme, kapitalisme, dan mengambil alih kekuasaan adalah hal yang luar biasa di abad ini. Mengingat di belahan dunia yang lain, masyarakatnya sudah terkungkung oleh semangat individualisme dan asyik dengan benda-benda.

Selain itu, rakyat paham benar bahwa perjuangan bisa membuatnya berkeping-keping, seperti serpihan-serpihan yang berserakan. Darah bisa tertumpah sewaktu-waktu, dan kelaparan bisa mendera setiap saat. Mereka tidak gentar. Bahkan seorang ibu rela menjual TV-nya untuk membeli senapan – tentunya – demi revolusi.

Hal buruk pernah dialami dalam proses revolusi di Venezuela karena tindakan sabotase dari para bos. Disember 2002, para bos menutup bisnis mereka di penjuru Venezuela. Menelantarkan para pekerja dan pelanggannya selama 2 bulan. Di industri minyak, manajer dan ahli teknisi menyabotase mesin dan komputer sebelum meninggalkan posnya.Produksi minyak jatuh dari 3 juta barel sehari menjadi 25 ribu. Tanker-tanker minyak berhenti di lepas pantai. Pompa-pompa bensin di kota mongering. Tidak ada transportasi dan semakin menipisnya sumber daya. Tidak ada gas untuk memasak, sedikit makanan, dan rakyat terpaksa berjalan kaki. Bahkan ambulans tak bisa jalan dan para pasien di rumahsakit banyak yang meninggal. Tapi sebagai responnya, rakyat mulai mengorganisir diri, pekerja mengambil kendali minyak teknologi tinggi dan menjalankan kembali pompa-pompa.

Semangat rakyat dalam berjuang untuk memperoleh hak-haknya tidak lepas dari pidato-pidato provokatif Sang Presiden, Hugo Chavez. Pidato-pidato Chavez yang lantang melawan kapitalisme telah menjadi spirit yang terus bergejolak. Kapitalisme harus dihancurkan. Kapitalisme adalah biang dari semua persoalan.

“Kapitalisme adalah praktek yang bejat. Praktek bejat yang mengarah pada egoisme ekstrim. Pada individualisme, pada kebencian. Kapitalisme adalah penyebab Perang Dunia Pertama dan Kedua. Kapitalisme sesungguhnya biang kerok invasi ke Irak dan kudeta di Venezuela.” Itulah kata-kata Chavez yang terekam dalam film dokumenter No Volveran.

Pidato Chavez ini disambut dengan antusias oleh seluruh rakyat Venezuela yang pernah menelan pahitnya penindasan oleh karena kapitalisme. Kesadaran politik yang tinggi muncul di tengah-tengah rakyat. Rakyat paham bahwa kapitalisme biang dari seluruh persoalan dan mereka menyelesaikannya dengan sosialisme.

Gerakan rakyat, rakyat yang mengoganisir diri, dan intervensi aktif massa dalam kejadian-kejadian historis adalah hal yang sangat penting dalam revolusi. Sebagaimana kata Trotsky, bahwa revolusi diciptakan oleh manusia dan melalui manusia. Revolusi adalah bergantian tatanan sosial. Tatanan baru akan terjadi jika ia berbasis pada kelas yang progresif, yang mampu mengorganisir mayoritas rakyat yang besar jumlahnya.

Kenyataan ini terjadi di Venezuela. Sosialisme di Venezuela hadir dan memecah keheningan sejarah. Sejarah sosialisme yang muram karena kesalahan Stalis dalam memahami Marxisme.

Salam Revolusi!

___________________________________
* Koordinator Hands off Venezuela Indonesia

One thought on “Revolusi di Venezuela: Memecah Keheningan Sejarah”

  1. hi kaum revolusioner…….

    Spirit of Venezuela is spirit of change…….
    But Change for only change is meaningless
    pls………tell me ‘what Chaves has gave to the poor ?,
    List of chaves policy that make venezuela better than before

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *