Tiga pimpinan serikat buruh dibunuh di Aragua – Pernyataan HOV Internasional

Oleh Hands Off Venezuela

Senin, 01 Desember 2008

Tiga anggota serikat buruh terkemuka dibunuh di Aragua, Venezuela, pada Kamis malam tanggal 27 November. Salah satu dari mereka adalah koordinator UNT di Aragua, dan yang lain adalah direktur serikat buruh di Pepsi-Cola, dan orang yang ketiga, sering terlibat dalam isu-isu kesehatan dan keselamatan. Mereka bertiga telah menghabiskan hari untuk membantu para buruh di Alpina, sebuah perusahaan susu yang dimiliki oleh perusahaan Kolombia, dimana para buruh disana sedang berjuang dan telah diserang secara brutal oleh polisi setempat. Didalco Boliviar, gubernur yang sebelumnya dipilih dengan tiket Bolivarian telah membangkang dan kemudian bergabung dengan oposisi. Dia digantikan pada hari Minggu tanggal 23, saat calon dari PSUV, Rafael Isea, menang Pilkada di Aragua.

Metode yang digunakan untuk membunuh tiga anggota serikat buruh ini adalah metode sicariato (pembunuhan politik lewat pembunuh bayaran), yang seringkali digunakan di Kolombia untuk membunuh para aktivis serikat buruh.

Hari Jumat, ribuan buruh berhenti kerja dan memblokade jalan-jalan di Aragua, dan pada hari Sabtu beribu-ribu buruh hadir di prosesi pemakaman.

Semua ini terjadi dengan latar belakang meningkatnya provokasi dari aktivis-aktivis sayap kanan yang menyerang program-program dari pemerintah Bolivarian (Misiones) di daerah-daerah yang mana oposisi memenangkan pemilihan umum daerah (Miranda, Bolivar , dan Tachira).

Pernyataan Hands Off Venezuela

Kampanye Hands off Venezuela telah mendengar berita pembunuhan 3 anggota serikat buruh terkemuka di Aragua, Venezuela, pada tanggal 27 November. Ricard Gallardo, Luis Hernandez dan Carlos Requena, dibunuh pada petang hari setelah mereka baru saja kembali dari mendukung perjuangan kaum buruh di perusahaan Alpina, yang menghadapi represi yang berat dari polisi.

  • Kami mengutuk pembunuhan brutal ini.
  • Kami mengirim pernyataan belasungkawa dan solidaritas untuk keluarga, teman dan para kamerad anggota serikat buruh yang telah gugur.
  • Kami meminta pemerintah Venezuela untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, ditangkap dan dibawa ke pengadilan, dan tidak ada seorangpun yang bisa lolos dari hukuman atas kejahatan ini

Terluka satu, cedera untuk semua!

Hidup Revolusi Bolivarian!

Hidup Solidaritas Internasional!

John McDonnell MP, Jeremy Dear NUJ general secretary, joint presidents of the Hands Off Venezuela campaign
___________________________

Diterjemahkan dari www.handsoffvenezuela.org oleh HOV Indonesia

Krisis Keuangan Global dan Konsolidasi Buruh untuk Revolusi: Laporan Perjalanan Jorge Martin di Malaysia dan Indonesia

Oleh HOV Indonesia

Jorge Martin di Konferensi Sosialisme Abad 21 Kuala Lumpur

Di acara Konferensi Sosialisme Abad 21 yang diselenggarakan oleh Partai Sosialis Malaysia dari tanggal 7 hingga 9 Nopember bertempat di New Era College Kajang Malaysia, sekitar 100-200 kamerad hadir dari berbagai negara: Swedia, Belgia, Australia, Inggris, Pakistan, Nepal, Taiwan, Hongkong, Indonesia, Thailand, Singapore, India, dan Sri Lanka.

Jorge Martin berbicara di dalam sesi mengenai Revolusi Venezuela dan Amerika Latin bersama-sama dengan Lisa MacDonald dari Australian-Venezuela Solidarity Network. Jorge menjelaskan latar belakang gelombang revolusi di Amerika Latin yang merupakan akibat dari kegagalan kapitalisme untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Revolusi Venezuela dimulai dari usaha untuk menyelesaikan masalah kesehatan, pendidikan, kontrol nasional terhadap sumber daya alam, reformasi agraria, dll. Tetapi usaha ini dihadang oleh para oligarki dengan pemberontakan bersenjata (Kudeta April 2002, dll). Dari tahun 2005, Chavez kemudian mulai menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah sosialisme, dan kapitalisme tidak akan mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang dihadapi oleh rakyat.

Sekarang, menurut Jorge, krisis ekonomi global dari kapitalisme bisa menjadi momentum bagi kelas pekerja untuk membangun kekuatan perlawanan berskala internasional. Membangun solidaritas antar kelas pekerja di berbagai negara merupakan poin penting untuk menyikapi krisis global yang terjadi saat ini. Kelas pekerja harus mempersiapkan diri untuk menggantikan sistem kapitalisme yang rapuh dan sedang dalam krisis ini dengan sosialisme, mengambil alih pabrik-pabrik, bank-bank, dan sektor-sektor bisnis besar untuk dijalankan di bawah kontrol buruh. Karena, menurut Jorge, hanya kelas pekerja yang bersatu secara internasional yang bisa melakukan revolusi.

Selain Jorge Martin, dalam konferensi sosialis Malaysia, koordinator HOV Indonesia, Jesus S. Anam, yang berbicara dalam sesi Political Coalition juga menyinggung pentingnya membangun kekuatan kiri revolusioner (dari kalangan pekerja, petani, dan miskin kota). Transformasi ideologi dan kesadaran politik di semua level sangat dibutuhkan untuk membangun organisasi yang kuat, terutama organisasi pekerja sebagai basis yang terpenting dalam revolusi. Menurut Jesus dalam konteks Indonesia, prioritas utama dalam gerakan kiri Indonesia saat ini adalah membangun kader-kader yang berkualitas dan memiliki miltansi yang tinggi. Bersolidaritas dengan Revolusi Venezuela merupakan cara untuk membangun kekuatan bersama dengan pemikiran bahwa Revolusi Venezuela merupakan titik masuk menuju revolusi sosialis di seluruh dunia.

Jorge di PT Istana Jakarta

Jorge sampai ke PT Istana bersama rombongan KASBI (Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). Perjalanan dari sekretariat KASBI ke PT Istana dihadang banjir Rob (air laut yang naik) yang mengakibatkan kemacetan cukup lama. Dengan disambut whiteboard bertuliskan ”Selamat Datang Jorge Martin” para buruh menyambut kedatangan rombongan dan langsung makan siang di salah satu ruang pabrik.. Setelah mengajak Jorge mengunjungi banyak ruang-ruang pabrik PT Istana, para buruh PT Istana yang telah menduduki pabrik selama 15 bulan, yang berjumlah sekitar 75 orang perempuan dan 2 orang buruh laki-laki, melakukan diskusi bersama Jorge Martin. Pada diskusi tersebut juga dihadiri anggota PRP (Perhimpunan Rakyat Pekerja), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), FPBJ (Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek), dan SMI ( Serikat Mahasiswa Indonesia). Jumlah total peserta diskusi mencapai 100 orang lebih.

Diskusi berlangsung hampir 3 jam dari Pkl 15.00 – 18.00 WIB. Jorge menjelaskan tentang proses revolusi Venezuela, pendudukan dan pengambilalihan banyak pabrik di Venezuela, termasuk pengambilalihan pabrik minyak yang sangat spektakuler [Catatan: pada saat sabotase industri minyak oleh para oligarki tahun 2002-2003]. Buruh menjalankan produksi tanpa manager, direktur, dan dukungan kelompok lain yang menguasai teknologi. Selain itu Jorge menjelaskan tentang pentingnya konsolidasi, memperoleh dukungan organ buruh secara meluas, kerjasama antar organisasi buruh dalam pemasaran dan proses produksi serta bagaimana bertahan dalam tekanan dan keterbatasan logistik untuk menjalankan pabrik. Jorge juga menjelaskan sabotase dan ancaman yang terus menerus dari kaum kapitalis – oligarki. Dalam jangka panjang, Jorge menjelaskan bahwa kita tidak bisa membangun sosialisme di satu pabrik, dan gerakan okupasi pabrik hanya akan berhasil bila ia menjadi bagian dari perjuangan yang lebih menyeluruh dari kelas pekerja untuk menasionalisasi sektor-sektor ekonomi yang penting di bawah kontrol buruh.

