Kontrol Buruh dan Nasionalisasi – Bagian I

Oleh Rob Lyon

Jumat, 13 Januari 2006

Kawan-kawan, kita telah meluangkan banyak waktu mendiskusikan revolusi Venezuela dalam beberapa hari terakhir ini, dan suatu elemen penting yang telah kita diskusikan adalah masalah cogestion atau co-management.

Cogestion bisa memiliki arti yang berbeda-beda untuk banyak orang, tetapi ini jelas bahwa bagi kelas buruh Venezuela, perjuangan untuk co-management adalah perjuangan untuk manajemen dan kontrol buruh yang sejati, dan transformasi menuju masyarakat sosialis.

Perjuangan kontrol buruh di Venezuela yang sedang berkembang menandakan keterlibatan kelas buruh Venezuela yang menentukan di dalam revolusi Bolivarian. Karena berkembangannya perjuangan ini di Venezuela, kita harus mendiskusikan persoalan-persoalan penting ini dalam barisan kita sendiri guna memberikan para kamerad sebuah gambaran yang jelas mengenai perkembangan di Venezuela dan untuk menjelaskan slogan-slogan dan posisi kita dalam mempersiapkan perjuangan revolusioner di berbagai negara di seluruh dunia.

Prinsip-Prinsip Kontrol Buruh

Kontrol buruh memiliki arti yang jelas: kelas buruh dan wakil-wakilnya di pabrik-pabrik memiliki hak untuk memeriksa pembukuan (neraca keuangan) sebuah perusahaan atau industri dll, mengecek dan mengontrol seluruh pemasukan dan pengeluaran, dan tindakan-tindakan manajemen.

Dalam buku Program Transisional, Trotsky menjelaskan bahwa langkah pertama menuju kontrol nyata atas industri adalah dengan menghapus “rahasia-rahasia bisnis”. Rahasia-rahasia bisnis, akuntasi dan pembukuan perusahaan, tentu saja dipakai untuk membenarkan penyerangan terhadap kelas buruh seperti pemotongan gaji, pemecatan, dan peningkatan jam kerja.

Ketika para bos mengklaim bangkrut, atau mengklaim bahwa mereka kehilangan keuntungan dan menuntut hal-hal yang sedemikian rupa (pemotongan gaji, pemecatan, dan peningkatan jam kerja), kontrol buruh memberikan para pekerja kesempatan untuk memeriksa pembukuan perusahaan dan meneliti situasi yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk menyingkap kapitalisme, untuk menunjukkan kepada kelas buruh detil-detil dari cara kerja sistem kapitalis, sebagai sebuah langkah menuju penghancurannya

Tugas-tugas mendesak dari kontrol buruh adalah untuk menjelaskan kredit dan debit masyarakat: pertama-tama memeriksa pendapatan dari setiap perusahaan untuk menentukan pendapatan nasional dari setiap kapitalis dan tentu saja pendapatan dari kelas penguasa secara keseluruhan. Tugas lain dari kontrol buruh adalah menunjukkan pemborosan tenaga kerja manusia dan pengejaran profit kotor, dan juga mengekspose transaksi-transaksi rahasia, penipuan, dan korupsi yang sudah inheren di dalam sistem kapitalisme.

Trotsky juga menjelaskan bahwa kontrol buruh atas industri merupakan sebuah “sekolah bagi perencanaan ekonomi”, memberikan kesempatan bagi kaum buruh untuk memperoleh sebuah pemahaman ilmiah tentang bagaimana ekonomi berfungsi supaya umat manusia dengan sadar dan demokratis bisa merencanakan produksi dan ekonomi secara keseluruhan. Melalui pengalaman kontrol buruh, kelas buruh mempersiapkan diri mereka untuk menjalankan manajemen langsung terhadap industri-industri yang dinasionalisasi.

Dengan demikian, kontrol buruh atas industri biasanya tidak bertahan lama, tidak stabil, dan merupakan bentuk kekuatan ganda di dalam pabrik atau perusahaan, dan tidak bisa bertahan selamanya kecuali jika kontrol ini ditransformasikan menjadi manajemen langsung.

Di sini kita bisa melihat perbedaan antara tuntutan manajemen dan kontrol buruh yang transisional dan revolusioner, dan tuntutan partisipasi buruh yang reformis dan setengah-setengah.

Trotsky telah menjelaskan hal ini pada tahun 1930-an bahwa, di bawah kapitalisme, jika partisipasi buruh dalam manajemen produksi ingin bertahan lama, stabil, dan ”normal”, itu harus bersandar pada basis kolaborasi kelas, dan bukan perjuangan kelas.

Kolaborasi seperti itu akan selalu direalisasikan melalui lapisan atas dari serikat buruh dan manajemen. Bahkan pada tahun 1930-an terdapat beberapa contoh partisipasi buruh di Jerman (”demokrasi ekonomi”), dan di Inggris (”Mondisme”). Akan tetapi, seperti yang terjadi kemudian di Eropa pada tahun 1970-an, ini bukanlah kontrol buruh atas modal, tetapi pengabdian birokrasi buruh terhadap modal. Esensinya, para birokrat buruh digunakan untuk menopang modal, dan diperalat untuk mengalihkan perjuangan buruh ke saluran-saluran yang ”aman”.

Dan bagaimana mengenai ide partisipasi buruh yang terjadi di Eropa? Partisipasi buruh, atau yang biasa disebut demokrasi industri, telah didiskusikan dan dimplementasikan secara luas pada tahun 1970-an di Eropa. Ini merupakan respon atas pertumbuhan militansi gerakan buruh yang diekspresikan pada peristiwa-peristiwa Mei 1968 di Perancis dan di beberapa tempat lain, pemogokan buruh tambang di Inggris tahun 1972 dan 1974, beberapa pemogokan umum di Italia dan Denmark, dan gelombang pemogokan-pemogokan yang menyebar ke Jerman Barat.

Kelas penguasa berusaha keras menahan gerakan-gerakan ini dengan ”social partnership” dan menggiring pergolakan buruh masuk ke jalur-jalur ”aman”. Dengan melibatkan lapisan atas dari serikat-serikat buruh, para bos berharap meningkatkan efisiensi dan level profit mereka.

Sebenarnya, contoh-contoh ini bisa dilihat lebih jauh ke belakang yakni pada tahun 1920-an di Inggris, ketika Sir Alfred Mond dari ICI, monopoli besar bahan-bahan kimia, mencoba untuk menciptakan ”demokrasi industrial” di pabrik-pabriknya.

Dengan partisipasi buruh semacam ini, para birokrat buruh dapat memberikan pihak manajemen (baca para bos) informasi dan saran-saran dari para pekerja. Sebagaimana kita semua tahu, para pekerjalah – yakni mereka yang melakukan pekerjaan – yang tahu bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Pada saat yang sama, melalui partisipasi buruh, dengan aman manajemen bisa juga memberikan instruksi kepada para pekerja dan mendiskreditkan para birokrat buruh dengan membuatnya seolah-olah merekalah yang bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang tidak populer.

Komite-komite dari para birokrat ini, yang merupakan organ-organ dari partisipasi buruh, sejatinya adalah komite-komite yang tidak memiliki kekuatan, tempat dimana kaum buruh dapat melepaskan sedikit kemarahannya. Partisipasi buruh juga telah menciptakan ilusi bahwa para pekerja memiliki suatu pengaruh dalam pembuatan keputusan – hal ini untuk menghindari kaum buruh dan organisasinya melakukan aksi independen. Contohnya di Jerman, komite-komite ini tidak bisa menyerukan pemogokan. Ini memberikan para bos dan para birokrat buruh kemampuan untuk melangkaui dan melemahkan serikat buruh. Bahkan, dewan-dewan buruh ini terus-menerus dibenturkan dengan serikat buruh sebagai usaha untuk melemahkan mereka (serikat buruh). Para bos dengan mudah menggunakan taktik ”divide et impera”, memainkan satu organisasi untuk melawan organisasi yang lain.

Pengalaman pertisipasi buruh telah menciptakan sebuah stratum baru yang terdiri dari para fungsionaris industri yang memiliki kepentingan yang sama dengan pihak manajemen – pendeknya, ia telah menciptakan suatu stratum istimewa di dalam kelas buruh.

Dan apa hasil dari semua ini? Saya membaca sebuah artikel di Independent edisi Kamis (28 Juli 2006) mengenai sebuah skandal korupsi di Volkswagen. Sebuah skandal masif baru saja diekspos di VW yang menyangkut dana terselubung, prostitusi, mobil sport, dll, dan direktur-direktur dewan buruh. Beberapa dari mereka telah menghabiskan 1 juta Euro dari uang perusahaan untuk rumah-rumah, jalan-jalan, dan mobil-mobil untuk kekasih gelapnya di seantero penjuru dunia. Ini yang tertulis di The Independent:

”Pihak-pihak utama yang mendapatkan anggaran hiburan yang besar dari Mr. Gebauer bukanlah warga Jerman biasa, tetapi segelintir pimpinan dewan buruh VW yang beruntung. Setiap perusahaan besar Jerman diharuskan membuat ruang untuk pimpinan-pimpinan ini, yang dipilih oleh para pekerja di pabrik untuk mengambil bagian dalam keputusan-kepurusan investasi. Ini adalah bagian penting dari model konsensus Jerman dan membantu untuk mencegah pemogokan-pemogokan di satu negara dimana serikat buruh masih memiliki kekuatan yang berarti.”

Inilah hasil akhir dari partisipasi buruh. Para birokrat serikat buruh, yang sudah tidak memiliki koneksi apapun dengan anggota-anggota serikat buruh, berkolusi dengan pihak manajemen dan eksekutif. Kepentingan kaum buruh dilempar ke sungai, ditukar dengan prostitusi, viagra dan jalan-jalan ke Brasil.

Dengan kata lain, kontrol buruh melalui komite-komite pabrik, atau dewan-dewan buruh adalah mungkin hanya atas dasar perjuangan kelas yang tajam. Di bawah kondisi ”normal”, kaum borjuasi tidak akan mentolerir kontrol buruh yang sejati, mereka tidak akan pernah mentolerir kekuasaan ganda di pabriknya. Kemampuan kelas pekerja untuk menegakkan kontrol atas produksi ditentukan oleh kekuatan gerak yang menyeluruh dari kelas proletar dalam melawan borjuasi. Kontrol buruh yang sejati harus dipaksakan kepada para pemilik modal, dan oleh karena itu terjadi seiring dengan periode krisis revolusioner masyarakat – ini terjadi seiring dengan menguatnya proletariat dan mundurnya kelas penguasa. Dengan demikian, kontrol buruh yang sejati terjadi seiring dengan periode revolusi proletariat.

Inilah mengapa di Venezuela, meskipun ada ketegangan dan masalah-masalah seputar masalah kontrol buruh yang akan kita bahas nanti, kita menyaksikan suatu pertumbuhan dari kontrol buruh. Perjuangan yang ini atau yang itu mungkin bersifat defensif di Venezuela, tetapi perluasan dan pertumbuhan dari cogestion terkait dengan gerak ofensif dari kelas buruh dan kemunduran kelas penguasa secara keseluruhan. Bangsa ini menemukan dirinya sendiri dalam situasi revolusioner, kaum buruh sedang bergerak maju, dan para bos dimana-mana mengambil langkah mundur.

Dalam perjuangan untuk kontrol buruh sejati, kelas buruh niscaya bergerak ke depan menuju perampasan kekuasaan dan alat-alat produksi. Pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan di bawah kontrol buruh atau manajemen buruh, hanya bisa beroperasi di dalam batas-batas ekonomi secara keseluruhan, yakni dalam batas-batas kapitalisme. Tidak mungkin berdiri sebuah pulau sosialisme di dalam lautan kapitalisme.

Satu contoh adalah pabrik pelebur aluminum Alcan di Jonquiere, Quebec. Alcan adalah pelebur aluminium terbesar dunia. Pelebur raksasa di Jonquiere tersebut direncanakan tutup pada tahun 2014 mendatang. Di awal tahun 2004, Alcan tiba-tiba mengumumkan bahwa mereka akan menutup pabrik tersebut. Sebagai bagian dari perjuangan untuk mempertahankan pekerjaan mereka, para buruh menduduki pabrik tersebut. Mereka segera menyadari adanya sabotase dari pihak manajemen dan segera menendang keluar para mandor dan para manajer dari pabrik. Setelah ini, mereka melaporkan bahwa produksi mengalami peningkatan ketimbang saat sebelum para buruh mengambil alih kendali.

Tetapi seluruh sistem kapitalis bersekutu untuk menghancurkan para buruh di pabrik Alcan. Media dan negara melakukan tekanan yang hebat kepada mereka. Perusahaan-perusahaan yang lain menolak untuk menjual bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi aluminium dan pabrik pelebur ini dibuat sekarat. Sayangnya, pada akhirnya, perjuangan tersebut gagal (baca : Workers in Québec seize Alcan Smelter)

Pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan di bawah kontrol buruh, seperti di pabrik pelebur Alcan atau yang sekarang ada di Venezuela, harus berinteraksi dengan, membeli produk-produk dari, dan menjual barang-barangnya ke sektor privat. Mereka harus berinteraksi dengan pasar. Oleh karena itu, mereka berada dalam di bawah tekanan kapitalisme. Secara logika hal ini mendorong kaum buruh untuk berjuang melawan kekuatan modal.

