Sosialisme Abad Ke 21: Memilah Kaum Reformis dari Kaum Revolusioner

Oleh Ted Sprague

30 Juli 2008

Semenjak berkobarnya revolusi di Amerika Latin yang dipimpin oleh rakyat Venezuela, ide sosialisme mulai bangkit lagi dari tidurnya. “Sosialisme Abad ke 21” begitu bunyinya, sebuah frase yang dipopulerkan oleh Presiden Chavez sebagai sosialisme yang bebas dari distorsi Stalinisme. Bagi rakyat banyak, Sosialisme abad ke 21 merupakan simbol penolakan terhadap kapitalisme. Ia merupakan suatu hardikan kepada Francis Fukuyama yang mengklaim akhir sejarah dan kemenangan mutlak kapitalisme. Tetapi lebih dari itu, konsep Sosialisme Abad ke 21 sangatlah longgar. Apakah ini adalah sosialisme yang benar-benar baru? Para intelektual kiri dan kanan dan aktivis-aktivis berlomba-lomba menulis buku mengenai sosialisme ini; untuk menuangkan isi yang baru. Tetapi apakah sebenarnya isi baru dari Sosialisme Abad ke 21 ini?

Ada yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah pembenaran untuk jalan parlementer menuju sosialisme; tentu saja ini berarti kita harus menutup mata kita terhadap aksi-aksi massa yang telah berulang kali menyelamatkan revolusi Bolivarian. Ada juga yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah sosialisme ala Amerika Latin yang bernuansakan tradisi penduduk asli Amerika Latin, bahwa sosialisme ini tidak diimpor dari Eropa (baca Marx dan Engels) dan maka dari itu bebas dari kecongkakan orang putih.

Dari semua tafsiran akan apa sosialisme ini, yang paling keras diteriakkan oleh para intelektual adalah bahwa Sosialisme Abad Ke 21 merupakan sebuah sosialisme dimana semua kelas di dalam masyarakat dapat bekerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama: buruh, tani, pedagang kecil, ….DAN para bos-bos besar! Yang dibutuhkan adalah sebuah sistem sosialisme yang berdampingan dengan sistem kapitalisme. Sedikit demi sedikit kapitalisme direformasi hingga kita mencapai tahapan sosialisme (kasarnya, mulai 90% kapitalisme, 10% sosialisme; lalu 80% kapitalisme 20% sosialisme, dan seterusnya hingga kita mencapai 100% sosialisme). Dibungkus dengan jargon-jargon baru dan radikal, para intelektual ini, yang diwakili oleh Heinz Dieterich[1], bersorak sorai: “Kita telah menemukan sebuah formulasi sosialisme yang baru. Ide-ide Marx dan Engels dari abad 19 sudah usang dan tidak cocok dengan abad sekarang, mari kita campakkan mereka dan bersama-sama menuju ke era yang baru: Sosialisme Abad ke 21!”.

Sosialisme yang baru?

Tetapi, apakah formulasi mereka ini merupakan sesuatu yang baru? Bila kita teliti lebih seksama, ternyata ide sosialisme abad ke 21 tersebut hanyalah ide-ide tua yang sudah berulang kali dijawab dan dihancurkan oleh Marx dan Engels. Engels di dalam bukunya Anti-Duhring (1878) menghancurkan ide Herr Eugen Dühring yang mengklaim bahwa dia telah menemukan satu filosofi yang baru, satu sistem sosialisme yang baru. Kemudian, Rosa Luxemburg di dalam karya monumentalnya Reform or Revolution (1908) kembali harus menjawab Eduard Bernstein yang mengklaim bahwa abad ke 20 telah membuka jalan bagi sosialisme yang baru (baca Sosialisme Abad ke 20), yang dapat diraih dengan jalan reformasi semata.

100 tahun kemudian, dengan judul yang mirip, Alan Woods[2] menerbitkan buku (Reformism or Revolution: Marxism and Socialism of 21st Century, a reply to Heinz Dieterich[3]) untuk menjawab Heinz Dieterich yang mengklaim telah menemukan konsep sosialisme yang baru, sosialisme abad ke 21. Kutipan dari buku Alan:

“Mengenai ide sosialisme abad ke 21 yang ‘baru dan orisinil’ ini, saya hanya akan mengatakan ini: bahwa sampai hari ini, saya belum menemukan satu ide baru pun dari kumpulan tulisan-tulisan Dieterich dan kawan-kawannya. Yang saya temui adalah ide-ide tua dan antik yang telah diangkat dari tong sampah sejarah, yakni ide-ide yang tidak ilmiah dan utopis yang sudah dijawab oleh Marx, Engels, dan Lenin. Ini adalah ide-ide yang seharusnya ditinggalkan di zaman pra-sejarah gerakan buruh. Ide-ide sosialisme utopis ini dibersihkan dari debu-debunya dan disajikan sebagai Sosialisme Abad ke 21. Dan ada orang-orang naif yang menanggapinya dengan serius”

Heinz Dieterich tampil di arena internasional sebagai kawan Revolusi Bolivarian yang memberikan nasihat kepada aktivis-aktivis Venezuela yang jujur. Dan inilah mengapa Alan merasa perlu untuk menulis satu buku (yang sangat tebal, 400 halaman tebalnya) untuk menjawab satu per satu ‘nasehat-nasehat’ Heinz Dieterich dan mengeksposnya. Artikel ini terlalu pendek untuk bisa menguraikan satu-per-satu poin-poin Heinz Dieterich dan konternya dari Alan Woods. Akan tetapi secara garis besar, Heinz menentang nasionalisasi aset-aset kelas kapitalis dan menyerukan sosialisme utopis, yakni sistem kapitalisme yang eksis bersama-sama dengan sistem sosialisme, dimana perlahan-lahan sosialisme akan menggantikan kapitalisme.

Perjuangan Ideologi: Bagian penting dari perjuangan kelas

Banyak sekali aktivis kiri yang tidak pernah mendengar Heinz, apalagi membaca tulisan-tulisannya. Dan ini mengundang satu pertanyaan: Mengapa kita harus repot-repot menanggapi ide-ide Heinz? Saya rasa pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya. Ide-ide Heinz-lah yang harus dijawab, yakni ide-ide reformis yang kerap bersembunyi di dalam jargon-jargon sosialisme abad ke 21, ide-ide tua yang diberi bungkusan baru untuk membingungkan kaum muda dan pekerja.

Di dalam perjuangan kelas, pengorganisiran dan mobilisasi massa bukanlah satu-satunya lahan perjuangan yang harus digarap. Satu lagi arena perjuangan yang penting adalah perjuangan ideologi. Kelas kapitalis, dengan medianya, sekolahnya, intelektual-intelektual bayaran mereka, telah menciptakan suatu kabut ideologi yang sangat tebal untuk membingungkan kelas pekerja. Ideologi kapitalisme biasanya mudah dihancurkan bila rakyat pekerja sudah mulai bergerak. Tetapi ideologi yang paling berbahaya adalah reformisme yang berjubah sosialisme, layaknya serigala berbulu domba. Dengan lantangnya kaum reformis mengutuk kapitalisme dengan jargon-jargon sosialisme. Akan tetapi pada saat-saat yang menentukan, reformismelah yang kerap menyelamatkan kapitalisme dari kehancuran mutlaknya.

Buku Alan Woods yang terbaru ini bukan diterbitkan untuk dibaca oleh kaum intelektual dan disimpan di rak buku mereka. Justru sebaliknya, buku ini ditujukan kepada rakyat pekerja, terutama di Venezuela, sebagai senjata untuk melawan ide-ide reformisme. Semenjak penerbitannya (dalam bahasa Spanyol, lalu kemudian dalam bahasa Inggris), Alan Woods telah melakukan tur buku (http://www.marxist.com/alan-woods-speaking-tour-in-venezuela/) di 9 negara bagian Venezuela, dimana ribuan buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, dan petani dengan antusias menghadiri tur buku tersebut. Yang patut disebut adalah pertemuannya dengan ribuan buruh minyak PDVSA di San Tome, Managos, Morical; 600 delegasi buruh pabrik mobil dari seluruh Venezuela; ratusan buruh Venalum (pabrik Aluminum negara); ratusan buruh dari SIDOR (pabrik besi baja yang baru saja dinasionalisasi); dan pemimpin-pemimpin nasional PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela). PDVSA (Perusahaan Minyak Negara Venezuela) lalu memutuskan untuk memesan 10 ribu kopi buku tersebut untuk dibagi-bagikan kepada pekerjanya.