Jorge menekankan pentingnya melakukan konsolidasi intensif dan penyadaran kelas buruh secara massif agar muncul banyak pabrik yang bisa diduduki, tidak hanya di PT Istana. Munculnya sebuah gerakan bersama pendudukan pabrik akan banyak membantu tahapan lanjutan dari gerakan buruh, seperti di Argentina. Diskusi berlangsung cukup intensif, beberapa peserta menanyakan tentang kondisi buruh saat ini (pasca revolusi Venezuela), dukungan pemerintah, peran organ mahasiswa, serta kondisi buruh Indonesia yang saat ini banyak berhadapan dengan kasus buruh kontrak, outsourcing, upah dibawah standar dan PHK massal. Jorge mengunci semua pernyataan bahwa sumber masalah perburuhan adalah sistem kapitalistik yang eksploitatif. Krisis finansial saat ini, menunjukkan bahwa pembusukan kapitalisme sedang terjadi yang membuktikan sitem kapitalisme terbukti tidak aman lagi.

Pertemuan ditutup dengan pemberian cinderamata dari Buruh ke Jorge dan menyanyikan lagu internationale.

Jorge di Diskusi Panel di Universitas Indonesia

Global Economic Crisis adalah isu yang yang dilontarkan Jorge di depan peserta diskusi yang berjumlah sekitar 70 orang. Para peserta diskusi berasal dari kalangan akademisi dan aktivis buruh, dan panel diskusi ini diorganisir dengan bantuan dari Lab Sosiologi Universitas Indonesia Selain Jorge, ada tiga pembicara dalam acara tersebut, yakni Anwar Ma’ruf (koordinator Aliansi Buruh Menggugat), Dodik (ketua Serikat Buruh PLN), dan Silvia Tiwon (Praxis).

Jorge memaparkan dengan jelas bahwa krisis global yang terjadi sekarang ini merupakan pembusukan dari sistem kapitalisme. Capaian-capaian besar dari kapitalisme ternyata disangga oleh kaki-kaki yang rapuh. Solusi yang tepat untuk mengatasi krisis ini adalah mengganti sistem kapitalisme dengan sosialisme: nasionalisasi perusahaan-perusahaan migas, bank-bank, dan sektor-sektor penting dibawah kontrol rakyat. Hal yang sama juga disampaikan oleh Anwar Ma’ruf, bahwa sosialismelah satu-satunya solusi untuk mengatasi krisis global ini.

Silvia Tiwon, memiliki perspektif yang agak berbeda dengan Jorge dan Anwar Ma’ruf. Satu poin penting yang bisa ditangkap dari penjelasan Silvia Tiwon adalah, bahwa pencerdasan masyarakat merupakan titik masuk untuk menghadapi krisis. Cara pandang ini jelas akan mengundang sebuah pertanyaan kritis, mungkinkah krisis yang telah membusuk ini cukup deselesaikan dengan cara yang parsial?
Di akhir acara, seorang kamerad mengatakan bahwa diskusi ini adalah sebuah diskusi yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya, selama lebih dari 40 tahun, ide sosialisme didiskusikan di sebuah pertemuan formal di UI.

Jorge di Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Nasional (KSM UNAS)

Kenapa harus dengan sosialisme? Kenapa harus bersolidaritas dengan Revolusi Venezuela? Apakah Venezuela sudah menjadi negara sosialis? Bagaimana peran kelas kelas pekerja dalam Revolusi Venezuela?

Di atas adalah pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari beberapa anggota Kelompok Studi Mahasiswa UNAS, yang terlihat cukup antusias untuk mendengar paparan kritis dan ilmiah dari Jorge Martin.

Sebagaimana telah dikatakan oleh Jorge di acara-acara diskusi sebelumnya, bahwa kapitalisme terbukti telah gagal. ”Free Market” dengan kompetisi pencarian profit yang tak terkontrol menyebabkan surplus produksi. Penumpukan hasil produksi mengharuskan para kapitalis menjual barangnya dengan harga murah. Akibatnya, perusahan-perusahaan tersebut dengan segera akan bangkrut dan kolap. Dampak dari kebangkrutan tersebut adalah pemecatan massal tenaga kerja dan meluapnya pengangguran. Kelas pekerjalah yang harus menanggung kerugian tersebut dengan hilangnya pekerjaan mereka, bukan para bos. Satu-satunya solusi adalah dengan mengambilalih tuas-tuas kunci ekonomi (bank-bank, tanah, dan industri-industri penting), menempatkannya di bawah kontrol buruh secara demokratis melalui rencana produksi sosialis.

Selama sepuluh tahun revolusi Venezuela, bisa dilihat bahwa massa rakyat telah mengamankan revolusi dari kekalahan dalam pertarungan hebat dengan kaum oligarki: peristiwa kudeta tahun 2002 dan dilanjutkan oleh sabotase dari para bos, referendum tahun 2004, dan pemilihan presiden tahun 2006.

Kegigihan kaum buruh dan rakyat secara keseluruhan di Venezuela merupakan inspirasi penting bagi rakyat tertindas dan kaum buruh di seluruh dunia dan pintu masuk untuk membangun kekuatan-kekuatan massa rakyat di berbagai tempat. Dengan bersolidaritas dengan Venezuela, berarti kita sedang membangun kekuatan sosialisme di seluruh dunia. Sebagaimana yang pernah dikatakan Trotsky, bahwa sosialisme tidak akan berhasil jika dibangun hanya di satu negara, tetapi sosialisme harus melintasi batas-batas negara.

Memang, menurut Jorge, Venezuela belum menjadi negara sosialis, tetapi sedang menuju ke sana. Revolusi Venezuela harus diselesaikan atau revolusi ini akan dikalahkan.

Jorge di Pertemuan PRP Jakarta

Tepatnya hari Kamis tanggal 13 November, Jorge berdiskusi intensif dengan anggota PRP di kantor PRP pusat. PRP, sebagai main organizer dalam acara kunjungan Jorge ke Indonesia ini, sangat antusias untuk sharing tentang pengalaman pendudukan pabrik-pabrik di Venezuela. Kerjasama antara HOV dengan PRP sangat memungkinkan untuk dilakukan di hari-hari mendatang. Karena mengkonsolidasi gerakan buruh secara internasional merupakan poin penting bagi HOV. PRP sebagai organ buruh revolusioner di Indonesia bisa menjadi patner yang tepat untuk membangun kekuatan baik di tingkat kawasan maupun di tingkat internasional.

Jorge di Pertemuan Buruh – PRP Bandung

Dengan dihadiri sekitar 35 orang buruh pabrik yang menjadi anggota beberapa organisasi buruh, Jorge menjadi narasumber diskusi yang difasilitasi oleh PRP dan KASBI. Kamerad HoV Bandung ikut serta dalam diskusi tersebut. Jorgi menjelaskan tentang proses revolusi di Venezuela. Peran rakyat yang turun kejalan untuk menuntut dikembalikannya Chaves dari penjara, merupakan fenomena yang tak pernah terjadi dalam sejarah. Buruh dan rakyat bersatu menghentikan kudeta kaum oligarkhi yang didukung media kapitalis.

Selanjutnya, Jorge menjelaskan kondisi pengambilalihan pabrik di Venezuela, dimana Chaves mendukung penuh proses dan penguasaan buruh atas`pabrik-pabrik, serta menjelaskan sabotase dan upaya kelompok oligarki dalam menghancurkan proses revolusi menuju sosialisme di Venezuela.

