Venezuela: Melawan Logika Globalisasi

Oleh : Steve Ellner,

Diterbitkan dalam :

NACLA Report of the Americas, Empire & Dissent; Vol. 39 No. 2 September/October 2005

Kemampuan presiden Hugo Chavez untuk terus-menerus menjalankan berbagai reformasi signifikan di tengah permusuhan AS dan oposisi domestik dukungan AS memberikan pengaruh penting bagi perjuangan progresif di Amerika Latin. Kesuksesan Chavez meletakkan keraguan pada pandangan bahwa dalam dunia kapitalisme global saat ini tidak mungkin lagi bagi negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia untuk secara efektif melawan tatanan neoliberal “pasar-bebas”.

Persyaratan berbasis-pasar yang berkelanjutan bagi segala bantuan ekonomi (termasuk penghapusan hutang) dari Amerika Serikat dan institusi keuangan internasional dominasi AS mungkin memperkuat pandangan bahwa “tidak ada alternatif” terhadap kebijakan pasar-bebas, sebagaimana terkenal dicetuskan oleh Thatcher. Tapi pengalaman Chavez bertentangan dengan diktum Thatcher dan mengangkat pertanyaan menarik tentang apakah jalan Venezuela dapat dipraktekkan di negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia lainnya. Naiknya berbagai pemerintahan kiri-tengah ke kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir di Argentina, Brasil dan Uruguay menjadikan pertanyaan ini dalam sorotan.

Sejak awal sasaran kunci Chavez adalah untuk mencapai – dan mempertahankan – kekuasaan negara untuk mendorong perubahan radikal. Untuk tujuan itu, ia membangun partai politik terbesar di negeri itu, Gerakan Republik Kelima (MVR), yang telah memerintah sejak 1998 dengan beraliansi dengan partai-partai kiri yang lebih kecil. Sebelum berkuasa, ia mengkritik Fransisco Arias Cardenas, orang kedua pemegang komando dalam kudeta militer gagal yang dipimpinnya pada 1992, karena mengincar jabatan gubernur negara bagian pada 1995 bukannya berkonsentrasi mencapai kekuasaan nasional. Sebagai respon jalan lokal yang dipilih Arias, Chavez menyatakan, “Merebut kekuasaan melalui jabatan walikota atau gubernur untuk memiliki panggung bagi kemajuan-kemajuan lebih jauh adalah kebohongan yang akan selalu menenggelamkanmu ke dalam rawa-rawa.”

Gebrakan radikal aksi-aksi Chavez sejak kemenangan elektoral awalnya pada 1998 melampaui keumuman dan diskursus. Memang, banyak program reformasi dan aksinya telah merongrong kepentingan ekonomi kaum berkuasa Venezuela dan kelompok-kelompok transnasional. Pemerintahan MVR, contohnya, telah menahan laju dari skema yang dijalankan oleh pendahulu neoliberal Chavez yang berpihak pada privatisasi jaminan sosial, industri aluminum dan industri minyak yang teramat penting. Alokasi dana pemerintah berpihak pada kaum miskin dan dengan signifikan menaikkan persentase anggaran nasional untuk pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan kredit bagi unit usaha berskala kecil. Lebih jauh lagi, peran aktivis Venezuela di OPEC dalam setahun pertama pemerintahan Chavez, melebihi negara anggota lainnya, berperan mengembalikan harga minyak ke tingkat tahun 1970an. Dan akhirnya, sejak awal 2005 “Komisi Intervensi” yang ditunjuk Chavez telah memeriksa kembali legalitas surat-surat kepemilikan tanah pertanian, dengan demikian mengancam kaum pemilik tanah besar dengan kehilangan kepemilikannya.

Respon AS terhadap Chavez menyusul terpilihnya ia pada 1998 dipandu oleh kebijaksanaan konvensional saat itu mengenai keniscayaan kembalinya ia ke kebijakan neoliberal. Duta Besar AS John Maisto mendukung pendekatan garis-lunak dan berhasil meyakinkan Departemen Negara bahwa Chavez harus dinilai dari aksi-aksinya, secara tak langsung menyatakan bahwa retorika radikalnya tak akan menghasilkan apapun. Pada saat itu, tesis Maisto sepertinya dapat diterima. Memang, selama kampanye presidensialnya, Chavez harus melunakkan posisinya yang menyetujui moratorium pembayaran hutang luar negeri dan sebaliknya mengkonsentrasikan proposal untuk majelis konstituante yang akan menghasilkan perubahan politik internal dengan penulisan kembali Konstitusi.