Saking popularnya tur buku ini, Alan Woods diundang untuk hadir di acara TV nasional Venezuela (Venezolana de Televisión) untuk berbicara mengenai buku terbarunya. Esok harinya, Presiden Chavez yang mendengar mengenai Alan Woods dan tur bukunya dari acara televisi tersebut langsung mengundang Alan untuk bertemu. Sebulan kemudian, Chavez di dalam acara Alo Presidente (episode 315, 27 Juli) mengutip buku tersebut; dia mengatakan kalau dia sedang membaca buku ini dengan sangat teliti. Ini berita yang harus disambut dengan gembira, terutama kalau kita melihat belakangan ini Chavez yang dikelilingi oleh birokrat-birokrat reformis (Chavista kanan) mulai mengambil jalan reformisme. Kita hanya bisa berharap kalau Chavez bisa mengambil pelajaran revolusioner dari buku Alan.

Akan tetapi, pemeran utama dari Revolusi Bolivarian tetap adalah rakyat Venezuela: kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda. Untuk merekalah buku tersebut ditujukan, supaya rakyat pekerja Venezuela dapat memilah reformisme dari sosialisme. 10 tahun sudah revolusi ini berjalan, dan hanya keberanian rakyat pekerja Venezuela yang memberikan nafas panjang bagi proses revolusi ini. Di setiap tikungan, bukan hanya kaum oligarki Venezuela yang harus dihadapi oleh rakyat pekerja Venezuela, tetapi juga para ‘kawan’ revolusi yang menawarkan nasehat sosialisme abad ke 21 mereka.

Ide-ide sosialisme ilmiah sudahlah diformulasikan oleh Marx dan Engels, dan mereka masihlah relevan, apalagi dalam periode sekarang ini. Sejarah sudah membuktikan kebenaran ide-ide mereka. Kita tidak perlu ide yang baru (atau yang mengaku baru) bila yang lama masih benar adanya. Yah, tentu saja detil-detil ide Marxisme akan berbeda di situasi yang berbeda, tetapi ide umumnya masih sama: sosialisme hanya bisa dicapai dengan menghancurkan relasi produksi kapitalisme, yakni menyita hak milik alat produksi, dan menghancurkan negara kapitalis dan bangun negara buruh yang baru.

____________________________________

Maju Menuju Sosialisme Yang Sejati!

[1] Heinz Dieterich (1943 – ) adalah seorang ahli sosiologi dan analisa politik kelahiran Jerman yang sekarang tinggal di Meksiko. Dia banyak menulis mengenai konflik di Amerika Latin.

[2] Alan Woods (1944 – ) adalah seorang aktivis politik dari Inggris, salah satu pemimpin dari International Marxist Tendency. Pada tahun 1970, Alan aktif di Spanyol dalam melawan kediktaturan Franco. Dia sudah menulis banyak buku menge, salah satunya adalah Reason in Revolt (http://www.marxist.com/reason-in-revolt-bahasa-indonesia.htm) yang sudah diterbitkan di Indonesia.

[3] Penerbit Wellred sudah ada rencana untuk menerjemahkan buku Alan Woods ke dalam Bahasa Indonesia dan menerbitkannya.


Pertempuran Yang Berat Demi Sosialisme

Rafael Ramirez

Wawancara dengan Rafael Ramirez, menteri energi dan petroleum Venezuela, diambil dari Punto Final.

* * *

Hingga kini, proyek sosialis Presiden Venezuela Hugo Chavez mengandalkan dukungan rakyat luas. Tapi itu kini sedang menghadapi – sebagaimana telah diperkirakan – beberapa kesulitan dan suatu oposisi yang tidak mengharamkan rencana kudeta maupun percobaan pembunuhan. Pada 23 November, proyek revolusioner ini harus mendaftarkan diri dalam suatu ujian baru, kali ini dalam bentuk pemilihan gubernur dan walikota.

Partido Socialista Unido de Venezuela (Partai Persatuan Sosialis Venezuela, PSUV), yang masih dalam proses pembentukan, akan harus menunjukkan bahwa mereka merupakan kekuatan pemimpin di negeri ini. Meskipun polling yang dapat dipercaya memberikan Chavez seorang dukungan sebesar 55%, ini bisa dibilang tak dapat disamakan dengan partainya. Dalam PSUV mulai terlihat gejolak. Terdapat selera dan ambisi caciques (pentolan-pentolan) elektoral yang selalu tampak, apa lagi dalam sebuah partai yang anggotanya lebih dari 5,5 juta. Tapi yang menjadi persoalan utama adalah pertarungan ideologi yang mulai dilancarkan seputar proyek-proyek sosialis yang masih terus menerus banyak kekurangan definisi.

Salah satu wakil-presiden PSUV adalah menteri energi dan petroleum dan presiden Petroleos de Venezuela (PDVSA), Rafael Ramirez Carreno. Sebagai seorang militan yang terkenal – dan dihormati – di kalangan kiri revolusioner di Venezuela, Rafael Ramirez bicara tentang isu sosialisme dalam wawancaranya dengan [Manuel Cabieses Donoso untuk] Punto Final. Ia menjelaskann dari sudut pandang yang realistik, sadar akan rintangan-rintangan yang dihadapi proyek semacam itu dalam negeri seperti Venezuela, tapi loyal terhadap proyek sosialis yang mana banyak kaum revolusioner memberikan nyawanya dalam era perjuangan bersenjata, dan yang kini – via jalan damai dan dengan sungguh-sungguh menghormati konstitusi dan undang-undang – turut dibagi dengan jutaan rakyat Venezuela, terutama sektor penduduk yang termiskin.

Ramirez berasal dari Partido de la Revolucion Venezolana (Partai Revolusi Venezuela, PRV) yang meneruskan perjuangan bersenjata yang dimulai pada awal enampuluhan oleh Partai Komunis dan MIR (Movimiento de la Izquierda Revolucionario, Gerakan Kiri Revolusioner), melalui Fuerzas Armadas de Liberacion Nacional (Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional, FALN). Dengan kekalahan dan perpecahan PRV, Ramirez dan militan lainnya membentuk Esperanza Patriotica (Harapan Patriotik), yang pemimpin utamanya adalah Diego Salazar – kini almarhum – dan yang kemudian digantikan oleh Rafael Ramirez sendiri, yang mengambil tanggung jawab hingga Esperanza Patriotica – yang digambarkan sebagai “sesuatu yang lebih dari sekedar gerakan; suatu sentimen, suatu hubungan manusia yang berdasarkan kasih sayang mendalam antara anggotanya dan kecintaan yang besar akan tujuan revolusioner” – menuruti seruan Presiden Chavez untuk membubarkan diri dan menjadi bagian dari PSUV

Bagian pertama wawancara ini – tentang harga petroleum dan krisis energi dunia – diterbitkan pada edisi Punto Final tanggal 30 Mei 2008 , ketika harga minyak mencapai “rekor historik” US$ 135 … dan kini menembus batas US$ 145 per barel.

Merespon pertanyaan Punto Final, Ramirez menjawabnya dengan berefleksi tentang proyek sosialis macam apa bagi Venezuela, yang mana sintesisnya kami terbitkan dalam edisi ini.

* * *

Dalam negeri kami, isu sosialisme sangatlah kompleks. Itu telah didiskusikan di masa lalu dan, tentunya, kini lebih banyak lagi didiskusikan, karena kini merupakan kemungkinan yang nyata. Kami selalu menegaskan bahwa tidak ada manual atau pamflet yang dapat menuntaskan beragam permasalahan teoretik dan praktek yang disodorkan proyek sosialis kepada kami. Begitu juga, tidak ada model, maupun revolusi yang identik dengan yang lainnya, tiap revolusi merupakan proses yang orisinil, yang sesuai untuk tiap rakyat yang melaksanakan pembangunan sosialisme.