Beberapa peserta diskusi menanyakan tentang peran sayap militer yang pro buruh di Venezuela, cara menjalankan pabrik tanpa logistik dan dukungan penguasaan teknologi, membuka pasar yang sebelumnya tidak dikuasi, landasan hukum dalam pendudukan, juga situasi organisasi buruh di Venezuela, dan organ lain yang mendukung perjuangan buruh.

Jorge menekankan bahwa tantangan di Indonesia dan Venezuela sebelum revolusi hampir sama (adanya sumber daya alam yang kaya, banyak penduduk miskin, donor asing yang mengontrol birokrasi (IMF, World Bank dll) serta militer yang tidak kondusif mendukung buruh) namun kita harus belajar dari Venezuela bahwa momentum dan situasi politik bisa menjadikan transformasi kesadaran kelas menjadi gerakan politik yang effektif.

Jorge menutup sesi diskusi dengan mengatakan bahwa perbedaan bahasa, budaya, negara bukanlah halangan untuk semangat solidaritas mendukung perjuangan buruh dimanapun, karena kelas pekerja adalah satu kelas internasional yang memiliki musuh bersama, kepentingan bersama, dan perjuangan bersama.
Jorge Di Acara Launching Hov Bandung

Di ruang 29 Campus Center (CC), kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Jorge Martin hadir sebagai pembicara utama dalam launching Hands Off Venezuela Indonesia seksi Bandung.

Acara launching diawali dengan pemutaran film “No Volveran” yang bercerita tentang proses revolusi dan program-program sosialis di Venezuela. Dalam film tersebut kita juga bisa melihat bagaimana rakyat Venezuela mampu mengorganisir diri dan kaum buruh yang sedang mengambilalih pabrik-pabrik dan menjalankannya meskipun tanpa tenaga-tenaga ahli dalam manajemen dan teknologi.

Acara peluncuran HOV Bandung ini diinisiasi oleh Majalah Ganesha ITB dan individu-individu yang bersepakat dengan prinsip kampanye HOV.

Dalam diskusi ini Jorge Martin menjelaskan bahwa demokrasi Venezuela belumlah bisa dijadikan sebagai sebuah tatanan demokrasi sejati karena beberapa elemen dari kekuasaan masih dikuasai oleh kaum oligarki dan kapitalis. Namun, proses gerakan massa yang terorganisir melalui communal council dan serikat-serikat buruh yang mampu mengokupasi pabrik di Venezuela telah mendorong kepada menguatnya kesadaran rakyat. Mereka melawan oligarki dengan merubah demokrasi oligarki menjadi demokrasi partisipatoris dan inilah yang dijadikan titik awal bagi pembangunan sosialisme di Venezuela.

Diskusi ini mengambil kesimpulan bahwa kapitalisme bukanlah sebuah akhir dan demokrasi partisipatoris merupakan sebuah langkah awal yang sanggup membawa rakyat terlibat dalam politik dan pengambilan kebijakan publik dan mengarahkan rakyat pada terwujudnya sosialisme. Dalam hal ini Venezuela merupakan salah satu contoh nyata bagaimana proses transformasi sebuah sistem oligarki (baca: demokrasi borjuis) menjadi demokrasi partisipatoris dan membangun sosialisme yang dilandaskan oleh kesadaran rakyat. Akan tetapi, Jorge menekankan bahwa bila struktur lama negara kapitalis tidak dihancurkan, kita tidak akan bisa meraih demokrasi yang sejati.

Acara ini pun diakhiri dengan pernyataan dari Roliv selaku koordinator HOV bandung meresmikan pembangunan kampanye solidaritas dan mengajak semua elemen progresif di bandung untuk ikut serta dalam kampanye solidaritas ini dan mempelajari revolusi Bolivarian di Venezuela untuk mengeksplorasi peluang revolusi Indonesia dengan belajar dari kasus Venezuela.

Peluncuran HOV (Hands Off Venezuela) Bandung

Solidaritas Sosialisme Internasional!!!

Jumat, 14 November 2008.

Bertempat di Ruang 29 Campus Center (CC) Barat kampus ITB diadakan peluncuran HOV (Hands off Venezuela) chapter Bandung yang di inisiasi oleh Majalah Ganesha ITB dan individu2 yang bersepakat dengan prinsip kampanye HOV. Acara ini dibuka dengan sambutan yang dilakukan oleh Feriandri sebagai ketua pelaksana sekaligus Pemimpin Umum Majalah Ganesha ITB (MG-ITB), kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter “No Volverán – The Venezuelan Revolution Now”, film ini merupakan film dokumentasi tentang revolusi yang terjadi di venezuela yang dibuat oleh Hands off Venezuela (HOV).

Film ini membawa kita pada masa pemilihan presiden tahun 2006, perjalanan menuju perkampungan kumuh (barrios), dan beberapa pabrik yang dikontrol secara langsung oleh buruh. Film dokumenter ini juga mengajak kita untuk mencari tahu kenapa disana terjadi pergerakan melawan kapitalisme, apakah sosialisme abad ke 21 itu, dan bagaimana ini merubah kehidupan masyarakat. Setelah pemutaran film kurang lebih selama tiga puluh menit, acara ini dilanjutkan dengan diskusi publik dengan tema “Komparasi demokrasi representatif dan demokrasi partisipatoris”. Diskusi ini di isi oleh dua orang pembicara yaitu Jorge Martin (International Secretary of Hands Off Venezuela), Agus Wahyuono (Ketua LMND Jabar) dan dihadiri oleh audience yang berjumlah sekitar 80 orang dan berasal dari berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, serikat buruh, jurnalis, LSM dan serikat angkutan umum.

Dalam diskusi ini Jorge Martin (International Secretary of Hands Off Venezuela) menjelaskan bahwa demokrasi venezuela belumlah bisa dijadikan sebagai sebuah tatanan demokrasi sejati karena beberapa elemen dari kekuasaan masih dikuasai oleh oligarki dan kapitalisme. Namun, proses evolusi gerakan massa yang terorganisir melalui communal council dan serikat-serikat buruh yang mampu mengokupasi pabrik di venezuela telah mendorong kepada menguatnya kesadaran rakyat. Mereka juga melawan oligarki dengan merubahnya menjadi demokrasi partisipatoris dan inilah yang dijadikan titik awal bagi pembangunan sosialisme di venezuela. Agus wahyuono (Ketua LMND Jabar) juga menjelaskan bahwa bukanlah demokrasi parlementer yang kita butuhkan dengan ritual pemilu dan prosedural lainnya akan tetapi dalam jangka panjang yang kita butuhkan adalah sebuah sistem komunal-dialogis yang mampu memfasilitasi setiap individu mampu dengan bebas bergabung dan keluar dari sebuah komunitas ketika ia merasa ditindas atau melalui kesepakatan komunitas dan antar komunitas tanpa dibatasi batas negara.

Diskusi ini mengambil kesimpulan bahwa oligarki kapitalisme bukanlah sebuah akhir dan demokrasi partisipatoris merupakan sebuah langkah awal yang sanggup membawa rakyat terlibat dalam politk dan pengambilan kebijakan publik dan mengarahkan rakyat pada terwujudnya sosialisme. Dalam hal ini venezuela merupakan salah satu contoh nyata bagaimana proses transformasi sebuah oligarki menjadi demokrasi partisipatoris dan membangun sosialisme yang dilandaskan oleh kesadaran rakyat.