Masalah kredit, bahan baku, dan pasar dengan segera menunjukkan perlunya untuk memperluas kontrol buruh melewati batas-batas satu perusahaan. Contoh baik dari ini adalah ALCASA, sebuah pabrik aluminium milik negara di Venezuela, yang saat ini berada di bawah bentuk cogestion yang paling maju. Selama periode sabotase para bos (lock-out) pada tahun 2002-2003, para penyabot memangkas suplai gas ke pabrik ALCASA dan menghentikan produksi. Buruh ALCASA, bersama-sama dengan para buruh dari pabrik baja sekitarnya, mempersenjatai diri mereka, berbondong-bondong menuju ke pabrik gas, menerobos pengamanan para polisi dari pihak oposisi dan memaksa memulai kembali produksi untuk menjamin suplai gas.

Dengan dominasi yang kuat dari pasar dunia, dan ketergantungan tiap-tiap negara atas perdagangan dunia, masalah ekspor-impor mendorong perlunya kontrol buruh pada level nasional. Ini dengan segera memperhadapkan organ-organ inti dari kontrol buruh dengan organ-organ dari kelas penguasa.

Kita tidak boleh berpikir secara mekanikal atau formal dalam konsepsi kita mengenai perkembangan revolusi sosialis, tetapi kita bisa melihat bagaimana kontrol buruh industri, atau kekuaasaan ganda di dalam pabrik, umumnya terjadi seiring dengan atau menghasilkan periode kekuasaan ganda di negara. Kekuasaan ganda di pabrik, dan kekuasaan ganda dalam negara tidak akan selalu dilahirkan pada hari yang sama. Kadang-kadang, kontrol buruh akan muncul sebelum kekuasaan ganda dalam negara, dan di saat yang lain justru sebaliknya.

Kontradiksi yang tak terdamaikan yang inheren dalam rejim kontrol buruh, inheren dalam rejim kekuasaan ganda, akan menajam dan mencapai suatu tahapan yang kritis dimana kontradiksi-kontradiksi ini tak bisa ditolerir lagi oleh kedua kubu. Kekuasaan ganda adalah sebuah tahapan dari perjuangan kelas dimana kontradiksi-kontradiksi kelas telah menjadi sedemikian tajamnya sehingga masyarakat terpecah ke dalam dua kubu yang saling bermusuhan, dua kekuatan yang bermusuhan, yang satu konservatif dan reaksioner, dan yang satu lainnya sedang tumbuh dan bersifat revolusioner. Satu-satunya jalan keluar dari situasi ini adalah kelas pekerja mengambil kekuasaan dan mengklaim kemenangan untuk revolusi, atau ini akan berakhir dengan kekalahan revolusi dan kemenangan kontra-revolusi. Kita hanya perlu melihat perbedaan dari kemenangan Revolusi Rusia dan kekalahan Revolusi Jerman dan Italia (yang melahirkan fasisme di Italia dan Jerman) untuk memahami ini.

Sebagaimana di Venezuela hari ini, kontrol buruh atas industri tidak hanya kontrol terhadap perusahaan-perusahaan yang operasional, tetapi juga mengontrol pabrik-pabrik yang setengah-operasional dan pabrik-pabrik yang ditutup atau dibiarkan menganggur. Tugas membuka kembali perusahaan-perusahaan yang telah ditutup ini di bawah komite-komite pabrik secara tidak langsung merupakan suatu permulaan dari sebuah perencanaan ekonomi. Pabrik-pabrik ini harus disuplai dengan bahan baku dan mampu mengirim produk-produknya. Ini secara langsung mengarah pada masalah administrasi industri negara. Seperti yang bisa juga kita lihat di Venezuela, perusahaan-perusahaan milik negara ini menghadapi sabotase dan masih berada di bawah tekanan kapitalisme, secara nasional maupun internasional. Ini akan secara langsung mendorong kita menuju masalah ekspropriasi para pemilik modal.

Ini semua berarti bahwa kontrol buruh bukanlah sebuah kondisi yang dapat bertahan lama, bukanlah sebuah kondisi ”normal”. Ini merupakan indikasi dari perjuangan kelas yang menajam, dan masalah kekuasaan ganda dalam industri harus diselesaikan. Sebagai sebuah langkah transisional yang eksis di bawah puncak dari perjuangan kelas, kontrol buruh merupakan sebuah jembatan ke arah nasionalisasi industri yang revolusioner, yang terjadi seiring dengan transisi dari rejim borjuasi ke proletariat.

Adalah penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara kontrol buruh dan manajemen buruh. Ini telah menjadi sumber kebingungan yang historis, dan kita harus menjernihkan masalah ini. Kontrol buruh berarti bahwa kontrol berada di tangan buruh, tetapi kepemilikan masih tetap berada di tangan kapitalis. Kontrol buruh mungkin dominan, mencakup keseluruhan aspek, tetapi hanya tetap sebagai kontrol.

Trotsky menjelaskan:

”Tujuan utama dari slogan [kontrol buruh] adalah perkembangan rejim transisional di dalam industri ketika para kapitalis dan para manajernya tidak bisa lagi mengambil suatu langkah tanpa persetujuan kaum buruh; tetapi pada pihak yang lain, ketika kaum buruh belumlah menyiapkan prasyarat-prasyarat politik untuk nasionalisasi, atau belumlah memiliki manajemen teknis, atau belum menciptakan organ-organ yang esensial untuk ini. Jangan lupa bahwa kontrol buruh disini bukan hanya mengenai kontrol produksi, tetapi juga penjualan produk-produk dan menyuplai pabrik dengan bahan baku, dan perangkat baru dan juga kredit operasi dll.”

Manajemen industri-industri yang dinasionalisasi memerlukan format negara dan administrasi yang baru, dan terutama sekali ini memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan bentuk organisasi yang tepat. Dalam periode latihan ini, yang terjadi sebelum atau sesudah perebutan kekuasaan, kelas pekerja mempunyai kepentingan untuk menyerahkan manajemen kepada pihak administrasi yang berpengalaman, di bawah kontrol buruh. Periode ini hanyalah untuk mempersiapkan elemen-elemen dari perencanaan ekonomi.

Manajemen buruh atas industri datang dari atas karena hal ini terkait dengan kekuasaan negara dan sebuah perencanaan ekonomi. Kontrol datang dari bawah dan dijalankan oleh komite-komite pabrik, sedangkan organ-organ manajemen terpusat di dewan-dewan buruh, terpusat di kekuasaan negara. Adalah penting untuk menjelaskan bahwa komite-komite pabrik tidaklah lenyap, bahwa peran mereka, meskipun berubah, masih penting.

Kita bukanlah kaum sindikalis. Kita tidak percaya bahwa kepemilikan pabrik-pabrik harus berada di tangan para pekerja di masing-masing pabrik tersebut. Salah satu tugas-tugas penting dalam perkembangan masyarakat sosialis adalah kepemilikan kolektif, kepemilikan sosial atas alat-alat produksi dan penghapusan kompetisi industrial dalam masyarakat – ini dimulai dengan kepemilikan negara atas alat-alat produksi.

Pada tahun 1917, Trotsky ditanya di dalam sebuah wawancara: apakah kaum buruh di tiap-tiap pabrik harus memiliki pabrik tempat dimana mereka bekerja, dan apakah keuntungannya akan dibagi diantara kaum buruh? Dia menjawabnya dengan mengatakan: ”Tidak, pembagian keuntungan adalah sebuah gagasan borjuis. Para pekerja dalam suatu pabrik akan dibayar dengan gaji yang memadai. Seluruh keuntungan yang tidak dibayarkan kepada para pemilik [yang akan menerima 5%-6% setiap tahun dari investasinya] akan menjadi milik masyarakat.” [In Defence of Russian Revolution, Workers’ Control and Nationalization oleh Leon Trotsky]. (Catatan: disini adalah kasus dimana pabrik-pabrik belumlah sepenuhnya diekpropriasi, yang ada di bawah kontrol buruh tetapi masih dimiliki oleh kapitalis secara penuh maupun parsial)

Dalam sebuah negara pekerja, jika manajemen utama dari industri tidak berada di tangan dewan-dewan buruh yang mewakili negara dan kelas buruh secara keseluruhan, maka industri-industri dan perusahaan-perusahaan tersebut akan bersaing satu sama lain, dan sebagai akibatnya mustahil untuk mengkoordinir sebuah rencana ekonomi nasional dan secara esensial ini berarti kita masih berada di bawah kapitalisme. Inilah mengapa kita menentang ide kaum Anarkis dan sindikalis bahwa para buruh di tiap-tiap industri harus memiliki pabrik-pabrik mereka sendiri. Gagasan mengenai kepemilikan ”lokal” ini, dimana kaum buruh di suatu pabrik akan memiliki pabrik tersebut, tidak mengubah peran produktif dan sosial dari pabrik tersebut. Ia masih merupakan sebuah perusahaan milik pribadi dan tidak dimiliki secara sosial. Sebuah perusahaan yang dimiliki oleh kaum buruh melalui suatu koperasi atau komite manajemen-swadaya masih merupakan sebuah perusahaan kapitalis, yang bergantung pada profit – tidak peduli apakah ini dimiliki oleh sebuah koperasi buruh beranggotakan 12, 250 atau hanya 1 orang. Ini bukan kepemilikan sosial. Hanya nasionalisasi industri-industri, dibawah kepemilikan negara dan kontrol buruh yang dapat menjamin karakter sosial dan nasionalisasi dari industri.

Program Marxis untuk manajemen buruh dan ekonomi yang terencana secara demokratis adalah dengan memiliki dewan-dewan manajemen dari semua industri yang telah dinasionalisasi, yang terpilih dan disusun sebagai berikut: 1/3 anggota dari dewan ini harus terdiri dari para buruh di industri tersebut melalui serikat buruh mereka guna melindungi kepentingan-kepentingan buruh di lapangan dan menyalurkan kreatifitas, pengetahuan, dan keahlian mereka. 1/3 anggota dewan harus mewakili kelas pekerja secara keseluruhan dan dipilih melalui badan serikat pekerja pusat (atau federasi serikat pekerja nasional), dan 1/3 yang lain mewakili negara pekerja untuk menjalankan rencana produksi nasional.

_____________________________

(Diterjemahkan oleh Jesus S. Anam, diedit oleh Ted Sprague, dari Workers’ Control and Nationalization oleh Rob Lyon, 13 Januari 2006)

Bagaimana dan Mengapa Venezuela Akan Mengatasi Krisis Finansial

Martin Saatdjian

Terlepas dari dampak kejatuhan ekonomi saat ini, pemerintah Venezuela telah mengambil keputusan ekonomi penting – bahkan sebelum terlihatnya krisis ini – yang sekarang menguntungkan dan mengamankan ekonomi dari ancaman krisis finansial.

Wawancara baru-baru ini dengan Menteri Ekonomi dan Keuangan, Ali Rodriguez, mengonfirmasikan bahwa ekonomi Venezuela memiliki pengaman yang cukup terhadap efek-efek negatif pelambanan (slowdown) ekonomi yang memukul ekonomi-ekonomi utama di dunia.

Meskipun begitu, Menteri tersebut menekankan bahwa perhatian mendalam harus diberikan kepada evolusi langkah-langkah yang diambil Amerika Serikat dan Eropa untuk mengatasi tantangan terbesar terhadap ekonomi-ekonomi kapitalis barat sejak the Great Depression tahun 1929.

Pengamatan tersebut harus menyertakan dampak krisis terhadap ekonomi riil dan fluktuasi harga komoditas yang masih menjadi sandaran Venezuela.

Penyelidikan singkat terhadap angka-angka dalam tahun 2007 menunjukkan bahwa Venezuela berada di atas kebanyakan negeri-negeri di dunia dan seluruh Hemisfer Amerika (termasuk Amerika Serikat dan Kanada) dalam hal cadangan devisa (international reserves – IR) per kapita terbesar.

Menurut angka tahun 2007, bagi tiap orang yang tinggal di Venezuela terdapat cadangan devisa sebesar $1.300 pada akhir tahun 2007 (total $34 milyar).[1] Jumlah per kapita ini melampaui ekonomi-ekonomi utama di Amerika Latin, seperti: Argentina ($1.141); Brasil ($919), Chile ($1.023) dan Meksiko ($799).[2]

Menurut angka-angka ini, cadangan devisa Venezuela melebihi negeri Amerika Latin kedua dengan cadangan devisa per kapita tertinggi, Uruguay, dengan selisih $113. Jumlah ini, bila dikalikan dengan seluruh penduduk Venezuela (26,4 juta), akan hampir mencapai total $3 milyar.

Jumlah sebesar ini dapat digunakan untuk mengatasi dampak negatif krisis finansial dan Venezuela akan dapat tetap berada pada daftar teratas dalam jumlah cadangan devisa per kapita di Amerika Latin.

Cadangan Devisa Per Kapita (IR/Populasi)

Venezuela $1,300

Uruguay $1,187

Argentina $1,141

Chile $1,023

Peru $932

Brasil $919

Meksiko $799

Bolivia $572

Kolombia $464

Paraguay $362

OPEC dan Kedaulatan Ekonomi

Kebijakan ekonomi independen dan berdaulat Presiden Chavez yang bertujuan untuk menghapuskan neoliberalisme memberikan penjelasan tentang pertumbuhan IR Venezuela. Kebanyakan dari kebijakan ini mendapat kritikan pedas dari media swasta di Venezuela dan afiliasinya di penjuru dunia.