Lebih lagi, mungkin saja situasi di Venezuela bahkan lebih kompleks, karena aktivitas petroleum telah menyebabkan deformasi yang luar biasa dalam wilayah ekonomi, sosial dan budaya. Di sini, lebih dari sekedar permasalahan tentang bagaimana kaum borjuasi mengambil alih nilai surplus yang diproduksi oleh kerja [rakyat], yang menjadi problem adalah bagaimana kaum borjuasi dan imperialisme mengambil alih rente petroleum. Permasalahannya adalah rente petroleum merupakan masalah yang besar karena menghapuskan pembentukan kelas-kelas sosial. Di Venezuela tidak ada borjuasi nasional tipe apa pun. Yang kami miliki adalah sektor-sektor pinggiran (peripheral) yang mengambil keuntungan dari rente petroleum untuk mengakumulasi banyak uang dan kekuasaan. Mereka mengambil rente petroleum via sektor perbankan dan spekulasi keuangan, tapi mereka tidak memproduksi sebuah paku pun. Konsekuensinya, kami juga tak memiliki kelas pekerja yang dapat kami nilai sebagai kelas hegemonik yang akan menciptakan revolusi.

Kelas pekerja yang konservatif

Pemikiran yang diajukan oleh Che [Guevara], tentang bagaimana kelas-kelas lainnya mengambil ideologi proletariat, adalah pemikiran yang perlu kami praktekkan ke dalam realitas, karena kami tidak mengandalkan kelas pekerja yang kritis. Justru sebaliknya, kelas pekerja yang ada di Venezuela sering kali bersikap sangat konservatif, karena mereka menikmati berbagai keistimewaan dan berjuang untuk mempertahankannya. Sedemikian rupa sehingga corak produksi yang dominan, yakni rente raksasa yang diproduksi oleh petroleum, bukanlah produk dari kerja dan manufaktur, melainkan sumber daya alam yang di saat yang sama mengambil rente global. Bila harga petroleum meroket hingga US$ 130 per barel [kini lebih dari $140], sekitar $11 milyar akan masuk ke Venezuela.

Ringkasnya: tidak ada buruh, tidak ada borjuasi nasional, tidak ada apa-apa. Yang ada adalah sekelompok orang yang hidup dari rente petroleum. Respon dari ini adalah jutaan orang yang termasuk dalam sektor-sektor tersebut menjadi terpinggirkan bukan saja dari aktivitas ekonomi, tapi juga terpinggirkan dari wilayah budaya dan dari segalanya. Di negeri ini kami memiliki masalah serius berupa ketersingkirian (exclusion). Disingkirkan dari apa? Yah, disingkirkan dari rente petroleum! Karenanya, untuk bicara serius tentang sosialisme, ini harus dan perlu melalui penguatan negara. Negara adalah satu-satunya entitas yang mampu menjamin bahwa kendali terhadap rente petroleum yang besar dapat memiliki takdir sosial yang berguna.

Takdir sosial lain dari rente petroleum

Sebelumnya, negara Venezuela adalah negara kapitalis yang mengorientasikan penggunaan rente petroleumnya untuk memperkuat oligarki nasional dan kepentingan [korporasi] transnasional. Kini, kami memiliki negara revolusioner, dan tugas kami adalah memastikan bahwa rente petroleum ini, pertama-tama, beralih ke wilayah sosial – karena kami memiliki hutang yang amat besar terhadap rakyat kami – tapi itu harus juga digunakan untuk membantu penciptaan struktur ekonomi dan produktif yang mampu memberikan fondasi yang kokoh bagi pembentukan sosialisme.

Inilah kenapa kami berfokus pada perubahan yang mengarah kepada pengambil-alihan kendali oleh negara terhadap wilayah-wilayah produksi yang penting. Kami telah memiliki kendali terhadap petroleum, yang paling terpenting. Kami juga mengendalikan rente petroleum: 96% pemasukan petroleum menetap di negeri ini. Kami juga telah melakukan investasi sosial yang besar, rakyat sebelumnya tidak bisa membaca atau menulis dan meninggal karena miskin. Masih banyak hal yang harus kami lakukan dalam wilayah sosial tapi kami melangkah maju dengan pasti.

Kini, kami memfokuskan diri untuk memperluas kapasitas produktif kami: kami meyakini bahwa aktivitas yang fundamental untuk pembangunan ekonomi di Venezuela, seperti industri-industri dasar, kompleks-kompleks industrial, petrokimia, industri yang mampu menciptakan dan mereproduksi aktivitas ekonomi dsb. harus berada di tangan negara agar didapatkan kemungkinan nyata untuk memulai pembangunan sosialisme. Hingga kini kami bahkan tidak memiliki kemungkinan ini, karena alat-alat produksi di bawah kendali swasta. Tapi apa ini berarti kami hendak mengendalikan seluruh rantai ekonomi? Tidak! Ada aktivitas pinggiran dan jasa yang tidak kami minati. Tujuan kami adalah menciptakan keberadaan hegemonik negara dalam industri dasar besar di negeri ini agar mampu merencanakan ekonomi. Dengan memiliki kendali ini, kami dapat menetapkan bahwa produk-produk tertentu dan barang-barang tertentu ditentukan untuk tujuan tertentu, yakni, untuk menjamin bahwa kebutuhan dasar penduduk kami terpenuhi.

`Tidak ada kaum oligarki yang berjiwa besar’

Saat ini, contohnya, bila pemerintah hendak membangun rumah, ia harus berurusan dengan [korporasi] transnasional yang mengendalikan produksi semen. Mereka memiliki strategi sendiri yang bertentangan dengan kami yang nasional, dan mereka mengekspor semua hasil produksinya. Bila kami hendak membangun sosialisme – dan itu melalui penyediaan perumahan bagi penduduk kami – kami harus memiliki kendali terhadap pabrik-pabrik semen, inilah kenapa mereka dinasionalisasi. Bila Venezuela, yang merupakan negeri penting dalam hal produksi baja, tidak memiliki kerangka baja untuk membangun rumah, atau selang (tube) untuk aquaduk, atau pipa untuk industri petroleum, karena kaum transnasional mengekspor baja, maka kami berkewajiban menegakkan kendali untuk menjamin bahwa kebutuhan dasar untuk baja dipenuhi di negeri kami. Bila kami hendak menjamin pangan terhadap penduduk kami, bagaimana kami akan menghindari kelangkaan palsu bila rantai distribusinya ada di tangan oligarki Venezuela? Tidak ada cara lain untuk melakukan ini, karena tidak ada oligarki yang berjiwa besar. Kapitalis adalah kapitalis, bila mereka melihat ada spekulasi global terhadap pangan, mereka bisa merebut susu dari seorang anak Venezuela demi berspekulasi untuk susu itu, atau mengambil jagung agar dapat menjualnya untuk memproduksi bahan bakar organik (biofuels)

Venezuela mengimpor 90% pangannya

Pada tahap ini, kami mencoba mempengaruhi kendali terhadap produksi elemen produksi terbesar dan terpenting untuk merencanakan pembangunan ekonomi kami dan memenuhi kebutuhan kami, sehingga itu tidak dijalankan dengan logika kapitalisme yang global atau untuk mengabdi pada kepentingan tertentu. Seperti yang saya katakan, dalam banyak segmen ekonomi, keberadaan borjuasi nasional bahkan tak eksis. Contohnya, kami mengimpor 90% pangan kami. Latifundios (pemilik tanah yang besar, pen.) menguasai sebagian yang cukup besar dari tanah kami. Tak lama sebelumnya, kami katakan kepada pengusaha sektor agrikultur bahwa di sini pembangunan kapitalisme bahkan tidak dimungkinkan – dan apalagi sosialisme – karena bentuk-bentuk feodal masih eksis.

Tak ada yang tertarik bekerja di pedesaan karena semuanya hidup dari petroleum. Dengan tersedianya uang yang cukup untuk mengimpor pangan, kenapa kami menyerang latifundio dan membudidayakan lahan. Para latifundistas yang hidup dari rente petroleum memiliki ratusan ribu hektar lahan yang mereka gunakan untuk berlibur, memancing atau berburu. Rockefeller, atau ayahnya Bush, datang kemari untuk memancing di sungai-sungai kami, untuk menikmati pemandangan di sebuah negeri yang ekonominya sangat terdistorsi dan terbelakang dalam perkembangannya.