Acara ini pun diakhiri dengan pernyataan dari Roliv selaku koordinator HOV bandung meresmikan pembangunan kampanye solidaritas dan mengajak semua elemen progresif di bandung untuk ikut serta dalam kampanye solidaritas ini dan mempelajari revolusi bolivarian di venezuela untuk mengeksplorasi peluang revolusi Indonesia dengan belajar dari kasus Venezuela. (rlv)


Pernyataan Solidaritas Terhadap Revolusi Bolivia dan Venezuela: Menanggapi Intervensi Imperialisme Amerika Serikat

indonesia.handsoffvenezuela.org

Lawan Intervensi Imperialisme Amerika Serikat dengan Mobilisasi Persatuan Rakyat

Bulan Agustus lalu, rakyat petani dan pekerja Bolivia menegaskan kembali dukungannya terhadap Presiden Evo Morales dengan perolehan suara 67.41% di dalam referendum. Angka ini melebihi 53.7% suara yang diperoleh Evo saat terpilih sebagai presiden pada tahun 2005. Kemenangan referendum ini merupakan mandat dari rakyat Bolivia kepada pemerintahan mereka untuk memperluas dan memperdalam proyek sosialisme di Bolivia. Yang artinya pula merupakan mandat untuk melawan segala bentuk intervensi imperialisme di negeri tersebut.

Menanggapi kekalahan ini, kaum oligarki Bolivia, dengan bantuan dan ijin dari tuan-tuan imperialisnya (terutama imperialis Amerika Serikat), mulai meluncurkan kampanye-kampanye kekerasan. Jorge Chavez, salah seorang pemimpin kelompok oligarki di Bolivia , mengatakan: “Bila perlu, kita tumpahkan darah. Kita perlu menumpas komunisme dan menggulingkan pemerintahan orang-orang Indian bajingan ini”. Saat ini, kaum borjuis lokal dan tuan-tuan tanah Bolivia mengorganisir kelompok-kelompok fasis bersenjata untuk menyerang para pendukung Evo Morales: petani dan buruh dipukuli dan ditembaki, gedung-gedung pemerintahan dibakar, kantor-kantor organisasi massa dirusaki, rumah-rumah pemimpin serikat buruh dan serikat tani dilempari bom molotov, jalan-jalan diblokade untuk menghentikan distribusi barang. Semua aksi sabotase politik dan ekonomi ini ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan Evo Morales dan menghentikan laju sosialisme di Amerika Latin. Sampai saat ini, sekitar 30 pendukung Evo Morales telah dibunuh oleh para fasis ini dan banyak yang hilang dan masih belum ditemukan.

Pada saat yang sama, di Venezuela, ditemukan sebuah rencana kudeta yang direncanakan oleh kaum borjuis nasional Venezuela . Terlibat di dalam rencana kudeta ini adalah para jendral purnawirawan, media-media asing dan lokal, pemerintahan Kolombia, dan pemerintahan AS. Presiden Chavez lalu mengusir Duta Besar Amerika di Venezuela, Patrick Duddy, karena keterlibatan AS dalam rencana kudeta tersebut. Pengusiran ini juga merupakan solidaritas terhadap Bolivia yang lebih dulu mengusir Duta Besar Amerikanya, Philip Goldberg, karena terlibat dalam mendukung upaya destabilisasi di Bolivia .

Sejak tahun 2002-2006 setidaknya ada 6 kali upaya sabotase dan destabilisasi yang dilakukan/disokong AS di Venezuela, salah satu yang monumental (karena kegagalannya) adalah kudeta 11 April 2002. Tak kurang para kacung imperialis sekaliber Condolezza Rice dan Donald Rumsfeld menyatakan bahwa Chavez merupakan pengaruh negatif di AL yang sedang mengorganisir perlawanan bersenjata [Eva Golinger: Chronology of the 4th Generation War against Venezuela ]. Hal serupa juga dialami oleh Bolivia , diawali dengan permintaan otonomisasi wilayah-wilayah kaya sumber alam (yang memiliki ikatan kuat dengan, dan didukung oleh AS) oleh borjuasi lokal, lepas dari otoritas pemerintahan Morales.

Intervensi-intervensi serupa oleh AS juga telanjang terjadi di negeri AL lainnya, dan di berbagai belahan dunia. Intervensi di Kuba untuk mengulingkan pemerintahan Castro, intervensi di Haiti dalam menggulingkan pemerintahan Jean-Bertrand Aristide tahun 2004, di Chile era 1970-an, di Irak sejak tahun 2002, di Afganistan, di Palestina, di Nigeria, bahkan di Indonesia terlibat langsung dalam rencana penggulingan pemerintahan Soekarno sekaligus mengangkat Soeharto sebagai kacungnya.

Hingga detik ini pun AS terus melakukan intervensi ekonomi dan politik di seluruh dunia melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan kebijakan neoliberalisme yang sudah menyengsarakan milyaran rakyat dunia. Rakyat Indonesia adalah bagian dari rakyat dunia yang paling sengsara di bawah SBY-Kalla, dan ditangan seluruh partai-partai penyokong agenda neoliberal serta kacung Amerika Serikat saat ini. Rakyat Indonesia pun harus bangkit; menolak menjadi bangsa kuli; menolak menjadi kacung agen-agen imperialisme di dalam negeri. Artinya, rakyat Indonesia harus memperjuangkan kemandiriannya sendiri; baik ekonomi maupun politik, agar dapat bangkit menjadi bangsa yang maju dan produktif.

Dalam hal inilah, Revolusi yang sedang bergulir di Venezuela dan Bolivia menjadi sebuah inspirasi bagi rakyat tertindas di Indonesia dan di seluruh dunia, yang sedang berjuang untuk membebaskan dirinya dari cengkraman kapitalisme dan imperialisme. Revolusi ini membimbing rakyat Indonesia untuk bangkit dan percaya pada kekuatannya sendiri; bahwa berjuang untuk sosialisme tidaklah mustahil.

Oleh karena itulah, jika imperialisme dan oligarki menang di Venezuela dan Bolivia , maka akan menjadi pukulan berat bagi jalannya proses revolusi di Amerika Latin; sekaligus kemunduran bagi gerakan sosialisme di negeri manapun di dunia. Sebaliknya, jika revolusi sosialis menang di salah satu negeri ini, maka jalan menuju revolusi sosialis di seluruh kawasan Amerika Latin dan di seluruh dunia akan terlihat lebih jelas.

Oleh karena itu, adalah tugas semua kaum progresif dan revolusioner sedunia untuk membela Revolusi di Venezuela dan Bolivia . Kami yang bertandatangan di bawah ini menyerukan:

  1. Kepada Rakyat Amerika Serikat agar melakukan mobilisasi untuk menghentikan intervensi imperialisme pemerintah AS di Bolivia dan Venezuela .
  2. Kepada seluruh komunitas internasional untuk memprotes kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh kaum oligarki fasis di Bolivia.
  3. Kepada rakyat pekerja dan petani sedunia untuk mengkukuhkan solidaritasnya terhadap Revolusi di Bolivia dan Venezuela .
  4. Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar melakukan tindakan politik dan hukum yang dibutuhkan untuk mempertahankan proses konstitusional di Venezuela dan Bolivia ; serta memberikan sanksi terhadap intervensi AS di AL selama ini.
  5. Kepada rakyat Indonesia agar menyerukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono segera menghentikan segala bentuk kerjasama dengan pemerintahan AS; sekaligus mengusir keluar Duta Besar AS, Cameron R. Hume, dari Indonesia. Hal ini merupakan bentuk solidaritas kepada Bolivia dan Venezuela ; dan simbol penolakan terhadap imperialisme AS.

Kepada Rakyat Venezuela dan Bolivia ; kamerad Evo Morales dan Hugo Chavez:

  1. Segera tangkap para pelaku tindak kejahatan dan para organisator kudeta.
  2. Lanjutkan dan masifkan mobilisasi rakyat serta tindakan politik yang dibutuhkan untuk menghadapi kaum oligarki fasis yang tidak segan-segan menggunakan metode-metode kekerasan.
  3. Masifkan Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat terhadap semua industri vital dan perbankan yang dimiliki oleh para pemodal asing dan borjuis nasional yang menjadi agennya; hanya dengan merebut kekuatan ekonomi dari tangan kaum oligarki dan tuan-tuannya lah kita dapat membuat ompong serangan mereka.
  4. Dengan mobilisasi rakyat yang semakin massif dan bersatu, MAJU lah menuju kemenangan mutlak sosialisme!

Jakarta, 27 September 2008

Hasta La Victoria Siempre!

Sosialisme atau Barbarisme!