Contohnya, di tengah-tengah harga minyak $8 dolar per barel petroleum pada 1999, administrasi Clinton merasa “dijengkelkan” oleh kunjungan Presiden Hugo Chavez ke negeri-negeri Pengekspor Minyak di Timur Tengah, termasuk Irak di bawah Saddam Hussein, untuk memperkuat OPEC.

Sebelum Chavez, Venezuela adalah negeri yang tunduk pada pengaruh AS dan, dengan demikian, partisipasinya di OPEC diwujudkan dengan mengganggu kesepakatan yang bertujuan mencapai kestabilan dan harga yang adil bagi barel minyak. Kelanjutan kunjungan tersebut, negeri-negeri OPEC menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi di Caracas pada 2000 yang dimonitor dengan ketat oleh Washington.

Selama KTT OPEC, Venezuela mendapat peran kepemimpinan yang penting dalam organisasi ini, sehingga memungkinkannya memainkan peran signifikan dalam mengembalikan harga minyak dari titik terendahnya dalam beberapa tahun belakangan ini.

Dengan begitu, Venezuela mengamankan sumber pendapatan yang vital bagi ekonominya.

Menyusul kebijakan ini, Pemerintah Chavez memulai pembalikkan dari sistem produksi minyak yang paling bejat dan anti-nasional, “la apertura petrolera” (pembukaan petroleum). Dengan membuka sektor petroleum, Perusahaan Petroleum Venezuela (PDVSA) memberikan perusahaan minyak transnasional hak untuk mengekstraksi minyak dengan memberikan porsi yang tak signifikan kepada negara Venezuela.

Skema ini berarti bahwa, walaupun harga minyak sedikit membaik, sebagian besar profitnya mengalir ke korporasi transnasional. Kesepakatan-kesepakatan ini, yang penandatanganannya bertentangan dengan kepentingan rakyat Venezuela, diberikan kepada korporasi transnasional dengan masa berlaku 20 tahun.

Pembukaan petroleum nyaris menjadi privatisasi industri minyak Venezuela di masa puncak neoliberalisme di Amerika Latin. Membalikkan pembukaan industri petroleum Venezuela bukanlah tugas mudah bagi pemerintahan Chavez.

Para analis sepakat bahwa kudeta terhadap Chavez pada 2002 dan pemogokan minyak elitis pada 2002/2003 adalah konsekuensi langsung dari penerapan serangkaian Undang-Undang, termasuk Undang-Undang Hidrokarbon baru yang ditulis atas keputusan Presiden.

Menurut UU yang baru ini, “Kesepakatan Bersama” antara perusahaan minyak transnasional dan PDVSA mengenai produksi minyak, yang ditandatangani pada puncak dibukanya industri petroleum, akan dialihkan menjadi Usaha Campuran (Mixed Ventures).

Skema baru ini akan memberikan Negara Venezuela, melalui PDVSA, partisipasi mayoritas dalam produksi minyak. Juga, pajak dan royalti terhadap perusahaan transnasional akan ditingkatkan.

Merasa tak nyaman akibat keputusan berdaulat yang dibuat oleh pemerintah Chavez, Exxon-Mobil melakukan kekonyolan dengan mengajukan tuntutan terhadap Negara Venezuela pada pengadilan Inggris.

Awalnya, satu dari sejumlah pengadilan ini mengeluarkan keputusan yang berpihak pada Exxon-Mobil dengan menjatuhkan langkah pencegahan membekukan aset PDVSA sebesar $12 milyar; tapi setelah argumen yang dibuat oleh PDVSA diperdengarkan pada 18 Maret 2008, Tribunal Inggris lainnya membatalkan keputusan sebelumnya ini.

Menurut Menteri Energi dan Petroleum Venezuela, Rafael Ramirez, keputusan ini “100% menguntungkan” Venezuela dan merupakan kemenangan atas “pemerasan” korporasi transnasional.

Hasil akhirnya sudah jelas; terlepas dari harga barel minyak, faktanya adalah Venezuela, melalui “re-nasionalisasi” industri minyak, kini memiliki proporsi profit yang lebih besar dari ekspor minyak dibandingkan sebelumnya, sebagian diantaranya dikonversikan menjadi cadangan devisa.

Kontrol Pertukaran Mata Uang

Satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan cadangan devisa adalah Kontrol Pertukaran Mata Uang (Currency Exchange Control – CEC).

Hal yang penting diingat adalah CEC awalnya diterapkan pada puncak ketakstabilan politik di Venezuela yang dipicu oleh kelompok oposisi yang memimpin pemogokan di PDVSA.

Pemogokan ini disertai protes-protes massif dan iklan-iklan TV di media swasta yang memicu rakyat untuk berontak. Produksi minyak dihentikan dan berakibat menghancurkan ekonomi Venezuela dengan tingkat pendapatan yang menurun drastis dan PDB yang berkontraksi.

Ironisnya, Venezuela terpaksa mengimpor bensin.

Namun demikian, setelah sukses mengalahkan upaya kaum oposisi dalam menggulingkan pemerintah dan mengambil-alih operasi PDVSA, Pemerintah Chavez memerlukan penerapan CEC, sebagai langkah untuk menghindari pelarian kapital (capital flight) (sebuah problem yang konsisten dalam ekonomi Amerika Latin). Pemulihan produksi minyak dengan cepat pada 2003, sejalan dengan CEC memungkinkan Venezuela meningkatkan cadangan devisanya dengan cepat.

Media swasta dan pakar ekonomi terus-menerus memberikan tekanan untuk menghentikan CEC.

Untungnya, Pemerintah Venezuela mempertahankan CEC, dengan membolehkan penyesuaian kecil dalam tahun-tahun belakangan ini.

Hasilnya, menegakkan CEC telah memberikan Venezuela pengaman besar di tengah krisis finansial saat ini yang didemonstrasikan sebelumnya dengan pertumbuhan cadangan devisa.

Aspek positif CEC lainnya adalah harga dolar AS tetap dipatok untuk periode yang lama terlepas dari tingginya tingkat inflasi yang dicatat oleh ekonomi Venezuela dalam tahun-tahun sebelumnya [3]. Maka, bila krisis finansial semakin mendalam dan harga minyak jatuh, devaluasi kecil terhadap Bolivar (mata uang Venezuela), berikut pembelanjaan ketat (austerity spending) dalam tahun fiskal berikutnya dan langkah-langkah serupa lainnya akan memberikan Venezuela mekanisme pertahanan yang cukup, meskipun tanpa menggunakan cadangan devisa, untuk mengatasi krisis finansial.

_______________________________________

Martin Saatdjian ialah Sektretaris Ketiga dalam Kementerian Luar Negeri Republik Bolivarian Venezuela.

Catatan:

[1] Dalam wawancara yang diberikan oleh Menteri Ekonomi dan Keuangan pada 5 Oktober 2008, ia mengumukan bahwa saat ini cadangan devisa berada hampir pada jmulah $40 milyar.

[2] Informasi diambil dari: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/

[3] Walaupun inflasi relatif tinggi, upah telah meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan inflasi.

_______________________________________

Diambil dari venezuelanalysis.com

Diterjemahkan oleh NEFOS.org



Marxisme dan Masa Depan Revolusi Bolivarian

Oleh : Jesus S. Anam

Terpilihnya para kandidat walikota dan gubernur dari Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) telah menyita perhatian seluruh gerakan revolusioner di Venezuela akhir-akhir ini. Ini menunjukkan bahwa rakyat dan kaum pekerja masih tetap kokoh berdiri guna menyelamatkan revolusi.

Survei yang dilakukan oleh Venezuelan Institute for Data Analysis (IVAD) baru-baru ini juga menunjukkan bahwa gelombang massa yang besar masih tetap berada di barisan depan sosialisme. Dukungan atas kebijakan Chavez dan langkah-langkahnya dalam melawan kapitalisme, seperti nasionalisasi pabrik Sidor dan pabrik-pabrik lain, mencapai sekitar 68%. Nasionalisasi di beberapa pabrik semen: setuju 56.0%; tidak setuju 33.3%; abstain 16.0%. Dan mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor makanan: setuju 50.1%; tidak setuju 42.1%; abstain 7.8%.

Dari hasil survei ini kita bisa melihat bahwa ada suatu lompatan yang luar biasa, yakni terjadi pengambilalihan monopoli-monopoli besar — sebuah lompatan kesadaran yang tinggi dari rakyat dan kaum pekerja. Data ini juga memberi gambaran bahwa ada situasi yang luar biasa bagi rakyat Venezuela untuk menuju kedamaian yang sempurna — sosialisme. Situasi seperti ini telah cukup memberi pembenaran bagi Chavez untuk mengeluarkan kebijakan mengenai nasionalisasi berbagai sektor bisnis: perbankan, monopoli-monopoli besar, dan tanah-tanah industrial. Dengan dasar ini, rencana-rencana demokratik bisa diimplementasikan, seluruh perekonomian Venezuela akan berada di bawah kontrol rakyat dan kaum pekerja; seluruh rakyat dan kepemimpinan revolusioner mengambil kontrol atas ekonomi-ekonomi kunci dan mengorganisir ekonomi-ekonomi kunci tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, dan bukan untuk kepentingan segelintir golongan, yakni kaum modal.

Ini merupakan buah terakhir dari penderitaan kaum miskin dan kaum pekerja di Venezuela.

Sebuah kekeliruan yang cukup fatal jika percaya bahwa sosialisme bisa dibangun dengan bertahap, melakukan kompromi-kompromi dengan kaum reformis, dan memberi kelonggaran kepada kaum modal. Gagasan yang mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting, bahwa negara yang kuat bisa menggiring dan menstimuli sektor swasta, tidak ada dalam sosialisme. Gagasan ekonomi seperti ini didasarkan pada pikiran ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes, dan terbukti mengakibatkan kesengsaraan dan memimpin letupan inflasi ke seluruh dunia.

Kaum reformis dan sektor-sektor birokratik di Venezuela mencoba membangkitkan kembali kebijakan Keynesian dari kuburnya. Menghidupkan lagi gagasan mengenai ekonomi campuran, bahwa majikan dan pekerja bisa bersama bekerja membangun sosialisme. Sektor-sektor ini yang akan menekan pemerintahan revolusioner ke arah kanan, memainkan terompet bernada sumbang dan membangkitkan kebingungan mengenai sosialisme, yakni sosalisme yang tidak jelas, jenis kolaborasi antara penunggang kuda dengan kuda tunggangan. Kebijakan tipe ini membawa kepada ledakan inflasi hingga 30 % di Venezuela. Jika mereka, yang berada di sektor birokratik, memaksakan garis politik seperti ini guna mempertahankan dan meindungi kawan-kawannya, yakni kaum modal, mereka akan membawa revolusi Bolivarian menuju jurang ngarai yang amat dalam.

Untuk mematahkan arus yang akan memnghanyutkan revolusi, perlu membangun aliansi yang kuat dari gerakan-gerakan politik Bolivarian dengan gagasan-gagasan yang benar. Tindakan Hugo Chavez debngan membaca buku karya Alan Wood, Bolshevism: Road to the Revolution, merupakan contoh dari kejeliannya untuk mencari gagasan yang tepat guna mengeluarkan Venezuela dari ancaman kaum reformis. Buku Reform or Revolution, Marxisme and Socialism of the twenty-first century, a response to Heinz Dietrich akan berkontribusi besar untuk melawan ide-ide kaum reformis seperti Dietrich dan saatnya mengembalikan ide-ide genuine dari sosialisme ilmiah, atau Marxisme.

Salam Solidaritas!

Pabrik-pabrik yang Dijalankan Buruh: Dari Bertahan Hidup hingga Solidaritas Ekonomi*

Oleh Raul Zibechi

Pabrik-pabrik yang ‘diselamatkan’ (recovered) oleh para buruhnya merupakan respon dari dua dekade neoliberalisme dan deindustrialisasi. Dalam suatu gerakan yang tak pernah ada sebelumnya di Amerika Latin, buruh telah mengambil kendali langsung produksi dan operasi tanpa pengusaha – dan bahkan kadang tanpa pengawas (foremen), teknisi, atau spesialis – di 200 pabrik dan tempat kerja di Argentina, sekitar 100 di Brazil dan lebih dari 20 di Uruguay.

Aksi para buruh ini bukanlah hasil dari perdebatan ideologis melainkan dari kebutuhan mendesak. Penutupan massal terhadap pabrik dan perusahaan yang memasok pasar domestik memicu sejumlah buruh untuk mencegah setidaknya beberapa pabrik-pabrik ini agar tidak menjadi gudang-gudang yang ditinggalkan.

Meskipun gerakan buruh yang baru ini bersifat heterogen, banyak permasalahan yang dihadapinya biasa ditemukan dalam serangkaian luas pabrik-pabrik di berbagai sektor produktif. Ini meliputi isu-isu legal untuk memperoleh pengakuan terhadap kepemilikan pabrik, menjamin pasokan bahan baku, ketiadaan modal kerja (working capital), penjualan hasil produksi (product marketing), dan kesulitan teknis yang muncul dari mesin-mesin yang usang atau larinya (exodus) para teknisi dan manajer. Problem-problem demikian telah ditangani dan sering kali diselesaikan oleh para buruh sendiri.