Sosialisme, suatu persoalan kedaulatan

Sebagaimana dapat Anda pahami, persoalan sosialisme di Venezuela berjalan melalui suatu persoalan nasional, kedaulatan negeri ini. Dibutuhkan suatu rencana dasar yang memungkinkan kami menciptakan kondisi untuk membangun sosialisme. Bila kami tidak mengendalikan industri petroleum, bila kami tidak mengontrol sumber daya alam atau rente yang diproduksi, bahkan dengan semua niat baik di dunia, kami tak dapat sedikitpun mencoba membangun sosialisme. Tapi kami memiliki itu sekarang.

Tentunya, dengan rakyat yang berada dalam kondisi memprihatinkan dalam wilayah sosialnya, dalam pendidikan, dalam kesehatan, kami bahkan tidak dapat berpikir untuk membangun sosialisme. Ini berjalan melalui suatu rangkaian permasalahan fundamental yang akan memungkinkan kami mengartikulasikan suatu sistem produktif dan distributif yang bersifat sosialis. Dan ada juga permasalahan definisi politik. Ini adalah persoalan yang sangat penting karena terdapat banyak kebingungan – tentang permasalahan sosialisme – tidak hanya di Venezuela, tapi juga di penjuru dunia. Banyak kaum kiri bahkan telah menyangkal kemungkinan membangun sosialisme. Untuk mengusulkannya sebagai suatu panji, suatu tujuan politik, sebagaimana telah kami lakukan di Venezuela, merupakan suatu kemajuan programatik besar; dengan masih adanya kelangkaan definisi, pemikiran progresif sekali lagi mulai memikirkan tentang suatu sosialisme di abad 21.

Sebuah paham sosialis baru

Paham politik tidak dapat dibangun atas ketiadaan, ia harus didirikan di atas basis kontribusi yang dilakukan oleh pengalaman lainnya, yang sukses maupun juga yang kurang sukses. Dalam basis inilah kami harus membangun suatu paham sosialis yang baru.

Di Venezuela kami berada dalam suatu pertempuran yang mendasar dan krusial: menyelamatkan kedaulatan kami dan mengembalikan penggunaan sumber daya alam kepada bangsa ini. Perjuangan ini berjalan melalui upaya mempertahankan hak-hak rakyat Venezuela untuk menentukan nasibnya dengan tujuan bergerak menuju sosialisme. Tentunya, ini bukanlah menanti hingga segalanya terselesaikan untuk mulai membangun sosialisme, karena ini dapat berpotensi membawa kita ke arah mana pun. Kami telah mengambil langkah maju dalam wilayah ekonomi. Adalah fundamental bagi kami untuk menciptakan basis ekonomi demi mempertahankan dukungan yang diberikan rakyat terhadap proposal sosialis Presiden Chavez. Bila kami tidak berhati-hati, kami akan berakhir dengan pembangunan sosialisme yang tenggelam dalam kapitalisme. Struktur yang ada ketika chavismo naik ke kekuasaan masihlah bercokol, banyak dari mereka masih utuh. Problem utama kami adalah bagaimana memberikan pukulan terhadap struktur-struktur ini, mereformasi mereka, dan dalam beberapa kasus, menyingkirkan mereka, menciptakan struktur-struktur baru.

Untuk memperjuangkan sosialisme, dalam kapitalisme, sangatlah sulit, karena nilai-nilai dan hubungan-hubungan kapitalis masih ada, mereka mempengaruhi dan menekan kita. Bila kami membuat kesalahan, mereka mereproduksi diri. Inilah kenapa diskusi sosialisme di Venezuela harus mempertimbangkan bahwa proses ini masihlah permulaan, dan masih harus disertai praktek-praktek yang intensif.

Kami telah memiliki capaian-capaian penting, tapi kami juga telah melakukan kesalahan yang tidak sedikit. Revolusi kami masih harus kritis terhadap diri sendiri, mendiskusikan dengan keloyalan tinggi permasalahan kesatuan aksi, melihat dan menganalisa bagaimana memperbaiki diri dan maju lebih cepat, mengawal Presiden Chavez, yang merupakan pemimpin proses ini.

——————————————————————————————————-
Diterjemahkan dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Federico Fuentes
Dimuat dalam Links International Journal of Socialist Renewal pada 21 Juli 2008
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org

Negeri Non-Blok Dukung Proposal Venezuela Untuk Media Alternatif Dunia

James Suggett

6 Juli 2008 – Venezuelanalysis.com

Minggu lalu, negara-negara Non-blok sepakat mendirikan suatu sistem berita, radio, dan tukar-informasi (information-sharing) untuk menghubungkan dan mewakili negeri-negeri di Selatan Dunia.

Merida, 5 Juli, 2008 (venezuelananlysis.com) — Pada Konferensi Menteri-Menteri Informasi Gerakan Negara-Negara Non-Blok yang digelar di Pulau Margarita, Venezuela, minggu lalu, lebih dari 80 delegasi berbagai negeri mendukung proposal Venezuela untuk menciptakan suatu jaringan media alternatif sedunia.

Continue reading “Negeri Non-Blok Dukung Proposal Venezuela Untuk Media Alternatif Dunia”

Ada Dunia Lain di Luar sana*

Oleh Rulan

“Gimana kesan kalian setelah menonton film NO VOLVERAN ini ? “, tanya Mas Farid Gaban, pemimpin majalah Madina,dan juga pernah jadi redaktur di Majalah Tempo.

Langsung saya jawab:

“Saya terpana, Mas. Ternyata sosialisme bukan utopia ya, bisa diaplikasikan dengan contoh kasus di Venezuela ini”.

Ya benar, film dokumenter buatan handoffvenezuela, sebuah LSM yang mendukung independensi Venezuela dari campur tangan imperialism asing ini benar-benar menggambarkan betapa kekuatan dan persatuan rakyat Venezuela bisa mengusir campur tangan AS dan sekutunya via perusahaan multinasionalnya. NO VOLVERAN adalah film dokumenter yang menyajikan pengalaman empiris Venezuela dalam mewujudkan apa yang Chavez sebut dengan “Sosialisme abad 21?. Film yang disutradarai Melanie Mc Donald ini menyajikan satu model pendidikan politik dalam bentuknya yang populer. Meski berkisah sejarah ringkas Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, film ini menekankan aktivisme masyarakat Venezuela tentang bagaimana paham Sosialisme dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di kawasan kumuh perkotaan, gang-gang kecil, dan pabrik-pabrik. Momen kebangkitan masyarakat menentukan model ideologi untuk kesejahteraannya.

Saya terkesan dengan system komunitas yang muncul dari karsa dari bawah yang diterapkan di sana, di tiap kelompok masyarakat di sana dibentuk organisasi mandiri yang pengurusnya dari kalangan masyarakat itu sendiri, mereka membuat radio komunitas sendiri untuk saling berkomunikasi, mereka menentukan apa kebutuhan mereka dan melaporkannya ke dewan yang lebih tinggi untuk mendapatkan dana pemerintah untuk memenuhi kebutuhan mereka tersebut. Mereka punya slogan “DON’T WATCH TV, MAKE IT! “, maka tumbuhlah beberapa stasiun TV komunitas yang berisi acara acara dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Dengan begitu propaganda asing via RCTV dan Globalvision milik perusahaan multinasional asing jadi tidak berguna lagi. Itulah kenapa ketika Hugo Chaves gagal diturunkan oleh para kaum borjuis Venezuela yang bersekutu dengan AS tahun 2002, Hugo Chaves didukung rakyat! Propaganda asing di TV-TV besar tidak mempan untuk membuat rakyat membenci Sang Commandante.

Saya pun kaget ternyata di banyak negara latin khususnya di Kuba dan Venezuela, pelayanan kesehatan dan pendidikan begitu baik, APBN untuk kedua bidang ini sangat besar alokasinya, maka tidak aneh tingkat melek huruf di Negara Fidel Castro dan Hugo Chaves mencapai 100 % ! Anda akan kaget ketika melihat seorang ibu rumah tangga biasa mampu berbicara politik sekualitas aktivis di Indonesia. Mereka menolak pendapat Fukuyama bahwa setelah runtuhnya soviet telah terjadi The End Of History karena hanya system kapitalis yang bisa mengatur dunia. Rakyat Venezuela tanpa banyak teori bisa membuktikan bahwa system sosialisme yang identik dengan kontrol rakyat terhadap Negara pun bisa sejalan dengan demokrasi.