Nama-nama organisasi yang sudah menandatangani surat solidaritas ini:

  • Hands Off Venezuela – Indonesia
  • Komite Politik Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD)
  • Rumah Kiri
  • Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
  • LMND-PRM
  • Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
  • Libertan Bogor
  • Proletariat Resistance Bogor
  • Resist Book Yogyakarta
  • KSM Unas Jakarta

HOV Indonesia mengundang semua kalangan untuk turut serta dalam aksi solidaritas menentang intervensi AS di Amerika Latin dan menandatangani surat pernyataan ini.

hovindonesia@yahoo.com

Kontak person: 081513984237 (Jesús)

Jesús SA
Koordinator



Perjuangan untuk industri yang melayani rakyat

Federico Fuentes

Pada 27 Agustus, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan berakhirnya negosiasi dengan mantan pemilik Ternium atas nasionalisasi pabrik baja Sidor, dengan menyatakan bahwa pemerintahnya akan “mengambil alih semua perusahaan yang dimiliki [perusahaan tersebut] di sini”, menegaskan bahwa Ternium “bisa angkat kaki”.

Continue reading “Perjuangan untuk industri yang melayani rakyat”

Hands Off Venezuela: Sebuah Surat Terbuka Merespon Perseteruan Antara Kaum Kiri Di Indonesia

Semenjak pembentukannya pada tahun 2002, kampanye Hands Off Venezuela (HOV) telah hadir di lebih dari 30 negara. Telah banyak organisasi yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam mendukung, membentuk, dan menjalankan kampanye ini.

Sebuah gerakan yang sehat adalah dimana gerakan tersebut penuh dengan diskusi antara partisipan-partisipannya mengenai ideologi, strategi, dan taktik; yang dapat mengambil banyak bentuk dari diskusi bersahabat sampai ke polemik. Oleh karena itu, HOV, sebagai bagian dari gerakan sosial, tidaklah imun dari diskusi dan polemik antara organisasi-organisasi dan individu-individu yang merupakan bagian dari kampanye HOV. Dan HOV memang dibentuk untuk memulai diskusi konstruktif mengenai Revolusi Venezuela. Akan tetapi, HOV selalu merupakan sebuah kampanye yang terbuka bagi siapa saja yang setuju dengan prinsip-prinsipnya:

– Solidaritas dengan Revolusi Bolivarian

– Oposisi terhadap intervensi imperialis di Venezuela

– Membangun hubungan dengan gerakan revolusioner dan gerakan serikat buruh di Venezuela

Pada awal tahun ini, ada sebuah perpecahan di tubuh PRD (Partai Rakyat Demokratik), salah satu partai revolusioner yang paling berpengaruh di Indonesia. Dan semenjak itu, dua organisasi ini, PRD dan KPRM-PRD (Komite Politik Rakyat Miskin) telah berpolemik dan kadang-kadang polemik ini berlangsung dengan sangat tajam. Sebagai sebuah kampanye solidaritas, bukanlah tempatnya bagi kami untuk berpihak pada salah satu organisasi. Kita hanya berpihak pada Revolusi Bolivarian. Akan tetapi, kami telah menerima informasi yang sangat disayangkan bahwa polemik ini telah mempengaruhi kerja HOV Indonesia. Sangatlah penting bagi HOV Internasional untuk mengambil sebuah posisi. Sebagai sebuah kampanye solidaritas revolusioner dengan objektif utama membela Revolusi Bolivarian dan menyebarkan revolusi ini, posisi HOV dalam masalah ini hanya dapat diambil dari prinsip-prinsipnya. Sekali lagi, HOV adalah sebuah kampanye terbuka dan siapa saja yang setuju dengan prinsip-prinsipnya dapat mendukung dan menjadi bagian dari kampanye ini untuk membela Revolusi Bolivarian.

Bukanlah tempatnya bagi kami untuk menyarankan KPRM dan PRD untuk bersatu dan melupakan perbedaan-perbedaan mereka. Ini benar bagi setiap organisasi yang secara politik bertentangan satu sama lain. Dan sesungguhnya, sejarah telah menunjukkan bahwa persatuan tanpa prinsip hanya akan “menyatukan 2 grup menjadi 5”. Akan tetapi, sebuah perjuangan bersama masih dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berbeda politik (dan kadang-kadang bertentangan). Membela Revolusi Bolivarian dari kaum oligarki lokal dan tuan imperialisnya adalah perjuangan bersama yang sangatlah penting, karena kekalahan Revolusi ini dapat menghancurkan moral rakyat tertindas sedunia yang melihat Venezuela sebagai sebuah contoh bahwa dunia yang berbeda adalah mungkin. Dan HOV menyediakan sebuah platform bagi organisasi-organisasi yang berbeda untuk bersatu di dalam perjuangan bersama ini.
Rakyat Venezuela telah membuka jalan ke depan. Mereka telah memercikkan revolusi di Amerika Latin dan telah meletakkan ide sosialisme kembali ke tempatnya, yakni di garis depan perjuangan dunia melawan kapitalisme dan imperialisme. Mari kita belajar dari Revolusi Bolivarian dan membela Revolusi tersebut dengan cara membangun revolusi kita sendiri!

Salam Revolusi,

Jorge Martin

(Sekretaris Internasional Hands Off Venezuela)

_______________________________

Hands Off Venezuela: A open letter responding to the polemics between the Lefts in Indonesia

Since its inception in 2002, Hands Off Venezuela campaign has been established in more than 30 countries around the world. Many organizations have been involved directly or indirectly in endorsing, setting up, and running this campaign.

A healthy movement is one which is abound with discussions amongst its participants on ideologies, strategies, and tactics which can take many forms from comradely discussions to polemical ones. Hands Off Venezuela, as a part of a wider social movement, is therefore not immune to such debates and polemics amongst organizations and individuals who make up the campaign. As a matter a fact, Hands Off Venezuela is created to foster a constructive discussion about the Venezuelan Revolution in the movement. However, HOV always remains an open campaign that welcomes anyone who agrees with its principles of:

– Solidarity with the Bolivarian Revolution

– Opposition to imperialist intervention in Venezuela

– And building direct links with the revolutionary and trade union movement in Venezuela.

Earlier this year, there was a split in PRD (People’s Democratic Party), one of the most influential revolutionary party in Indonesia. And since then, the two groups, PRD and KPRM-PRD (The Political Committee of The Poor – People’s Democratic Party) have been engaged in a polemical struggle which is sometimes carried out rather bitterly. As a solidarity campaign, it is not in our place to side with either group. We only side with the Bolivarian revolution. However, it has come to our attention that unfortunately the polemic has in one way or another affected HOV Indonesia. It is then very pertinent for HOV International to take a position. As a revolutionary solidarity campaign with a main objective of defending Bolivarian Revolution and spreading it afar, HOV?s position on this issue can only stems from its principles. Once again, HOV is an open campaign and anyone who agrees with its principles can support and be part of the campaign to defend the Bolivarian Revolution.

It is not in our place to call KPRM-PRD and PRD to unite and forget about their differences. This is true for any organizations who are politically opposed to each other. As a matter a fact, history has shown that unprincipled unity can only lead to “uniting 2 groups into 5”. However, a common struggle can still be waged by groups who are politically different (and sometimes opposed). The defense of Bolivarian Revolution from the local oligarchy and its imperialist masters is a common struggle which is very important to wage, because the defeat of the Revolution can in fact demoralize the oppressed masses of the world who look at Venezuela as an example that another world is possible. And HOV provides a platform for different organizations to unite for this common struggle.

The masses of Venezuela have paved the way forward. They have sparked the revolution in Latin America and have put the idea of socialism back to where it always belongs, the forefront of world struggle against capitalism and imperialism. Let us learn the lessons from the Bolivarian Revolution and defend the Revolution by building our own!