Bubarnya kediktatoran militer (1983 di Argentina, 1985 di Uruguay dan Brasil) telah melahirkan rejim-rejim demokratik, tapi pemerintah-pemerint ah ini sejak awal sangat terkungkung oleh struktur ekonomi, politik, dan sosial warisan periode otoriter tersebut. Warisan ini – dikarakterkan dengan hutang luar negeri yang besar – menyebabkan pemerintahan- pemerintahan tersebut menyetujui berbagai rekomendasi yang ditekankan oleh “Konsensus Washington”. Perubahan ini meliputi penarikan regulasi ekonomi dan pelucutan negara kesejahteraan yang lemah yang telah dibangun dalam negeri-negeri di wilayah tersebut.

Bermula pada 1990, deregulasi finansial dan ekonomi, privatisasi dan penurunan tarif proteksi dan subsidi, menyebabkan banyak pabrik tutup. Kebijakan ini mengakibatkan pengangguran bagi banyak buruh dan semakin buruknya kondisi kerja bagi mereka yang masih bekerja. Ketika pembatasan impor ditanggalkan, terbukalah pintu bagi membanjirnya produk impor, dan industri lokal sering kali tak dapat bersaing. Yang mendapat pukulan paling parah adalah perusahaan kecil dan sedang yang memasok pasar domestik.

Penutupan massif terhadap perusahaan-perusaha an ini hanyalah satu aspek dari restrukturisasi produksi secara mendalam yang dilaksanakan pada tahun 1990an. Sementara itu, sektor-sektor industri terdepan menjadi sangat terkonsentrasi. Ini memperparah pengangguran dan segera menjadi sifat struktural permanen dari ekonomi.

Proses deindustrialisasi di Argentina, Uruguay dan Brasil diikuti oleh pertumbuhan baru yang didasarkan pada penyederhanaan strategi produksi dan transformasi pengorganisiran kerja secara teknik dan sosial. Restrukturisasi tak hanya meningkatkan tingkat pengangguran – menjadi 10% dalam populasi yang aktif secara ekonomi dalam hampir seluruh negeri Amerika Latin, dan di atas 20% pada akhir dekade di Argentina. Itu juga menyebabkan buruh yang di-PHK tidak dipekerjakan kembali dalam pabrik-pabrik terotomatisasi dan terobotisasi yang telah dimodernisasi, karena mereka tak memiliki pelatihan yang diperlukan bagi posisi-posisi baru di pabrik-pabrik tersebut. Lebih lagi, modernisasi jenis ini memperparah kecenderungan eksklusi sosial dan isolasi terhadap kaum miskin.

Bagi banyak buruh, penutupan perusahaan tempat mereka bekerja telah mengutuk mereka ke dalam kehidupan yang terpinggirkan. Ini sangat benar bagi buruh di atas usia 40, yang memiliki kesempatan sangat tipis untuk memasuki kembali pasar tenaga-kerja formal. Pengangguran bukan hanya berarti kehilangan pendapatan tapi juga kehilangan jaminan seperti asuransi kesehatan, dana pensiun dan perumahan. Ini menjelaskan kenapa beberapa buruh memilih untuk berjuang menyelamatkan sumber pekerjaan mereka; yakni, tetap mengoperasikan pabrik bahkan tanpa pemiliknya.

Di Brasil, gerakan penyelematan pabrik mendahului upaya-upaya serupa di Argentina dan Uruguay. Pada 1991, Calzados Makerly di Sao Paulo menutup pintunya dan menghilangkan 482 pekerjaan yang langsung. Dengan dukungan Serikat Buruh Sepatu, Departemen Studi dan Statistik Inter-Serikat Buruh, dan para aktivis akar-rumput (grassroots) , para buruh Calzados meluncurkan suatu proses menuju produksi yang dikelola buruh (workers-managed production).

Pada 1994, Asociacao Nacional dos Trabalhadores em Empresas de Autogestao (Asosiasi Nasional Usaha-Usaha yang Dikelola Buruh, ANTEAG) dibentuk untuk mengkoordinasikan respon-respon kreatif yang muncul di awal krisis industrial. ANTEAG saat ini bermarkas di enam negara bagian dan berupaya mendukung proyek-proyek yang dikelola buruh dengan cara menghubungkan mereka dengan berbagai inisiatif organisasi non-pemerintah dan pemerintah negara bagian maupun kotapraja.

Memecahkan masalah serius pendanaan gerakan adalah salah satu tugas terpenting asosiasi tersebut. ANTEAG kini bekerjasama dengan 307 proyek koperasi yang dikelola buruh dengan mempekerjakan 15.000 pekerja; 52 di antarnya adalah perusahaan yang diselamatkan oleh para buruhnya. Perusahaan yang dikelola buruh dapat ditemukan dalam semua cabang industri dari pertambangan mineral (Cooperminas, contohnya, memiliki 381 buruh) hingga tekstil (sejumlah banyak perusahaan kecil, hampir seluruhnya dioperasikan oleh perempuan) dan layanan pariwisata.

ANTEAG melihat pengelolaan buruh (worker management) sebagai suatu model organisasional yang mengkombinasikan kepemilikan kolektif terhadap alat-alat produksi dengan partisipasi demokratik dalam pengelolaan. Model tersebut juga berarti otonomi, yang oleh karenanya para buruh bertanggungjawab terhadap pengambilan keputusan dan kendali perusahaan. Model otonomi mengurangi dipekerjakannya manajer-manajer profesional, dan bila mempekerjakan kaum profesional, mereka harus selalu di bawah kontrol kolektif.

Argentina telah menempuh jalan berbeda dalam hal pabrik yang dijalankan buruh. Di sana, gerakannya muncul saat puncak krisis ekonomi negeri itu dan berkembang maju dengan sangat cepat. Pembentukan usaha-usaha tersebut di Argentina dihubungkan dengan pengalaman akar-rumput dalam gerakan perlawanan yang lahir dari krisis. Gerakan pabrik-pabrik yang dijalankan buruh tumbuh dari kombinasi antara upaya buruh mempertahankan pekerjaannya, organisasi di antara kelompok-kelompok kelas menengah (kaum profesional, pegawai, teknisi) di majelis-majelis pemukiman (neighbourhood assemblies), dan pertemuan-pertemuan buruh pengangguran terorganisir yang dikenal dengan piqueteros. Semua kelompok ini terus memajukan tuntutan dan proposal mereka masing-masing, sambil membangun hubungan dengan usaha-usaha yang dijalankan buruh.

Mayoritas besar pabrik-pabrik yang diselamatkan di Argentina adalah yang berukuran kecil atau sedang, dan sebagian besar dirugikan oleh liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintahan Carlos Menem pada tahun 1990an. Mereka menjangkau sektor yang amat luas: lebih dari 26% adalah industri metalurgi, 8% manufaktur perangkat listrik. Perusahaan percetakan, transportasi, pemrosesan makanan, tekstil, gelas dan kesehatan masing-masing mewakili di bawah 5%. Setengah dari jumlah tempat kerja tersebut telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun dan, ketika diambil alih oleh para buruh, rata-rata mempekerjakan 60 karyawan. Hanya 13% memiliki lebih dari 100 pekerja.

Sekitar 71% pabrik yang dijalankan buruh mendistribusikan pendapatannya secara egalitarian (buruh pembersih [janitor] mendapat bagian sama dengan pekerja berketrampilan tinggi), dan hanya 15% melanjutkan kebijakan upah yang diterapkan sebelum pendudukan pabrik. Meskipun proses penyelamatan pabrik dimulai pada pertengahan 1990an, dua pertiga dari perusahaan tersebut diambil-alih pada tahun-tahun kataklismik sosial 2001 dan 2002. Ini menggarisbawahi hubungan dekat antara gerakan perlawanan akar-rumput terhadap krisis ekonomi dan pengambil-alihan pabrik.

Tujuh dari 10 pabrik diselamatkan hanya setelah pertarungan sengit – pengambil-alihan secara fisik dalam hampir setengah jumlah kasus dan “acampadas en la puerta” (pendudukan berkepanjangan di gerbang-gerbang pabrik) dalam 24% kasus. Dalam kasus-kasus ini, pendudukan paksa bertahan rata-rata selama lima bulan, yang menunjukkan intensitas konflik yang dijalani para buruh sebelum memenangkan kendali pabrik.

Survey menunjukkan bahwa pabrik-pabrik yang menjalani konflik intens dan panjang adalah yang paling cenderung menerapkan distribusi pendapatan secara egalitarian dan mengambil bagian dalam majelis-majelis pemukiman dalam pemukiman kelas menengah. Hanya 21% perusahaan yang diselamatkan mempertahankan para pengawas (foremen) mereka yang lama, dan hanya 44% mempekerjakan personil administrasi mereka. Maka, lebih dari setengah pabrik-pabrik yang direbut memulai produksinya dengan hanya kerja-kerja manual. Terlepas dari pertempuran sengit dan seringkali melelahkan untuk memenangkan kendali pabrik, tempat-tempat kerja tempat berlangsungnya pertempuran sengit menunjukkan tingkat kesuksesan tertinggi – rata-rata 70% kapasitas keluaran digunakan dalam pabrik-pabrik ini dibandingkan dengan 36% di pabrik bertingkat konflik rendah. Serupa dengan itu, fasilitas-fasilitas yang ditinggalkan oleh para supervisor dan pengelola menggunakan kapasitas produktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang masih melibatkan supervisor dan pengelola (70% versus 40%).

Pandangan sekilas terhadap beberapa pengalaman spesifik mengungkapkan salah satu aspek paling menarik dari gerakan di Argentina – hubungan erat yang dibangun antara para buruh di perusahaan yang diselamatkan, warga terorganisir dalam majelis-majelis pemukiman dan kelompok-kelompok piquetero. Melalui berbagai bentuk kolaborasi erat, para buruh berhasil memperluas jaringan mereka hingga melampaui lantai pabrik.

Dua usaha yang diselamatkan – Chilavert (rumah grafis) dan El Aguante (pembuatan roti) – mampu bertahan berkat peran kepemimpinan yang dimainkan oleh majelis-majelis pemukiman dalam mengambil alih fasilitas. Pada akhir Mei 2002, para pengelola Chilavert, berlokasi di wilayah Pompeya di Buenos Aires, menelpon polisi untuk mengusir para buruh yang menduduki pabrik. Majelis Kerakyatan Pompeya, maupun berbagai majelis dan kelompok warga lainnya, melibatkan diri dengan menyerukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah ini dan kemudian mengkomunikasikan via telefon atau omongan mulut untuk mengirimkan kelompok-kelompok pemukiman untuk mendukung para buruh dalam berulang kali upaya pengusiran. Situasi serupa muncul di pabrik-pabrik lain. Dalam banyak kasus, aliansi antara buruh dan warga pemukiman terbukti krusial, baik dalam hal warga yang terorganisir dalam majelis atau yang secara formal tidak terorganisir sama sekali.

Panificadora Cinco (sebagaimana Koperasi El Aguante dikenal sebelumnya) ditutup pada bulan Oktober 2001, 80 karyawannya di-PHK tanpa uang tunjangan. Pada April 2002, majelis pemukiman Carapachay demi mencari cara mendapatkan roti murah membangun hubungan dengan suatu kelompok beranggotakan 20 buruh yang di-PHK oleh pabrik pembuat roti tersebut. Setelah suatu pertemuan bersama, warga dan mantan buruh mengambil alih pabrik. Selama 45 hari mereka melawan percobaan pengusiran, sementara warga sekitar dan buruh mendirikan tenda di luar pabrik dalam sebuah aguante (secara longgar ditejemahkan sebagai “daya tahan”). Mereka akhirnya berhasil memenangkan kepemilikan pabrik tersebut.

Solidaritas oleh warga lingkungan memainkan peran menentukan: anggota majelis, piqueteros dan aktivis kiri yang bertugas patroli keamanan menyelenggarakan tiga festival: aksi jalan di barrio, kecaman publik terhadap pemilik, upacara May Day, temu wicara, perdebatan dan aktivitas budaya. Meskipun ini suatu pengecualian (exceptional) , kasus ini mengungkap bagaimana suatu perjuangan sosial dapat menarik garis teritori baru, membangun hubungan antara sektor masyarakat yang sebelumnya saling tidak peduli.

Dalam kasus perusahaan metalurgi IMPA, organisasi buruh membantu konsolidasi kelompok pemukiman sekitar dan merekatkan aliansi yang lebih kuat di antara keduanya. Pabrik yang dijalankan pegawainya itu mendapat dukungan warga sekitar bahkan sebelum para buruhnya mengorganisir majelis di zona itu. Kemudian para buruh berkeputusan membuat suatu pusat budaya sebagai upaya merangkul komunitas sekitar dan membangun solidaritas dengan gerakan sosial dan warga lingkungan. Pusat tersebut merupakan suatu keberhasilan dan membuka jalan bagi upaya yang kini ditempuh oleh pabrik-pabrik lainnya yang diselamatkan, yang para buruhnya menyadari pentingnya melepaskan diri dari isolasi dalam pabrik dan gudang-gudang.

Secara serupa, di tengah-tengah konflik di suatu koperasi roti bernama Harapan Baru, sebuah kelompok yang terdiri dari anggota majelis pemukiman, para psikologis yang memiliki hubungan dengan majalah Topia, dan artis-artis lokal membawa suatu proposal ke hadapan majelis buruh untuk mendirikan suatu pusat seni dan budaya untuk menggalang dukungan warga pemukiman dan mengangkat profil sosial koperasi tersebut. Kini pusat budaya tersebut menyelenggarakan pelatihan harian di bidang musik, teater, tari, sandiwara boneka, sastra dan pertamanan; menawarkan resital dan sandiwara; menayangkan film-film pilihan untuk dewasa maupun anak-anak; dan mengorganisir konferensi bagi para intelektual ternama.

