Written by Jesus S. Anam*
Impian adalah sah. Tidak ada salahnya menjangkau kebesaran dan kesuksesan. Tidak ada salahnya merindukan hasil yang cepat dan keuntungan seketika. Begitulah kata Mao, yang diucapkan pada bulan Januari 1958.
Mao memang berhasrat untuk melakukan lompatan besar yang terayun. Saat itu dia ingin menggiring negeri petani menjadi negeri industri secara cepat. Dia sedang mencoba melecut musim. Lalu seluruh Cina bergemuruh dan bergerak meski akhirnya terbentur dinding tua Tiongkok.
Namun demikian, saya tidak hendak mengatakan Cina adalah kegagalan, tetapi hendak menyatakan bahwa “revolusi sosialis bukanlah gerak teaterikal”. Revolusi sosialis haruslah gerak yang berpijak pada tumpukan realitas, tidak berdiri di sisi dan hanya mengintip. Bukan gerak bebas tanpa makna dan semu, bukan pula gerak yang terpotong-potong dan absurd seperti layaknya panggung-panggung teaterikal. Ia harus menjadi gerakan kontinyu, menyeluruh, mengejawantah, mengandungi misi membebaskan diri dari hegemoni kapitalis hingga benar-benar mewujud pada terbentuknya masyarakat tanpa kelas.
Revolusi sosialis, dalam kondisi-kondisi sosial dan politik tertentu adalah keniscayaan. Tetapi tidak ada istilah bermain-main dengan revolusi. Ia ibarat bisul, dibutuhkan satu torehan pisau bedah yang tajam.
Kekalahan tipis Chavez dalam referendum nasional yang digelar pada bulan Disember 2007 adalah fakta bahwa revolusi Bolivarian memerlukan pisau bedah yang tajam hingga mampu memberi hasil yang memuaskan. Satu hal penting yang perlu dicermati dalam revolusi Bolivarian adalah perlunya instrumen politik yang mampu mengkonfrontasi ganjalan-ganjalan yang dihadapi dalam perjuangan merumuskan sesuatu yang baru: negara sosialis Venezuela. Itu membutuhkan gerakan massif dan kekuatan politik baru yang mampu menciptakan sistem baru. Kekuatan baru yang saya maksud adalah sebuah partai yang mampu memimpin sebuah proses, serta mampu menjadi istrumen untuk mempersatukan seluruh antusiasme para pendukung Chavez dari kalangan jelata—dengan kepentingan kelas kolektif mereka secara demokratis—sehingga terkuaklah jalan lebar menuju sosialisme. Dengan cara itulah organ-organ politik dan gerakan sosial yang terfragmentasi dipersatukan ke dalam sebuah organisasi yang bisa memecahkan masalah-masalah besar. Dalam hal itu adalah menyatukan kalangan jelata militan dengan kepemimpinan revolusioner sentral.
Dalam merespon kebutuhan di atas PSUV (Partido Socialista Unido de Venezuela, Partai Persatuan Sosialis Venezuela) memiliki harapan menjadi sebuah partai yang bisa menumbangkan partai-partai borjuis yang hadir untuk melayani kepentingan-kepentingan kaum kaya. Partai semacam PSUV telah mampu menggerakkan partisipasi penuh dan demokratis dari kaum pekerja, kaum tani, pemuda, kaum intelektual, para seniman, ibu-ibu rumahtangga, dan para pengusaha yang terpaksa terpinggirkan dalam kompetisi bisnis yang hegemonik. Mampu membentuk suatu formasi dan menggerakkan seluruh organ-organ komponennya, dan melalui lingkaran-lingkaran diskusi merumuskan keputusan-keputusan strategis-taktis, revolusioner, dan konstruktif. Langkah-lagkah itulah yang kemudian memberi tamparan keras kepada Partai Komunis Venezuela yang bersikap pasif dalam proses revolusi dan menolak bergabung dengan PSUV dengan alasan sosialisme tidak akan terjadi di Venezuela karena kesadaran kaum pekerja belum cukup tinggi.
Situasi semacam juga pernah terjadi di Rusia, di mana partai-partai demokratik Menshevik dan sosial-revolusioner menghamburkan keping-keping terakhir dari kepercayaan massa. Bolshevik tampil dan berdiri di tengah-tengah tumpukan realitas. Bolshevik belajar untuk mengenali mekanika-mekanika kelas dari masyarakat dalam kejadian-kejadian yang berlangsung selama dua belas tahun (1905-1917). Partai Bolshevik mendidik kelompok-kelompok rakyat memiliki kemampuan secara imbang dalam hal inisiatif dan subordinasi. Kedisiplinan tindakan revolusionernya didasarkan pada kesatuan dari doktrinnya, pada tradisi perjuangan umum, dan pada kepercayaan pada kepemimpinan yang teruji.
Hal terpenting yang dapat dikemukakan dalam tesis ini adalah: Chavez dan rakyat pendukungnya (pro revolusi Bolivarian) memerlukan sebuah partai yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan jelata sehingga mewujud menjadi kekuatan revolusi sekaligus sebuah pisau tajam yang terus-menerus diasah guna menghindari karat. Dalam konteks itu PSUV adalah partai yang paling diharapkan. Sebagai partai sosialis, PSUV akan tetap eksis jika terus-menerus mendasarkan perjuangannya pada teori-teori sosialis dan melibatkan gerakan-gerakan kiri revolusioner di seluruh dunia. Pengalaman Rusia menunjukkan bahwa sosialisme tidak bisa hidup di satu negara. Tidak ada sosialisme di Cina, Kuba, dan Vietnam. Apa yang terjadi di sana hanyalah rejim-rejim dari kapitalisme negara yang ternyata tetap mengeksploitasi dan mengobyektifikasi kelas pekerja. Oleh karena itu, Hands Off Venezuela – Indonesia , hadir dalam rangka menyokong Revolusi Bolivarian di satu sisi dan upaya menegakkan prinsip internasionalisme di sisi lain.
Akhirnya saya ingin mengatakan, revolusi kadangkala memang terlihat seperti panggung teaterikal, tetapi ia tetap bergerak di atas hukum-hukum dan peraturannya. Viva sosialisme!
*Koordinator Hands Off Venezuela – Indonesia
hi bro,,
skripsi gw ttg hugo chavez..
mau tanya2 ni,,bole mnt cont.personnya??
yupZZZ,,,
viva sosialisme…!!!!!!
Viva Sosialisme,,, kamarada tetaplah berjuang, seperti teman-teman seperjuangan kita di Timor-Leste yang pantang menyerah memperjuangkan hakikat perjuangan Maubere melalui Frente Revolusionario Timor-Leste Independante (FRETILIN).
Viva Sosialisme…………!!!!!!!!!!!!!
Viva povo Maubere……………..!!!!!!!!!!
Long Live Socialism..
Comerades…