Nasionalisasi perusahaan yang menjadikan komposisi kepemilikan saham menjadi 49% untuk buruh yang bekerja di tempat itu dan 51% untuk pemerintah ternyata bisa diterapkan. Buruh- buruh ternyata bisa juga mengambil alih tugas pemilik, insinyur dan administrator ketika dilatih dengan benar.Mereka lah yang menjalankan perusahaan minyak Venezuela ketika terjadi pemogokan para teknisi dan insinyur sebagai wujud

sabotase mereka guna menggulingkan Hugo Chaves tahun 2002. Sejak saat itu para buruh kalangan kelas bawah lah yang menjadi tulang punggung perusahaan selanjutnya, dan itu pasti karena pendidikan yang baik di sana, sehingga seorang buruh kecil pun dengan mudah dilatih menjadi teknisi, lagi- lagi masalah tingkat pendidikan kan ? Dengan nasionalisasi ini para buruh pun menjadi jauh lebih sejahtera karena memiliki saham di perusahaannya.

Anda pun mungkin akan takjub melihat distribusi makanan bergizi bisa tersebar merata di sana, dengan sistem komunitas tersebut, para aktivis di kalangan mereka mengatur distribusi itu dari pemerintah. Mungkin hanya di Venezuela ada produk makanan yang dibungkus dengan kemasan berisi konstitusi Negara! Anda pun akan kaget ketika masyarakat kecil bergotong royong memperbaiki saluran air mereka dibantu dengan para teknisi yang dibayar pemerintah sehingga masalah urbanisasi dan tata kota menjadi terselesaikan dengan karsa dari bawah. Sekali lagi ini nyata dan bukan teori, Brur !

Saya lalu teringat dengan negara ini, banyak sekali tokoh pergerakan kita yang berpaham sosialisme, ada Bung Hatta dan Bung Syahrir sebagai ikonnya. Bung Hatta yang identik dengan Bapak Koperasi Indonesia tentu tidak menginginkan koperasi hanya sekedar sebagai unit simpan pinjam dan arena mengeruk keuntungan oknum pengurusnya. Kondisi Indonesia dan Venezuela banyak kesamaan, masalah privatisasi perusahaan nasional yang dikuasai pihak asing, masalah kemiskinan, masalah korupsi juga dihadapi Venezuela sebelum era Hugo Chaves. Negara dikontrol oleh oligarkhi kaum borjuis yang menguasai media, dan sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak juga dihadapi oleh rakyat Venezuela di jaman Perez, presiden sebelum Hugo Chaves.

Selama ini kita selalu mengidentikkan sosialisme dengan komunisme, padahal dua paham ini sebenarnya berbeda, komunisme biasanya menafikkan demokrasi, Negara dikontrol oleh satu partai politik dominan, dan Negara hanya dikuasai oleh segelintir elit, jadi komunisme identik dengan oligarkhi memang. Sedangkan sosialisme tidak, mereka membolehkan sistem mulipartai, rakyat mengontrol Negara sepenuhnya dan social expense untuk pendidikan dan kesehatan di Negara sosialisme biasanya besar. Orde Baru memang telah membuat bangsa kita membenci sosialisme, mendegradasi Marxisme dan menganggap paham ini anti Tuhan. Hugo Chaves sering mengutip teologi pembebasan yang ada di bible dalam melancarkan promosi sosialismenya. Film ini membuka mata kita untuk membuka kembali pemikiran para tokoh sosialis Indonesia, betapa Bung Hatta dan HOS Cokroaminoto yang sangat shalih keislamannya pun merupakan pendukung sosialisme. Jadi mau kemana kau, Indonesia ?

____________________________

*Disadur dari www.apakabar.ws


Alan Woods akan hadir dalam acara bedah buku tanggal 1 Juli di Caracas

Jesus SA – HOV Indonesia

Pendiri kampanye internasional Hands Off Venezuela dan pimpinan International Marxist Tendency, Alan Woods, akan hadir dalam bedah buku yang berjudul Reform or Revolution, Marxisme and Socialism of the twenty-first century, a response to Heinz Dietrich, dalam acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Marxis Revolusioner tanggal 1 Juli 2008 di hotel ALBA, Caracas.

Buku yang akan dibedah ini merupakan respon kritis atas gagasan Heinz Dietrich, Sosialisme Abad 21, yang telah tersiar ke seluruh Amerika Latin. Gagasan tentang sosialisme abad 21 ala Heinz Dietrich ini, menurut Alan Woods, merupakan gagasan yang usang dan utopis, yang beberapa tahun lalu telah dijawab oleh Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky.

Dalam buku ini, Alan Woods memberikan analisis yang mendalam atas gagasan-gagasan Heinz Dietrich dan menunjukkan kekeliruan-kekeliruannya. Buku ini juga merupakan aplikasi praktis dari materialisme dialektik dan respon atas tindakan kaum reformis yang hanya akan menyumbat arus gerakan revolusioner dan program-program sosialisme.

Buku Alan Woods ini memuat beberapa bagian: Filsafat dan ilmu pengetahuan; Materialisme historis, ekonomi, sosialisme ilmiah atau utopis; Sosialisme atau Stalinisme; Masa depan revolusi Kuba; Sosialisme atau internasioanalisme; Negara dan Revolusi; dan yang terakhir, Revolusi Venezuela. Ini merupakan versi update karya puncak dari Marxisme, Anti-Duhring, dimana Engels juga pernah memberi respon terhadap seseorang yang mengklaim telah menemukan sesuatu yang baru dan menganggap rendah potensi dan perjuangan kaum pekerja.



Marxisme dan Masa Depan Revolusi Bolivarian

Oleh : Jesus S. Anam

Terpilihnya para kandidat walikota dan gubernur dari Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) telah menyita perhatian seluruh gerakan revolusioner di Venezuela akhir-akhir ini. Ini menunjukkan bahwa rakyat dan kaum pekerja masih tetap kokoh berdiri guna menyelamatkan revolusi.

Survei yang dilakukan oleh Venezuelan Institute for Data Analysis (IVAD) baru-baru ini juga menunjukkan bahwa gelombang massa yang besar masih tetap berada di barisan depan sosialisme. Dukungan atas kebijakan Chavez dan langkah-langkahnya dalam melawan kapitalisme, seperti nasionalisasi pabrik Sidor dan pabrik-pabrik lain, mencapai sekitar 68%. Nasionalisasi di beberapa pabrik semen: setuju 56.0%; tidak setuju 33.3%; abstain 16.0%. Dan mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor makanan: setuju 50.1%; tidak setuju 42.1%; abstain 7.8%.

Dari hasil survei ini kita bisa melihat bahwa ada suatu lompatan yang luar biasa, yakni terjadi pengambilalihan monopoli-monopoli besar — sebuah lompatan kesadaran yang tinggi dari rakyat dan kaum pekerja. Data ini juga memberi gambaran bahwa ada situasi yang luar biasa bagi rakyat Venezuela untuk menuju kedamaian yang sempurna — sosialisme. Situasi seperti ini telah cukup memberi pembenaran bagi Chavez untuk mengeluarkan kebijakan mengenai nasionalisasi berbagai sektor bisnis: perbankan, monopoli-monopoli besar, dan tanah-tanah industrial. Dengan dasar ini, rencana-rencana demokratik bisa diimplementasikan, seluruh perekonomian Venezuela akan berada di bawah kontrol rakyat dan kaum pekerja; seluruh rakyat dan kepemimpinan revolusioner mengambil kontrol atas ekonomi-ekonomi kunci dan mengorganisir ekonomi-ekonomi kunci tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, dan bukan untuk kepentingan segelintir golongan, yakni kaum modal.

Ini merupakan buah terakhir dari penderitaan kaum miskin dan kaum pekerja di Venezuela.