Contoh-contoh ini mendemonstrasikan salah satu karakteristik unik gerakan buruh: masih sebagai benih namun membesar dan menyebarkan akar-akar teritorial. Hubungan antara usaha-usaha yang dijalankan buruh dan majelis pemukiman menunjuk kepada minat masyarakat yang semakin besar dalam berkomitmen mensukseskan perusahaan tersebut dan juga kepada tekad para buruh untuk menjangkau ke luar gerbang pabrik dan merasa sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, ini dimanifestakan oleh komitmen pabrik untuk mempekerjakan warga lingkungan yang menganggur untuk mengisi lowongan pekerjaan. Maka, dengan menjaga aktivisme komunitas, membangun kembali ikatan sosial dan bergerak menuju “teritorialisasi” perjuangan, gerakan penyelamatan-pekerjaan (job-recovery movement) berupaya menangani permasalahan yang dihadapinya: hubungan antara operasi yang dikelola pegawai dengan pasar lokal.

Solidaritas bermula ketika muncul kolaborasi antara warga sekitar (bertindak secara individual atau melalui majelis), pabrik-pabrik yg dijalankan buruh, kelompok-kelompok mahasiswa dan piqueteros. Ketika suatu pabrik mulai beroperasi di bawah kendali buruh, solidaritas ini biasanya mengambil dua jalan: itu dapat terinstitusionalkan lewat organisasi yang besar dan stabil seperti ANTEAG di Brasil, atau, sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat kerja di Argentina, hubungan horizontal dapat terjalin dengan inisiatif lainnya, seperti pusat budaya di pabrik-pabrik atau inisiatif yang menyangkut kebutuhan gerakan secara keseluruhan, khususnya mengenai hubungannya dengan pasar.

Brasil telah mengembangkan suatu gerakan lebar yang dihubungkan dengan solidaritas ekonomi, dengan seluruh jaringan distribusi hasil produksi dibuat oleh kaum tani tanpa tanah (landless peasants) dan koperasi produksi. Di Argentina, hubungan ini telah terbirokratisasi tapi kini lahir kembali di tingkat akar-rumput. Di puncak krisis ekonomi, jaringan barter tumbuh secara eksponensial, pernah hingga melibatkan dua sampai lima juta rakyat. Meskipun gerakan barter kemudian menurun, ia berkontribusi terhadap perdebatan tentang bagaimana menjalankan perdagangan di luar pasar monopolistik. Pengalaman baru yang dikembangkan di Argentina berupaya menghindari pembentukan struktur besar yang melebihi kontrol kolektif akar-rumput dan sebaliknya lebih memilih hubungan “muka ke muka”.

Menyusul protes massa pada 19 dan 20 Desember 2001 yang berujung pada kejatuhan Presiden Argentina Fernando de la Rua. Hubungan produksi antara pabrik-pabrik yang terselamatkan, piqueteros, kaum tani dan majelis pemukiman telah berlipat ganda. Sifat umum dari sektor-sektor dan gerakan sosial ini adalah bahwa mereka cenderung memproduksi untuk kebutuhan mereka sendiri. Kelompok seperti piqueteros menanam tanaman, memanggang roti dan memproduksi barang-barang lainnya, dan sebagian mendirikan peternakan babi dan kelinci atau penangkaran ikan. Sejumlah majelis lingkungan memanggang roti, memasak makanan, menyediakan produk-produk kebersihan dan kosmetik, atau berkolaborasi dengan cartoneros (orang yang hidup dari memulung dan mendaur ulang sampah).

Beberapa majelis warga melakukan kerja-kerja menarik yang mengaburkan pemisah antara produsen dan konsumen. Terdapat 67 majelis kerakyatan di Buenos Aires dan lebih dari setengahnya bersifat otonom dan terkoordinasikan di tingkat teritorial. Sektor ini secara aktif menjunjung perdagangan adil (fair trade) dan solidaritas melalui konsumsi yang cermat. Beberapa aktivitas komersial juga telah menumbuhkan berbagai upaya lintas sektor: produsen di pedesaan, piqueteros, anggota majelis dan buruh pabrik yang terselamatkan mulai menjalin ikatan langsung tanpa mediasi pasar. Dalam satu sisi, upaya experimental ini memulihkan sifat asli pasar, yang digambarkan oleh Fernando Braudel dan Immanuel Wallerstein sebagai berkarakter transparan, berprofit sedang, kompetisi terkendali, kebebasan, dan di atas segalanya, dalam wilayah “rakyat biasa”.

Beberapa pengalaman mendemonstrasikan prinsip-prinsip tersebut dalam prakteknya: Palermo, di pinggiran Buenos Aires, menyelenggarakan pameran perdagangan adil selama dua hari tiap minggu dengan menggelar lebih dari 100 stan. Pameran itu hanya menjual produk yang dibuat oleh majelis pemukiman, kelompok piquetero dan pabrik-pabrik yang diselamatkan. Barang yang dijual meliputi tas yang dibuat dari bahan bekas, alat-alat pembersih, roti, popok, komputer daur ulang, kertas daur ulang, pasta buatan tangan, kerajinan tangan dan selai.

Dalam contoh lainnya, buruh dan warga berkolaborasi dalam produksi dan distribusi satu merek yerba mate (teh yang populer di wilayah tersebut) yang dikenal sebagai Titrayju (akronim untuk Tierra, Trabajo, y Justicia, atau Tanah, Buruh, dan Keadilan). Teh ini diproduksi oleh suatu organisasi produsen rural kecil di Argentina utara yang bernama Gerakan Agraria Misiones. Pengoperasiannya telah menghindari eksploitasi perantara pada tahun lalu dengan bermitra dengan 30 majelis pemukiman yang menjual dan mendistribusikan teh itu secara langsung di Buenos Aires, dengan dibantu piqueteros dan organisasi akar-rumput lainnya.

Menggunakan ruang kreatif yang dibuka oleh aksi-aksi protes menentang krisis ekonomi Argentina, Koperasi Majelis (Cooperativa Asamblearia) didirikan pada 2004 oleh majelis di pemukiman berpenghasilan menengah dan menengah-atas di Nunez dan Saavedra. Majelis itu pertama-tama memulai dengan pembelian oleh komunitas (community purchasing), kemudian mengorganisir suatu koperasi yang mendistribusikan berbagai produk dari lima pabrik yang terselamatkan, sebuah koperasi agraria dan beberapa majelis pemukiman lainnya. Hal serupa juga sedang dilakukan oleh mantan pegawai El Tigre, sebuah supermarket yang dikelola buruh di kota Rosaria yang menjual produk-produk dari pabrik-pabrik terselamatkan di seluruh negeri maupun dari kebun-kebun komunitas dan petani kecil.

Meskipun gerakan di Argentina masih dalam tahap awalnya, ia telah menciptakan bentuk-bentuk pemasaran baru yang melampaui pengaturan barter yang mengawalinya. Guna dari barter adalah untuk menciptakan suatu alat penukar yang dapat memfasilitasi suatu sistem ekonomi alternatif yang masif. Upaya baru ini, di sisi lain, memproritaskan kriteria etik dan politik sehubungan dengan bagaimana barang-barang diproduksi dan dipasarkan, dan mereka berupaya menutup jurang antara produsen dan konsumen dengan mempromosikan hubungan langsung, dari muka-ke-muka. Koperasi Majelis, contohnya, berupaya “mempromosikan produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi barang dan jasa dari pabrik-pabrik yang dikelola buruh, yakni, produk yang merupakan buah hasil kerja kepemilikan kolektif buruh,” menurut sebuah brosur yang memperkenalkan Koperasi itu. Tiga prinsip dasar yang memandu aksi-aksi kelompok itu: produksi yang dikelola buruh, konsumsi yang bertanggung jawab dan perdagangan adil. Prinsip-prinsip ini membentuk bagian dari ekonomi solidaritas yang diupayakan pembangunannya oleh usaha-usaha yang dijalankan buruh dan organisasi pemukiman untuk melepas ketergantungan mereka terhadap pasar dominan.

Catatan :

*Naskah Asli dari :

Raul Zibechi, “Worker-Run Factories: From Survival to Economic Solidarity,” (Silver City, NM: International Relations Center, August 1, 2004)

Diterjemahkan ke Bahasa Inggris untuk International Relations Center (IRC) oleh Laura Carlsen; diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Data Brainanta

______________________________

Komentar penerjemah: tulisan ini mendeskripsikan gerakan pendudukan (penyelematan) pabrik di Argentina saat puncak krisis ekonomi-politik dan Brasil pada saat kemerosotan ekonomi di mana – berbeda dengan kasus Venezuela – pemerintah tidak secara terbuka mendukung gerakan tersebut sehingga keberlangsungannya menjadikan solidaritas dan kerjasama antar sektor rakyat lainnya, bukan sekedar buruh, sebagai faktor yang sangat menentukan.

REVOLUSI KUBA DAN CITA-CITA PENYATUAN AMERIKA LATIN

Oleh Jesus S. A.

Hands Off Venezuela – Indonesia

Pada awalnya saya — dan (mungkin) juga anda — mengenal revolusi Kuba karena ketenaran salah seorang pejuangnya yang heroik, flamboyan, romantis, dan tak kenal kompromi: Che Guevara. Dan kali ini saya tidak sedang mengajak anda untuk membicarakan sosok Che dengan segala kharismanya, tetapi memeriksa kembali cita-cita besar dari Revolusi Kuba.

Revolusi Kuba adalah revolusi yang pertama di Amerika Latin yang membebaskan bangsa itu dari kuk imperialisme dan melakukan tugas-tugas demokratik, yang secara historis, belum pernah terjadi. Revolusi Kuba mampu berbuat sesuatu yang sangat fundamental. Seperti pernah terjadi dalam Revolusi Rusia tahun 1917, Revolusi Kuba menggunakan kekuatan revolusioner yang konsisten dari kaum proletar dan massa rakyat.

Digerakkan oleh semangat yang kuat, Revolusi Kuba telah mengemban aspirasi-aspirasi programatik dari arus yang paling revolusioner. Ini yang pertamakalinya sejak meninggalnya Jose Marti (1895), pemimpin gerakan pembebasan Kuba dari penjajahan Spanyol. Pemimpin pasukan gerilya internasionalis dalam proses revolusi tersebut, Comandante Che Guevara, memiliki rencana-rencana strategis revolusioner. Tentara Pembebasan Nasional dibawah komandonya akan disatukan di atas dasar strategi tunggal yang meliputi seluruh gerakan revolusioner Amerika Latin, dan selanjutnya akan dintegrasikan kedalam Tentara Proletariat Internasional. Setelah terlibat dalam revolusi Congo dan menyaksikan kekalahannya, Che semakin yakin akan pentingnya penyatuan kekuatan-kekuatan bersenjata secara internasional (paling tidak seluruh kawasan) untuk menumbangkan bangsa-bangsa penjajah. ”Inisiatif mengenai Tentara Proletariat Internasional tidak akan mati,” demikian tulisnya.

Ketika Che dan Kubanya, kamerad-kamerad Bolivia dan Peru berjuang di Bolivia, suatu peristiwa historis terjadi di Havana. Berbagai gerakan revolusioner dan organisasi-organisasi kiri dari seluruh negera-negara Amerika Latin bertemu pada konferensi Organisasi Solidaritas Amerika Latin (OLAS). ”Berbagai organisasi hadir disini” kata Armando Hart, delegasi Kuba, ”bertemu untuk membicarakan strategi perjuangan bersama guna melawan imperialis AS, oligarki-oligarki borjuis, dan para tuan tanah, yang telah disetir oleh kepentingan pemerintah AS. Delegasi Kuba hadir sebagai partai revolusioner. Tesis kami didasarkan atas ideologi Marx dan Lenin. Kami adalah ahliwaris tradisi revolusioner Amerika Latin. Kami akan setia pada tradisi ini. Karl Marx pernah berkata pada saat komune Paris, bahwa tujuan dari revolusi massa adalah menghancurkan mesin birokrasi militer sebuah negara dan menggantikannya dengan tentara rakyat. Selanjutnya Lenin berkata bahwa gagasan ini meletakkan pelajaran fundamental dari Marx dalam hubungan dengan tugas-tugas proletariat dalam revolusi. Delegasi kami menganggap bahwa pengalaman historis ini memperkuat penegasan dari Marx dan Lenin ini. Kami menganggap perlunya ada analisis mengenai pandangan Marx dan Lenin serta konsekensi-konsekuensi praxisnya.”

Dalam pidato mengenai strategi revolusi yang akan dikembangkan di seluruh kawasan (Amerika Latin), delegasi Kuba mengingatkan kembali bahwa ”nilai dan kebesaran konsepsi dari Jose Marti bisa diukur dengan apa yang tengah terjadi: [Marti] menanamkan cita-cita Bolivarian, yaitu dengan menyatukan negara-negara Amerika Latin menjadi satu negara yang besar yang dimulai dari perjuangan bagi pembebasan Kuba sebagai bagian dari revolusi Amerika Latin”. Pada saat yang sama, delegasi Kuba mengatakan bahwa ”hari ini, solidaritas revolusioner rakyat Amerika Latin memiliki kekuatan yang luar biasa, karena cita-cita mengenai penyatuan negara-negara Amerika Latin menjadi satu negara yang besar telah diperkuat.”

