Oleh Berta Joubert-Ceci
Mei 15, 2008 10:36 PM
Dengan tema “Kedaulatan dan Keamanan Pangan: Pangan untuk Kehidupan,” delegasi dari 15 negeri bertemu di Managua, Nikaragua, pada 7 Mei untuk mendiskusikan rencana dan strategi menghadapi krisis kelaparan serius yang melanda rakyat Amerika Latin dan Karibia.
KTT presiden ini adalah hasil dari pertemuan darurat 23 April antara empat dari lima negeri ALBA (Alternatif Bolivarian bagi Rakyat Amerika Kita) yang dilangsungkan di Caracas, Venezuela. Saat itu, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Nikaragua Daniel Ortega, dan Wapres Kuba Carlos Lage bertemu dengan Presiden Hugo Chavez untuk menandatangani persetujuan khusus yang akan mengembangkan sektor-sektor pertanian dan industri untuk meningkatkan produksi biji-bijian seperti nasi dan jagung, kacang-kacangan yang mengandung minyak, daging dan susu. Menurut Prensa Latina, “Persetujuan yang dicapai oleh negeri anggota ALBA juga mendorong pembentukan jaringan komersialisasi pangan dan menyertakan komitmen bersama untuk menggalang dana sebesar $100 juta sebagai modal awal yang membuka jalan bagi implementasi program dan perencanaan bagi inisiatif tersebut.”
Namun, karena pada dasarnya ALBA adalah suatu integrasi dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Amerika Latin dan Karibia, dibutuhkan sebuah KTT yang lebih besar untuk mengatasi krisis pangan saat ini.
KTT di Managua pada 7 Mei ini dihadiri oleh delegasi dari Bolivia, Ekuador, Kostarika, Honduras, Haiti, St Vincent dan Grenadines, Kuba, Venezuela, El Salvador, Guatemala, Belize, Panama, Republik Dominika, Meksiko dan Nikaragua. Terdapat juga perwakian dari Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) PBB, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika, Program Pangan Dunia PBB, UNICEF, PARLACEN (Parlemen Amerikat Tengah) dan PARLATINO (Parlemen Amerika Latin).
Pidato pembukaan dari masing-masing negeri mengedepankan berbagai keprihatinan dan proposal mengenai krisis itu, tapi juga secara terang-terangan menunjuk pada kebijakan negeri imperialis sebagai biang kerok bencana tersebut. Jaringan televisi TeleSUR meliput rapat tersebut.
Ralph Gonsalves, perdana menteri St Vincent dan Grenadines, dengan piawai menyatakan butuhnya menyertakan perikanan dalam diskusi-diskusi agrikultur dan pangan, dengan menunjukkan bahwa negeri kepulauan kecil seperti negerinya tak memiliki ruang untuk memelihara ternak dan lebih bergantung pada ternak kecil dan hasil laut, tapi pemanasan global mempengaruhi penangkapan ikan, karena ikan-ikan cenderung berpindah lebih dalam ke laut. Ia menyimpulkan, “Saya tak melihat Amerika membantu kami, atau Eropa, dan faktanya, sering kali ketika membawa program diversikasi, produksi agrikultur, dsb, mereka meneruskan penipuan terhadap rakyat, mereka mengangkat harapan rakyat dan hanya memberikan sedikit hal.
Wapres Lage dari Kuba merangkum basis ril dari krisis yang terjadi saat ini: “Inti dari krisis ini bukan pada fenomena akhir-akhir ini, tapi pada distribusi kekayaan yang tak sama dan tak adil di tingkat global, dan juga pada model ekonomi neoliberal yang tak dapat dipertahankan, yang diterapkan secara tak bertanggungjawab dan fanatik selama 20 tahun belakangan ini.”
Presiden Ortega yang memimpin pertemuan itu menyampaikan krisis kelaparan melalui fakta-fakta: “Data dari organisasi internasional memberitahukan kita bahwa dalam tiap 5 detik seorang anak di bawah 10 tahun meninggal karena kekurangan gizi, karena kelaparan. Dalam tiap menit yang kita gunakan untuk berbicara di sini, bertukar ide tentang permasalahan ini, 12 anak meninggal. Dan dalam tiap jam, 720 anak di bawah 10 tahun meninggal karena kelaparan!”