Sebuah kekeliruan yang cukup fatal jika percaya bahwa sosialisme bisa dibangun dengan bertahap, melakukan kompromi-kompromi dengan kaum reformis, dan memberi kelonggaran kepada kaum modal. Gagasan yang mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting, bahwa negara yang kuat bisa menggiring dan menstimuli sektor swasta, tidak ada dalam sosialisme. Gagasan ekonomi seperti ini didasarkan pada pikiran ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes, dan terbukti mengakibatkan kesengsaraan dan memimpin letupan inflasi ke seluruh dunia.

Kaum reformis dan sektor-sektor birokratik di Venezuela mencoba membangkitkan kembali kebijakan Keynesian dari kuburnya. Menghidupkan lagi gagasan mengenai ekonomi campuran, bahwa majikan dan pekerja bisa bersama bekerja membangun sosialisme. Sektor-sektor ini yang akan menekan pemerintahan revolusioner ke arah kanan, memainkan terompet bernada sumbang dan membangkitkan kebingungan mengenai sosialisme, yakni sosalisme yang tidak jelas, jenis kolaborasi antara penunggang kuda dengan kuda tunggangan. Kebijakan tipe ini membawa kepada ledakan inflasi hingga 30 % di Venezuela. Jika mereka, yang berada di sektor birokratik, memaksakan garis politik seperti ini guna mempertahankan dan meindungi kawan-kawannya, yakni kaum modal, mereka akan membawa revolusi Bolivarian menuju jurang ngarai yang amat dalam.

Untuk mematahkan arus yang akan memnghanyutkan revolusi, perlu membangun aliansi yang kuat dari gerakan-gerakan politik Bolivarian dengan gagasan-gagasan yang benar. Tindakan Hugo Chavez debngan membaca buku karya Alan Wood, Bolshevism: Road to the Revolution, merupakan contoh dari kejeliannya untuk mencari gagasan yang tepat guna mengeluarkan Venezuela dari ancaman kaum reformis. Buku Reform or Revolution, Marxisme and Socialism of the twenty-first century, a response to Heinz Dietrich akan berkontribusi besar untuk melawan ide-ide kaum reformis seperti Dietrich dan saatnya mengembalikan ide-ide genuine dari sosialisme ilmiah, atau Marxisme.

Salam Solidaritas!

HOV-Indonesia Merangkul Para Seniman Muda Bogor

HOV-Indonesia

Pergerakan politik di Venezuela dan Amerika Latin ternyata tidak hanya diminati dan diperhatikan oleh kalangan aktivis buruh, mahasiswa dan gerakan-gerakan politik revolusioner, tetapi juga diminati dan didiskusikan oleh para pemusik dan para pecinta seni di kota Bogor. Tanggal 7 Juni lalu Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia, Jesus S. Anam, secara khusus diundang oleh para pemusik dan pecinta seni yang menamakan diri “Libertan” untuk menghadiri acara “sore santai” mereka sambil berdiskusi tentang perkembangan politik di Venezuela dan Amerika Latin.

“Diskusi politik sambil minum kopi, makan gorengan, bercanda dan santai, ternyata asyik,” kata Ryan, ketua kelompok tersebut.

Libertan adalah kumpulan para seniman muda jalanan yang ingin mandiri dengan melakukan aktifitas-aktifitas produktif yang bisa menghasilkan uang dengan menciptakan karya-karya kreatif di bidang seni. Selain melakukan aktifitas-aktifitas yang terkait dengan seni, Libertan juga aktif, setiap bulan sekali, mengadakan diskusi tentang politik. “Bagi kami yang merasa terpinggirkan ini,” kata salah seorang anggota Libertan “berkesenian sama halnya dengan berpolitik. Dan kami sedang mendengar ada pergerakan rakyat yang mampu menciptakan revolusi, di Venezuela”

Jesus S. Anam dalam acara diskusi santai ini banyak mengulas tentang pentingnya bersolidaritas dengan Revolusi Bolivarian dan gerakan-gerakan rakyat di Amerika Latin. Karena dengan berdirinya bangunan sosialisme yang kokoh di kawasan ini, akan bisa membantu memperkokoh gerakan-gerakan rakyat revolusioner di kawasan-kawasan lain, termasuk Asia.

Di akhir acara diskusi, antara Libertan dan HOV-Indonesia bersepakat mengadakan diskusi lanjutan guna memperluas pemahaman tentang sosialisme di kalangan para seniman jalanan yang ada di kota Bogor.

KTT Amerika Latin Hadapi Krisis Kelaparan

Oleh Berta Joubert-Ceci

Mei 15, 2008 10:36 PM

http://www.workers. org/2008/ world/hunger_ crisis_0522/

Dengan tema “Kedaulatan dan Keamanan Pangan: Pangan untuk Kehidupan,” delegasi dari 15 negeri bertemu di Managua, Nikaragua, pada 7 Mei untuk mendiskusikan rencana dan strategi menghadapi krisis kelaparan serius yang melanda rakyat Amerika Latin dan Karibia

KTT presiden ini adalah hasil dari pertemuan darurat 23 April antara empat dari lima negeri ALBA (Alternatif Bolivarian bagi Rakyat Amerika Kita) yang dilangsungkan di Caracas, Venezuela. Saat itu, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Nikaragua Daniel Ortega, dan Wapres Kuba Carlos Lage bertemu dengan Presiden Hugo Chavez untuk menandatangani persetujuan khusus yang akan mengembangkan sektor-sektor pertanian dan industri untuk meningkatkan produksi biji-bijian seperti nasi dan jagung, kacang-kacangan yang mengandung minyak, daging dan susu. Menurut Prensa Latina, “Persetujuan yang dicapai oleh negeri anggota ALBA juga mendorong pembentukan jaringan komersialisasi pangan dan menyertakan komitmen bersama untuk menggalang dana sebesar $100 juta sebagai modal awal yang membuka jalan bagi implementasi program dan perencanaan bagi inisiatif tersebut.”

Namun, karena pada dasarnya ALBA adalah suatu integrasi dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Amerika Latin dan Karibia, dibutuhkan sebuah KTT yang lebih besar untuk mengatasi krisis pangan saat ini.

KTT di Managua pada 7 Mei ini dihadiri oleh delegasi dari Bolivia, Ekuador, Kostarika, Honduras, Haiti, St Vincent dan Grenadines, Kuba, Venezuela, El Salvador, Guatemala, Belize, Panama, Republik Dominika, Meksiko dan Nikaragua. Terdapat juga perwakian dari Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) PBB, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika, Program Pangan Dunia PBB, UNICEF, PARLACEN (Parlemen Amerikat Tengah) dan PARLATINO (Parlemen Amerika Latin).

Pidato pembukaan dari masing-masing negeri mengedepankan berbagai keprihatinan dan proposal mengenai krisis itu, tapi juga secara terang-terangan menunjuk pada kebijakan negeri imperialis sebagai biang kerok bencana tersebut. Jaringan televisi TeleSUR meliput rapat tersebut.

Ralph Gonsalves, perdana menteri St Vincent dan Grenadines, dengan piawai menyatakan butuhnya menyertakan perikanan dalam diskusi-diskusi agrikultur dan pangan, dengan menunjukkan bahwa negeri kepulauan kecil seperti negerinya tak memiliki ruang untuk memelihara ternak dan lebih bergantung pada ternak kecil dan hasil laut, tapi pemanasan global mempengaruhi penangkapan ikan, karena ikan-ikan cenderung berpindah lebih dalam ke laut. Ia menyimpulkan, “Saya tak melihat Amerika membantu kami, atau Eropa, dan faktanya, sering kali ketika membawa program diversikasi, produksi agrikultur, dsb, mereka meneruskan penipuan terhadap rakyat, mereka mengangkat harapan rakyat dan hanya memberikan sedikit hal.

Wapres Lage dari Kuba merangkum basis ril dari krisis yang terjadi saat ini: “Inti dari krisis ini bukan pada fenomena akhir-akhir ini, tapi pada distribusi kekayaan yang tak sama dan tak adil di tingkat global, dan juga pada model ekonomi neoliberal yang tak dapat dipertahankan, yang diterapkan secara tak bertanggungjawab dan fanatik selama 20 tahun belakangan ini.”