Setahun kemudian, Peredo, anggota pasukan gerilya Bolivia yang selamat, mempertegas pentingnya dan harapannya mengenai penyatuan Amerika Latin, ”keberhasilan pasukan revolusionerlah yang akan memapankan sosialisme di Amerika Latin, tidak hanya sebagai kawasan kami, tetapi juga negara kami.”

Selanjutnya, cita-cita besar tentang penyatuan Amerika Latin, dimana Amerika Latin akan menjadi satu negara yang besar — seperti yang dicita-citakan oleh para pejuang sebelumnya seperti simon Bolivar dan Jose Marti — harus didengungkan kembali dan didukung oleh negara-negara di kawasan ini. Ini perlu secepatnya dilakukan guna mengamankan rakyat di seluruh Amerika Latin dari kondisi-kondisi yang meresahkan, yakni globalisasi kapitalis neoliberal yang agresif, busuk, dan mematikan.

Dalam konferensi OLAS pada tahun 1967, kita bisa membaca bahwa ada sebuah fakta yang secara mendalam belum dievaluasi: sekompok masyarakat dengan jumlah besar dengan teritori yang sangat luas mampu bertahan dalam kultur, interes, dan tujuan-tujuan anti-imperialis yang sama. Inilah pelajaran yang menarik yang bisa kita ambil. Kuba — dengan berbagai interpretasi atasnya, terutama sosialisme yang berkembang disana — merupakan pelopor bagi revolusi-revolusi di Amerika Latin hari ini dan yang akan datang. Dan Amerika Latin, sebagai kawasan yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, memiliki semangat perlawanan yang sama. Imperialisme, kapitalisme, bagi rakyat Amerika Latin, tak lebih dari perampas dan penindas yang terus menerus harus dilawan.

Membicarakan Revolusi Kuba yang terjadi 48 tahun lalu sebagai peristiwa sejarah, mungkin, tidak terlalu menarik. Tetapi semangat Kuba dan konsistensinya dalam perang melawan imperialisme, adalah hal yang menarik untuk dimunculkan kembali terkait pembangunan Sosialisme Abad 21. Dan isu penyatuan kawasan yang dibicarakan pada tahun 1967 lalu di Havana, yang didasarkan atas ideologi Marxis, bisa menjadikan alternatif bagi pembangunan politik anti-neoliberalisme di kawasan-kawasan lain guna membendung derasnya arus neoliberalisme dan senjata untuk menumbangkan kapitalisme global.

Akhirnya, pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, sebuah teori yang revolusioner dan komprehensif untuk mewujudkan cita-cita besar mengenai penyatuan Amerika Latin yang pernah dibicarakan dalam konferensi OLAS 41 tahun yang lalu sangatlah perlu. Sebuah teori revolusi yang pernah diterapkan Stalin yang kita kenal dengan ”teori revolusi bertahap” terbukti gagal. Hasil dari teori revolusi bertahap selalu sama: revolusi hanya dikenang sebagai peristiwa sejarah tetapi tugas-tugas dari revolusi tidak selesai. Satu-satunya cara untuk memastikan terjadinya revolusi demokratik nasional adalah dengan menyelesaikan tugas-tugas revolusi sosialis. Dan inilah esensi dari sebuah teori yang dikembangkan oleh Trotsky, yaitu ”teori revolusi permanen”.

Untuk menjadi satu negara yang besar, Amerika Latin harus menjadi sosialis. Untuk menjadi sosialis, Amerika Latin harus bersatu. Sebuah masyarakat sosialis tidak mudah dikerjakan dalam lingkup perbatasan-perbatasan nasional. Sebagaimana kata Trotsky, ”program sosialisme dalam satu negara adalah sebuah utopia kaum borjuis kecil.”

_____________

Sumber Tulisan :

  1. Ernesto Che Guevara, ”Pasajes de la guerrarevolucionaria: Congo”, 1999.
  2. ”Informe de la delegacion cubana a la Primera Conferencia de la OLAS”, 1967
  3. Guido ”Inti” Peredo, ”Ala guerrilla boliviana no ha muerto! Acaba apenas de comenzar”, 1968.

Venezuela: Melawan Logika Globalisasi

Oleh : Steve Ellner,

Diterbitkan dalam :

NACLA Report of the Americas, Empire & Dissent; Vol. 39 No. 2 September/October 2005

Kemampuan presiden Hugo Chavez untuk terus-menerus menjalankan berbagai reformasi signifikan di tengah permusuhan AS dan oposisi domestik dukungan AS memberikan pengaruh penting bagi perjuangan progresif di Amerika Latin. Kesuksesan Chavez meletakkan keraguan pada pandangan bahwa dalam dunia kapitalisme global saat ini tidak mungkin lagi bagi negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia untuk secara efektif melawan tatanan neoliberal “pasar-bebas”.

Persyaratan berbasis-pasar yang berkelanjutan bagi segala bantuan ekonomi (termasuk penghapusan hutang) dari Amerika Serikat dan institusi keuangan internasional dominasi AS mungkin memperkuat pandangan bahwa “tidak ada alternatif” terhadap kebijakan pasar-bebas, sebagaimana terkenal dicetuskan oleh Thatcher. Tapi pengalaman Chavez bertentangan dengan diktum Thatcher dan mengangkat pertanyaan menarik tentang apakah jalan Venezuela dapat dipraktekkan di negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia lainnya. Naiknya berbagai pemerintahan kiri-tengah ke kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir di Argentina, Brasil dan Uruguay menjadikan pertanyaan ini dalam sorotan.

Sejak awal sasaran kunci Chavez adalah untuk mencapai – dan mempertahankan – kekuasaan negara untuk mendorong perubahan radikal. Untuk tujuan itu, ia membangun partai politik terbesar di negeri itu, Gerakan Republik Kelima (MVR), yang telah memerintah sejak 1998 dengan beraliansi dengan partai-partai kiri yang lebih kecil. Sebelum berkuasa, ia mengkritik Fransisco Arias Cardenas, orang kedua pemegang komando dalam kudeta militer gagal yang dipimpinnya pada 1992, karena mengincar jabatan gubernur negara bagian pada 1995 bukannya berkonsentrasi mencapai kekuasaan nasional. Sebagai respon jalan lokal yang dipilih Arias, Chavez menyatakan, “Merebut kekuasaan melalui jabatan walikota atau gubernur untuk memiliki panggung bagi kemajuan-kemajuan lebih jauh adalah kebohongan yang akan selalu menenggelamkanmu ke dalam rawa-rawa.”

Gebrakan radikal aksi-aksi Chavez sejak kemenangan elektoral awalnya pada 1998 melampaui keumuman dan diskursus. Memang, banyak program reformasi dan aksinya telah merongrong kepentingan ekonomi kaum berkuasa Venezuela dan kelompok-kelompok transnasional. Pemerintahan MVR, contohnya, telah menahan laju dari skema yang dijalankan oleh pendahulu neoliberal Chavez yang berpihak pada privatisasi jaminan sosial, industri aluminum dan industri minyak yang teramat penting. Alokasi dana pemerintah berpihak pada kaum miskin dan dengan signifikan menaikkan persentase anggaran nasional untuk pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan kredit bagi unit usaha berskala kecil. Lebih jauh lagi, peran aktivis Venezuela di OPEC dalam setahun pertama pemerintahan Chavez, melebihi negara anggota lainnya, berperan mengembalikan harga minyak ke tingkat tahun 1970an. Dan akhirnya, sejak awal 2005 “Komisi Intervensi” yang ditunjuk Chavez telah memeriksa kembali legalitas surat-surat kepemilikan tanah pertanian, dengan demikian mengancam kaum pemilik tanah besar dengan kehilangan kepemilikannya.

Respon AS terhadap Chavez menyusul terpilihnya ia pada 1998 dipandu oleh kebijaksanaan konvensional saat itu mengenai keniscayaan kembalinya ia ke kebijakan neoliberal. Duta Besar AS John Maisto mendukung pendekatan garis-lunak dan berhasil meyakinkan Departemen Negara bahwa Chavez harus dinilai dari aksi-aksinya, secara tak langsung menyatakan bahwa retorika radikalnya tak akan menghasilkan apapun. Pada saat itu, tesis Maisto sepertinya dapat diterima. Memang, selama kampanye presidensialnya, Chavez harus melunakkan posisinya yang menyetujui moratorium pembayaran hutang luar negeri dan sebaliknya mengkonsentrasikan proposal untuk majelis konstituante yang akan menghasilkan perubahan politik internal dengan penulisan kembali Konstitusi.

Selama dua tahun pertamanya menjabat, Chavez menekankan reformasi politik. Pada 2001, walau demikian, pemerintahan MVR mengesahkan rangkaian undang-undang dengan kandungan sosio-ekonomi yang signifikan, termasuk reformasi agraria dan sebuah undang-undang yang menjamin kepemilikan mayoritas negara dalam semua operasi industri minyak. Radikalisasi pemerintahan ini bersamaan dengan permulaan Administrasi Bush, dan pengerasan sikap global Washington menyusul 9/11. Perkembangan di AS ini membuat kaum oposisi Venezuela semakin berani, yang kini mengklaim bahwa hari-hari Chavez sebagai presiden telah dihitung. Keyakinan kaum oposisi terhadap tesis Thatcher tentang keniscayaan neoliberalisme bisa jadi telah mempengaruhi para pimpinannya untuk meremehkan Chavez dan berakibat bencana bagi mereka. Kesalahan kalkulasi ini terterjemahkan menjadi berbagai skema-skema gagal untuk mendepak Chavez tanpa rencana untuk menghadapi kekalahan.

Pada 2002, sikap AS terhadap Chavez mulai bersinggungan dengan rencana partai-partai tradisional kaum oposisi yang selama itu mempertahankan sikap tak berkompromi. Dukungan Administrasi Bush pada kudeta singkat terhadap Chavez pada April 2002, persetujuannya terhadap pemogokan umum 10-minggu yang sama sia-sianya pada tahun itu dan upaya-upayanya yang lebih baru belakangan ini untuk mengisolasi Venezuela dari para tetangganya bukanlah sekedar reaksi terhadap reformasi-reformasi tertentu yang mengancam kepentingan ekonomi. Washington takut terhadap “efek demonstrasi,” yakni pengaruh yang dapat disebabkan oleh contoh Venezuela terhadap negeri lain di benua tersebut.

Efek demonstrasi yang cukup berbeda telah berpihak pada Washington 10 tahun lebih awal dengan keruntuhan Uni Soviet. Para kampiun neoliberalisme dan globalisasi mengacu pada nasib sosialisme Soviet sebagai bukti nyata bahwa segala bentuk intervensi negara dalam ekonomi ditakdirkan gagal. Dengan meletakkan keraguan pada tiap kemungkinan yang dapat efektif menentang sistem kapitalisme global yang dominan, demonstrasi ini merugikan kaum kiri sedunia, apa pun pandangan mereka terhadap Uni Soviet. Ketakutan Washington adalah Venezuela Chavez dapat memberikan efek sebaliknya dengan mendemonstrasikan kemungkinan melawan model neoliberal dan mendirikan alternatif yang mampu bertahan.

Pengaruh Chavez di hemisfer (belahan bumi, pen.) tersebut dapat dirasakan di tingkat rakyat maupun diplomatik. Ia telah menjadi pahlawan bagi jutaan rakyat Amerika Latin yang tak diistimewakan, yang mengagumi keberaniannya dan dengan cermat mencatat keberhasilan-keberhasilan politiknya. Beberapa aktivis dan pemimpin telah bereaksi serupa. Berbeda dengan reaksi bercampur terhadap pidato Lula pada Forum Sosial Dunia 2005 di Porto Alegre, Brasil, Chavez mendapat tepukan menggelegar. Chavez menekankan komitmennya pada perjuangan akar-rumput ketika ia mengatakan kepada massa: “Saya di sini bukan sebagai Presiden Venezuela…Saya hanya Presiden karena situasi-situasi tertentu. Saya Hugo Chavez dan saya seorang aktivis sekaligus revolusioner.”

Di tingkat diplomatik, Chavez telah berhati-hati untuk menghindari kesalahan Kuba pada tahun 1960an, ketika Fidel Castro berseru kepada kaum kiri dan rakyat kebanyakan di seluruh Amerika Latin, tapi dengan melakukan itu kehilangan strategi aliansi dengan pemerintahan yang ada. Akibatnya, Washington dapat mengisolasi Kuba dari komunitas bangsa-bangsa Amerika Latin. Dengan kontras, terlepas dari retorikanya yang berapi-api, Chavez menjaga hubungan baik dengan presiden-presiden berorientasi neoliberal seperti Vicente Fox di Mexico, Ricardo Lagos di Chile dan Alejandro Toledo di Peru, yang mana ketiganya segera menolak kudeta anti-Chavez pada 2002. Chavez bahkan membantu Presiden Bolivia, Carlos Mesa, yang sedang susah payah bertahan sebelum dipaksa turun Juni lalu, dengan berseru kepada gerakan sosial Bolivia yang siap bertempur untuk membiarkannya menyelesaikan masa jabatannya.

Kepemimpinan dan inisiatif diplomatik Chavez dapat berpotensi membawa perubahan dramatik di Amerika Latin – tak diragukan lagi ini sumber keprihatinan bagi Washington. Kaum kiri telah mencatat kemajuan elektoral dalam beberapa tahun belakangan, dan kemenangan calon-calon kiri-tengah dalam pemilu presidensial di Bolivia, Ekuador, Meksiko dan Nikaragua dalam satu setengah tahun ke depan akan lebih jauh lagi merubah korelasi kekuatan di benua itu.