Selama dua tahun pertamanya menjabat, Chavez menekankan reformasi politik. Pada 2001, walau demikian, pemerintahan MVR mengesahkan rangkaian undang-undang dengan kandungan sosio-ekonomi yang signifikan, termasuk reformasi agraria dan sebuah undang-undang yang menjamin kepemilikan mayoritas negara dalam semua operasi industri minyak. Radikalisasi pemerintahan ini bersamaan dengan permulaan Administrasi Bush, dan pengerasan sikap global Washington menyusul 9/11. Perkembangan di AS ini membuat kaum oposisi Venezuela semakin berani, yang kini mengklaim bahwa hari-hari Chavez sebagai presiden telah dihitung. Keyakinan kaum oposisi terhadap tesis Thatcher tentang keniscayaan neoliberalisme bisa jadi telah mempengaruhi para pimpinannya untuk meremehkan Chavez dan berakibat bencana bagi mereka. Kesalahan kalkulasi ini terterjemahkan menjadi berbagai skema-skema gagal untuk mendepak Chavez tanpa rencana untuk menghadapi kekalahan.

Pada 2002, sikap AS terhadap Chavez mulai bersinggungan dengan rencana partai-partai tradisional kaum oposisi yang selama itu mempertahankan sikap tak berkompromi. Dukungan Administrasi Bush pada kudeta singkat terhadap Chavez pada April 2002, persetujuannya terhadap pemogokan umum 10-minggu yang sama sia-sianya pada tahun itu dan upaya-upayanya yang lebih baru belakangan ini untuk mengisolasi Venezuela dari para tetangganya bukanlah sekedar reaksi terhadap reformasi-reformasi tertentu yang mengancam kepentingan ekonomi. Washington takut terhadap “efek demonstrasi,” yakni pengaruh yang dapat disebabkan oleh contoh Venezuela terhadap negeri lain di benua tersebut.

Efek demonstrasi yang cukup berbeda telah berpihak pada Washington 10 tahun lebih awal dengan keruntuhan Uni Soviet. Para kampiun neoliberalisme dan globalisasi mengacu pada nasib sosialisme Soviet sebagai bukti nyata bahwa segala bentuk intervensi negara dalam ekonomi ditakdirkan gagal. Dengan meletakkan keraguan pada tiap kemungkinan yang dapat efektif menentang sistem kapitalisme global yang dominan, demonstrasi ini merugikan kaum kiri sedunia, apa pun pandangan mereka terhadap Uni Soviet. Ketakutan Washington adalah Venezuela Chavez dapat memberikan efek sebaliknya dengan mendemonstrasikan kemungkinan melawan model neoliberal dan mendirikan alternatif yang mampu bertahan.

Pengaruh Chavez di hemisfer (belahan bumi, pen.) tersebut dapat dirasakan di tingkat rakyat maupun diplomatik. Ia telah menjadi pahlawan bagi jutaan rakyat Amerika Latin yang tak diistimewakan, yang mengagumi keberaniannya dan dengan cermat mencatat keberhasilan-keberhasilan politiknya. Beberapa aktivis dan pemimpin telah bereaksi serupa. Berbeda dengan reaksi bercampur terhadap pidato Lula pada Forum Sosial Dunia 2005 di Porto Alegre, Brasil, Chavez mendapat tepukan menggelegar. Chavez menekankan komitmennya pada perjuangan akar-rumput ketika ia mengatakan kepada massa: “Saya di sini bukan sebagai Presiden Venezuela…Saya hanya Presiden karena situasi-situasi tertentu. Saya Hugo Chavez dan saya seorang aktivis sekaligus revolusioner.”

Di tingkat diplomatik, Chavez telah berhati-hati untuk menghindari kesalahan Kuba pada tahun 1960an, ketika Fidel Castro berseru kepada kaum kiri dan rakyat kebanyakan di seluruh Amerika Latin, tapi dengan melakukan itu kehilangan strategi aliansi dengan pemerintahan yang ada. Akibatnya, Washington dapat mengisolasi Kuba dari komunitas bangsa-bangsa Amerika Latin. Dengan kontras, terlepas dari retorikanya yang berapi-api, Chavez menjaga hubungan baik dengan presiden-presiden berorientasi neoliberal seperti Vicente Fox di Mexico, Ricardo Lagos di Chile dan Alejandro Toledo di Peru, yang mana ketiganya segera menolak kudeta anti-Chavez pada 2002. Chavez bahkan membantu Presiden Bolivia, Carlos Mesa, yang sedang susah payah bertahan sebelum dipaksa turun Juni lalu, dengan berseru kepada gerakan sosial Bolivia yang siap bertempur untuk membiarkannya menyelesaikan masa jabatannya.