Presiden Ortega yang memimpin pertemuan itu menyampaikan krisis kelaparan melalui fakta-fakta: “Data dari organisasi internasional memberitahukan kita bahwa dalam tiap 5 detik seorang anak di bawah 10 tahun meninggal karena kekurangan gizi, karena kelaparan. Dalam tiap menit yang kita gunakan untuk berbicara di sini, bertukar ide tentang permasalahan ini, 12 anak meninggal. Dan dalam tiap jam, 720 anak di bawah 10 tahun meninggal karena kelaparan!”

Deklarasi akhir yang ditandatangani oleh 12 negeri menolak subsidi di negeri-negeri maju dan perdagangan tak adil yang berdampak bagi negeri-negeri kurang berkembang. Mereka juga menolak penggunaan pangan untuk bahan bakar organik (biofuel). Diusulkan pula suatu Rencana Aksi yang detil untuk membantu penguatan ekonomi dan produksi pangan yang berkelanjutan di negeri-negeri tersebut. Disetujui juga sebuah proposal dari Meksiko, yang menyumbangkan diri untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi tentang teknologi pada akhir Mei.

Pertemuan lain tentang isu tersebut berlangsung di Amerika Latin. Agen Berita Kuba (ACN) melaporkan bahwa lebih dari 100 perwakilan dari 30 negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia berpartisipasi dalam suatu konferensi tentang malnutrisi anak-anak di Santiago de Chile pada tanggal 6 Mei. Pada 16-17 Mei, KTT Uni Eropa-Amerika Latin dan Karibia (EU-LAC) akan digelar di Lima, Peru. Tema utamanya adalah “Kemiskinan, ketaksetaraan dan inklusi” dan “Pembangunan Berkelanjutan: lingkungan hidup, perubahan iklim dan energi.” Pada KTT presiden tanggal 7 Mei, diputuskan bahwa krisis pangan akan diangkat dalam (EU-LAC) dan semua pertemuan internasional lainnya ke depan.

Kaum Imperialis mengadakan rapat tertutup

Sembilan hari sebelum KTT Managua, pada 28 April, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia Josette Sheeran dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengadakan rapat tertutup di Berne, Swiss, dengan Sekretaris-Jendral PBB Ban Ki-moon dan eksekutif dari 27 agen PBB untuk mendiskusikan kenaikan harga pangan dan pergolakan di 37 negeri akibat kelaparan ekstrim.

Menurut ACN, Ban meminta dana bantuan sebesar $2.5 milyar untuk membantu memerangi krisis pangan dunia saat konferensi pers di Berne pada 22 April

Apakah solusi Zoellick terhadap krisis pangan? Menunjukkan kepentingan kelasnya yang sesungguhnya, ia menyerukan agar ekspor hasil produk minyak tidak dibatasi.

Bagaimana kaum imperialis dapat menyelesaikan krisis yang mereka ciptakan? Sebagaimana dinyatakan oleh Via Campesina, organisasi tani masyarakat asli dan petani kecil di seluruh dunia, dalam suatu dokumen berjudul “Jawaban terhadap Krisis Pangan Global” (www.viacampesina. org), kebijakan neoliberal telah menghancurkan kapasitas negeri-negeri untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Meskipun menyinggung tentang bahan bakar organik dan pemanasan global yang mempengaruhi panen dan menyebabkan krisis pangan, mereka memandang absennya kedaulatan pangan sebagai penyebab utamanya: “Krisis ini juga merupakan hasil dari bertahun-tahun kebijakan destruktif yang telah memberantas produksi pangan domestik. … Petani terpaksa memproduksi hasil perkebunan (cash crops) bagi korporasi transnasional (TNCs) dan membeli makanan mereka dari pasar dunia.”

Artikel itu menunjukkan contoh Meksiko, yang, setelah NAFTA, beralih dari negeri pengekspor jagung jadi menggantungkan 30 persen jagungnya dari impor AS. Walau demikian, karena kini jagung dari AS semakin banyak digunakan untuk bahan bakar, maka keberadaannya semakin berkurang di Meksiko. Disinggung juga kasus Indonesia, yang pada 1992 jumlah produksi kedelainya cukup untuk memenuhi konsumsi pangan pokok domestik untuk tahu dan tempe. Setelah membuka pintunya terhadap kebijakan neoliberal, kedelai murah dari AS membanjiri pasar dan menjatuhkan produksi domestik. Enam puluh persen kini diimport dari AS dan harganya meningkat dua kali lipat.

Maka, tanpa kemampuan memproduksi pangan sendiri akibat resep neoliberal, dikombinasikan dengan perubahan iklim secara drastis, negeri-negeri miskin menjadi korban spekulasi pasar pangan dan pengalihan produksi pangan menjadi bahan bakar organik. Sementara konsumsi pangan mungkin sebesar 10 hingga 20 persen dari penghasilan perorangan di kebanyakan negeri maju, di Dunia Ketiga angka tersebut mencapai 60 hingga 80 persen. Dan produk yang paling terkena dampak krisis saat ini adalah makanan pokok rakyat miskin, seperti nasi dan jagung.

Tidaklah mengherankan bila massa telah bangkit melawan di Meksiko, Indonesia, Yaman, Filipina, Kamboja, Maroko, Senegal, Uzbekistan, Guinea, Mauritania, Mesir, Kamerun, Bangladesh, Burkina Faso, Pantai Gading, Peru, Bolivia dan Haiti.

Haiti pantas mendapat perhatian khusus, karena negeri itu salah satu yang termiskin di Bumi di mana keserakahan genosidal korporasi transnasional terlihat secara jelas dan terang-terangan. Delapan puluh persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan 54 persen dalam kemiskinan ekstrim. Menurut Servicio Paz y Justicia en America Latina, “Dua puluh tahun lalu Haiti memproduksi 95 persen beras yang dikonsumsi rakyatnya; kini ia mengimpor 80 persen produk tersebut dari AS.” (www.serpajamerical atina.org)

Kelaparan ekstrim di Haiti telah memaksa rakyat untuk memberi makan anak-anak mereka dengan kue “Pica” yang terbuat dari lumpur, suatu pengobat lapar yang beracun. Dalam Cite-Soleil, kue tersebut dibuat dari lumpur kuning dari dataran tinggi di pedalaman negeri tersebut, yang dicampur dengan garam dan minyak. Dibutuhkan biaya sebesar $5 untuk membuat 100 kue, namun dengan harga demikian pun, banyak rakyat Haiti tak mampu membeli kue yang terbuat dari lumpur! Kue itu bisa mengisi perut anak-anak, tapi lumpurnya juga mengandung parasit dan bahan-bahan yang berpotensi mematikan.

Kuba dan Venezuela telah bertindak untuk menolong rakyat Haiti. Venezuela, diantaranya, mengirim 600 ton pangan pada 13 April dan 50 truk pertanian. Kuba telah menyediakan perawatan kesehatan bagi lapisan masyarakat yang termiskin, yang tak memiliki akses terhadap dokter. Selama lima tahun, 400 dokter Kuba telah bekerja di Haiti; dan 600 pelajar Haiti belajar kedokteran di Kuba. Menurut Presiden Haiti Rene Preval, bagi rakyat Haiti “Setelah Tuhan, ada dokter Kuba.”

Rakyat kelaparan sementara korporasi pangan tumbuh subur

Dalam pernyataan pers pada 14 April, raksasa pangan AS Cargill melaporkan “pendapatan bersih sebesar $1.03 milyar dalam kwartal ketiga tahun 2008 yang berakhir pada 29 Feb., naik 86 persen dari $553 juta dalam periode sama setahun lalu. Pendapatan dalam sembilan bulan pertama bertotal $2.9 milyar, suatu kenaikan sebesar 69 persen dari $1.71 milyar pada tahun lalu.” (www.cargill. com)

Pernyataan tersebut menyebutkan: “Cargill mencatat tiga kwartal yang kuat secara berturut-turut dalam setahun ketika dimensi perubahan dalam pertanian global sangat mencolok,” kata Greg Page, ketua dan pejabat kepala eksekutif Cargill. “Permintaan pangan di ekonomi berkembang dan permintaan enerji di dunia meningkatkan permintaan barang-barang pertanian, pada saat yang sama investasi moneter mengaliri pasar-pasar komoditas. Relatif terhadap permintaan, stok biji-bijihan dunia saat ini adalah pada tingkat terendah dalam 35 tahun. Harga-harganya mencapai ketinggian baru dan pasar-pasarnya luar biasa rentan.”