Pergeseran politik seperti itu dapat menyebabkan aksi kolektif dalam berbagai lini (front) menurut garis yang telah ditarik oleh Chavez. Ia menyerukan pembentukan persekutuan hemisferik Amerika Latin – “Alternatif Bolivarian untuk Amerika” (ALBA) – sebagai alternatif terhadap Wilayah Perdagangan Bebas Amerika (FTAA) yang disponsori Washington. Chavez berpengaruh dalam membuyarkan rencana-rencana yang sejak lama dipupuk oleh Bush untuk mendirikan FTAA pada 2005.

Dukungan Chavez terhadap negosiasi kolektif hutang luar negeri Amerika Latin bahkan jauh lebih membahayakan kepentingan AS. Dalam hal ini, ia telah mendesakkan dalam berbagai konferensi internasional agar 10% pembayaran hutang luar negeri dialihkan kepada Dana Kemanusiaan Internasional yang akan menyediakan bantuan bagi program-program sosial tanpa menyertakan ikatan-ikatan neoliberal seperti biasanya. Chavez mendapat dukungan resmi bagi rencana pembentukan Dana ini pada KTT Presiden Ibero-Amerika yang digelar bulan November 2003.

Bahkan dalam subyek yang lebih sensitif, Washington secara khusus memprihatinkan de-dolarisasi penjualan minyak internasional. Ekonomi AS disokong oleh penggunaan dolar secara khusus dalam pertukaran internasional dan sebagai cadangan mata-uang utama di dunia. Di bawah Chavez, Venezuela melangkahi dolar dengan menjalankan kesepakatan-kesepakatan barter non-moneter untuk minyaknya dengan lebih dari selusin negeri Amerika Latin dan Karibia. Ia telah menyerukan negara-negara OPEC lainnya untuk membentuk kesepakatan serupa. Satu kesepakatan pertukaran serupa itu melibatkan minyak untuk ditukar dengan kehadiran 12.000 dokter Kuba, yang telah mendirikan klinik dan bekerja tanpa bayaran di wilayah-wilayah termiskinkan di seluruh negeri itu.

Dalam OPEC, Chavez menekankan penurunan daya beli dolar sebagai argumen untuk meningkatkan harga minyak denominasi dolar. Dan beberapa perwakilan pemerintah Venezuela telah mengangkat kemungkinan menjual persentase minyak dalam mata uang euro. Duta besar negeri itu untuk Rusia sekaligus seorang pakar perminyakan, Francisco Mieres, mendiskusikan usulan ini dalam konferensi tahun 2001 di Moscow bertemakan “Ancaman Tersembunyi dari Krisis Mata Uang”.

Walau demikian, lebih baru ini ketegangan dengan industri minyak telah termanifestasi. Pada awal 2005 Exxon-Mobil mengumumkan bahwa mereka mempertimbangkan arbitrase untuk menentang peningkatan royalti pemerintah dari 1% ke 16,66% dalam penjualan minyak non-konvensional dari wilayah Timur negeri itu. Exxon Mobil mengklaim bahwa kenaikan itu melanggar ikatan kontrak-kontrak legal, tapi pemerintah menekankan bahwa kesepakatan sebelumnya dibuat ketika harga minyak – dan keuntungannya – hanyalah fraksi kecil dari tingkat harga saat ini. Pada saat itu juga, bendera merah diangkat oleh sektor swasta asing. Deutsche Bank baru-baru ini menurunkan penilaiannya terhadap perusahaan minyak berbasis AS Conoco-Philips, salah satu investor utama di Venezuela, karena keprihatinannya bahwa hubungan yang menguntungkan saat ini antara perusahaan minyak transnasional dan pemerintah Venezuela dapat segera berubah.

Pengalaman Venezuela menunjuk ke arah berlawanan dari penulisan globalisasi saat ini yang meminimalkan peran negara-bangsa, terutama dalam negeri-negeri berkembang. Para analis dengan perspektif ini berargumen bahwa dalam ekonomi global saat ini, penekanan pada kedaulatan nasional oleh pemerintah-pemerintah kuat di dunia-ketiga tidak berpotensi untuk transformasi dan lebih lagi, itu bahkan tidak dimungkinkan. Para penulis yang mendukung tesis ini terbentang dari kiri hingga kanan dalam spektrum politik. Mereka yang di kanan, yang membela kebijakan luar negeri AS dan formula-formula pasar-bebas, mengasosiasikan negara-negara kuat di dunia ketiga sebagai oligarki lokal dan “kapitalisme kroni,” yang dituduh sebagai penyebab kegagalan besar-besaran neoliberalisme dalam memenuhi harapannya.

Beberapa penulis kiri yang menganalisa globalisasi juga memandang penguatan negara-negara dunia ketiga sebagai kesia-siaan. Sebagaimana telah kita lihat, tujuan Chavez sedari awalnya adalah untuk mencapai kekuasaan di tingkat nasional. Tujuan ini sangat dicurigai oleh beberapa dari mereka yang telah mencoret pentingnya negara-bangsa dan sebaliknya memuja perjuangan untuk otonomi lokal dan bersolidaritas dengan kelompok-kelompok seperti Zapatista di Meksiko.

Michael Hardt, contohnya, ko-penulis dari buku yang mendapat banyak pujian, “Empire”, menunjuk pada dua posisi berbeda mengenai “peran kedaulatan nasional” yang muncul dalam beberapa Forum Sosial Dunia. Di satu sisi, katanya, para pemimpin yang berasal dari organisasi yang umumnya terkenal secara internasional, ketika berpartisipasi dalam Forum membela kedaulatan nasional dunia-ketiga “sebagai penghalang defensif terhadap kontrol kapital asing dan global.” Posisi kedua didukung oleh mayoritas dari mereka yang menghadiri Forum dan berasal dari gerakan sosial yang terorganisir menurut beragam isu yang saling melengkapi satu sama lain. Kelompok kedua ini “menentang segala solusi nasional dan sebaliknya mengupayakan globalisasi demokratik.” Posisi kedua pada dasarnya demokratik dan menentang kapital, demikian argumen Hardt, sementara yang pertama bercirikan atas-ke-bawah (top-down) dan berpotensi menjadi otoriter. Hardt menyimpulkan bahwa “struktur terpusat dari negara berdaulat itu sendiri bertentangan dengan bentuk-jaringan horizontal (horizontal network-form) yang dikembangkan oleh gerakan [yang identik dengan posisi kedua].”

Tapi bertentangan dengan pernyataan Hardt, kekuasaan Chavez selama enam setengah tahun mendemonstrasikan bahwa pemerintahan dunia-ketiga dapat dengan kokoh menegakkan kedaulatan nasional dan di saat yang sama memajukan suatu agenda nasionalis-progresif untuk melawan kepentingan ekonomi yang berkuasa. Karakterisasi Hardt bahwa pemerintahan ‘pembebasan nasional’ dunia-ketiga sifat demokratiknya diragukan tidaklah sejalan dengan kompleksitas transformasi yang sedang berjalan di Venezuela. Meskipun gerakan Chavista dimulai secara sangat “vertikal,” dua rangkaian pemilihan internal dalam MVR (satu untuk pimpinan partai nasional dan satunya lagi dilangsungkan April lalu untuk memilih kandidat dalam pemilu lokal) merupakan langkah-langkah ke arah demokratisasi internal, terlepas dari problem-problem prosedural yang tercipta.

Sering pula diargumentasikan bahwa Venezuela Chavez terlalu berbeda dari negeri Amerika Latin lainnya untuk dapat memberikan pengaruh yang berkelanjutan. Harga minyak yang tinggi mendanai program-program kerakyatan dan maka menempatkan Venezuela ke dalam liga tersendiri. Lebih jauh lagi, Chavez mendapat dukungan krusial dari struktur militer yang perwiranya secara historik berasal dari kelas menengah dan menengah-bawah, secara tajam kontras dengan sifat ke-kasta-an angkatan bersenjata yang ada di hampir seluruh benua itu.

Ini adalah argumen-argumen yang cukup akurat, tapi walau bagaimanapun “proses revolusioner” Venezuela mengandung pelajaran-pelajaran penting bagi mereka di Amerika Latin yang mengkampiunkan keadilan sosial dan transformasi-transformasi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Pelajaran pertama adalah memupuk suara elektoral mayoritas yang substansial sangatlah diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan sosial berjangkauan-luas (far-reaching) melalui cara-cara demokratik. Chavez memperoleh 60% suara dalam sembilan pemilu yang digelar sejak 1998. Hasil ini tampaknya membuktikan pengamatan bahwa suara mayoritas tipis atau suara pluralitas, seperti 36% suara yang memilih Salvador Allende di Chile pada 1970, tidak mewakili suatu mandat untuk perubahan radikal.

Kedua, partisipasi aktif dan mobilisasi merupakan komponen kunci dalam proses tersebut. Chavez telah bersandar tidak sekedar pada dukungan elektoral atau pasif. Ia telah menjalankan strategi mobilisasi rakyat yang berkelanjutan dalam menghadapi aksi-aksi insurgensi musuh-musuhnya yang terbukti sangat diperlukan bagi keberlangsungan politiknya termasuk kembalinya ia setelah kudeta April 2002. Aksi-aksi jalanan massif yang mendukung proses Chavista telah dimungkinkan berkat keyakinan para jajaran bawah Chavistas bahwa retorika Chavez didasarkan pada kenyataan dan komitmen melalui perubahan, bukan manipulasi.

Pelajaran ketiga dari pengalaman Chavez adalah pentingnya ketepatan waktu (timing) dan pendalaman proses transformasi secara konstan via memperkenalkan tujuan baru menyusul tiap kemenangan politik. Kemenangan-kemenangan yang diikuti dengan slogan-slogan dan usulan-usulan baru termasuk pembentukan majelis konstituensi nasional pada 1999, kekalahan kudeta April 2002, kekalahan pemogokan umum Februari 2003, kekalahan pemilu penurunan presiden pada Februari 2003 dan pemilu kegubernuran dua bulan kemudian di mana Chavistas menang di seluruh negeri kecuali dua negara bagian.

Meski demikian, Venezuela masih jauh dari mengembangkan suatu sistem ekonomi baru yang memungkinkan Chavez untuk mengemas dan mengekspor suatu model ke negeri Amerika Latin lainnya. Pada Forum Sosial Dunia 2005 ia menyatakan diri sebagai “sosialis” dan menambahkan: “Kita harus merebut kembali sosialisme sebagai suatu tesis, suatu proyek dan suatu jalan, tapi suatu sosialisme jenis baru, yang manusiawi dan menempatkan manusia, bukan mesin atau pemerintah, di atas segalanya. Inilah perdebatan yang perlu kita kedepankan di seluruh dunia.” Venezuela, walau begitu, belumlah mendirikan sosialisme, setidaknya dalam pengertian tradisional kata tersebut, karena belum ada sektor ekonomi yang didaftarkan untuk dinasionalisasi. Bila ada suatu model baru yang muncul, ia didasarkan pada prioritas terhadap kebutuhan sosial, kemunculan koperasi pekerja dan produsen kecil baik di wilayah pedesaan dan perkotaan, dan penolakan pemerintah terhadap aliansi dengan kelompok kapitalis besar meskipun tidak membuang modus vivendi [hidup berdampingan dengan lawan, pen.] dengan mereka.

Kemampuan Venezuela dalam mempengaruhi bangsa-bangsa di Amerika bersandar pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan strategi Chavez. Dalam tahap ini, aspek terpenting dari efek demonstrasi Chavez adalah nasionalismenya, yang mendorongnya untuk menepis paksaan-paksaan AS; anti-neoliberalismenya, yang menghadang privatisasi; dan prioritas sosialnya yang telah diterjemahkan ke dalam program-program spesial di bidang kesehatan dan pendidikan. Emulasi [peniruan, pen.] kebijakan-kebijakan Chavez oleh negeri-negeri tetangga akan menunjukkan, kalaupun ada, bahwa pemerintah dunia-ketiga berada sangat tepat di tengah-tengah pertarungan politik dan bahwa alternatif nasional sesungguhnya ada, terlepas dari peringatan-peringatan serius dari para penulis terunggul tentang globalisasi.

__________________

Tentang Penulis :

Steve Ellner telah menerbitkan karya-karyanya yang ekstensif tentang politik dan sejarah Amerika Latin. Sejak 1994, ia mengajar kuliah sarjana di Sekolah Hukum dan Ilmu Politik di Universidad Central de Venezuela (UCV).

Diterjemahkan oleh Data B.

Keputusan Pengadilan London Memenangkan Venezuela dalam Perseteruannya Dengan Exxon

By James Suggett – Venezuelanalysis.com

18 Maret 2008

Mérida, March 18, 2008 (venezuelanalysis.com)- Hakim Inggris Paul Walker mengumumkan dalam ruang pengadilan di London hari ini bahwa pembekuan aset perusahaan minyak negara Venezuela, PDVSA, sejumlah $12 milyar harus dicabut. Keputusan ini adalah kekalahan telak bagi perusahaan minyak terbesar di dunia, ExxonMobil, yang pada 7 Februari secara sementara membekukan asetnya dalam perseteruannya dengan PDVSA mengenai nasionalisasi saham Exxon dalam proyek Sabuk Sungai Orinoco Venezuela yang dikenal sebagai Cerro Negro.

