Written by Jesus S. Anam
Venezuela, hari ini, adalah gambar yang eksotik dan fenomenal. Gambar riang sebuah revolusi. Gambar yang mengekspresikan betapa eksotiknya perjuangan rakyat. Gambar yang mampu menyingkirkan dan mengganti wajah angker Stalin, yang cukup lama menempel di dinding kusam Soviet.
Hugo Chavez, Sosialisme Bolivarian, sorak-sorai rakyat pekerja, dan (tentunya) senyum bahagia seluruh rakyat adalah deret kata yang mungkin pas untuk menggambar Venezuela.
Fenomena tersebut sangat penting bagi kita, kaum kiri Indonesia. Dalam perjalanan Venezuela menuju sosialisme dan peran kaum pekerja revolusioner Venezuela kita bisa melihat bahwa aksi biasa tidaklah cukup dalam mewujudkan perubahan mendasar. Tuntutan-tuntutan kelas pekerja yang paling hakiki tidak akan pernah bisa dipenihi dalam struktur masyarakat kapitalistik. Kekuasaan harus diraih dan struktur sosial harus dirombak. Mencermati semangat luar biasa di atas, kita seperti sedang berziarah ke masa lalu, ke peristiwa Oktober 1917 di Rusia sebagaimana dilukiskan oleh Trotsky:
“Suasana revolusioner di kalangan rakyat jelata menjadi lebih kritis, lebih mendalam, lebih resah. Rakyat jelata — terutama yang pernah melakukan kesalahan dan kekalahan — mencari kepemimpinan yang bisa diharapkan. Mereka ingin menjadi yakin bahwa kita mampu dan berkeinginan untuk memimpin, dan bahwa dalam pertempuran yang menentukan, mereka dapat mengharapkan kemenangan… Kaum proletar berkata: tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari pemogokan, demonstrasi, dan aksi pemberqontakan biasa. Kini, kita harus bertempur.”
Dalam pernyataan Chavez (mengutip Marx), bahwa “para pekerja tidak bisa kembali ke dalam perbudakan kerja, ke dalam perbudakan kapital. Kapital harus berada di bawah para pekerja.” Bercermin dari sini, kelas pekerja harus merampas kekuasaan, jika tidak, mereka akan dihancurkan oleh kapital, oleh pemerintah kapitalis. Kekalahan kaum pekerja semasa Komune Paris, dan penindasan hebat setelah kegagalan revolusi 1905, sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita, kaum revolusioner, dimana saja. Karena jelas, pada masa krisis politik, sosial, ekonomi, peralihan damai menuju demokrasi borjuis tidaklah mungkin. Dan revolusi 1917, telah malakukan tugas revolusioner ini, merebut kekuasaan dari tangan borjuis. “Jika kaum pekerja tidak melakukan revolusi pada tahun 1917, kata ‘fasisme’ bukan lagi berasal dari bahasa Italia, tetapi berasal dari bahasa Rusia,” tandas Trotsky.
Pemikiran cerdas Trotsky yang termuat dalam Program Transisional telah menyadarkan Chavez, bahwa jalan menuju sosialisme Venezuela benar-benar telah terbuka. Kondisinya telah tersedia untuk menjadikan Venezuela sebuah negara sosialis, negara sosialis yang makmur. Pembusukan kelas-kelas lama yang berkuasa, kelemahan politis dari kaum borjuis yang tidak mengakar pada massa rakyat, karakter revolusioner massa, dan beban-beban sosial yang menimpa rakyat — di Venezuela, menjadi prasyarat dan penggerak ke arah revolusi proletariat. Jika kondisi-kondisi yang matang ini tidak segera direspon oleh kepemimpinan revolusioner, bau busuk revolusi akan segera menyengat. Pembusukan kondisi-kondisi untuk revolusi proletariat bukanlah kesalahan kaum pekerja, tetapi ketidakcakapan kepemimpinan revolusioner dalam merespon dan menangkap fenomena. Chavez sadar akan hal ini. Ia bersama-sama dengan rakyat pekerja segera mengambil peran dalam revolusi, agar pembusukan dan ulat-ulat kapitalis tidak bernyanyi riang dalam kemenangan.
Kepekaan Chavez atas situasi ini dibuktikan dengan segera memanggili kaum pekerja untuk berada di garis paling depan revolusi. Ia juga mengajak kaum pekerja untuk mengambil tindakan kongkrit dengan menjadi aktor utama dalam gerak revolusi. Ia berulangkali mengajak kaum pekerja untuk menduduki pabrik-pabrik dengan slogan “pabrik tutup, duduki pabrik.”
Perjalanan heroik Venezuela menuju sosialisme, kini, telah menghasilkan tuaian, meski sana sini, musuh-musuh sosialisme, dengan perang opini, terus akan menggagalkan sosialisme di Venezuela. Media-media Barat dan antek-anteknya, termasuk di Indonesia, tidak pernah obyektif memahami perjuangan ini. Kepemimpinan Chavez yang terus bergerak ke arah kiri akan mengganggu stabilitas kawasan, demikian ungkap Mike Mullen, Kepala Staf Gabungan AS, saat mengunjungi Bogota, Kolumbia, belum lama ini.
Langkah-langkah radikal Cahvez selanjutnya, setelah menjadi pemimpin besar rakyat Venezuela, yang cukup mengguncang perasaan Washington, adalah pembelian 24 pesawat tempur Sukhoi dan 100.000 senjata serang jenis Kalashnikov AK 103 dari Rusia tahun 2006. Dan kini Chavez sedang dalam pembicaraan bagi pembelian kapal selam dan peralatan tempur lainnya.
Kebijakan Chavez untuk membeli senjata-senjata itu tentu bisa kita pahami. Serangan tiba-tiba Amerika ke Venezuela bisa saja terjadi. Seperti pencuri yang mengendap-endap, di malam hari. Atas nama stabilitas, atas nama demokrasi, Amerika bisa dengan leluasa memporak-porandakan revolusi. Ini bukan ketakutan yang berlebihan. Kita tahu, prilaku “setan” Amerika bisa kambuh setiap saat. Kaum kiri Indonesia seharusnya bisa memahami ini dan mendukung program sosialis Chavez. Revolusi Sosialis di Venezuela tidak boleh berhenti di tengah jalan. Venezuela adalah laboratorium kita. Jika gagal, kita ikut bertanggungjawab atas kegagalan itu. Dan sosialisme akan menjadi bahan tertawaan sejarah.
International Marxist Tendency bekerjasama dengan Proletariat Resistance, Rumah Kiri, dan organ-organ kiri revolusioner lainnya akan mengkampanyekan HANDS OFF VENEZUELA – INDONESIA, sebagai upaya menghubungkan secara erat kaum kiri Indonesia dengan Revolusi Sosialis di Venezuela. Revolusi Sosialis di Venezuela adalah karya besar yang sepenuhnya harus kita dukung.
Salam Pembebasan!