Deklarasi akhir yang ditandatangani oleh 12 negeri menolak subsidi di negeri-negeri maju dan perdagangan tak adil yang berdampak bagi negeri-negeri kurang berkembang. Mereka juga menolak penggunaan pangan untuk bahan bakar organik (biofuel). Diusulkan pula suatu Rencana Aksi yang detil untuk membantu penguatan ekonomi dan produksi pangan yang berkelanjutan di negeri-negeri tersebut. Disetujui juga sebuah proposal dari Meksiko, yang menyumbangkan diri untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi tentang teknologi pada akhir Mei.
Pertemuan lain tentang isu tersebut berlangsung di Amerika Latin. Agen Berita Kuba (ACN) melaporkan bahwa lebih dari 100 perwakilan dari 30 negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia berpartisipasi dalam suatu konferensi tentang malnutrisi anak-anak di Santiago de Chile pada tanggal 6 Mei. Pada 16-17 Mei, KTT Uni Eropa-Amerika Latin dan Karibia (EU-LAC) akan digelar di Lima, Peru. Tema utamanya adalah “Kemiskinan, ketaksetaraan dan inklusi” dan “Pembangunan Berkelanjutan: lingkungan hidup, perubahan iklim dan energi.” Pada KTT presiden tanggal 7 Mei, diputuskan bahwa krisis pangan akan diangkat dalam (EU-LAC) dan semua pertemuan internasional lainnya ke depan.
Kaum Imperialis mengadakan rapat tertutup
Sembilan hari sebelum KTT Managua, pada 28 April, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia Josette Sheeran dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengadakan rapat tertutup di Berne, Swiss, dengan Sekretaris-Jendral PBB Ban Ki-moon dan eksekutif dari 27 agen PBB untuk mendiskusikan kenaikan harga pangan dan pergolakan di 37 negeri akibat kelaparan ekstrim.
Menurut ACN, Ban meminta dana bantuan sebesar $2.5 milyar untuk membantu memerangi krisis pangan dunia saat konferensi pers di Berne pada 22 April
Apakah solusi Zoellick terhadap krisis pangan? Menunjukkan kepentingan kelasnya yang sesungguhnya, ia menyerukan agar ekspor hasil produk minyak tidak dibatasi.
Bagaimana kaum imperialis dapat menyelesaikan krisis yang mereka ciptakan? Sebagaimana dinyatakan oleh Via Campesina, organisasi tani masyarakat asli dan petani kecil di seluruh dunia, dalam suatu dokumen berjudul “Jawaban terhadap Krisis Pangan Global” (www.viacampesina. org), kebijakan neoliberal telah menghancurkan kapasitas negeri-negeri untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Meskipun menyinggung tentang bahan bakar organik dan pemanasan global yang mempengaruhi panen dan menyebabkan krisis pangan, mereka memandang absennya kedaulatan pangan sebagai penyebab utamanya: “Krisis ini juga merupakan hasil dari bertahun-tahun kebijakan destruktif yang telah memberantas produksi pangan domestik. … Petani terpaksa memproduksi hasil perkebunan (cash crops) bagi korporasi transnasional (TNCs) dan membeli makanan mereka dari pasar dunia.”
Artikel itu menunjukkan contoh Meksiko, yang, setelah NAFTA, beralih dari negeri pengekspor jagung jadi menggantungkan 30 persen jagungnya dari impor AS. Walau demikian, karena kini jagung dari AS semakin banyak digunakan untuk bahan bakar, maka keberadaannya semakin berkurang di Meksiko. Disinggung juga kasus Indonesia, yang pada 1992 jumlah produksi kedelainya cukup untuk memenuhi konsumsi pangan pokok domestik untuk tahu dan tempe. Setelah membuka pintunya terhadap kebijakan neoliberal, kedelai murah dari AS membanjiri pasar dan menjatuhkan produksi domestik. Enam puluh persen kini diimport dari AS dan harganya meningkat dua kali lipat.
Maka, tanpa kemampuan memproduksi pangan sendiri akibat resep neoliberal, dikombinasikan dengan perubahan iklim secara drastis, negeri-negeri miskin menjadi korban spekulasi pasar pangan dan pengalihan produksi pangan menjadi bahan bakar organik. Sementara konsumsi pangan mungkin sebesar 10 hingga 20 persen dari penghasilan perorangan di kebanyakan negeri maju, di Dunia Ketiga angka tersebut mencapai 60 hingga 80 persen. Dan produk yang paling terkena dampak krisis saat ini adalah makanan pokok rakyat miskin, seperti nasi dan jagung.