With Revolutionary Greetings,

Jorge Martin

(International Secretary of Hands Off Venezuela)



HOV Indonesia embraces youth, workers, women, urban poor, and young artists

By Ted Sprague – HOV Indonesia

Friday, 22 August 2008

Since its launch on 28 April 2008, HOV (Hands off Venezuela) Indonesia has become an active medium for discussions on the Venezuelan Revolution, especially around the issue of nationalization of the oil and gas industry in Indonesia, a central demand which has been rallied by nearly all youth and trade union militants, and has been welcomed with great enthusiasm. It has managed to reach out to various marginalized sectors of the population: the youth, workers, women, urban poor, and young artists.

On May 5th, HOV Indonesia was invited by a group of revolutionary students from UNAS (National University of Jakarta) to talk about political development in Venezuela and the gains made there. The discussion was so informative and inspiring that one student decided to do his thesis on the Bolivarian Revolution. On May 24th, a couple of weeks later, UNAS became a battleground when hundreds of police brutally attacked students inside the university who were protesting against fuel price increases. Tear gas was shot inside the campus and students were shot with rubber bullets. At the end 148 students were arrested and one student, Maftuh Fauzi, died from a head injury inflicted by the police. As has always been the case, the police and the state deny any responsibility and went as far as concocting a lie that Maftuh died of AIDS!

Women have been the most exploited layer of society in Indonesia. With the recent 30% increase in the price of fuel, women are bearing the brunt of this attack more than anyone else. On May 13th, HOV Indonesia along with JNPM (Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika or the Mahardhika Women National Network) organized a screening of No Volveran in response to this fuel price increase. Attended by dozens of urban poor housewives, this screening of No Volveran was followed by a discussion about the nationalization of the oil industry and how multinational oil companies cause this so-called “energy crisis”.

HOV Indonesia was also able to attract the interests of street musicians and artists in the city of Bogor. On June 5, HOV Indonesia was invited by a group of young street artists, known as “Libertan”, to talk about the gains made in Venezuela in their monthly political discussion group. “For us who are marginalized,” said one of the members of Libertan, “doing the arts is political. And we are hearing that there is a mass movement that is capable of bringing revolution in Venezuela”. At the end of the discussion, Libertan and HOV Indonesia agreed to hold more discussion groups in order to widen the understanding of socialism amongst street artists in Bogor.

No Volveran, which was premiered during the launching of HOV Indonesia, has become a very popular documentary. It has been screened by many organizations: youth, women, urban poor, students, and trade unions. The lessons of workers’ control in the factory of Sanitarios Maracay is of particular interest amongst the workers. To date, more than 200 copies have been distributed across Indonesia by Rumah Kiri, a member of the HOV Indonesia campaign. This number is more likely to be higher since there are other organizations who are distributing this documentary which HOV Indonesia is not aware of.

The HOV Indonesia website too has become a leading source of information on the unfolding revolutionary process in Venezuela. Many articles have been translated into Bahasa Indonesia, which is providing militants at home with lessons from Venezuela. The launch of Hands Off Venezuela in Indonesia was also mentioned by Telesur, a Pan-Latin American television program (Campa?a “Manos Fuera de Venezuela” llega hasta Indonesia).

In such a short time and with a minimal resources consisting of no more than a group of dedicated revolutionaries, the campaign has accomplished many things. As the revolution in Venezuela unfolds, and as the oppressed in Indonesia rise up to their historic task, this campaign will play an even more important role in linking up these struggles.



HOV-Indonesia Merangkul Para Seniman Muda Bogor

HOV-Indonesia

Pergerakan politik di Venezuela dan Amerika Latin ternyata tidak hanya diminati dan diperhatikan oleh kalangan aktivis buruh, mahasiswa dan gerakan-gerakan politik revolusioner, tetapi juga diminati dan didiskusikan oleh para pemusik dan para pecinta seni di kota Bogor. Tanggal 7 Juni lalu Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia, Jesus S. Anam, secara khusus diundang oleh para pemusik dan pecinta seni yang menamakan diri “Libertan” untuk menghadiri acara “sore santai” mereka sambil berdiskusi tentang perkembangan politik di Venezuela dan Amerika Latin.

“Diskusi politik sambil minum kopi, makan gorengan, bercanda dan santai, ternyata asyik,” kata Ryan, ketua kelompok tersebut.

Libertan adalah kumpulan para seniman muda jalanan yang ingin mandiri dengan melakukan aktifitas-aktifitas produktif yang bisa menghasilkan uang dengan menciptakan karya-karya kreatif di bidang seni. Selain melakukan aktifitas-aktifitas yang terkait dengan seni, Libertan juga aktif, setiap bulan sekali, mengadakan diskusi tentang politik. “Bagi kami yang merasa terpinggirkan ini,” kata salah seorang anggota Libertan “berkesenian sama halnya dengan berpolitik. Dan kami sedang mendengar ada pergerakan rakyat yang mampu menciptakan revolusi, di Venezuela”

Jesus S. Anam dalam acara diskusi santai ini banyak mengulas tentang pentingnya bersolidaritas dengan Revolusi Bolivarian dan gerakan-gerakan rakyat di Amerika Latin. Karena dengan berdirinya bangunan sosialisme yang kokoh di kawasan ini, akan bisa membantu memperkokoh gerakan-gerakan rakyat revolusioner di kawasan-kawasan lain, termasuk Asia.

Di akhir acara diskusi, antara Libertan dan HOV-Indonesia bersepakat mengadakan diskusi lanjutan guna memperluas pemahaman tentang sosialisme di kalangan para seniman jalanan yang ada di kota Bogor.

KTT Amerika Latin Hadapi Krisis Kelaparan

Oleh Berta Joubert-Ceci

Mei 15, 2008 10:36 PM

http://www.workers. org/2008/ world/hunger_ crisis_0522/

Dengan tema “Kedaulatan dan Keamanan Pangan: Pangan untuk Kehidupan,” delegasi dari 15 negeri bertemu di Managua, Nikaragua, pada 7 Mei untuk mendiskusikan rencana dan strategi menghadapi krisis kelaparan serius yang melanda rakyat Amerika Latin dan Karibia

KTT presiden ini adalah hasil dari pertemuan darurat 23 April antara empat dari lima negeri ALBA (Alternatif Bolivarian bagi Rakyat Amerika Kita) yang dilangsungkan di Caracas, Venezuela. Saat itu, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Nikaragua Daniel Ortega, dan Wapres Kuba Carlos Lage bertemu dengan Presiden Hugo Chavez untuk menandatangani persetujuan khusus yang akan mengembangkan sektor-sektor pertanian dan industri untuk meningkatkan produksi biji-bijian seperti nasi dan jagung, kacang-kacangan yang mengandung minyak, daging dan susu. Menurut Prensa Latina, “Persetujuan yang dicapai oleh negeri anggota ALBA juga mendorong pembentukan jaringan komersialisasi pangan dan menyertakan komitmen bersama untuk menggalang dana sebesar $100 juta sebagai modal awal yang membuka jalan bagi implementasi program dan perencanaan bagi inisiatif tersebut.”

Namun, karena pada dasarnya ALBA adalah suatu integrasi dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Amerika Latin dan Karibia, dibutuhkan sebuah KTT yang lebih besar untuk mengatasi krisis pangan saat ini.

KTT di Managua pada 7 Mei ini dihadiri oleh delegasi dari Bolivia, Ekuador, Kostarika, Honduras, Haiti, St Vincent dan Grenadines, Kuba, Venezuela, El Salvador, Guatemala, Belize, Panama, Republik Dominika, Meksiko dan Nikaragua. Terdapat juga perwakian dari Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) PBB, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika, Program Pangan Dunia PBB, UNICEF, PARLACEN (Parlemen Amerikat Tengah) dan PARLATINO (Parlemen Amerika Latin).

Pidato pembukaan dari masing-masing negeri mengedepankan berbagai keprihatinan dan proposal mengenai krisis itu, tapi juga secara terang-terangan menunjuk pada kebijakan negeri imperialis sebagai biang kerok bencana tersebut. Jaringan televisi TeleSUR meliput rapat tersebut.

