Oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (wilayah Jombang)
Situasi politik dan ekonomi Indonesia yang semakin lama tidak menentu ini sangat berpengaruh pada kondisi perburuhan yang semakin lama semakin tidak berpihak pada buruh. Reformasi telah berjalan lebih dari 10 tahun, rejim telah berganti 4 kali, tetapi kebijakan di sektor perburuhan justru semakin parah. Ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah dalam perburuhan dalam satu dekade terakhir, misalkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004. Kondisi buruh lebih mengenaskan dengan kemunculan legalisasi sistem kerja kontrak dan outsorcing di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.
Situasi ini lebih parah dengan munculnya paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) mengenai kebijakan Labour Market Flexibillity (Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja). Beberapa kebijakan ini akhirnya dijadikan landasan bagi para pengusaha kapitalis untuk menindas buruh.
Menghadapi krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia, pemerintah justru menelurkan satu paket kebijakan yang semakin membenamkan buruh jauh ke dasar jurang kemiskinan. Di antaranya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang dikeluarkan pada tahun 2008, di mana dalam satu pasalnya menyatakan bahwa kenaikan upah buruh tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Dibungkus dengan retorika bahwa ini adalah kebijakan yang akan menyelamatkan ekonomi Indonesia, arti sesungguhnya dari kebijakan ini adalah memaksa buruh untuk membayar kegagalan sistem kapitalisme. Krisis ekonomi ini juga dijadikan alasan bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan status kerja kontrak dan membayar upah tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh gubernur.
Satu contoh kongkrit adalah sebagaimana yang dihadapi oleh kawan-kawan buruh PT. Sejahtera Usaha Bersama (SUB) atau biasa disebut PT. Plywood Jombang. Perusahaan ini bergerak di sektor kayu olahan dengan pangsa pasar di Timur Tengah dan mempunyai banyak pabrik di beberapa daerah di Jawa Timur, di antaranya Madiun dan Banyuwangi. PT. SUB yang ada di Jombang mempekerjakan sekitar 3000 orang dengan status kontrak dan harian lepas. Sampai hari ini buruh SUB Jombang belum juga mendapatkan kesejahteraan sesuai dengan haknya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, di antaranya menyangkut status kerja. Ada sekitar 200 buruh yang sudah bekerja sekitar 3 tahun lebih tetapi status kerjanya masih kontrak.
Tidak puas dengan penghisapannya terhadap buruh, PT.SUB meminta uang dari buruh yang mau bekerja di perusahaannya berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 6 juta. Buruh yang mencoba mempertanyakan status kerjanya diancaman dipecat atau PHK. Padahal sudah terlihat jelas proses pelanggaran normatif yang telah dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh tetapi sampai hari ini belum juga ada upaya kongkrit dari Dinas Tenaga Kerja Jombang untuk mengambil tindakan. Inilah yang menjadikan dasar mengapa para buruh hari ini mulai tidak percaya terhadap pemerintah.
Sebagian buruh PT. SUB tidak menyerah begitu saja. Sekitar 1 bulan yang lalu tepatnya 12 April 2009, sekitar 10 orang buruh menghadiri acara pemutaran film dokumenter “No Volveran” yang disponsori oleh kampanye Hands Off Venezuela dan juga SPBI (Serikat Buruh Perjuangan Indonesia). Film “No Volveran” ini menceritakan mengenai proses Revolusi Venezuela dan terutama mengenai perjuangan buruh Venezuela yang menduduki pabriknya setelah pemilik pabrik tidak membayar upah layak kepada mereka. Film ini memberikan semangat kepada kawan-kawan buruh.
Para buruh PT.SUB Jombang mulai tergerak untuk mendirikan serikat dan menggabungkan diri dalam SPBI. Proses bergabungnya kawan-kawan buruh bertujuan untuk mencoba memulai proses perjuangan dalam menuntut hak-haknya yang selama ini belum mereka dapatkan.
Beberapa hal yang hari ini sedang disiapkan oleh kawan-kawan SPBI di antaranya rencana dalam waktu dekat untuk melakukan perjuangan menuntut pihak disnaker melakukan proses verifikasi status kerja yang telah diterapkan oleh perusahaan. Kita akan menuntut status kerja dari sistem kontrak menjadi tetap, dan juga melakukan antisipasi terkait isu yang beredar di kalangan perusahaan yang akan melakukan “efisiensi” (baca PHK) sekitar 200 orang. Meskipun situasi ini sulit bagi kita, tetapi dengan kesabaran dan komitmen kita dalam perjuangan, kita tidak akan menyerah begitu saja; karena kita tidak bisa berharap pada siapapun kecuali dengan semangat solidaritas yang kita punya.
Elit plitik hari ini sama sekali tak menunjukkan keberpihakannya kepada buruh. Ini bisa kita lihat dari kampanye calon presiden dan juga partai-partai politik. Dalam setiap kampanye mereka tidak pernah menyentuh isu-isu perburuhan. Pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat dan juga semakin memperlihatkan bahwa partai-partai yang ada hanyalah sibuk dengan proses pembagian kekuasaan. Tidak ada partai yang mewakili rakyat pekerja. Buruh dan rakyat tertindas lainnya harus membangun organisasi politiknya sendiri yang memiliki program keberpihakan kepada buruh dan rakyat luas.
Untuk itu tidak ada kata lain bahwa hari ini buruh harus mulai sadar dengan kekuatannya dan mulai mengorganisir dirinya karena tanpa organisasi buruh hanyalah bahan mentah untuk dieksploitasi.
Tunduk Ditindas atau Bangkit Melawan
Karena Mundur adalah Bentuk Pengkhianatan.
Kaum Buruh Sedunia Bersatu!