“Kami dapat katakan bahwa kami telah memenangkan satu lagi pertempuran, satu lagi kemenangan bagi rakyat kami, bagi pemerintah kami, dan yang paling penting adalah satu lagi kemenangan bagi negeri kami,” seperti dinyatakan oleh Menteri Minyak dan Petroleum Rafael Ramirez berhubung keputusan itu.

Duta Besar Venezuela di London, Samuel Moncada, menyebut keputusan itu sebagai “awal dari keakhiran pelecehan ExxonMobil terhadap Venezuela.” Moncada juga mengatakan bahwa negerinya “gembira” bahwa pengadilan Inggris “menolak dijadikan alat Exxon dalam memaksakan dirinya di ajang internasional melawan Venezuela.”

“Yang terpenting bagi negeri kami adalah kampanye, serangan berupa kebohongan dan kekacauan [yang mana] mereka coba tanamkan kecemasan di negeri kami dan mereka coba katakan bahwa industri nasional kami rusak, itu semua digugurkan, karena itu semua bohong… itu adalah bagian dari, sekali lagi, manipulasi yang mereka ciptakan terhadap rakyat kami,” kata Ramirez dalam wawancara dengan stasiun televisi pemerintah Venezuela, VTV.

Pengacara Exxon Catherine Otton-Goulder, menolak mengomentari keputusan tersebut.

Hakim Walker, yang menunda keputusan dua kali sejak kasus yang berlangsung selama seminggu ini dimulai pada 28 Februari, akan memberikan penjelasan penuh tentang keputusannya dalam hari-hari berikut.

PDVSA berargumen bahwa pengadilan London tak memiliki yurisdiksi hukum terhadap aset perusahaan asing nasional yang tidak beroperasi di Inggris Raya. Exxon berargumen sebaliknya dan pada bulan Februari telah memenangkan keputusan pengadilan di New York yang membekukan aset PDVSA sebesar $315 juta.

Sebagai hasil keputusan ini, Exxon diharuskan membayar biaya pengadilan PDVSA, yang menurutnya mencapai $766.000. Dan juga, PDVSA akan menuntut kompensasi terhadap kerugian lainnya, seperti devaluasi surat-surat hutangnya (bonds), peningkatan biaya pinjaman, dan ketakmampuannya berinvestasi dalam kilang-kilang pada masa pembekuan, demikian menurut pengacara PDVSA George Pollack.

Sementara, PDVSA akan mendapatkan kembali kendali penuh atas aset-asetnya di Inggris Raya, tapi pembekuan asset yang dilakukan Exxon di Antilles Belanda, Belanda, dan New York untuk sementara tidak berubah.

“Saya pikir semua rakyat Venezuela dapat berbangga,” kata Ramirez, menjanjikan bahwa pemerintahnya akan terus membela “prinsip dan kedaulatan” bangsa dari agresi asing.

Ia juga menjamin bahwa PDVSA akan berupaya segala cara untuk membersihkan citra Venezuela di awal aksi-aksi Exxon. Ramirez menyebut upaya-upaya Exxon sebagai “terorisme yudisial” pada bulan Februari karena dilancarkan di luar proses arbitrase yang sedang berjalan di Pusat Internasional untuk Penyelesaian Perseteruan Investasi (ICSID) dan bermaksud menghancurkan reputasi dan kredibilitas PDVSA walaupun Exxon ditawarkan kompensasi (indemnity).

“Kami telah mengalahkan ExxonMobil,” ujar Ramirez dengan gembira, sambil menambahkan bahwa “keputusannya 100% menguntungkan Venezuela, tuduhan-tuduhan Exxon digugurkan,” tapi, katanya, ia akan menunggu hingga hakim menjelaskan sepenuhnya keputusannya sebelum memberikan komentar lebih jauh, demikian reportase berita ABN.

Kini, ExxonMobil dan PDVSA akan kembali pada proses arbitrase ICSID yang telah ditinggalkan, jelas Ramirez.

Menyusul nasionalisasi cadangan minyak Sabuk Sungai Orinoco pada bulan Mei 2007, pemerintah Venezuela mengharuskan negara memegang setidaknya 60% saham dalam proyek perminyakan. Negara menasionalisasi saham beberapa perusahaan, termasuk perusahaan Italia ENI, yang mana dicapai kesepakatan kompensasi $700 juta pada bulan lalu.

Exxon, namun demikian, menolak tawaran kompensasi Venezuela sebesar $750 juta untuk 41,6% saham dalam proyek “Cerro Negro”. Tawaran didasarkan pada nilai saham Exxon menurut catatan PDVSA di saat nasionalisasi, demikian klaim PDVSA, tapi Exxon menghendaki proyeksi profit dari proyek itu dan menuntut arbitrase.

Kompensasi maksimum yang diupayakan Exxon dalam negosiasinya adalah $5 milyar sebelum melancarkan pembekuan aset sebesar $12 milyar, demikian menurut pengumuman Ramirez kepada Majelis Nasional Venezuela bulan Februari. Perbedaan dalam klaim kompensasi menciptakan tuduhan bahwa upaya Exxon merupakan bagian dari “perang ekonomi” melawan Venezuela.

Sejak nasionalisasi, partisipasi negara dalam Sabuk Sungai Orinoco meningkat dari 39% menjadi 78%, dan Venezuela tetap menjadi penghasil minyak mentah terbesar di Amerika Latin, dengan hampir setengah minyaknya diekspor ke Amerika Serikat.

Tak ada tanda bahwa penghentian hubungan bisnis antara Venezuela dan ExxonMobil pada 12 Februari akan dirubah, walaupun PDVSA akan menghormati kontraknya pada kilang Chalmette yang dimilikinya bersama dengan Exxon.

PDVSA dan Mobil menjadi mitra bisnis pada 1997, sebelum Mobil diambil-alih oleh Exxon. Dalam periode 1990an, dikenal sebagai era “Pembukaan Petroleum”, nasionalisasi minyak Venezuela yang dilakukan pada 1976 secara perlahan melemah dan PDVSA diberikan otonomi, mentransformasi perusahaan tersebut menjadi apa yang oleh Ramirez dikatakan sebagai “Kuda Troyan” modal internasional.

Secara kontras, administrasi Presiden Hugo Chavez menggalakkan apa yang disebutnya sebagai “kedaulatan petroleum.” Selain menasionalisasi proyek-proyek produksi minyak yang dikuasai asing, kebijakan ini menyertakan penyaluran $30 milyar keuntungan minyak PDVSA ke Dana Pengembangan Nasional Venezuela (FONDEN) antara 2004 dan 2007. Dana ini antara lain diinvestasikan ke dalam proyek-proyek infrastruktur, perluasan sistem perawatan kesehatan Barrio Adentro, pembersihan lingkungan, dan pendidikan.

Venezuela, “Laboratorium” Kita: Sebuah Perspektif

Written by Jesus S. Anam

Venezuela, hari ini, adalah gambar yang eksotik dan fenomenal. Gambar riang sebuah revolusi. Gambar yang mengekspresikan betapa eksotiknya perjuangan rakyat. Gambar yang mampu menyingkirkan dan mengganti wajah angker Stalin, yang cukup lama menempel di dinding kusam Soviet.

Hugo Chavez, Sosialisme Bolivarian, sorak-sorai rakyat pekerja, dan (tentunya) senyum bahagia seluruh rakyat adalah deret kata yang mungkin pas untuk menggambar Venezuela.

Fenomena tersebut sangat penting bagi kita, kaum kiri Indonesia. Dalam perjalanan Venezuela menuju sosialisme dan peran kaum pekerja revolusioner Venezuela kita bisa melihat bahwa aksi biasa tidaklah cukup dalam mewujudkan perubahan mendasar. Tuntutan-tuntutan kelas pekerja yang paling hakiki tidak akan pernah bisa dipenihi dalam struktur masyarakat kapitalistik. Kekuasaan harus diraih dan struktur sosial harus dirombak. Mencermati semangat luar biasa di atas, kita seperti sedang berziarah ke masa lalu, ke peristiwa Oktober 1917 di Rusia sebagaimana dilukiskan oleh Trotsky:

“Suasana revolusioner di kalangan rakyat jelata menjadi lebih kritis, lebih mendalam, lebih resah. Rakyat jelata — terutama yang pernah melakukan kesalahan dan kekalahan — mencari kepemimpinan yang bisa diharapkan. Mereka ingin menjadi yakin bahwa kita mampu dan berkeinginan untuk memimpin, dan bahwa dalam pertempuran yang menentukan, mereka dapat mengharapkan kemenangan… Kaum proletar berkata: tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari pemogokan, demonstrasi, dan aksi pemberqontakan biasa. Kini, kita harus bertempur.”

Dalam pernyataan Chavez (mengutip Marx), bahwa “para pekerja tidak bisa kembali ke dalam perbudakan kerja, ke dalam perbudakan kapital. Kapital harus berada di bawah para pekerja.” Bercermin dari sini, kelas pekerja harus merampas kekuasaan, jika tidak, mereka akan dihancurkan oleh kapital, oleh pemerintah kapitalis. Kekalahan kaum pekerja semasa Komune Paris, dan penindasan hebat setelah kegagalan revolusi 1905, sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita, kaum revolusioner, dimana saja. Karena jelas, pada masa krisis politik, sosial, ekonomi, peralihan damai menuju demokrasi borjuis tidaklah mungkin. Dan revolusi 1917, telah malakukan tugas revolusioner ini, merebut kekuasaan dari tangan borjuis. “Jika kaum pekerja tidak melakukan revolusi pada tahun 1917, kata ‘fasisme’ bukan lagi berasal dari bahasa Italia, tetapi berasal dari bahasa Rusia,” tandas Trotsky.

Pemikiran cerdas Trotsky yang termuat dalam Program Transisional telah menyadarkan Chavez, bahwa jalan menuju sosialisme Venezuela benar-benar telah terbuka. Kondisinya telah tersedia untuk menjadikan Venezuela sebuah negara sosialis, negara sosialis yang makmur. Pembusukan kelas-kelas lama yang berkuasa, kelemahan politis dari kaum borjuis yang tidak mengakar pada massa rakyat, karakter revolusioner massa, dan beban-beban sosial yang menimpa rakyat — di Venezuela, menjadi prasyarat dan penggerak ke arah revolusi proletariat. Jika kondisi-kondisi yang matang ini tidak segera direspon oleh kepemimpinan revolusioner, bau busuk revolusi akan segera menyengat. Pembusukan kondisi-kondisi untuk revolusi proletariat bukanlah kesalahan kaum pekerja, tetapi ketidakcakapan kepemimpinan revolusioner dalam merespon dan menangkap fenomena. Chavez sadar akan hal ini. Ia bersama-sama dengan rakyat pekerja segera mengambil peran dalam revolusi, agar pembusukan dan ulat-ulat kapitalis tidak bernyanyi riang dalam kemenangan.

Kepekaan Chavez atas situasi ini dibuktikan dengan segera memanggili kaum pekerja untuk berada di garis paling depan revolusi. Ia juga mengajak kaum pekerja untuk mengambil tindakan kongkrit dengan menjadi aktor utama dalam gerak revolusi. Ia berulangkali mengajak kaum pekerja untuk menduduki pabrik-pabrik dengan slogan “pabrik tutup, duduki pabrik.”

Perjalanan heroik Venezuela menuju sosialisme, kini, telah menghasilkan tuaian, meski sana sini, musuh-musuh sosialisme, dengan perang opini, terus akan menggagalkan sosialisme di Venezuela. Media-media Barat dan antek-anteknya, termasuk di Indonesia, tidak pernah obyektif memahami perjuangan ini. Kepemimpinan Chavez yang terus bergerak ke arah kiri akan mengganggu stabilitas kawasan, demikian ungkap Mike Mullen, Kepala Staf Gabungan AS, saat mengunjungi Bogota, Kolumbia, belum lama ini.

Langkah-langkah radikal Cahvez selanjutnya, setelah menjadi pemimpin besar rakyat Venezuela, yang cukup mengguncang perasaan Washington, adalah pembelian 24 pesawat tempur Sukhoi dan 100.000 senjata serang jenis Kalashnikov AK 103 dari Rusia tahun 2006. Dan kini Chavez sedang dalam pembicaraan bagi pembelian kapal selam dan peralatan tempur lainnya.

Kebijakan Chavez untuk membeli senjata-senjata itu tentu bisa kita pahami. Serangan tiba-tiba Amerika ke Venezuela bisa saja terjadi. Seperti pencuri yang mengendap-endap, di malam hari. Atas nama stabilitas, atas nama demokrasi, Amerika bisa dengan leluasa memporak-porandakan revolusi. Ini bukan ketakutan yang berlebihan. Kita tahu, prilaku “setan” Amerika bisa kambuh setiap saat. Kaum kiri Indonesia seharusnya bisa memahami ini dan mendukung program sosialis Chavez. Revolusi Sosialis di Venezuela tidak boleh berhenti di tengah jalan. Venezuela adalah laboratorium kita. Jika gagal, kita ikut bertanggungjawab atas kegagalan itu. Dan sosialisme akan menjadi bahan tertawaan sejarah.

International Marxist Tendency bekerjasama dengan Proletariat Resistance, Rumah Kiri, dan organ-organ kiri revolusioner lainnya akan mengkampanyekan HANDS OFF VENEZUELA – INDONESIA, sebagai upaya menghubungkan secara erat kaum kiri Indonesia dengan Revolusi Sosialis di Venezuela. Revolusi Sosialis di Venezuela adalah karya besar yang sepenuhnya harus kita dukung.

Salam Pembebasan!