Ralph Gonsalves, perdana menteri St Vincent dan Grenadines, dengan piawai menyatakan butuhnya menyertakan perikanan dalam diskusi-diskusi agrikultur dan pangan, dengan menunjukkan bahwa negeri kepulauan kecil seperti negerinya tak memiliki ruang untuk memelihara ternak dan lebih bergantung pada ternak kecil dan hasil laut, tapi pemanasan global mempengaruhi penangkapan ikan, karena ikan-ikan cenderung berpindah lebih dalam ke laut. Ia menyimpulkan, “Saya tak melihat Amerika membantu kami, atau Eropa, dan faktanya, sering kali ketika membawa program diversikasi, produksi agrikultur, dsb, mereka meneruskan penipuan terhadap rakyat, mereka mengangkat harapan rakyat dan hanya memberikan sedikit hal.

Wapres Lage dari Kuba merangkum basis ril dari krisis yang terjadi saat ini: “Inti dari krisis ini bukan pada fenomena akhir-akhir ini, tapi pada distribusi kekayaan yang tak sama dan tak adil di tingkat global, dan juga pada model ekonomi neoliberal yang tak dapat dipertahankan, yang diterapkan secara tak bertanggungjawab dan fanatik selama 20 tahun belakangan ini.”

Presiden Ortega yang memimpin pertemuan itu menyampaikan krisis kelaparan melalui fakta-fakta: “Data dari organisasi internasional memberitahukan kita bahwa dalam tiap 5 detik seorang anak di bawah 10 tahun meninggal karena kekurangan gizi, karena kelaparan. Dalam tiap menit yang kita gunakan untuk berbicara di sini, bertukar ide tentang permasalahan ini, 12 anak meninggal. Dan dalam tiap jam, 720 anak di bawah 10 tahun meninggal karena kelaparan!”

Deklarasi akhir yang ditandatangani oleh 12 negeri menolak subsidi di negeri-negeri maju dan perdagangan tak adil yang berdampak bagi negeri-negeri kurang berkembang. Mereka juga menolak penggunaan pangan untuk bahan bakar organik (biofuel). Diusulkan pula suatu Rencana Aksi yang detil untuk membantu penguatan ekonomi dan produksi pangan yang berkelanjutan di negeri-negeri tersebut. Disetujui juga sebuah proposal dari Meksiko, yang menyumbangkan diri untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi tentang teknologi pada akhir Mei.

Pertemuan lain tentang isu tersebut berlangsung di Amerika Latin. Agen Berita Kuba (ACN) melaporkan bahwa lebih dari 100 perwakilan dari 30 negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia berpartisipasi dalam suatu konferensi tentang malnutrisi anak-anak di Santiago de Chile pada tanggal 6 Mei. Pada 16-17 Mei, KTT Uni Eropa-Amerika Latin dan Karibia (EU-LAC) akan digelar di Lima, Peru. Tema utamanya adalah “Kemiskinan, ketaksetaraan dan inklusi” dan “Pembangunan Berkelanjutan: lingkungan hidup, perubahan iklim dan energi.” Pada KTT presiden tanggal 7 Mei, diputuskan bahwa krisis pangan akan diangkat dalam (EU-LAC) dan semua pertemuan internasional lainnya ke depan.

Kaum Imperialis mengadakan rapat tertutup

Sembilan hari sebelum KTT Managua, pada 28 April, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia Josette Sheeran dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengadakan rapat tertutup di Berne, Swiss, dengan Sekretaris-Jendral PBB Ban Ki-moon dan eksekutif dari 27 agen PBB untuk mendiskusikan kenaikan harga pangan dan pergolakan di 37 negeri akibat kelaparan ekstrim.

Menurut ACN, Ban meminta dana bantuan sebesar $2.5 milyar untuk membantu memerangi krisis pangan dunia saat konferensi pers di Berne pada 22 April

Apakah solusi Zoellick terhadap krisis pangan? Menunjukkan kepentingan kelasnya yang sesungguhnya, ia menyerukan agar ekspor hasil produk minyak tidak dibatasi.

Bagaimana kaum imperialis dapat menyelesaikan krisis yang mereka ciptakan? Sebagaimana dinyatakan oleh Via Campesina, organisasi tani masyarakat asli dan petani kecil di seluruh dunia, dalam suatu dokumen berjudul “Jawaban terhadap Krisis Pangan Global” (www.viacampesina. org), kebijakan neoliberal telah menghancurkan kapasitas negeri-negeri untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Meskipun menyinggung tentang bahan bakar organik dan pemanasan global yang mempengaruhi panen dan menyebabkan krisis pangan, mereka memandang absennya kedaulatan pangan sebagai penyebab utamanya: “Krisis ini juga merupakan hasil dari bertahun-tahun kebijakan destruktif yang telah memberantas produksi pangan domestik. … Petani terpaksa memproduksi hasil perkebunan (cash crops) bagi korporasi transnasional (TNCs) dan membeli makanan mereka dari pasar dunia.”

Artikel itu menunjukkan contoh Meksiko, yang, setelah NAFTA, beralih dari negeri pengekspor jagung jadi menggantungkan 30 persen jagungnya dari impor AS. Walau demikian, karena kini jagung dari AS semakin banyak digunakan untuk bahan bakar, maka keberadaannya semakin berkurang di Meksiko. Disinggung juga kasus Indonesia, yang pada 1992 jumlah produksi kedelainya cukup untuk memenuhi konsumsi pangan pokok domestik untuk tahu dan tempe. Setelah membuka pintunya terhadap kebijakan neoliberal, kedelai murah dari AS membanjiri pasar dan menjatuhkan produksi domestik. Enam puluh persen kini diimport dari AS dan harganya meningkat dua kali lipat.

Maka, tanpa kemampuan memproduksi pangan sendiri akibat resep neoliberal, dikombinasikan dengan perubahan iklim secara drastis, negeri-negeri miskin menjadi korban spekulasi pasar pangan dan pengalihan produksi pangan menjadi bahan bakar organik. Sementara konsumsi pangan mungkin sebesar 10 hingga 20 persen dari penghasilan perorangan di kebanyakan negeri maju, di Dunia Ketiga angka tersebut mencapai 60 hingga 80 persen. Dan produk yang paling terkena dampak krisis saat ini adalah makanan pokok rakyat miskin, seperti nasi dan jagung.

Tidaklah mengherankan bila massa telah bangkit melawan di Meksiko, Indonesia, Yaman, Filipina, Kamboja, Maroko, Senegal, Uzbekistan, Guinea, Mauritania, Mesir, Kamerun, Bangladesh, Burkina Faso, Pantai Gading, Peru, Bolivia dan Haiti.

Haiti pantas mendapat perhatian khusus, karena negeri itu salah satu yang termiskin di Bumi di mana keserakahan genosidal korporasi transnasional terlihat secara jelas dan terang-terangan. Delapan puluh persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan 54 persen dalam kemiskinan ekstrim. Menurut Servicio Paz y Justicia en America Latina, “Dua puluh tahun lalu Haiti memproduksi 95 persen beras yang dikonsumsi rakyatnya; kini ia mengimpor 80 persen produk tersebut dari AS.” (www.serpajamerical atina.org)

Kelaparan ekstrim di Haiti telah memaksa rakyat untuk memberi makan anak-anak mereka dengan kue “Pica” yang terbuat dari lumpur, suatu pengobat lapar yang beracun. Dalam Cite-Soleil, kue tersebut dibuat dari lumpur kuning dari dataran tinggi di pedalaman negeri tersebut, yang dicampur dengan garam dan minyak. Dibutuhkan biaya sebesar $5 untuk membuat 100 kue, namun dengan harga demikian pun, banyak rakyat Haiti tak mampu membeli kue yang terbuat dari lumpur! Kue itu bisa mengisi perut anak-anak, tapi lumpurnya juga mengandung parasit dan bahan-bahan yang berpotensi mematikan.