Monsanto, perusahaan AS lainnya, juga melaporkan keuntungan besar. Dalam suatu berita pada 6 Mei, perusahaan tersebut menyatakan: “Sebagai perusahaan teknologi di pertanian, kami memiliki kesempatan unik karena teknologi kami menciptakan nilai jual bagi petani pelanggan kami tanpa mempedulikan tanaman apa yang mereka budidayakan, di mana mereka akhirnya menjual bijih-bijihan mereka, atau berapa harga jual bijih-bijihan itu di pasar komoditas. … Perkembangan pendapatan Monsanto yang kuat terus tercermin dalam pembayaran dividen. Monsanto telah meningkatkan dividennya enam kali – suatu peningkatan sebesar 200 persen – sejak 2001.” (www.monsanto. com)

Monsanto adalah biang kerok di balik benih rekayasa genetik (genetically engineered seeds) yang membanjiri dan menghancurkan pertanian di negeri-negeri Dunia Ketiga, membuat mereka bergantung pada benih-benih dan produk Monsanto.

____________________________

Diterjemahkan oleh Data Brainanta

Hands Off Venezuela – Indonesia Mendukung Aksi Front Pembebasan Nasional (FPN)

Oleh Jesus S. Anam

Hands Off Venezuela – Indonesia

Jakarta, 21 Mei 2008

Lagu Internationale mengalun berulangkali, mengiringi resah ribuan kaum buruh dan miskin kota yang tergabung dalam Front Pembebasan Nasional (FPN) dalam aksi menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. FPN menuntut pemerintah agar menggagalkan kenaikan harga BBM, menurunkan harga bahan-bahan pokok, dan mengambil alih perusahaan-perusahaan Migas dari tangan kaum modal dibawah kontrol rakyat. FPN juga mengutuk pemerintahan SBY-JK sebagai antek kaum modal yang menghabiskan kekayaan alam negeri ini hingga terjadi krisis energi.

Merdeka memang tidak mudah. Sudah enam puluh tiga tahun merdeka dan sudah sepuluh tahun pula lepas dari otoritarianisme Soeharto, ternyata tidak cukup berarti bagi rakyat. Rakyat tetap miskin dan sengsara. Rakyat tetap menjadi gelandangan di negeri sendiri. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM hingga 30 % nanti merupakan bukti bahwa rakyat di negeri yang kaya ini belum merdeka, karena masih hidup dibawah penjajahan. Dan penjajahan kali ini lebih mengerikan dari sebelumnya: penjajahan kaum modal.

Alasan pemerintah menaikkan harga BBM karena Beban Anggaran Negara megalami defisit oleh sebab kenaikan harga minyak dunia sangatlah lucu. Defisit Anggaran Negara lebih disebabkan pembayaran hutang luar negeri yang besarnya bisa mencapai 150 trilyun rupiah per tahun. Selain itu, domonasi modal asing atas perusahaan-perusahaan minyak dan gas di Indonesia yang menjadi penyebab utama kebangkrutan negeri ini. Hasil minyak Indonesia oleh mereka (kaum modal) dijual di pasar internasioanal. Penjualan ke dalam negeri dibatasi hanya 25 % x (15 % x total produksi), dan pemerintah Indonesia harus membeli dengan harga internasional (itupun) setelah selama 60 bulan Modal Internasioanal dibebaskan menjual semua hasil produksinya ke pasar internasional.

Sekalipun Indonesia memiliki sedikitnya 329 blok/sumber minyak dan gas dengan lahan seluas 95 juta hektar, dengan cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 300 milyar barel, dan produksi minyak mentah mencapai 1 juta barel perhari atau 159 juta liter per hari, sangatlah tidak berarti dan tidak berpengaruh bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika Minyak Mentah Indonesia bisa diolah sendiri sehingga tidak perlu mengolahnya di luar negeri dan dikembalikan lagi oleh para pemilik modal, para pedagang minyak, ke Indonesia dengan harga tinggi.

Kenyataan yang sudah parah ini perlu diatasi dengan membangun kekuatan-kekuatan politik ditingkat basis rakyat, terutama kaum buruh dan miskin kota, dengan agenda merebut kekuasaan yang berada di tangan politik elit; membangun kepemimpinan revolusioner yang berasal dari rakyat dan membangun barisan garda depan yang solid. Selain itu, melandaskan perjuangan pada ideologi yang revolusioner, progresif dan mapan adalah agenda yang terpenting guna mewujudkan cita-cita revolusi. Keberanian dan keberhasilan Castro di Kuba, Hugo Chavez di Venezuela, dan Evo Morales di Bolivia tidaklah lepas dari kekuatan ideologi yang menyertainya. Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai Venezuela misalnya — kedaulatan politik dan ekonomi, partisipasi rakyat grassroot dalam politik via pemilihan umum dan referendum, kemandirian secara ekonomi, semangat patriotisme, distribusi hasil kekayaan minyak yang merata, dan penghapusan korupsi — merupakan kesatuan yang kuat dari kepemimpinan revolusioner, garda depan yang solid, kesadaran politik rakyat, dan ideologi revolusioner progresif yang menyertainya. PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela), partai yang dibangun Chavez bersama rakyat, tidak hanya mengadopsi dari Simon Bolivar, Miranda, Ezequiel Zamora, tetapi juga dari Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky.

Aliansi organ-organ kiri yang tergabung dalam Front Pembebasan Nasional secara eksplisit telah sepakat bahwa sosialisme adalah satu-satunya jalan menuju revolusi Indonesia. Massa dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) yang banyak membentangkan spanduk bertuliskan “Sosialisme”. Hands Off Venezuela – Indonesia dan FPN akan terus bekerjasama dalam politik guna mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia. HOV – Indonesia akan menyodorkan fakta-fakta obyektif yang terjadi di Venezuela untuk didiskusikan bersama dan mengambil bagian-bagian yang paling relevan untuk konteks Indonesia.

Revolusi sosialis memang tidak bisa bertahan lama atau sulit diwujudkan jika berjalan sendiri. Kerjasama dan komunikasi intensif antara gerakan di tingkat internasional ataupun kawasan perlu dibangun. Membangun kerjasama gerakan-gerakan di Indonesia dengan gerakan-gerakan di Amerika Latin, atau dengan negara-negara di tingkat ASEAN perlu segera dilakukan, dan HOV – Indonesia akan mencoba memfasilitasi hingga tercapainya kerjasama ini.

Mengaca Pada Venezuela

Jakarta, 13 mei 2008

Sekelompok perempuan di Kelurahan Duripulo, Gambir, Jakarta Pusat, yang dimotori oleh Ivo dan Vivi dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Selasa malam tanggal 13 Mei 2008 menggelar pemutaran film dan diskusi tentang Venezuela. Acara ini digelar guna merespon rencana pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Juni nanti. Meskipun tidak seperti yang diharapkan, sekolompok perempuan yang sebagian besar ibu-ibu rumahtangga tersebut tampak serius mengikuti acara hingga akhir. “Kita telah melihat bersama peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di Venezuela dan kita bisa belajar dari sana,” kata Ivo, koordinator acara dan sekaligus pendamping komunitas perempuan tersebut.

Toni, dari Hands Off Venezuela – Indonesia, mengatakan bahwa rakyat miskin harus bersatu dan menuntut agar pemerintah menasionalisasi sumber-sumber minyak yang sekarang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang menyebabkan krisis energi di negeri ini. Toni juga menyerukan agar rakyat melawan rencana kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Juni 2008 mendatang.

Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia, Jesus SA, juga hadir dalam acara ini. Jesus mengatakan bahwa kita bisa belajar banyak dari rakyat miskin Venezuela yang mampu menorganisir diri dan bergerak. Menurut Jesus, kekayaan alam negeri ini (Indonesia) seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, rakyat menjadi gelandangan di negeri sendiri dan kemakmuran hanya bisa diakses oleh segelintir orang. “Jika Venezuela bisa bangkit dari krisis akibat penjajahan modal asing dan mati-matian berjuang melawan mereka, kita seharusnya juga bisa,” begitulah kata Jesus di akhir acara tersebut. (HOV-Indonesia)