Tidaklah mengherankan bila massa telah bangkit melawan di Meksiko, Indonesia, Yaman, Filipina, Kamboja, Maroko, Senegal, Uzbekistan, Guinea, Mauritania, Mesir, Kamerun, Bangladesh, Burkina Faso, Pantai Gading, Peru, Bolivia dan Haiti.
Haiti pantas mendapat perhatian khusus, karena negeri itu salah satu yang termiskin di Bumi di mana keserakahan genosidal korporasi transnasional terlihat secara jelas dan terang-terangan. Delapan puluh persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan 54 persen dalam kemiskinan ekstrim. Menurut Servicio Paz y Justicia en America Latina, “Dua puluh tahun lalu Haiti memproduksi 95 persen beras yang dikonsumsi rakyatnya; kini ia mengimpor 80 persen produk tersebut dari AS.” (www.serpajamerical atina.org)
Kelaparan ekstrim di Haiti telah memaksa rakyat untuk memberi makan anak-anak mereka dengan kue “Pica” yang terbuat dari lumpur, suatu pengobat lapar yang beracun. Dalam Cite-Soleil, kue tersebut dibuat dari lumpur kuning dari dataran tinggi di pedalaman negeri tersebut, yang dicampur dengan garam dan minyak. Dibutuhkan biaya sebesar $5 untuk membuat 100 kue, namun dengan harga demikian pun, banyak rakyat Haiti tak mampu membeli kue yang terbuat dari lumpur! Kue itu bisa mengisi perut anak-anak, tapi lumpurnya juga mengandung parasit dan bahan-bahan yang berpotensi mematikan. Kuba dan Venezuela telah bertindak untuk menolong rakyat Haiti. Venezuela, diantaranya, mengirim 600 ton pangan pada 13 April dan 50 truk pertanian. Kuba telah menyediakan perawatan kesehatan bagi lapisan masyarakat yang termiskin, yang tak memiliki akses terhadap dokter. Selama lima tahun, 400 dokter Kuba telah bekerja di Haiti; dan 600 pelajar Haiti belajar kedokteran di Kuba. Menurut Presiden Haiti Rene Preval, bagi rakyat Haiti “Setelah Tuhan, ada dokter Kuba.”
Rakyat kelaparan sementara korporasi pangan tumbuh subur
Dalam pernyataan pers pada 14 April, raksasa pangan AS Cargill melaporkan “pendapatan bersih sebesar $1.03 milyar dalam kwartal ketiga tahun 2008 yang berakhir pada 29 Feb., naik 86 persen dari $553 juta dalam periode sama setahun lalu. Pendapatan dalam sembilan bulan pertama bertotal $2.9 milyar, suatu kenaikan sebesar 69 persen dari
$1.71 milyar pada tahun lalu.” (www.cargill. com)
Pernyataan tersebut menyebutkan: “Cargill mencatat tiga kwartal yang kuat secara berturut-turut dalam setahun ketika dimensi perubahan dalam pertanian global sangat mencolok,” kata Greg Page, ketua dan pejabat kepala eksekutif Cargill. “Permintaan pangan di ekonomi berkembang dan permintaan enerji di dunia meningkatkan permintaan
barang-barang pertanian, pada saat yang sama investasi moneter mengaliri pasar-pasar komoditas. Relatif terhadap permintaan, stok biji-bijihan dunia saat ini adalah pada tingkat terendah dalam 35 tahun. Harga-harganya mencapai ketinggian baru dan pasar-pasarnya luar biasa rentan.”
Monsanto, perusahaan AS lainnya, juga melaporkan keuntungan besar. Dalam suatu berita pada 6 Mei, perusahaan tersebut menyatakan: “Sebagai perusahaan teknologi di pertanian, kami memiliki kesempatan unik karena teknologi kami menciptakan nilai jual bagi petani pelanggan kami tanpa mempedulikan tanaman apa yang mereka budidayakan, di mana mereka akhirnya menjual bijih-bijihan mereka, atau berapa harga jual bijih-bijihan itu di pasar komoditas. … Perkembangan pendapatan Monsanto yang kuat terus tercermin dalam pembayaran dividen. Monsanto telah meningkatkan dividennya enam kali – suatu peningkatan sebesar 200 persen – sejak 2001.” (www.monsanto. com)
Monsanto adalah biang kerok di balik benih rekayasa genetik (genetically engineered seeds) yang membanjiri dan menghancurkan pertanian di negeri-negeri Dunia Ketiga, membuat mereka bergantung pada benih-benih dan produk Monsanto.
_____________
Sumber Tulisan: Latin American summit confronts hunger crisis