Kuba dan Venezuela telah bertindak untuk menolong rakyat Haiti. Venezuela, diantaranya, mengirim 600 ton pangan pada 13 April dan 50 truk pertanian. Kuba telah menyediakan perawatan kesehatan bagi lapisan masyarakat yang termiskin, yang tak memiliki akses terhadap dokter. Selama lima tahun, 400 dokter Kuba telah bekerja di Haiti; dan 600 pelajar Haiti belajar kedokteran di Kuba. Menurut Presiden Haiti Rene Preval, bagi rakyat Haiti “Setelah Tuhan, ada dokter Kuba.”

Rakyat kelaparan sementara korporasi pangan tumbuh subur

Dalam pernyataan pers pada 14 April, raksasa pangan AS Cargill melaporkan “pendapatan bersih sebesar $1.03 milyar dalam kwartal ketiga tahun 2008 yang berakhir pada 29 Feb., naik 86 persen dari $553 juta dalam periode sama setahun lalu. Pendapatan dalam sembilan bulan pertama bertotal $2.9 milyar, suatu kenaikan sebesar 69 persen dari $1.71 milyar pada tahun lalu.” (www.cargill. com)

Pernyataan tersebut menyebutkan: “Cargill mencatat tiga kwartal yang kuat secara berturut-turut dalam setahun ketika dimensi perubahan dalam pertanian global sangat mencolok,” kata Greg Page, ketua dan pejabat kepala eksekutif Cargill. “Permintaan pangan di ekonomi berkembang dan permintaan enerji di dunia meningkatkan permintaan barang-barang pertanian, pada saat yang sama investasi moneter mengaliri pasar-pasar komoditas. Relatif terhadap permintaan, stok biji-bijihan dunia saat ini adalah pada tingkat terendah dalam 35 tahun. Harga-harganya mencapai ketinggian baru dan pasar-pasarnya luar biasa rentan.”

Monsanto, perusahaan AS lainnya, juga melaporkan keuntungan besar. Dalam suatu berita pada 6 Mei, perusahaan tersebut menyatakan: “Sebagai perusahaan teknologi di pertanian, kami memiliki kesempatan unik karena teknologi kami menciptakan nilai jual bagi petani pelanggan kami tanpa mempedulikan tanaman apa yang mereka budidayakan, di mana mereka akhirnya menjual bijih-bijihan mereka, atau berapa harga jual bijih-bijihan itu di pasar komoditas. … Perkembangan pendapatan Monsanto yang kuat terus tercermin dalam pembayaran dividen. Monsanto telah meningkatkan dividennya enam kali – suatu peningkatan sebesar 200 persen – sejak 2001.” (www.monsanto. com)

Monsanto adalah biang kerok di balik benih rekayasa genetik (genetically engineered seeds) yang membanjiri dan menghancurkan pertanian di negeri-negeri Dunia Ketiga, membuat mereka bergantung pada benih-benih dan produk Monsanto.

____________________________

Diterjemahkan oleh Data Brainanta

Hands Off Venezuela – Indonesia Mendukung Aksi Front Pembebasan Nasional (FPN)

Oleh Jesus S. Anam

Hands Off Venezuela – Indonesia

Jakarta, 21 Mei 2008

Lagu Internationale mengalun berulangkali, mengiringi resah ribuan kaum buruh dan miskin kota yang tergabung dalam Front Pembebasan Nasional (FPN) dalam aksi menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. FPN menuntut pemerintah agar menggagalkan kenaikan harga BBM, menurunkan harga bahan-bahan pokok, dan mengambil alih perusahaan-perusahaan Migas dari tangan kaum modal dibawah kontrol rakyat. FPN juga mengutuk pemerintahan SBY-JK sebagai antek kaum modal yang menghabiskan kekayaan alam negeri ini hingga terjadi krisis energi.

Merdeka memang tidak mudah. Sudah enam puluh tiga tahun merdeka dan sudah sepuluh tahun pula lepas dari otoritarianisme Soeharto, ternyata tidak cukup berarti bagi rakyat. Rakyat tetap miskin dan sengsara. Rakyat tetap menjadi gelandangan di negeri sendiri. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM hingga 30 % nanti merupakan bukti bahwa rakyat di negeri yang kaya ini belum merdeka, karena masih hidup dibawah penjajahan. Dan penjajahan kali ini lebih mengerikan dari sebelumnya: penjajahan kaum modal.

Alasan pemerintah menaikkan harga BBM karena Beban Anggaran Negara megalami defisit oleh sebab kenaikan harga minyak dunia sangatlah lucu. Defisit Anggaran Negara lebih disebabkan pembayaran hutang luar negeri yang besarnya bisa mencapai 150 trilyun rupiah per tahun. Selain itu, domonasi modal asing atas perusahaan-perusahaan minyak dan gas di Indonesia yang menjadi penyebab utama kebangkrutan negeri ini. Hasil minyak Indonesia oleh mereka (kaum modal) dijual di pasar internasioanal. Penjualan ke dalam negeri dibatasi hanya 25 % x (15 % x total produksi), dan pemerintah Indonesia harus membeli dengan harga internasional (itupun) setelah selama 60 bulan Modal Internasioanal dibebaskan menjual semua hasil produksinya ke pasar internasional.

Sekalipun Indonesia memiliki sedikitnya 329 blok/sumber minyak dan gas dengan lahan seluas 95 juta hektar, dengan cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 300 milyar barel, dan produksi minyak mentah mencapai 1 juta barel perhari atau 159 juta liter per hari, sangatlah tidak berarti dan tidak berpengaruh bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika Minyak Mentah Indonesia bisa diolah sendiri sehingga tidak perlu mengolahnya di luar negeri dan dikembalikan lagi oleh para pemilik modal, para pedagang minyak, ke Indonesia dengan harga tinggi.

Kenyataan yang sudah parah ini perlu diatasi dengan membangun kekuatan-kekuatan politik ditingkat basis rakyat, terutama kaum buruh dan miskin kota, dengan agenda merebut kekuasaan yang berada di tangan politik elit; membangun kepemimpinan revolusioner yang berasal dari rakyat dan membangun barisan garda depan yang solid. Selain itu, melandaskan perjuangan pada ideologi yang revolusioner, progresif dan mapan adalah agenda yang terpenting guna mewujudkan cita-cita revolusi. Keberanian dan keberhasilan Castro di Kuba, Hugo Chavez di Venezuela, dan Evo Morales di Bolivia tidaklah lepas dari kekuatan ideologi yang menyertainya. Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai Venezuela misalnya — kedaulatan politik dan ekonomi, partisipasi rakyat grassroot dalam politik via pemilihan umum dan referendum, kemandirian secara ekonomi, semangat patriotisme, distribusi hasil kekayaan minyak yang merata, dan penghapusan korupsi — merupakan kesatuan yang kuat dari kepemimpinan revolusioner, garda depan yang solid, kesadaran politik rakyat, dan ideologi revolusioner progresif yang menyertainya. PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela), partai yang dibangun Chavez bersama rakyat, tidak hanya mengadopsi dari Simon Bolivar, Miranda, Ezequiel Zamora, tetapi juga dari Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky.

Aliansi organ-organ kiri yang tergabung dalam Front Pembebasan Nasional secara eksplisit telah sepakat bahwa sosialisme adalah satu-satunya jalan menuju revolusi Indonesia. Massa dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) yang banyak membentangkan spanduk bertuliskan “Sosialisme”. Hands Off Venezuela – Indonesia dan FPN akan terus bekerjasama dalam politik guna mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia. HOV – Indonesia akan menyodorkan fakta-fakta obyektif yang terjadi di Venezuela untuk didiskusikan bersama dan mengambil bagian-bagian yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Revolusi sosialis memang tidak bisa bertahan lama atau sulit diwujudkan jika berjalan sendiri. Kerjasama dan komunikasi intensif antara gerakan di tingkat internasional ataupun kawasan perlu dibangun. Membangun kerjasama gerakan-gerakan di Indonesia dengan gerakan-gerakan di Amerika Latin, atau dengan negara-negara di tingkat ASEAN perlu segera dilakukan, dan HOV – Indonesia akan mencoba memfasilitasi hingga tercapainya kerjasama ini.