Kepemimpinan dan inisiatif diplomatik Chavez dapat berpotensi membawa perubahan dramatik di Amerika Latin – tak diragukan lagi ini sumber keprihatinan bagi Washington. Kaum kiri telah mencatat kemajuan elektoral dalam beberapa tahun belakangan, dan kemenangan calon-calon kiri-tengah dalam pemilu presidensial di Bolivia, Ekuador, Meksiko dan Nikaragua dalam satu setengah tahun ke depan akan lebih jauh lagi merubah korelasi kekuatan di benua itu.

Pergeseran politik seperti itu dapat menyebabkan aksi kolektif dalam berbagai lini (front) menurut garis yang telah ditarik oleh Chavez. Ia menyerukan pembentukan persekutuan hemisferik Amerika Latin – “Alternatif Bolivarian untuk Amerika” (ALBA) – sebagai alternatif terhadap Wilayah Perdagangan Bebas Amerika (FTAA) yang disponsori Washington. Chavez berpengaruh dalam membuyarkan rencana-rencana yang sejak lama dipupuk oleh Bush untuk mendirikan FTAA pada 2005.

Dukungan Chavez terhadap negosiasi kolektif hutang luar negeri Amerika Latin bahkan jauh lebih membahayakan kepentingan AS. Dalam hal ini, ia telah mendesakkan dalam berbagai konferensi internasional agar 10% pembayaran hutang luar negeri dialihkan kepada Dana Kemanusiaan Internasional yang akan menyediakan bantuan bagi program-program sosial tanpa menyertakan ikatan-ikatan neoliberal seperti biasanya. Chavez mendapat dukungan resmi bagi rencana pembentukan Dana ini pada KTT Presiden Ibero-Amerika yang digelar bulan November 2003.

Bahkan dalam subyek yang lebih sensitif, Washington secara khusus memprihatinkan de-dolarisasi penjualan minyak internasional. Ekonomi AS disokong oleh penggunaan dolar secara khusus dalam pertukaran internasional dan sebagai cadangan mata-uang utama di dunia. Di bawah Chavez, Venezuela melangkahi dolar dengan menjalankan kesepakatan-kesepakatan barter non-moneter untuk minyaknya dengan lebih dari selusin negeri Amerika Latin dan Karibia. Ia telah menyerukan negara-negara OPEC lainnya untuk membentuk kesepakatan serupa. Satu kesepakatan pertukaran serupa itu melibatkan minyak untuk ditukar dengan kehadiran 12.000 dokter Kuba, yang telah mendirikan klinik dan bekerja tanpa bayaran di wilayah-wilayah termiskinkan di seluruh negeri itu.

Dalam OPEC, Chavez menekankan penurunan daya beli dolar sebagai argumen untuk meningkatkan harga minyak denominasi dolar. Dan beberapa perwakilan pemerintah Venezuela telah mengangkat kemungkinan menjual persentase minyak dalam mata uang euro. Duta besar negeri itu untuk Rusia sekaligus seorang pakar perminyakan, Francisco Mieres, mendiskusikan usulan ini dalam konferensi tahun 2001 di Moscow bertemakan “Ancaman Tersembunyi dari Krisis Mata Uang”.

Walau demikian, lebih baru ini ketegangan dengan industri minyak telah termanifestasi. Pada awal 2005 Exxon-Mobil mengumumkan bahwa mereka mempertimbangkan arbitrase untuk menentang peningkatan royalti pemerintah dari 1% ke 16,66% dalam penjualan minyak non-konvensional dari wilayah Timur negeri itu. Exxon Mobil mengklaim bahwa kenaikan itu melanggar ikatan kontrak-kontrak legal, tapi pemerintah menekankan bahwa kesepakatan sebelumnya dibuat ketika harga minyak – dan keuntungannya – hanyalah fraksi kecil dari tingkat harga saat ini. Pada saat itu juga, bendera merah diangkat oleh sektor swasta asing. Deutsche Bank baru-baru ini menurunkan penilaiannya terhadap perusahaan minyak berbasis AS Conoco-Philips, salah satu investor utama di Venezuela, karena keprihatinannya bahwa hubungan yang menguntungkan saat ini antara perusahaan minyak transnasional dan pemerintah Venezuela dapat segera berubah.

Pengalaman Venezuela menunjuk ke arah berlawanan dari penulisan globalisasi saat ini yang meminimalkan peran negara-bangsa, terutama dalam negeri-negeri berkembang. Para analis dengan perspektif ini berargumen bahwa dalam ekonomi global saat ini, penekanan pada kedaulatan nasional oleh pemerintah-pemerintah kuat di dunia-ketiga tidak berpotensi untuk transformasi dan lebih lagi, itu bahkan tidak dimungkinkan. Para penulis yang mendukung tesis ini terbentang dari kiri hingga kanan dalam spektrum politik. Mereka yang di kanan, yang membela kebijakan luar negeri AS dan formula-formula pasar-bebas, mengasosiasikan negara-negara kuat di dunia ketiga sebagai oligarki lokal dan “kapitalisme kroni,” yang dituduh sebagai penyebab kegagalan besar-besaran neoliberalisme dalam memenuhi harapannya.

Beberapa penulis kiri yang menganalisa globalisasi juga memandang penguatan negara-negara dunia ketiga sebagai kesia-siaan. Sebagaimana telah kita lihat, tujuan Chavez sedari awalnya adalah untuk mencapai kekuasaan di tingkat nasional. Tujuan ini sangat dicurigai oleh beberapa dari mereka yang telah mencoret pentingnya negara-bangsa dan sebaliknya memuja perjuangan untuk otonomi lokal dan bersolidaritas dengan kelompok-kelompok seperti Zapatista di Meksiko.

Michael Hardt, contohnya, ko-penulis dari buku yang mendapat banyak pujian, “Empire”, menunjuk pada dua posisi berbeda mengenai “peran kedaulatan nasional” yang muncul dalam beberapa Forum Sosial Dunia. Di satu sisi, katanya, para pemimpin yang berasal dari organisasi yang umumnya terkenal secara internasional, ketika berpartisipasi dalam Forum membela kedaulatan nasional dunia-ketiga “sebagai penghalang defensif terhadap kontrol kapital asing dan global.” Posisi kedua didukung oleh mayoritas dari mereka yang menghadiri Forum dan berasal dari gerakan sosial yang terorganisir menurut beragam isu yang saling melengkapi satu sama lain. Kelompok kedua ini “menentang segala solusi nasional dan sebaliknya mengupayakan globalisasi demokratik.” Posisi kedua pada dasarnya demokratik dan menentang kapital, demikian argumen Hardt, sementara yang pertama bercirikan atas-ke-bawah (top-down) dan berpotensi menjadi otoriter. Hardt menyimpulkan bahwa “struktur terpusat dari negara berdaulat itu sendiri bertentangan dengan bentuk-jaringan horizontal (horizontal network-form) yang dikembangkan oleh gerakan [yang identik dengan posisi kedua].”

Tapi bertentangan dengan pernyataan Hardt, kekuasaan Chavez selama enam setengah tahun mendemonstrasikan bahwa pemerintahan dunia-ketiga dapat dengan kokoh menegakkan kedaulatan nasional dan di saat yang sama memajukan suatu agenda nasionalis-progresif untuk melawan kepentingan ekonomi yang berkuasa. Karakterisasi Hardt bahwa pemerintahan ‘pembebasan nasional’ dunia-ketiga sifat demokratiknya diragukan tidaklah sejalan dengan kompleksitas transformasi yang sedang berjalan di Venezuela. Meskipun gerakan Chavista dimulai secara sangat “vertikal,” dua rangkaian pemilihan internal dalam MVR (satu untuk pimpinan partai nasional dan satunya lagi dilangsungkan April lalu untuk memilih kandidat dalam pemilu lokal) merupakan langkah-langkah ke arah demokratisasi internal, terlepas dari problem-problem prosedural yang tercipta.

Sering pula diargumentasikan bahwa Venezuela Chavez terlalu berbeda dari negeri Amerika Latin lainnya untuk dapat memberikan pengaruh yang berkelanjutan. Harga minyak yang tinggi mendanai program-program kerakyatan dan maka menempatkan Venezuela ke dalam liga tersendiri. Lebih jauh lagi, Chavez mendapat dukungan krusial dari struktur militer yang perwiranya secara historik berasal dari kelas menengah dan menengah-bawah, secara tajam kontras dengan sifat ke-kasta-an angkatan bersenjata yang ada di hampir seluruh benua itu.

Ini adalah argumen-argumen yang cukup akurat, tapi walau bagaimanapun “proses revolusioner” Venezuela mengandung pelajaran-pelajaran penting bagi mereka di Amerika Latin yang mengkampiunkan keadilan sosial dan transformasi-transformasi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Pelajaran pertama adalah memupuk suara elektoral mayoritas yang substansial sangatlah diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan sosial berjangkauan-luas (far-reaching) melalui cara-cara demokratik. Chavez memperoleh 60% suara dalam sembilan pemilu yang digelar sejak 1998. Hasil ini tampaknya membuktikan pengamatan bahwa suara mayoritas tipis atau suara pluralitas, seperti 36% suara yang memilih Salvador Allende di Chile pada 1970, tidak mewakili suatu mandat untuk perubahan radikal.

Kedua, partisipasi aktif dan mobilisasi merupakan komponen kunci dalam proses tersebut. Chavez telah bersandar tidak sekedar pada dukungan elektoral atau pasif. Ia telah menjalankan strategi mobilisasi rakyat yang berkelanjutan dalam menghadapi aksi-aksi insurgensi musuh-musuhnya yang terbukti sangat diperlukan bagi keberlangsungan politiknya termasuk kembalinya ia setelah kudeta April 2002. Aksi-aksi jalanan massif yang mendukung proses Chavista telah dimungkinkan berkat keyakinan para jajaran bawah Chavistas bahwa retorika Chavez didasarkan pada kenyataan dan komitmen melalui perubahan, bukan manipulasi.

Pelajaran ketiga dari pengalaman Chavez adalah pentingnya ketepatan waktu (timing) dan pendalaman proses transformasi secara konstan via memperkenalkan tujuan baru menyusul tiap kemenangan politik. Kemenangan-kemenangan yang diikuti dengan slogan-slogan dan usulan-usulan baru termasuk pembentukan majelis konstituensi nasional pada 1999, kekalahan kudeta April 2002, kekalahan pemogokan umum Februari 2003, kekalahan pemilu penurunan presiden pada Februari 2003 dan pemilu kegubernuran dua bulan kemudian di mana Chavistas menang di seluruh negeri kecuali dua negara bagian.

Meski demikian, Venezuela masih jauh dari mengembangkan suatu sistem ekonomi baru yang memungkinkan Chavez untuk mengemas dan mengekspor suatu model ke negeri Amerika Latin lainnya. Pada Forum Sosial Dunia 2005 ia menyatakan diri sebagai “sosialis” dan menambahkan: “Kita harus merebut kembali sosialisme sebagai suatu tesis, suatu proyek dan suatu jalan, tapi suatu sosialisme jenis baru, yang manusiawi dan menempatkan manusia, bukan mesin atau pemerintah, di atas segalanya. Inilah perdebatan yang perlu kita kedepankan di seluruh dunia.” Venezuela, walau begitu, belumlah mendirikan sosialisme, setidaknya dalam pengertian tradisional kata tersebut, karena belum ada sektor ekonomi yang didaftarkan untuk dinasionalisasi. Bila ada suatu model baru yang muncul, ia didasarkan pada prioritas terhadap kebutuhan sosial, kemunculan koperasi pekerja dan produsen kecil baik di wilayah pedesaan dan perkotaan, dan penolakan pemerintah terhadap aliansi dengan kelompok kapitalis besar meskipun tidak membuang modus vivendi [hidup berdampingan dengan lawan, pen.] dengan mereka.

Kemampuan Venezuela dalam mempengaruhi bangsa-bangsa di Amerika bersandar pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan strategi Chavez. Dalam tahap ini, aspek terpenting dari efek demonstrasi Chavez adalah nasionalismenya, yang mendorongnya untuk menepis paksaan-paksaan AS; anti-neoliberalismenya, yang menghadang privatisasi; dan prioritas sosialnya yang telah diterjemahkan ke dalam program-program spesial di bidang kesehatan dan pendidikan. Emulasi [peniruan, pen.] kebijakan-kebijakan Chavez oleh negeri-negeri tetangga akan menunjukkan, kalaupun ada, bahwa pemerintah dunia-ketiga berada sangat tepat di tengah-tengah pertarungan politik dan bahwa alternatif nasional sesungguhnya ada, terlepas dari peringatan-peringatan serius dari para penulis terunggul tentang globalisasi.

__________________

Tentang Penulis :

Steve Ellner telah menerbitkan karya-karyanya yang ekstensif tentang politik dan sejarah Amerika Latin. Sejak 1994, ia mengajar kuliah sarjana di Sekolah Hukum dan Ilmu Politik di Universidad Central de Venezuela (UCV).

Diterjemahkan oleh Data B.

One thought on “Venezuela: Melawan Logika Globalisasi”

  1. Indonesia pun harus melawan imperialisme,kapitalisme dan liberalisme. Kesejahteraan dapat terwujud denagn semangat menegakkan kemandirian nasional. Bersatu rebut kekuasaan: Hancurkan kapitalisme! Bangun Sosialisme! Revolusi dinegeri ini wajib hukumnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *