Mengenalkan Revolusi Venezuela di Kampus Unibraw

Ditulis oleh Firman Rendi Sutansyah

Di gedung kuliah fakultas teknik Universitas Brawijaya Malang (Unibraw), film dokumenter “Revolution Will Not Be Televised” diputar. Antusiasme peserta nampak terasa saat film sampai di pertengahan durasi, yakni saat kudeta militer untuk menggulingkan Presiden Chavez berlangsung dan kegagalannya yang memalukan.

“Peristiwa kudeta di Venezuela yang saya lihat sekarang berbeda dengan pemberitaan dengan yang selama ini saya dengar. Berbeda dengan sumber-sumber yang saya peroleh di Internet maupun media-media yang lain. Chavez sering digambarkan sebagai seorang diktator yang menakutkan,” kata Kabul, salah seorang peserta bedah film.

Acara bedah film dimulai pukul 19.30. Usai pemutaran film dan sebelum masuk acara diskusi, seorang mahasiswi membacakan puisi perlawanan karya salah seorang seniman Malang, Gareng Tejo Kusumo. Teater monolog yang dikemas dengan sangat apik oleh kelompok teater y.a.o.m.a ini disambut dengan rasa haru dan teriakan histeria dari para peserta bedah film pada saat melewati bait-bait tentang sejarah dan struktur penindasan.

Acara bedah film ini menghadirkan dua pembicara, yakni Jesus S. Anam dari Hands Off Venezuela (HOV) seksi Indonesia dan Andy Irfan Junaidi dari Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI). Jesus SA membedah peristiwa politik di Venezuela dari peristiwa Caracazo tahun 1989 hingga kudeta terhadap Chavez tahun 2002.  Menurut Jesus, gelombang revolusioner di Venezuela bertitik tolak pada bulan Februari 1989. Pada tahun tersebut paket kebijakan IMF diperkenalkan. Perkenalan pertamanya adalah dengan menaikan harga minyak dan menghapus subsidi makanan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya biaya transportasi umum dan bahan makanan secara massif. Keresahan rakyat terasa sekali di pagi hari saat mereka menuju tempat kerja dengan harga tiket bus yang melambung naik 200 hingga 300 persen. Situasi ini benar-benar melecut kemarahan dan mendorong pemberontakan massa rakyat secara spontan dan tak terorganisir, yang dikenal dengan nama Caracazo, karena terjadi di seluruh penjuru Caracas. Pemberontakan, kerusuhan, penjarahan, dan bentrokan pun kemudian terjadi. Pemerintah kemudian menurunkan tentara untuk menyapu massa. Sekitar 300 sampai 3000 orang tewas, tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya.

Kemenangan Chavez di pemilu presiden pada tahun 1998, lanjut Jesus, cukup mengejutkan banyak negara karena ia berani berkonfrontasi secara langsung dengan Amerika Serikat dan berani menolak mentah-mentah semua program yang diusulkan IMF maupun World Bank. Chavez melihat itu semua sebagai program kapitalis yang ingin merampok semua kekayaan yang ada di Venezuela. Jesus juga membedah apa yang sebenarnya terjadi dalam kudeta 2002 di Venezuela, kenapa kudeta itu terjadi, dan bagaimana kudeta itu bisa digagalkan rakyat. Dan lagi-lagi adalah rakyat yang menyelematkan Chavez. Kudeta terhadap Chavez oleh kaum oligarki yang dibantu Washington berhasil digagalkan rakyat yang diorganisir oleh kelompok-kelompok revolusioner yang berada di barisan depan massa.

Sedangkan Andy Irfan Junaidi mencoba untuk mengkorelasikan peristiwa yang terjadi di Venezuela dengan di Indonesia. “Ada yang harus diwaspadai oleh kaum intelektual (mahasiswa,-red),” kata Andy. “Mahasiswa memang bisa menjadi seorang pemimpin yang revolusioner, akan tetapi mahasiswa bisa juga dengan cepat berbalik dan menjadi apatis.” Andy juga mengurai perjalanan sejarah yang terjadi di Indonesia. Menurut Andy, banyak terjadi penghapusan sejarah-sejarah pada masa lalu. Dalam era Orde Baru misalnya, sejarah-sejarah yang dianggap bisa membangkitkan gerakan massa rakyat sengaja dihilangkan dari kampus-kampus. Pada kenyataannya, pada tahun 20-an, banyak sekali tokoh-tokoh progresif yang muncul dari serikat-serikat buruh. “Para buruh mungkin secara intelektual sangat jauh di bawah level para mahasiswa. Akan tetapi, mereka diuntungkan dengan pengalaman secara langsung melawan tekanan kapitalis,” lanjut Andy. Hal ini seperti yang pernah dikatakan Lenin bahwa bobot satu ons pengalaman bisa sama dengan satu ton teori.

Nah, kemudian bagaimana dan apa dampak dari peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1998 lalu, yang sering disebut sebagai reformasi? Menurut kawan Andy, meskipun reformasi sudah berjalan selama 11 tahun, tetapi kita masih jalan di tempat alias tidak ada perubahan yang signifikan. Reformasi hanya menurunkan satu orang penguasa saja. Akan tetapi, watak ideologi bangsa kita tidak berubah, yaitu dari kolonialisme terjerembab menuju neoliberalisme (kapitalisme,-red), dimana pasarlah yang menghidupi kita, dan buruh, petani, serta rakyat miskin secara keseluruhan yang menjadi korban paling awal dari kebijakan ini. Dan fenomena yang menarik dari sebuah negara yang menganut paham neoliberalasme, negara tersebut akan mengalami krisis demi krisis.

Dalam sesi dialog, para peserta diskusi banyak yang melontarkan berbagai pertanyaan, seperti   bisakah di Indonesia melakukan revolusi sama dengan revolusi yang terjadi di Venezuela; apa yang arti dari kata “revolusi”; dll.

Jesus SA mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan revolusi. Menurut Trotsky, kata Jesus, ciri utama dari sebuah revolusi adalah massa terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa historis. Revolusi dapat terjadi melalui dua cara: oleh sebuah bangsa yang bersatu seperti seekor singa yang siap menerkam, atau¸ oleh sebuah bangsa di dalam proses perjuangan yang memecahkan bangsa tersebut guna membebaskan bagian terbaiknya yang akan melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu dipenuhi oleh seluruh bangsa. Dalam konteks Indonesia, prasyarat untuk revolusi sudah ada. Krisis kemanusiaan, krisis kepemimpinan, bobroknya lembaga-lembaga negara, pembusukan akut partai-partai borjuis, dan penindasan yang semakin sistematis merupakan prasyarat untuk menggerakkan revolusi di Indonesia. Mengenai kapan akan terjadi revolusi pastinya tidak hanya tergantung pada relasi kekuatan-kekuatan sosial di dalam perjuangan kelas, tetapi juga pada faktor-faktor subyektif, seperti tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum buruh, petani, kaum miskin  untuk berjuang.

Kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, dan mahasiswa bersatulah!

Kongres Luar Biasa Pertama PSUV – Chavez Menyerukan Pembentukan Internasionale Kelima

Ditulis oleh : Alan Woods

Kongres Luar Biasa Pertama PSUV_300x225Pada hari Sabtu 21 November, Kongres Luar Biasa Pertama Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) dimulai dengan dihadiri oleh 772 delegasi yang berbaju merah. Mayoritas adalah buruh, tani, dan kaum muda, yang dipilih oleh sekitar 2,5 juta anggota (total anggota terdaftar adalah 7 juta!). Atmosfer di dalam kongres ini dipenuhi dengan antusiasme dan harapan.

Setelah sesi awal menyanyikan lagu-lagu revolusioner dan beberapa pidato pembukaan dari tamu-tamu terhormat dari Nikaragua dan El Salvador, Hugo Chavez membuka kongres ini dengan 5 jam pidato yang selesai sedikit setelah tengah malam.

Hal utama dari pidatonya adalah perlunya pembentukan sebuah Internasionale baru yang revolusioner, yang dia sebut sebagai Internasionale Kelima. Chavez menunjukkan bahwa Marx telah membentuk Internasionale Pertama, Engels berpartisipasi dalam pembentukan Internasionale Kedua, Lenin membentuk Internasionale Ketiga dan Leon Trotsky yang Keempat, tetapi karena alasan-alasan yang berbeda Internasionale-Internasionale tersebut tidak lagi eksis hari ini.

Chavez mengatakan bahwa semua Internasionale tersebut berasal dari Eropa, ini merefleksikan perjuangan kelas di Eropa pada saat itu, tetapi sekarang pusat dari revolusi dunia ada di Amerika Latin, dan terutama di Venezuela. Dia merujuk pada kehadiran 55 partai Kiri dari 39 negara yang hadir di Kongres ini, yang telah menandatangani sebuah dokumen berjudul Perjanjian Caracas (El Compromiso de Caracas), yang berdasarkan gagasan perjuangan sedunia melawan imperialisme dan kapitalisme, untuk sosialisme.

Dia menekankan gagasan ini berulang kali di dalam pidatonya, yang juga mengandung banyak ide radikal, serangan-serangan terhadap kapitalisme, yang dia katakan sebagai ancaman terhadap masa depan umat manusia. Merujuk pada krisis kapitalis dunia, dia mengutuk usaha-usaha pemerintahan Barat untuk menyelamatkan sistem kapitalisme dengan bail-out pemerintah yang besar. Tugas kita, katanya, bukanlah untuk menyelamatkan kapitalisme tetapi menghancurkannya.

Berbicara mengenai situasi di Venezuela, dia mengatakan bahwa mereka belumlah berhasil menghapus kapitalisme tetapi sedang bergerak ke arah itu. Pengumumannya bahwa mereka akan mengambil alih tujuh bank disambut dengan tepuktangan yang antusias. Dia mengutuk kaum oligarki Venezuela sebagai Kolom Kelima, yang telah menjual diri mereka ke imperialisme.

Chavez berkata bahwa Negara di Venezuela masihlah sebuah Negara Kapitalis, dan ini adalah masalah utama dari revolusi. Melambaikan buku Negara dan Revolusinya Lenin (yang dia anjurkan ke semua delegasi untuk membacanya), dia mengatakan bahwa dia setuju dengan pandangan Lenin bahwa Negara borjuis harus dihancurkan dan digantikan dengan sebuah negara revolusioner, dan tugas ini masih harus dilaksanakan.

Berbicara mengenai masalah birokrasi, dia memperingatkan bahwa dia tahu bahwa beberapa delegasi yang hadir hari ini telah terpilih dengan cara yang tidak jujur dan bahwa beberapa orang hanya tertarik untuk terpilih ke parlemen atau sebagai bupati atau gubernur, ini tidak dapat diterima katanya.

Mengenai konflik baru-baru ini dengan Kolombia, dia mengulang tuntutan dia untuk membentuk milisi rakyat, dan bahwa setiap buruh, petani, pelajar, pria dan wanita, harus menerima pelatihan militer, dan bahwa ini tidak boleh hanya di atas kertas tetapi harus dipraktekkan.

“Saya menaruh arti penting untuk kongres ini,” kata Chavez, “dan bermaksud untuk mengambil sebuah peran aktif di dalamnya.” Dia menekankan bahwa kongres ini jangan hanya selesai esok hari (Minggu) tetapi harus berlanjut untuk bertemu secara berkala dalam bulan-bulan ke depan, guna mendiskusikan semua masalah secara menyeluruh. Dia menekankan bahwa diskusi-diskusi haruslah demokratis, dengan menerima pendapat-pendapat yang berbeda dan bahwa delegasi-delegasi harus melaporkan hasil kongres ke semua anggota dan mendiskusikannya dengan mereka semua proposal dan dokumen.

Presiden Chavez menekankan bahwa tahun depan akan sulit. Pihak oposisi akan melakukan apapun untuk memenangkan pemilu Majelis Nasional pada bulan September 2010. “Setelah itu mereka akan menyerang saya,” katanya. Lalu seorang delegasi menyahut: “Mereka akan menyerang kita semua!”

Semua ini menyoroti masalah utama dari Revolusi Venezuela. Setelah 11 tahun ada tanda-tanda bahwa rakyat semakin menjadi tidak sabar dan frustasi dengan lambatnya revolusi. Krisis kapitalisme telah mempengaruhi situasi di Venezuela, dan banyak yang merasa jijik dengan birokrasi dan korupsi yang mereka lihat dimana-mana, termasuk di dalam Gerakan Bolivarian itu sendiri.

Frustasi ini kadang-kadang mengekspresikan dirinya dalam pemogokan-pemogokan. Presiden Chavez menunjukkan kefrustasian dia pada beberapa pemogokan, namun dia menyerukan sebuah dialog dengan para buruh. Tetapi di belakang ini ada sebuah perasaan umum bahwa mereka-mereka yang ada di kepemimpinan revolusi tidaklah memiliki hubungan dengan rakyat dan tidak mendengarkan rakyat atau mengerti masalah mereka.

Di pidatonya, Chavez juga menekankan perlunya mengembalikan tradisi serikat buruh revolusioner, karena kelas pekerja harus memainkan peran kepemimpinan di dalam revolusi. “Kesadaran kelas pekerja adalah kunci untuk membangun sosialisme,” katanya, menambahkan bahwa sebuah aliansi yang rapat antara partai dan buruh harus dibentuk.

Jelas bahwa Chavez mencoba untuk menggunakan kongres ini untuk meniupkan sebuah semangat baru ke dalam revolusi. Marilah kita berharap bahwa ini akan menjadi sebuah titik awal untuk sebuah gerakan maju yang baru dari Revolusi Bolivarian, yang hanya akan berhasil dengan bergerak menyerang, pecah dari kapitalisme secara radikal, menghantarkan pukulan melawan kaum oligarki reaksioner dan membentuk sebuah negara buruh yang sejati sebagai kondisi utama untuk maju menuju sosialisme dan menghantarkan sebuah gelombang revolusioner ke seluruh benua Amerika dan dunia.

Caracas, 21 November

Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari “First Extraordinary Congress of the PSUV – Chavez calls for the Fifth International”, Alan Woods, 21 November 2009. Sumber tulisan : http://militanindonesia.org/internasional/amerika-latin/8028-kongres-luarbiasa-psuv.html

Mengenal Revolusi Bolivarian Lewat Film

Ditulis oleh Fatkhul Khoir

no-volveran_300x225Di kota industri Gresik, kemarin 18 Oktober 2009, puluhan orang berkumpul untuk menonton dan mendiskusikan film dokumenter No Volveran. Film ini bercerita mengenai Revolusi Venezuela dan perjuangan buruh Sanitarios Maracay ketika menduduki pabrik dan menjalankannya di bawah kontrol buruh. Antusiasme peserta sangat nyata. Ini terlihat dari proses diskusi yang berlangsung usai pemutaran film. Saat diskusi, para peserta berusaha menarik sebuah benang merah dari apa yang telah dilakukan oleh serikat-serikat buruh di Venezuela.

Bedah film yang diinisiasi oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Komite Wilayah Gresik dan Hands Off Venezuela Indonesia menghadirkan Jesus S. Anam sebagai pembicara. Jesus S. Anam menjelaskan sejarah gerakan di Venezuela dan beberapa hasil perjuangan buruh di sana dan apa yang telah dilakukan oleh kelas buruh di Venezuela bisa menjadi inspirasi bagi buruh di Indonesia, khususnya di Gresik.

Dalam diskusi ini juga muncul refleksi dari peserta diskusi terkait dengan pengalaman gerakan buruh di Gresik. Mereka menyatakan, situasi gerakan buruh di Gresik masih banyak terjebak dalam persoalan normatif dan para pemimpinannya masih banyak didominasi oleh kelompok serikat buruh “kuning”. Walaupun sudah terbentuk seketariat bersama, namun ini tidak serta merta bisa menjawab kebutuhan buruh.

Menurut salah satu peserta diskusi, kondisi politik perburuhan yang semakin lama tidak berpihak pada buruh, dan maraknya outsourcing yang ada di Gresik, ditambah dengan apatisme buruh yang semakin meningkat, telah menjadi kendala utama bagi pembangunan serikat buruh di Gresik. Permasalahan yang cukup mendasar yang dihadapi oleh buruh saat ini adalah belum adanya kepemimpinan politik yang revolusioner sebagai alat perjuangan.

Masih terkotak-kotaknya serikat buruh, menurut peserta yang lain, juga menjadi halangan utama bagi proses perjuangan buruh dalam menggapai cita-cita untuk perubahan. Lebih jauh, menurutnya, bahwa pembangunan aliansi di antara serikat buruh selalu terhambat oleh faktor eksistensi para elit serikat dan juga perilaku yang cenderung pragmatis.

Di akhir diskusi, refleksi atas situasi serikat-serikat buruh yang ada di Gresik telah menguatkan peserta diskusi yang sebelumnya pesimis. Ini terbukti, setelah menonton film No Volveran, ada kesepakatan lanjut untuk merapatkan barisan dengan mengadakan kelas-kelas politik di basis buruh secara regular dua minggu sekali. Peserta diskusi, yang mayoritas buruh, benar-benar mendapatkan angin segar politik—masih ada harapan bagi kelas buruh untuk menggapai cita-cita di masa depan menuju kesejahteraan bersama.

Hidup Sosialisme!

Forum Diskusi Jombang: Membangun Politik Alternatif Abad ke-21

Ditulis oleh Rawi (Jombang)

Krisis ekonomi global sekarang ini adalah sebuah gejala dari sistem kapitalisme dunia yang telah kehabisan potensi untuk maju. Ini akan membuka sebuah krisis sosial dan pergulatan revolusioner dalam tahun-tahun ke depan.

Kemenangan kekuatan-kekuatan kiri di Amerika Latin merupakan simbol dari keruntuhan konsensus ekonomi politik global yang dibangun sejak akhir tahun 1980, ketika runtuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet dimaknai sebagai akhir dari sejarah yang mengoreskan tinta kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas di atas gagasan-gagasan alternatif lainnya yang lebih manusiawi. Praktek ekonomi yang berbasis liberalisasi pasar bebas memunculkan persoalan-persoalan mendasar bagi masyarakat Amerika Latin. Pemangkasan berbagai program sosial semakin memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dan problem pengganguran. Sebagai akibatnya, kita saksikan gelombang perlawanan dari kelas pekerja dan petani sejak tahun 1980-an sampai paruh akhir tahun 1990-an.

Pemerintahan Chavez, yang terpilih pada tahun 1998, berhasil melakukan politik radikal dengan mengubah kesepakatan ekonomi antara pemerintah dengan pihak korporasi minyak, dengan mengalihkan laba dari penjualan minyak untuk kesejahteraan rakyat Venezuela. Keberhasilan ini mengilhami gerakan-gerakan massa di kota Jombang dalam membangun suatu politik radikal di kalangan serikat buruh, petani dan mahasiswa.

Sebuah forum diskusi dengan tema bertajuk “Membangun Politik Alternatif Abad ke-21” diinisiasi oleh Hands Off Venezuela seksi Indonesia berkerjasama dengan Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) wilayah Kabupaten Jombang dan Serikat Perjuangan Mahasiswa (SPM) komite kota. Forum diskusi ini diawali dengan pemutaran film dokumenter “Revolution Will Not Be Televised” yang bercerita mengenai perjuangan rakyat Venezuela dalam menggagalkan kudeta yang dilakukan oleh kelompok borjuasi terhadap pemerintahan mereka.

Pada tahun 2002, kaum oligarki Venezuela dengan bantuan imperialisme Amerika meluncurkan sebuah kudeta terhadap Hugo Chavez. Presiden Chavez diculik oleh sekelompok pimpinan angkatan bersenjata yang mengumumkan bahwa Chavez telah mengundurkan diri, sebuah klaim yang kemudian ditolak oleh Chavez. Segera kaum oligarki Venezuela membubarkan parlemen Venezuela yang telah terpilih secara demokratis dan lalu menunjuk Pedro Carmona menjadi presiden. Dalam waktu dua hari, rakyat Venezuela segera mengorganisasi diri mereka dan berbondong-bondong mengepung istana presiden dan barak-barak militer, dan akhirnya menggagalkan kudeta tersebut.

Peserta diskusi melihat bagaimana berbedanya pemerintahan Chavez dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak memberikan harapan kesejahteraan untuk rakyat pekerja. Masalah yang dihadapi rakyat Indonesia juga serupa dengan apa yang terjadi di Amerika Latin, yaitu kapitalisme dengan lembaga donornya seperti IMF, World Bank, IDB dan lembaga-lembaga lain yang merampas kekayaan sumber daya alam dan menindas rakyat pekerja. Sebuah perlawanan juga sedang digalang di bumi Indonesia. Dengan berbekal inspirasi dari Amerika Latin, para peserta diskusi setuju untuk membentuk sekolah-sekolah politik dan forum-forum diskusi setiap 2 minggu.

Hidup Sosialisme!

Venezuela, Indonesia, dan Perjuangan Untuk Kedaulatan Nasional

Oleh Ted Sprague

Perjuangan untuk kedaulatan nasional atau perjuangan pembebasan nasional secara historis merupakan perjuangan utama dari negara-negara “ketiga”. Dimulai dari perjuangan negara-negara kolonial untuk merebut kemerdekaannya puluhan tahun yang lalu, sampai perjuangan hari ini untuk membebaskan diri mereka dari cengkraman modal asing. Perjuangan untuk kesejahteraan rakyat negara-negara ketiga tidak pernah terpisah dari perlawanan terhadap modal asing, terhadap imperialisme.

Di abad ke-21 ini, Revolusi Bolivarian di Venezuela membuka sebuah babak baru di dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Setelah runtuhnya Uni Soviet, yang dielu-elukan oleh kelas kapitalis sebagai akhir dari sosialisme dan revolusi, rakyat Venezuela telah menunjukkan secara konkrit bahwa perjuangan sosialisme tidaklah berakhir dengan keruntuhan dan kegagalan Uni Soviet. Pengalaman di Venezuela telah menjadi inspirasi bagi jutaan rakyat yang tertindas dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari gerakan Bolivarian.

Di Indonesia sendiri, gerakan anti neo-liberal (anti imperialis) sudah bukan menjadi monopoli kaum kiri. Elit-elit politik sudah mulai menggunakan jargon dan retorika anti neo-liberal untuk meraup dukungan dari rakyat tertindas.

Evolusi Revolusi Bolivarian

Lahirnya Revolusi Bolivarian bisa ditelusuri dari peristiwa Caracazo pada tahun 1989. Jutaan rakyat miskin Venezuela tumpah ruah ke jalanan ketika presiden Carlos Andres Perez menerapkan kebijakan pasar bebas atas rekomendasi IMF yang memotong subsidi dan menprivatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Akibat dari kebijakan ini, harga BBM dan ongkos transportasi serta harga barang sehari-hari melonjak tinggi. Presiden Perez lalu memerintahkan polisi dan tentara untuk menembaki rakyat yang melawan. Ribuan orang terbunuh dan banyak lainnya yang menghilang.

Beberapa tahun kemudian pada tahun 1992, sekelompok tentara progresif di bawah kepemimpinan Chavez mencoba melakukan kudeta militer. Ketika pemerintah Carlos Andres Perez menggunakan tentara untuk merepresi pemberontakan Caracazo, ini memecahkan tentara ke dalam garis kelas. Tentara-tentara bawahan yang lebih dekat dengan rakyat merasa muak digunakan sebagai alat untuk menindas kelasnya sendiri dan mereka memberontak. Pada saat kudeta ini terjadi tidak ada dukungan dari rakyat luas karena mereka tidak tahu apakah kudeta ini hanyalah kudeta reaksioner, yakni perebutan kekuasaan antara elit politik, atau kudeta progresif. Tetapi ketika berita mengenai karakter kudeta ini tersebar, terutama ketika Chavez tampil di televisi memerintahkan pasukannya untuk mundur “untuk sekarang” (por ahora), rakyat Venezuela tahu bahwa mereka telah menemukan pemimpin mereka, ekspresi dari kehendak mereka.

Situasi politik di Venezuela semenjak itu tidak pernah sama lagi. Guncangan pemberontakan Caracazo dan usaha kudeta militer progresif telah membuat kaum borjuasi Venezuela gemetar. Mereka telah kehilangan legitimasi dan terpaksa membuat konsensi-konsensi. Satu bagian dari kaum borjuasi mengerti bahwa mereka harus melakukan reformasi untuk menenangkan amarah rakyat, bahwa pemerintahan yang ada sekarang tidak bisa dipertahankan lagi dan semakin lama ia dipertahankan semakin berbahaya situasi ini. Ini seperti yang terjadi juga di Indonesia ketika para elit-elit politik dan militer Indonesia mengerti bahwa Soeharto haruslah turun demi menjaga kelanggengan kekuasaan mereka secara keseluruhan.

Pemerintah yang selanjutnya naik pada tahun 1994 adalah pemerintah yang bernuansa reformis di bawah presiden Caldera (dari MAS) dengan salah satu platform demokrasi yakni memberikan amnesti kepada para pelaku kudeta 1992. Chavez dibebaskan dan segera membentuk sebuah partai baru, MVR (Gerakan Republik Kelima). MVR membentuk koalisi dengan partai-partai kecil lainnya yang kemudian membawa Chavez terpilih sebagai presiden pada tahun 1998.

Harus diingat, pada awalnya, Chavez hanyalah menawarkan program “Jalan Ketiga” guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia adalah pengagum “Jalan Ketiga”nya Tony Blair, yakni gabungan antara kebijakan pasar bebas dengan kebijakan “sosialis” Akan tetapi, ia segera menemukan halangan yang besar. Kebijakan-kebijakan reformasinya yang moderat untuk mengangkat rakyat Venezuela dari kemiskinan segera ditentang oleh kaum kapitalis Venezuela. Kaum borjuis nasional Venezuela tidak ingin terlibat sama sekali dengan kebijakan “Jalan Ketiga”nya Chavez karena di belakang Chavez adalah rakyat miskin yang semakin terradikalisasi secara politik. Sabotase-sabotase dilakukan tetapi para pemimpin Revolusi Bolivarian pada saat itu masihlah memiliki ilusi untuk merangkul kaum borjuis nasional yang progresif. Chavez masih menyerukan ajakan-ajakan kepada kaum borjuis nasional Venezuela untuk turut serta dalam gerakan nasionalnya untuk membawa Venezuela maju.

Apa jawaban dari kaum borjuis nasional Venezuela? Campakkan program reformasi kamu atau kami akan bertindak! Maka bertindaklah mereka dengan sabotase-sabotase ekonomi dan politik, kampanye media fitnah besar-besaran, yang memuncak pada kudeta April 2002. Akan tetapi, di belakang Chavez adalah massa yang sudah terbangunkan secara politik dan sadar akan kekuatan mereka. Jutaan rakyat Venezuela bergerak menyelamatkan revolusi. Kudeta April 2002 digagalkan.

Akan tetapi Chavez dan para pemimpin reformis Gerakan Bolivarian masih menyerukan kepada kaum oligarki Venezuela untuk berdialog. Namun tidak ada kaum borjuis yang progresif di Venezuela. Seruan ini seperti angin berlalu. Pada akhir tahun 2002 dan awal 2003, para pemilik modal Venezuela melakukan sabotase ekonomi. Industri minyak negara disabotase dengan bantuan manajer-manajer level tinggi di PDVSA (Perusahaan Minyak Negara), yang diikuti dengan penutupan toko-toko dan bisnis untuk melumpuhkan Venezuela. Sekali lagi, rakyat Venezuela lah yang bergerak untuk menyelamatkan revolusi Venezuela. Sabotase ekonomi tersebut dipatahkan. Para buruh minyak PDVSA menjalankan industri minyak tanpa manajer. Seruan kepada kaum borjuis progresif tidak mendapat angin sama sekali bukan karena seruan tersebut kurang karismatik atau tidak dilakukan dengan cara yang tepat, tetapi karena mereka tidak eksis sama sekali.

Setelah kudeta militer dan sabotase ekonomi gagal, rakyat Venezuela semakin terradikalisasi karena mereka menyadari kekuatan mereka. Lalu taktik kaum borjuis nasional selanjutnya adalah dengan menyerukan kampanye recall untuk memecat presiden Chavez. Usaha ini sekali lagi dipatahkan oleh rakyat Venezuela. Elemen-elemen reformis kiri di dalam gerakan Bolivarian, yang berpendapat bahwa revolusi ini adalah revolusi borjuis demokratik yang harus melibatkan kaum borjuis nasional, semakin kehilangan dukungan karena perspektif mereka terbukti keliru di dalam praktek. Rakyat menjadi semakin radikal dan Chavez pun terdorong semakin radikal.

Lalu pada tahun 2005, Chavez menyatakan bahwa Revolusi Bolivarian adalah revolusi yang berwatakkan sosialisme, bahwa tidak ada jalan keluar di dalam kapitalisme. Apa tanggapan rakyat miskin Venezuela? Mereka bersorak sorai dan semakin mendukung Chavez; insting mereka selama ini yang menentang kapitalisme dan mendukung sosialisme mendapatkan ekspresinya dan kepemimpinannya. Gerakan Bolivarian mengalami loncatan kualitatif; yang dulunya terkerangkeng dalam batasan revolusi demokrasi – batasan artifisial yang dibangun oleh kaum reformis kiri Venezuela dan absennya kepemimpinan – sekarang  terbebaskan untuk mengambil langkah-langkah menuju sosialisme.

Semenjak itu, nasionalisasi pabrik-pabrik semakin gencar dilakukan di Venezuela. Gerakan okupasi pabrik dan kontrol buruh berjamuran. Dewan-dewan komunal tumbuh secara akar rumput.

Kedaulatan nasional dan kapitalisme

Satu pelajaran penting dari Venezuela adalah bahwa kedaulatan nasional tidak akan dapat tercapai di bawah kapitalisme. Tidak ada satupun kaum borjuis nasional yang mampu dan ingin secara serius membawa kedaulatan nasional. Mereka terikat dengan kekuatan modal asing. Inilah pelajaran dari Revolusi Bolivarian. Adalah suatu keajaiban bahwa Revolusi Bolivarian telah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Ini hanya karena keberanian rakyat Venezuela yang berulang kali menyelamatkan Revolusi Venezula, dan juga karena kelemahan kaum oligarki Venezuela yang tidak mampu merebut kekuasaan, dan juga kelemahan imperialisme secara umum pada periode ini.

Revolusi Bolivarian berkali-kali harus menghadang maut karena kesalahan perspektif (perspektif “jalan ketiga” dan perspektif merangkul kaum borjuis nasional) dari kepemimpinan mereka; dalam situasi normal ini biasanya akan berakhir di dalam konter-revolusi (seperti dalam kasus Allende di Chili). Tidak ada revolusi yang berlangsung begitu lama di dalam sejarah tanpa adanya perebutan kekuasaan yang pasti dari satu pihak. Tetapi keberuntungan ini tidaklah akan bertahan lama, dan Revolusi Venezuela harus segera mengambil langkah-langkah pasti menuju sosialisme.

Indonesia dan perjuangan kedaulatan nasional

Di Indonesia, perjuangan untuk pembebasan nasional tidak bisa terpisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme. Satu-satunya kekuatan yang mampu membawa pembebasan nasional adalah kelas buruh dengan bantuan kelas tani dan kaum miskin kota. Inilah satu-satunya kekuatan yang harus diandalkan.

Beberapa sektor borjuis nasional menggonggong kepada tuan imperialis mereka hanya karena mereka ingin kue jarahan yang lebih besar, dan juga karena mereka sadar bahwa eksploitasi modal asing yang terlalu berlebihan adalah berbahaya bagi kelanggengan kapitalisme di Indonesia. Kapitalisme telah memasuki krisis dan ini biasanya akan membawa juga perpecahan di dalam tubuh kaum borjuis, perpecahan dalam taktik bagaimana menyelamatkan kapitalisme. Krisis ekonomi membawa krisis politik, bukan hanya antar kelas tetapi juga di dalam kelas itu sendiri. Akan tetapi pada akhirnya, kaum borjuis nasional setuju dalam satu hal: bagaimana menyelamatkan kapitalisme.

Pertanyaannya adalah bagaimana menggunakan keretakan tersebut untuk memajukan gerakan rakyat pekerja. Caranya adalah bukan dengan menyerukan kolaborasi kelas dengan sektor-sektor borjuis reformis yang akan menumpulkan kesadaran kelas buruh, tetapi dengan mengekspos kebangkrutan kaum borjuis reformis tersebut yang akan menguatkan rasa percaya diri kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang mampu secara penuh dan serius menuntaskan program-program reformasi (kedaulatan nasional, demokrasi, dll) dan sosialis.

Amerika Latin: Inspirasi Alternatif Membangun Kedaulatan Nasional

Ditulis oleh Militan
Senin, 14 September 2009 09:01

Amerika Latin saat ini merupakan basis bagi perubahan peta politik dunia di abad ini dan sekaligus menunjukkan kegagalan ideologi neoliberal. Capaian Revolusi Bolivarian telah menjawab, meskipun belum sepenuhnya, persoalan-persoalan mendesak rakyat diluar syarat-syarat kapitalisme, dan keberhasilan ini bisa menjadi inspirasi bagi konsolidasi gerakan melawan kapitalisme dan imperialisme, dan menegakkan kedaulatan nasional di seluruh Amerika Latin dan, tentunya, di seluruh dunia.

Bagi banyak kalangan progresif di Indonesia, pengalaman Amerika Latin menyediakan sebuah cermin menarik untuk menemukan atau merefleksikan strategi anti kapitalisme dan anti imperialisme di dalam negeri. Pendapat ini terungkap dalam diskusi bertajuk “Amerika Latin dan Pengalaman Perjuangan Pembebasan Nasional”, yang diselenggarakan oleh Berdikari Online di Jakarta pada tanggal 11 September lalu.

diskusi-di-papernas_300x225Acara yang bertempat di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Pembebasan Nasional (Papernas) di Jakarta, dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai macam organisasi social dan politik. Acara itu menghadirkan beberapa pembicara, yakni Budiman Sudjatmiko dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ras Muhammad yang merupakan seorang musisi, Jesus S. Anam dari Hands Off Venezuela-Indonesia, Veronika dari International Global Justice (IGJ), dan Rudi Hartono dari website nefos[dot]org.

Diskusi diawali dengan apresiasi Ras Muhamad, Duta Reggae Indonesia. Ras Muhamad berbicara mengenai perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. Menurutnya, seniman Indonesia harus ambil bagian dalam perjuangan kedaulatan nasional, setidaknya dengan mereflesikan keadaan atau penderitaan rakyat di sekelilingnya dalam karya-karya mereka.

Sebagai seorang musisi, ia menyoroti klaim Malaysia terhadap budaya Indonesia. “Indonesia adalah negara yang beradab, untuk menyelesaikan kasus itu, tidak harus dilakukan lewat perang secara fisik”, katanya. Ia juga menambahkan bahwa klaim budaya itu dapat terjadi karena para pemuda-pemudi Indonesia apatis terhadap budaya-budaya lokal. Ia berpendapat bahwa kedaulatan nasional dapat dipertahankan dan ditegakkan jika masyarakat Indonesia turut aktif dalam membangun kedaulatan nasional.

Sementara itu, Budiman Sudjatmiko dari PDIP menekankan pentingnya penyebaran teori-teori revolusioner melalui bahasa yang dipahami oleh rakyat. Menurutnya, keberhasilan Amerika Latin karena mampu mempertahankan orang-orang yang menyebarkan gagasannya melalui bahasa rakyat. “Pada era kediktatoran militer, proses penindasan hanya bisa menguasai rakyat secara fisik, tetapi gagal untuk mengubur gagasan-gagasan revolusioner dan kerakyatan yang ada di sana,” ujarnya. Lebih jauh, Budiman menekankan pentingnya meliberalkan gagasan, agar gagasan kaum revolusioner bisa sampai ke rakyat. Menurutnya, gerakan-gerakan kiri, serevolusioner apapun, tidak pernah mencapai sukses jika belum meliberalkan gagasan. Dengan menggunakan tolak ukur kesuksesan dalam pemilihan legislatif kemarin, ia mengatakan bahwa para aktivis kiri belum banyak yang sukses, bahkan untuk untuk pemilihan di tingkat lokal.

Peneliti Institute For Global Justice (IGJ) Veronika Saraswati menjelaskan soal praktik eksploitasi kekayaan alam Amerika Latin dari segi historis. Menurutnya, pemberlakuan doktrin “Monroe” merupakan bentuk pengkaplingan terhadap kawasan atau wilayah di Amerika Latin. Dalam proyek ini, AS menanamkan rencananya untuk menguasai wilayah ini melalui sejumlah perjanjian perdagangan dan propaganda menghentikan komunisme.

Dalam penjelasannya, Veronika condong menunjukkan pengalaman Kuba dalam menggagas dunia baru, sebuah tatanan masyarakat yang berada diluar kontrol AS dan sekutunya. Dengan pilihan ini, AS dan sekutunya berupaya menundukkan pemerintahan revolusioner di Kuba, mulai dari Peristiwa Teluk Babi hingga bentuk diplomasi setengah hati; embargo dan blokade ekonomi. Sekarang ini, setelah melalui perjuangan panjang melawan kepungan dan blokade ekonomi AS dan sekutunya, Kuba berhasil menciptakan sebuah antitesa terhadap sistim kapitalisme. Di bidang pendidikan, misalnya, Kuba berhasil memberantas buta huruf dan menerapkan pendidikan gratis di semua jenjang pendidikan. Kuba juga unggul dalam bidang pelayanan kesehatan, dimana keberhasilan mereka disejajarkan dengan negara-negara maju.

Terkait perubahan politik di Amerika Latin sekarang ini, Jesus S. Anam dari Hands off Venezuela (HOV) Indonesia mengatakan, kemenangan elektoral di sejumlah Negara Amerika Latin merupakan pertanda kebangkitan politik rakyat. Lebih jauh lagi, perubahan politik di Amerika Latin bisa menjadi basis bagi perubahan politik dunia, terutama dalam menginspirasi perjuangan anti neoliberalisme dan anti kapitalisme di negara atau kawasan lain guna menegakkan kedaulatan nasional di seluruh Amerika Latin dan di seluruh dunia.

Namun, untuk menegakkan kedaulatan nasional di Amerika Latin, menurut Jesus, para pemimpin ini perlu didorong terus untuk mendasarkan pemerintahannya pada ideologi sosialis yang sejati, mengingat banyak dari para pemimpin “kiri” di Amerika latin tersebut memiliki basis historis yang becek, dan dari beberapa pemimpin kiri Amerika Latin juga masih punya potensi menjadi figur-figur Bonapartis yang tengah menempatkan diri mereka di garis depan gerakan massa hanya untuk menungganginya dan pada akhirnya akan menjaga sistem kapitalis.

Masih menurut Jesus, revolusi Venezuela, sebagai kekuatan sentral bagi revolusi-revolusi di Amerika Latin selanjutnya, harus menjadi revolusi yang permanen. Sebuah revolusi dikatakan permanen karena, pertama, revolusi tersebut tidak berhenti hanya pada revolusi borjuis dengan agenda menuntaskan tugas-tugas demokratik, tetapi harus langsung masuk pada agenda-agenda sosialis. Kedua, mendasarkan kekuatan revolusi di atas kelas progresif, yakni kelas buruh yang didukung oleh kelas tani dan miskin kota – bukan borjuasi nasional – dan meluaskan revolusi bukan hanya dalam batasan nasional tetapi juga mengarah pada revolusi internasional.

Sedangkan pembicara dari nefos[dot]org, Rudy Hartono, menekankan bahwa kita jangan begitu saja mengkopi gerakan di Amerika Latin secara “mentah-mentah”, namun harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dan ia juga menegaskan bahwa penerapan sosialisme di tiap-tiap negara itu berbeda-beda. Menurutnya, ada tiga pergeseran pokok yang menonjol di Amerika Latin sekarang ini. Pertama, pengaktifan kembali negara sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan, terutama yang menempatkan rakyat sebagai protagonist dan sasaran. Kedua, penerapan kebijakan sosial, ekonomi, politik yang pro-kerakyatan, tentunya dengan kadar yang berbeda-beda, khususnya dalam program menghapus kemiskinan di kawasan ini. ketiga, adanya dorongan kuat untuk integrasi regional yang bersifat alternatif, khususnya untuk menggantikan model kerjasama regional yang berbau perdagangan bebas.

Setelah sesi diskusi selesai, acara itu diakhiri dengan makan malam bersama dan pemutaran film tentang sosok Tan Malaka.

Venezuela Semakin Waspada Terhadap Ancaman Militer AS

Oleh Ady Thea
14 Agustus 2009

chavez_300x225Belum selesai masalah di Honduras selesai, dimana Presiden Manuel Zelaya yang terpilih secara demokratis dikudeta oleh petinggi-petinggi militer yang pro-kapitalis, kini kaum revolusioner di Amerika Latin digerahkan oleh sikap pemerintahan Kolombia di bawah kepemimpinan Presiden Alvaro Uribe yang menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat (AS). Sebelumnya Uribe telah menuduh pemerintahan Venezuela memasok senjata kepada kelompok gerilyawan di Kolombia, Revolutionary Forces of Colombia (FARC). Pemerintahan Venezuela menanggapi tuduhan Kolombia itu dengan mengatakan bahwa kelompok gerilyawan telah mencuri persenjataan milik Venezuela di pos militer milik Venezuela yang letaknya berbatasan atau berdekatan dengan Kolombia pada tahun 1995, dimana Chavez ketika itu belum menjabat sebagai presiden. Chavez juga mengatakan bahwa badan intelijen AS, Central Intelligence Agency (CIA), bekerjasama dengan pemerintahan Kolombia dengan mendukung pasukan paramiliter masuk secara ilegal ke wilayah Venezuela untuk melakukan skenario pembunuhan dan kudeta. Melihat kondisi pemerintahan Kolombia yang semakin “tidak bersahabat”, pekan lalu pemerintahan Venezuela memutuskan hubungan diplomatik dengan Kolombia dan berencana untuk membeli sejumlah peralatan tempur seperti tank dari Rusia untuk merespon kebijakan yang dilakukan oleh AS dan Kolombia.

Karena saat ini Kolombia membolehkan pemerintah AS mengirim ratusan tentaranya untuk menempati basis-basis militer yang ada di Kolombia. Pemerintahan Uribe berdalih bahwa tindakan itu merupakan bentuk kerjasama antara Kolombia – AS untuk memerangi terorisme dan perdagangan narkoba. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir ini, Kongres AS telah menyetujui bantuan militer sebesar 5,5 milyar Dollar AS untuk Kolombia, kebijakan ini disebut Plan Colombia. Presiden AS, Barack Obama, mengatakan bahwa AS dan Kolombia telah melakukan kerjasama militer dan penempatan pasukan ini merupakan bagian dari kesepakatan itu. Obama juga menjelaskan bahwa ia tidak berkeinginan untuk membangun basis militer AS di Kolombia.

Chavez melihat kebijakan yang diambil oleh AS-Kolombia itu merupakan langkah awal dari peperangan yang akan berkobar di wilayah Amerika Selatan. “Kaum Yankees (AS) tidak menginginkan kita bersatu sebagai sebuah kesatuan regional, mereka tidak ingin adanya persatuan antara Venezuela dan Kolombia”, kata Chavez. Kolombia di bawah kepemimpinan Uribe menjalin hubungan yang sangat mesra dengan AS. Oleh karena itu bantuan ekonomi politik AS terus mengalir ke Kolombia. Hubungan ini dijalin semakin erat karena saat ini AS tidak banyak mendapat simpati dari pemerintahan revolusioner di beberapa negara di wilayah Amerika Latin. Hegemoni AS di Amerika Latin semakin berkurang drastis semenjak bermunculannya kekuatan pemerintahan progresif yang menentang penindasan AS.

Menyangkut persoalan antara pemerintahan Venezuela dan Kolombia, beberapa negara Amerika Latin yang berada di bawah kepemimpinan kaum progresif seperti Chili, Bolivia dan lain-lain merekomendasikan agar Kolombia menjalin kerjasama dengan negara-negara Amerika Latin lainnya untuk mengatasi masalah keamanan di negaranya, terutama tentang perdagangan narkoba dan memerangi terorisme. Hal itu dapat dibicarakan bersama lewat organisasi integrasi politik dan militer UNASUR (Persatuan Negara-negara Amerika Selatan). Langkah ini dinilai tepat karena dapat memperkuat hubungan antar negara di kawasan Amerika Latin. Namun rekomendasi itu tidak diindahkan oleh pemerintahan Uribe.

Negara-negara Amerika Latin saat ini sedang giat untuk melakukan kerjasama di segala bidang baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya, militer dan lain-lain. Langkah ini diambil agar negara-negara di Amerika Latin dapat berdiri secara independen, bebas dari aturan-aturan tidak adil dari kaum kapitalis global, sehingga massa rakyat dapat bersatu dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka dari cengkraman kuku-kuku kapitalisme. AS semakin gigit jari ketika negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Kepulauan Karibia banyak yang bergabung dalam ALBA (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika). ALBA merupakan organisasi antar negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia yang menolak konsep perdagangan bebas yang ditawarkan AS beserta sekutunya lewat FTAA (Area Perdagangan Bebas di Amerika). ALBA merupakan organisasi alternatif yang dibentuk dan dipelopori oleh Kuba dan Venezuela. Hingga saat ini jumlah negara anggota ALBA berjumlah 9 negara yaitu Antigua dan Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Honduras, Nikaragua, Saint Vincent dan Grenadines, dan Venezuela.

Seperti halnya ALBA, organisasi lainnya yaitu UNASUR, juga dibentuk sebagai sebuah alternatif bagi kerjasama antara negara-negara di kawasan Amerika Latin. Langkah ini penting karena kerjasama yang dilakukan bukan hanya sebatas keuntungan ekonomi semata, namun lebih daripada itu. Kerjasama yang dilakukan didasarkan pada semangat sosialisme, dimana negara-negara yang tergolong miskin akan dibantu semaksimal mungkin agar ia dapat membangun negaranya dengan segenap kekuatan kelas pekerja. Seperti halnya kerjasama yang telah dilakukan oleh Kuba dan Venezuela ketika ALBA pertama kali dibentuk dimana kelas pekerja di Venezuela, lewat pemerintahan Chavez, mengirim kurang lebih 96.000 barrel bahan bakar minyak per-hari untuk massa rakyat Cuba dan sebagai gantinya, kelas pekerja di Kuba, lewat pemerintahan Fidel Castro, mengirimkan kurang lebih 20.000 tenaga-tenaga medis terlatih dan ribuan tenaga pengajar profesional yang ditempatkan di daerah-daerah miskin di Venezuela. Bentuk kerjasama seperti itulah yang tentunya juga dirasakan oleh negara-negara anggota ALBA ataupun UNASUR lainnya.

Namun tampaknya pemerintahan Uribe tidak menginginkan hal itu. Rupanya ia lebih memilih untuk bekerjasama dengan emperium kapitalisme AS dan sekutunya. Bahkan ia telah membuka pintu lebar-lebar agar tentara AS dapat masuk dan menempati basis-basis militer di Kolombia. Chavez menyesali kebijakan yang diambil pemerintahan Uribe. “Saya lebih suka berdiskusi tentang kerjasama dalam pembangunan jalur kereta, pipa minyak, kesehatan, literatur dan pendidikan antara Kolombia dan Venezuela, namun sayang sekali kita mendiskusikan hal yang lain”, kata Chavez.

Referensi:
•    http://www.venezuelanalysis.com/news/4696
•    http://www.venezuelanalysis.com/news/4701

Venezuela: Satu tahun setelah nasionalisasi SIDOR–Perjuangan untuk kontrol buruh berlanjut

Ditulis oleh Patrick Larsen

Selasa, 23 Juni 2009

Satu tahun yang lalu Pabrik SIDOR dinasionalisasi. Sejak saat itu telah  terjadi pertarungan berkelanjutan antara para pekerja yang ingin mengimplementasikan kontrol buruh yang sejati dan elemen-elemen yang sedang melakukan segala cara yang memungkinkan untuk menggagalkan pembentukan  “perusahaan sosialis” ini. Ini merupakan bagian dari perjuangan umum antara revolusi dan reformisme dalam gerakan buruh Venezuela.

sidor_demo2_300x225Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak wakil presiden Venezuela Ramón Carrizales mengumumkan keputusan Chavez untuk menasionalisasi SIDOR, sebuah pabrik baja raksasa yang berlokasi di dekat Ciudad Guayana di bagian timur Venezuela, yang mempekerjakan sekitar 15.000 pekerja. Keputusan untuk menasionalisasi SIDOR yang diproklamirkan pada tanggal 8 April tahun lalu merupakan sebuah kemenangan bersejarah bagi para pekerja di pabrik tersebut.

Pabrik SIDOR dibangun pada tahun 1958 dan menjadi perusahaan milik negara hingga tahun 1997, ketika mantan Presiden Rafael Caldera memutuskan untuk memprivatisasinya. Privatisasi pabrik SIDOR ini dilakukan oleh Teodoro Petkoff, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Sekarang Petkoff terkenal karena sikap oposisi kerasnya terhadap Chavez, dan dia adalah editor koran sayap kanan Tal Cual. Pada tahun 1997, pada saat privatisasi SIDOR, Petkoff menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik negara sangatlah “tidak efisien” dan lebih baik diserahkan secara gratis daripada mempertahankannya sebagai milik negara!

Privatisasi memiliki dampak yang sangat buruk bagi para pekerja. Segera sesudah perusahaan multinasional Argentina, Techint, menguasai SIDOR, mereka mulai menyerang kondisi kerja para buruh. Dari sekitar 18.000 pekerja kontrak pada 1997, angka tersebut berkurang menjadi 4.500, dan mereka mempekerjakan buruh sub-kontrak dengan jumlah yang besar. Tentu ini mempengaruhi kehidupan ribuan keluarga kelas pekerja dimana pendapatan utama mereka menurun atau mereka dipecat.

SIDOR merupakan salah satu benteng tradisional dari gerakan buruh Venezuela dan telah melalui berbagai macam perjuangan buruh yang historis, protes-protes, dan pemogokan-pemogokan. Dari tahun 1997 hingga 2008, para pekerja hidup melewati apa yang mereka gambarkan sebagai “mimpi buruk”, dimana sebuah perusahaan kapitalis multinasional mencoba memeras laba maksimum dari para pekerja.

sidor_respressionTidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa nasionalisasi terjadi hanya karena perjuangan heroik dan kebulatan tekad dari para pekerja SIDOR yang terus berjuang meskipun ada boikot dari semua media, ada perlawanan keras dari José Ramon Rivero (yang saat itu menjabat Menteri Tenaga Kerja hingga akhir April 2008), ada sabotase dari banyak birokrat dalam aparatus negara dan juga pengkhianatan dari beberapa pemimpin serikat buruh SIDOR, Sutiss. Gerakan dari para buruh mendobrak semua hambatan tersebut, termasuk represi dari Tentara Nasional yang membubarkan dengan paksa demonstrasi buruh SIDOR pada saat itu dan melukai serta menangkap beberapa pekerja.

Berkat kebulatan tekad dan semangat baja dari para pekerja, gol strategis yang pertama telah tercapai: bahwa SIDOR, sekali lagi, menjadi milik negara. Hal ini menunjukkan bagaimana perjuangan kaum pekerja dapat menunjukkan jalan ke sosialisme dan bahkan mendorong Chavez untuk mengambil tindakan tegas melawan kapitalisme. Ini merupakan sebuah contoh yang harus ditiru dan mengandung pelajaran yang sangat berarti bagi seluruh kelas pekerja Venezuela.

Buruh tetap berjuang

Meskipun nasionalisasi merupakan sebuah langkah yang sangat besar, dengan sendirinya ini tidak memecahkan berbagai masalah di SIDOR. Satu tahun setelah nasionalisasi kita melihat banyak problem-problem akut yang masih belum terselesaikan. Ini menyangkut persoalan seperti situasi ribuan buruh sub-kontrak, kondisi kesehatan dan keselamatan di pabrik (ada banyak kecelakaan yang mengakibatkan kematian pekerja akhir-akhir ini) dan berbagai kasus mismanajemen dan bahkan korupsi.

venezuela-marxists-intervene-at-gates-of-sidor-1Nasionalisasi telah menempatkan para pekerja di posisi yang lebih baik untuk memecahkan berbagai masalah, tetapi para pekerja belum memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dan mereka tidak akan bisa menyelesaikannya hanya melalui nasionalisasi. Satu tahun setelah nasionalisasi kita melihat bahwa para pekerja SIDOR sedang berjuang untuk memanfaatkan peluang-peluang organisasi politik dari nasionalisasi dan sedang berjuang untuk mengimplementasikan kontrol buruh.

Beberapa orang yang skeptis mengklaim bahwa mustahil untuk membangun sebuah perusahaan sosialis di SIDOR karena “rendahnya tingkat kesadaran para pekerja”. Tetapi jika kita melihat sejenak pada kejadian-kejadian baru-baru ini, kita tahu bahwa ini merupakan pandangan yang sepenuhnya keliru.

Sebagaimana telah disebutkan, gerakan para buruh yang sangat luar biasa-lah yang mendorong nasionalisasi SIDOR. Terlebih lagi, segera setelah nasionalisasi, para pekerja-lah yang menjaga berbagai instalasi dan mencegah perusahaan multinasional Techint mencuri mesin-mesin, komputer-komputer dan dokumen-dokumen milik perusahaan untuk mensabotase nasionalisasi. Dengan insting kelas dan sikap revolusioner yang jelas, para pekerja meminta pemerintah untuk segera mengirim sebuah komisi ke perusahaan untuk memulai proses penyerahan manajemen, dan sementara itu mereka akan menjaga mesin-mesin, bahan-bahan baku, dan informasi administratif yang diperlukan untuk jalannya perusahaan.

Contoh lain dari semangat baja para pekerja untuk tetap berjuang adalah dibukanya UBT (Universitas Buruh Bolivarian) untuk pertama kalinya di SIDOR pada bulan April 2009. Universitas ini, yang diorganisasi oleh FRTS (Front Revolusioner Buruh Besi), memberikan pendidikan gratis kepada kaum pekerja dan juga memberikan kelas-kelas politik serta ideologi. Lebih dari 1.300 pekerja terdaftar sebagai mahasiswa di UBT. Ini mencerminkan minat yang besar terhadap ide-ide sosialis dan juga hasrat dari para pekerja untuk memperoleh pengetahuan teknis untuk menjalankan pabrik.

Pemilihan manajer dan peran dewan buruh

Dari pengalaman di atas, kita harus menyebutkan satu pengalaman terbaru dari para pekerja di “Departamento de mantenimiento de Crudas”. Pada bulan Agustus tahun lalu para pekerja di departemen ini mengorganisasi sebuah oposisi terhadap penunjukan seorang individu, yang dari dulu sudah terkait erat dengan perusahaan multinasional Argentina, sebagai manajer dari departemen ini.

Para pekerja mengadakan suatu pertemuan umum dan memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan di kalangan pekerja untuk menempati posisi tersebut. Dalam keputusan ini mereka mendapatkan dukungan dari SUTISS, serikat buruh di SIDOR. Sementara individu yang terkait dengan Techint hanya menerima 30 suara, César Olarte, seorang Sosialis yang dikenal luas dan anggota dari FRTS, menang dengan lebih dari 80 suara. Pada akhirnya perusahaan menerima keputusan dari para pekerja. Proses yang sama juga terjadi di departemen-departemen lainnya. Pengalaman ini sangat penting karena ini menunjukkan cara untuk mengimplementasikan kontrol buruh secara nyata.

Dalam pidatonya kepada para pekerja Guayana pada tanggal 21 Maret (lihat Venezuela: Five iron and steel plants and the Carabobo Ceramics nationalised) Presiden Chavez menegaskan bahwa kaum pekerja harus memilih para manajer.  Kasus di atas membuktikan bahwa hal ini sangatlah mungkin. Pemilihan dari bawah terhadap keseluruhan manajer – dengan hak recall – pada kenyataannya merupakan cara terbaik untuk menjamin bahwa para manajer ini adalah kamerad-kamerad dengan sikap revolusioner sejati dan memiliki dedikasi yang teruji.

Seperti dalam kasus PDVSA pada saat lockout tahun 2002, semua kondisi ada untuk pengembangan kontrol buruh di SIDOR. Serikat buruh harus segera menyerukan pertemuan massa untuk memilih sebuah Komite Pabrik dengan memilih delegasi-deledasi dari tiap-tiap tempat kerja dan departemen dalam perusahaan tersebut, dan komite ini akan memantau dan mengawasi seluruh kegiatan perusahaan dan mengawasi para manajer serta para insinyur. Komite ini harus memasukkan para pekerja sub-kontrak dalam satu tubuh, sebagai langkah pertama menuju persatuan buruh SIDOR.

Pada saat yang sama, sangat penting sekali bagi para pekerja untuk memiliki pengetahuan tentang keuangan perusahaan. Pembukuan perusahaan harus dibuka untuk pemeriksaan dari perwakilan pekerja yang telah ditunjuk. Perencanaan produksi yang demokratik hanya mungkin jika pekerja mengetahui situasi ekonomi perusahaan. Dengan begitu, para pekerja dapat menyusun suatu rencana produksi yang akan menguntungkan kaum pekerja dan masyarakat Venezuela secara keseluruhan dan juga memutuskan secara demokratis mana bagian dari produksi yang harus diekspor dan mana bagian yang akan digunakan untuk pengembangan industri Venezuela.

Di dalam gerakan serikat buruh Venezuela ada perdebatan yang sedang terjadi mengenai hubungan antara dewan buruh dan serikat buruh. Dalam diskusi ini, satu sektor bersikeras mempertahankan serikat buruh sedangkan sektor yang lain mendukung dewan buruh. Akan tetapi, dewan buruh bukanlah sebuah organ yang berlawanan dengan serikat buruh. Serikat buruh masih memiliki sebuah peran umum sebagai platform sentral dari perjuangan untuk tuntutan-tuntutan buruh dan kepentingan-kepentingan dasar kelas buruh.

Sebuah gagasan yang mengatakan bahwa dewan buruh harus menjadi kompetitor dan lawan bagi serikat buruh merupakan gagasan yang reaksioner. Ini adalah gagasan yang terutama sekali dikedepankan oleh sebuah kelompok di dalam gerakan buruh yang berada di sekitar Jose Ramon Rivero, mantan menteri tenaga kerja. Tetapi daripada mempertentangkan dewan buruh dengan serikat buruh, apa yang benar-benar diperlukan adalah sebuah kampanye yang penuh energi untuk mendorong kontrol buruh, dengan menjelaskan bahwa kontrol buruh adalah satu-satunya cara untuk memecahkan masalah-masalah di pabrik; tenaga kerja sub-kontrak, kecelakaan kerja dan tuntutan-tuntutan harian lainnya. Kampanye yang seperti itu harus diarahkan ke anggota-anggota serikat buruh SUTISS dan para buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan sub-kontrak untuk meyakinkan mereka tentang perlunya langkah ini dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan dalam hal ini.

Sabotase terencana

presidencia_de_la_republica_del_ecuador-sidor-2Peristiwa baru-baru ini di SIDOR membuktikan bahwa implementasi kontrol buruh bukan hanya merupakan “sebuah gagasan yang baik” tetapi sangat diperlukan. Sudah ada beberapa kasus sabotase yang bertujuan untuk menghentikan produksi atau memperlambatnya. Pada hari Minggu, tanggal 7 Juni, tiba-tiba terjadi kebakaran di Midrex II, salah satu tempat pengelolaan besi di SIDOR. Dalam sebuah artikel di surat kabar daerah, Nueva Prensa, pada tanggal 10 Juni, Alianza Sindical – salah satu fraksi serikat buruh sayap kiri di SIDOR – menyatakan bahwa kebakaran ini merupakan aksi sabotase yang disengaja:

”Luis Jimenez, presiden Dewan Pengawas Departemen Sutiss dan anggota dari gerakan serikat buruh yang tersebut di atas, menjelaskan bahwa ada bukti kuat bahwa api telah disulut oleh orang-orang yang paham mengenai proses produksi pabrik tersebut, karena kecermatan dalam memotong kabel listrik.

“Dia menambahkan bahwa terdapat banyak implikasi yang mengalir dari kecelakaan di Midrex II terhadap produksi, karena pabrik tersebut merupakan elemen kunci dalam rantai produksi di Sidor yang menyediakan 70% bahan baku untuk menyuplai briket dan peleburan pelat . ‘Yang melakukan ini mengetahui Sidor dengan sangat baik dan ingin menciptakan problem-problem operasional yang masif di pabrik baja ini.’

“Jimenez mengutuk kalangan manajer dan para pekerja sayap kanan, yang ingin menciptakan sebuah citra negatif terhadap pabrik Sosialis Sidor dan terhadap nasionalisasi Siderurgica del Orinoco (Sidor). ‘Mereka ingin menggunakan aksi-aksi ini untuk menciptakan konflik di dalam perusahaan, tetapi kita tidak akan tinggal diam. Para pekerja akan tetap waspada terhadap usaha-usaha lain yang bertujuan mengancam produksi dan meruntuhkan proses sejarah yang sedang kita jalani di Sidor’.”

Ini bukanlah kasus sabotase yang pertama dan tentunya juga bukan yang terakhir. Mayoritas besar para manajer di SIDOR masih tetap orang-orang yang telah ditunjuk oleh perusahaan multinasional Argentina. Mayoritas dari para manajer ini menandatangani surat pernyataan yang menuntut pemecatan Chavez pada tahun 2004 dan juga menandatangani surat pernyataan menentang nasionalisasi SIDOR pada tahun 2007. Seperti yang dijelaskan oleh Luis Jiménez, para manajer ini berusaha keras menyabotase produksi karena mereka ingin mendiskreditkan gagasan “perusahaan Sosialis” dan berusaha menunjukkan bahwa nasionalisasi merupakan keputusan yang keliru.

Bagaimana membangun perusahaan Sosialis

Ketika presiden Chavez mengunjungi SIDOR pada tanggal 12 Mei 2008 lalu, dia memberikan sebuah mandat yang jelas untuk membangun apa yang dia sebut sebagai “perusahaan Sosialis”. Dia mengatakan bahwa ada dua target utama: mempertahankan sebuah perusahaan yang efisien dan menciptakan kondisi yang lebih “manusiawi” bagi para pekerja. Tetapi setelah satu tahun nasionalisasi kita melihat bahwa hal ini mustahil untuk dicapai jika struktur dasar kapitalis tetap utuh. Tanpa kontrol dan manajemen buruh mustahil untuk membangun sebuah perusahaan Sosialis.

Dalam konteks sabotase dan divisi kelas yang tajam di pabrik, kontrol buruh tidak hanya akan menjadi sesuatu yang baik. Hal ini sangat diperlukan. Masalah kontrol buruh sangatlah konkrit: Apakah mungkin menempatkan kepercayaan kita pada para manajer yang sama yang memimpin perusahaan selama periode dimana pabrik dijalankan oleh perusahaan multinasional Argentina? Dapatkah kita mempercayai orang-orang yang kemarin menandatangani surat seruan untuk memecat Chavez dan mengakhiri revolusi? Dapatkah kita membiarkan orang-orang yang tidak memiliki kontak langsung dengan para pekerja menjalankan pabrik kita?

opening_cmr_congress09pinaJawaban yang jelas adalah TIDAK. Jika elemen-elemen kontra-revolusioner dan birokratik ini dibiarkan begitu saja, mereka akan mendorong pabrik ini ke jalan menuju jurang. Para pekerja SIDOR akan berjuang laksana harimau untuk mencegah hal tersebut.

Dalam pidatonya pada tanggal 21 Mei 2009, Chavez mengatakan bahwa dia mendukung kontrol buruh dan bahkan juga mendukung pemilihan para manajer oleh pekerja. Dia juga memberikan dorongan baru untuk perjuangan kelas di Guayana dengan nasionalisasi perusahaan briket yang secara langsung terkait dengan SIDOR, Orinoco Iron, Matessi dan Tassa. Para pekerja di pabrik-pabrik ini telah mengambil langkah-langkah konkrit dengan mengorganisasi diri mereka sendiri dan tengah mendorong implementasi kontrol buruh.

CMR (Corriente Marxista Revolucionaria, seksi Venezuela dari IMT) – yang menyelenggarakan kongres dengan sukses pada bulan Mei di SIDOR – sedang membangun kekuatannya di SIDOR dan beberapa pabrik lainnya di Guayana. Hanya dengan sebuah tendensi Marxis yang kuat, yang berakar kuat di pabrik-pabrik yang paling penting, para pekerja bisa menang melawan para manajer korup dan menciptakan sebuah administrasi buruh yang sejati dalam perekonomian secara keseluruhan.

Diterjemahkan oleh Syaiful dari “Venezuela: One year after the nationalization of SIDOR – Struggle for workers’ control continues”, Patrick Larsen, 23 Juni 2009.

Kontrol Buruh dan Nasionalisasi – Bagian IV

By Rob Lyon
Senin, 20 Februari 2006

Dalam Bagian Empat ini kita akan melihat sebuah perjuangan untuk kontrol buruh yang sedang tumbuh di Venezuela. Perjuangan ini mengindikasikan bahwa kelas buruh Venezuela mulai mengintervensi secara aktif dalam revolusi Bolivarian dan telah membawa beberapa lapisan gerakan yang lebih maju pada sebuah kesimpulan bahwa transformasi masyarakat ke arah sosialisme merupakan satu-satunya langkah maju untuk revolusi Amerika Latin.

Kontrol Buruh dan Revolusi Venezuela

Dan ini membawa kita ke Venezuela. Apakah artinya ini bagi Revolusi Bolivarian dan gerakan cogestion? Apa yang terjadi di Venezuela menunjukkan bahwa kaum buruh mampu menjalankan industri. Benar kata pepatah: bos butuh pekerja, tetapi pekerja tidak butuh bos. Tentu saja, para teknisi, para ahli dan para spesialis sangat dibutuhkan, tetapi mereka harus ditempatkan di bawah kontrol buruh. Pengalaman para pekerja di PDVSA jelas menunjukkan ini. PDVSA bukanlah perusahaan kecil. Bahkan PDVSA adalah salah satu perusahaan terbesar di Amerika Latin dan menggunakan koordinasi berteknologi tinggi, dengan seperangkat komputer, satelit dan lain sebagainya.

Ini merupakan salah satu keuntungan yang dimiliki Venezuela dibandingkan Rusia pada tahun 1917. Perkembangan dan perluasan kapitalisme sejak Perang Dunia Kedua telah mendorong kokohnya proletariat dalam skala dunia. Kaum buruh hari ini memiliki pengetahuan yang jauh lebih baik dibandingkan pada tahun 1917. Mereka bekerja dengan mesin-mesin yang rumit, seperangkat komputer, satelit, dll, dan membutuhkan pendidikan yang relatif lebih tinggi. PDVSA menunjukkan bahwa kaum buruh bisa mengelola industri jauh lebih mudah dari pada di Rusia 1917.

Satu hal penting untuk diingat adalah bahwa gagasan mengenai cogestion dimasukkan dalam konstitusi Venezuela. Meskipun bentuk cogestion tidak selalu jelas, dan meskipun bahasa yang digunakan bisa membingungkan kita dan hukumnya juga tidak begitu jelas, hal ini tidaklah menjadi persoalan. Kontrol buruh bukan bagaimana hukum menetapkannya, tetapi bagaimana kaum buruh membentuknya. Sebagaimana yang telah Trotsky jelaskan, “Pada tahapan tertentu kaum buruh akan melepaskan kerangka hukum atau menghancurkannya, atau samasekali tidak menghiraukannya. Justru disinilah terdapat transisi menuju situasi revolusioner yang sejati.”

Ini jelas bahwa dengan cogestion kelas buruh di Venezuela mengartikannya sebagai kontrol dan manajemen buruh. Jika anda mengunjungi website ALCASA, sebuah pabrik pelebur aluminium, dimana co-management-nya yang sangat maju saat ini tengah berlangsung, anda bisa melihat sebuah poster yang dibuat oleh kaum buruh dengan slogan utama, “Kontrol Buruh” dan “Seluruh Kekuasaan untuk Kelas Buruh”.

Perjuangan untuk kontrol dan manajemen buruh menemukan permulaannya saat para bos menutup pabrik pada tahun 2002-2003. Para buruh di PDVSA, perusahaan minyak milik negara, mengambil alih instalasi-instalasinya dan menjalankannya sendiri, mengatasi sabotase yang diorganisir oleh para manajer. Para buruh CADAFE, perusahaan listrik negara yang menyuplai 60% listrik  Venezuela, mengimplementasikan rencana-rencana darurat untuk mencegah sabotase yang dilakukan oleh para manajer reaksioner. Para buruh di perusahaan-perusahan ini secara efektif mencegah sabotase industri. Para buruh perusahaan minyak ini pada awalnya tidak menyangka bahwa mereka dapat menjalankan seluruh instalasi, tetapi segera menyadari bahwa mereka bisa menjalankannya. Mereka menyadari bahwa pihak manajemen seringkali berlibur atau tidak masuk kerja dan mereka telah menjalankan sendiri perusahaan tersebut sebelumnya.

Setelah lock-out berakhir, kontrol buruh menghilang di PDVSA. Namun, para buruh sadar bahwa perusahaan tersebut kembali berjalan di jalur kapitalis. Setelah lock-out tersebut, para buruh PDVSA mengadakan sejumlah diskusi mengenai isu kontrol buruh. Sebagai hasil dari pertemuan ini, Pedro Montilla dari gerakan buruh minyak La Jornada merancang proposal guna disahkannya co-management di PDVSA. Sayangnya, usulan ini tidak pernah disahkan. Akibatnya, ketegangan-ketegangan meningkat di industri minyak tersebut dimana para buruh menuntut implementasi kontrol buruh.

Ini beberapa tuntutan yang dibuat oleh buruh PDVSA:

  • bahwa cogestion harus meliputi seluruh aspek dari ekstraksi, distribusi, produksi dan penyimpanan minyak, termasuk kontrol harga atas pembelian dan penjualan
  • bahwa semua pembukuan harus terbuka bagi seluruh wakil-wakil di semua level yang telah dipilih oleh buruh
  • bahwa cogestion harus dijalankan oleh seluruh buruh lewat wakil-wakil mereka di tiap-tiap perusahaan dan pabrik, dan mereka tidak akan berhenti bekerja dan diberi kesempatan untuk tugas-tugas manajemen
  • setiap orang bertanggung jawab kepada dewan buruh, dan harus ketat menjaga tata tertib dan kedisiplinan dan juga mengamankan barang-barang
  • laporan harus dibuat untuk dewan buruh secara berkala
  • seluruh wakil harus tunduk pada ketentuan recall (proposal lengkap dalam bahasa Spanyol: http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=93)

Atas dasar proposal ini para buruh perusahaan minyak tersebut juga membuat beberapa argumentasi sebagai berikut:

  • Bahwa sabotase terhadap PDVSA tidak dapat dicegah tanpa kontrol buruh dan tanpa mengambil langkah-langkah di atas untuk memastikan akuntabilitas, disiplin, dan transparansi
  • Presiden Chavez telah mengancam untuk menghentikan penjualan minyak ke Amerika Serikat. Jika ancaman ini terbukti, ini tidak akan terjadi tanpa kontrol buruh dari industri minyak karena pihak manajemen akan mencoba untuk menyabotase

Pada saat yang sama para buruh di CADAFE telah memulai berjuang untuk cogestion. Kaum buruh PDVSA dan CADAFE menyadari perbedaan antara kontrol buruh dan partisipasi buruh. Para buruh CADAFE juga menulis sejumlah usulan konkret untuk kontrol buruh. Para buruh marah karena beberapa tindakan dan langkah-langkah kecil telah diambil, tetapi kontrol buruh yang sejati belum diimplementasikan. Dari 5 anggota komite koordinasi, 2 posisi disediakan bagi anggota serikat buruh yang ditunjuk dan tidak bisa di recall. Presiden perusahaan tidak perlu arahan atau instruksi dari komite koordinasi tersebut. Dalam kasus ini adalah para manajer dalam perusahaan negara ini yang menolak tuntutan para buruh. Para manajer kedua perusahaan tersebut dan negara ingin membatasi kekuasaan buruh kepada masalah-masalah sekunder (di Valencia misalnya mereka memberikan kepada buruh hak-hak konsultasi penuh tentang dekorasi natal dalam gedung-gedung perusahaan!). Para buruh telah berjuang untuk setiap inci kontrol buruh, dan sekarang tengah melancarkan perjuangan untuk cogestion yang sejati.

Buruh di kedua industri ini sekarang menghadapi argumentasi lain dari pihak manajemen yang mengatakan bahwa tidak boleh ada partisipasi atau kontrol buruh dalam industri-industri strategis. Ini adalah lelucon. Buruh-buruh PDVSA-lah yang mengembalikan produksi selama lock-out yang dilakukan oleh para bos (pada 2002-2003), buruh-buruh aluminium dan baja di Guayana-lah yang berjuang untuk menguasai instalasi gas guna menjaga pasokan, dan buruh-buruh CADAFE-lah yang mempertahankan pasokan listrik ke negara dan mencegah sabotase industri dan ekonomi Venezuela secara keseluruhan. Argumentasi bahwa buruh tidak bisa dipercaya untuk mengontrol industri-industri penting dan strategis, seperti sebuah asap yang dibaliknya adalah serangan terhadap ide kontrol buruh. Akan tetapi, jika pemerintah Venezuela ingin memastikan produksi yang lancar dari industri-industri ini dan menghadang sabotase, mereka harus mempercayakan industri-industri tersebut kepada kaum buruh, seperti yang telah terbukti bahwa kaum buruh akan mempertahankan dan melindungi industri-industri ini dari sabotase para bos dan para manajer guna mempertahankan revolusi. Tetapi ada poin penting lain yang serupa dengan apa yang pernah Trotsky katakan mengenai tambang batubara di daerah Donets (Ukraina), bahwa jika PDVSA dibiarkan berada di tangan koperasi buruh, koperasi ini akan mengontrol minyak PDVSA dan bisa menyandera seluruh negara Venezuela. Kekuatan yang paling besar dalam masyarakat Venezuela akan ada di tangan manajer-manajer PDVSA, yang akan mengendalikan sekitar 70-80% ekonomi Venezuela. Jika apa yang sedang terjadi di Venepal juga terjadi di PDVSA, hal tersebut akan menjadi kenyataan. Kontrol dan manajemen buruh harus dijalankan di PDVSA, tetapi untuk memastikan bahwa kaum buruh secara keseluruhan mengontrol perekonomian secara demokratis, dan untuk memastikan demokrasi buruh secara umum, semua perusahaan besar, termasuk PDVSA, harus disatukan ke dalam suatu perencanaan ekonomi demokratis terpusat. Ini berarti bahwa dewan direksi PDVSA harus terdiri dari 1/3 dari buruh, 1/3 dari serikat buruh, dan 1/3 dari negara (atau beberapa variasi daripadanya).

Contoh yang bagus dari kontrol buruh adalah CADELA, anak perusahaan CADAFE di Merida yang dijalankan di bawah satu bentuk cogestion buruh. Beberapa minggu lalu terjadi longsor dan banjir serius yang memotong pasokan listrik ke masyarakat sekitar. Para ahli berpikir bahwa ini akan memakan waktu 2 bulan untuk mengembalikan pasokan listrik. Namun, komunitas-komunitas yang terorganisir melakukan kontak langsung dengan para pekerja dan membantu memperbaiki kerusakan. Dengan bekerja sama dan merencanakan perbaikan tersebut, dan setelah banyak lembur untuk kebaikan masyarakat, pasokan listrik dapat kembali dalam waktu 2 minggu.

Setelah kekalahan lock-out dari para bos, para bos di seluruh Venezuela menutup  dan mengunci banyak perusahaan dan pabrik karena alasan politik dan bukan alasan ekonomi. Sekitar 250.000 hingga 500.000 orang telah kehilangan pekerjaan. Di sini anda bisa melihat bahwa kontrol buruh umumnya tidak terjadi karena masalah produksi, tetapi untuk mengamankan pekerjaan, masyarakat dan sebagainya.

Segera setelah lock-out dan penutupan pabrik yang meluas, para buruh mulai mengambil alih pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja. Perjuangan yang paling maju saat ini adalah Venepal. Kaum buruh mengambil alih pabrik dan ingin menjalankannya sebagai koperasi. Kaum buruh mampu menunjukkan keunggulan kontrol buruh. Di pabrik tersebut, ada satu mesin buatan Jerman. Mesin tersebut rusak dan perlu perbaikan. Pihak manajemen menolak untuk memperbaikinya karena ini memerlukan seorang insinyur yang harus diterbangkan dari Jerman guna memperbaikinya (demikian kata mereka). Ini membuat pabrik berjalan dengan kapasitas yang kurang. Setelah pihak manajemen meninggalkan pabrik dan para buruh menduduki pabrik, mereka berimprovisasi dan memperbaiki mesin  tersebut dan mengembalikan produksi pabrik ke kapasitas penuh.

Kamerad-kamerad kita di CMR (Corriente Marxista Revolucionaria, seksi Tendensi Marxis Internasional di Venezuela) yang pertama kali mengajukan tuntutan untuk kontrol buruh dan nasionalisasi, dan kemudian ini diadopsi oleh para buruh. Pada tanggal 19 Januari tahun ini (2006) INVEPAL diekspropriasi dan Chavez mengumumkan bahwa perusahaan ini akan dijalankan di bawah kontrol buruh. Saat ini koperasi buruh memiliki 49% saham perusahaan dan negara 51%, guna menjamin karakter nasionalisasi INVEPAL. Kaum buruh memilih para direktur dan seorang menteri mengirim dua wakil untuk terlibat dalam pengalaman menjalankan pabrik bersama dengan buruh.

Namun, beberapa masalah muncul. Dewan buruh mengambil keputusan untuk membubarkan serikat buruh di sana dan sekarang ingin membeli saham pemerintah sehingga mereka dapat menjadi pemilik perusahaan tersebut dan mendapatkan semua laba yang dihasilkan dari produksi.

Pada awal tahun ini, Alexis Ornevo, anggota direktorat INVEPAL pada   Pertemuan Internasional Solidaritas dengan Revolusi Venezuela, menyatakan bahwa buruh tidak lagi membutuhkan sebuah serikat karena sudah tidak ada bos di pabrik. Menurut konstitusi, melalui sebuah lubang di dalam konstitusi tersebut, koperasi buruh secara hukum dapat meningkatkan saham mereka dari 49% menjadi 95%. Ornevo secara terbuka telah menyatakan niatnya untuk melakukan hal ini. Kontradiksi seperti ini tak dapat dihindari. Kontrol buruh yang penuh dan sejati sangatlah diperlukan untuk mencegah terperosoknya kaum buruh ke jalan memperkaya diri sendiri

Angel Navas, presiden serikat buruh CADAFE khawatir bahwa perkembangan di INVEPAL akan menciptakan sebuah model cogestion sebagai koperasi kapitalis. Ia mengatakan:

“Sebagaimana yang telah kita lihat dalam presentasi INVEPAL kemarin, mereka memiliki beberapa masalah, mereka tampak sedang berpikir seperti para manajer. Sesuai dengan apa yang yang telah kita dengar kemarin, mereka ingin memiliki semua saham perusahaan. 800 buruh akan menjadi pemilik perusahaan. Dan jika perusahaan ini untung, apakah buruh-buruh ini akan menjadi kaya? Ini adalah sebuah perusahaan yang harus menjadi milik seluruh bangsa; perusahaan saya tidak boleh hanya menjadi milik buruh. Jika kita memperoleh laba, laba ini adalah milik seluruh populasi. Ini merupakan suatu tanggung jawab yang kita semua miliki – buruh-buruh industri minyak, yang menghasilkan laba terbesar: bagaimana kita mendistribusikan laba ini ke seluruh negeri? Keuntungan ini bukan untuk saya. Tidak masuk akal kalau karena saya bekerja di industri minyak, misalnya, saya dapat memperoleh 90 juta bolivar sedangkan upah minimum adalah 4 juta Bolivar.”

Bandingkan dengan Yugoslavia, di mana kaum buruh merasa bahwa mereka memiliki pabrik dan bersaing di pasar. Sekali lagi, ini merupakan masalah utama dimana ketidaksetaraan gaji terjadi di Yugoslavia. Beberapa buruh cukup beruntung karena mereka memiliki monopoli akses atas pekerjaan yang bagus, sementara buruh yang lainnya ditinggalkan begitu saja. Intinya adalah bahwa keuntungan dari perusahaan negara yang dinasionalisasi harus diambil oleh negara dan didistribusikan serta diinvestasikan kembali ke masyarakat secara keseluruhan, guna mengembangkan ekonomi dan membebaskannya dari kesenjangan. Inilah apa yang dimaksud dengan sosialisasi ekonomi. Jika produktivitas ditingkatkan, ada lebih banyak laba yang bisa didistribusikan kepada masyarakat, yang pada gilirannya menciptakan kekayaan sosial yang melimpah, membebaskan masyarakat dari kesenjangan. Di Yugoslavia pada saat itu, yang ada adalah sebuah sistem dimana laba dari tiap-tiap perusahaan disimpan secara individual, tidak disosialisasikan. Jika sekelompok direksi INVEPAL sekarang ini berhasil mengambil-alih mayoritas saham perusahaan guna memperkaya buruh-buruh INVEPAL, ini akan mempertentangkan sekelompok buruh dengan buruh yang lain dan memperlebar jurang kesenjangan. Ini juga bisa menciptakan pertentangan internal di  INVEPAL untuk menguasai saham perusahaan. Jika para buruh di tiap-tiap industri atau di tiap-tiap perusahaan diizinkan untuk menguasai laba dari produksi, laba tersebut tidak akan didistribusikan kembali secara sosial, tetapi tetap menjdi milik pribadi yang merupakan inti dari ekonomi kapitalisme dan tidak akan mengarah pada pembangunan relasi-relasi sosialis dalam produksi.

Selanjutnya ada pabrik CNV, di mana kita juga memiliki sejumlah pengaruh. CNV telah dinasionalisasi pada bulan Mei dan ganti nama menjadi INVEVAL. Di sini kesulitan berasal bukan dari koperasi buruh tetapi dari pemerintah. Benar kalau mantan pemilik melancarkan sebuah tuntutan untuk diberikan kompensasi untuk ekspropriasi tersebut, tetapi masalah yang sebenarnya adalah bahwa ketika perusahaan tersebut dinasionalisasi Chavez mengatakan dengan sangat jelas bahwa para buruh harus memiliki mayoritas wakil-wakil di dewan direksi dan bahwa badan pemegang keputusan tertinggi adalah Majelis Buruh. Akan tetapi, ketika wakil-wakil dari Kementerian Ekonomi Rakyat membacakan proposal AD/RT perusahaan, tidak disebutkan partisipasi buruh sama sekali. Buruh lalu mengadakan pertemuan dan menolak usulan ini dan mulai memobilisasi tuntutan kontrol buruh. Mereka sekarang telah berhubungan dengan buruh-buruh di perusahaan-perusahaan lain di mana terdapat kontrol buruh dalam rangka menyebarkan perjuangan di luar INVEVAL. Kita akan kembali ke masalah ini di bawah. [1]

Pengalaman yang paling maju dari kontrol buruh tengah terjadi di ALCASA, sebuah pabrik aluminium besar milik negara. Sangatlah menakjubkan bila kita membaca materi mengenai cogestion di Venezuela. Perdebatan dan diskusi mengenai kontrol buruh dan sosialisme sudah sangat maju, dalam banyak hal bahkan lebih maju dibanding dengan Rusia pada tahun 1917, dan ini tanpa keberadaan sebuah Partai Bolshevik di Venezuela!

Para buruh di ALCASA benar-benar jelas mengenai apa arti cogestion. Edgar Caldera, salah satu pemimpin serikat buruh telah menulis sebagai berikut:

“Jika ada satu hal yang harus dipahami oleh para buruh dengan jelas adalah bahwa co-management kita tidak bisa menjadi senjata untuk memperdalam mode produksi kapitalis yang eksploitatif. Kita tidak boleh mengulang kisah sedih di Eropa, di mana sistem co-management digunakan untuk menghapus hak-hak para buruh dan hak-hak yang telah diperolehnya. Co-management yang telah kita mulai pelaksanaannya di ALCASA tidak ada kesamaannya dengan hal tersebut. Ini adalah emansipasi sejati dari kelas kita, yang didasarkan pada prinsip-prinsip revolusioner dari Marx, Rosa Luxemburg, Gramsci, dan Trotsky. Ini adalah menciptakan suatu model co-management dengan tujuan mentransformasi mode produksi kapitalis, yang didasarkan pada eksploitasi manusia oleh manusia, menjadi mode hubungan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama, solidaritas, keadilan, kesetaraan, tanggung jawab bersama dan kesejahteraan bersama dari kaum buruh dan populasi secara umum.” (ALCASA: Cogestion, workers control and production, http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=1999)

Dalam artikel lain ia menulis:

“Kaum buruh ALCASA sedang mendorong maju kontrol buruh dan kontrol komunitas, yang berdasarkan Majelis-Majelis Umum sebagai otoritas tertinggi …  yang telah secara total mengubah struktur kekuasaan lama dan memberikan seluruh kekuasaan untuk kaum buruh dan komunitas … Di ALCASA kaum buruh memilih para manajer, yang digaji sama, dan dapat di-recall. Keputusan-keputusan penting dibuat oleh Majelis Buruh. Para manajer juga telah mengatakan mereka tidak akan berdiam diri di kantor, mereka akan terus bekerja.”
(ALCASA: bourgeois cogestion or workers cogestion, http://venezuela.elmilitante.org/index.asp?id=muestra&id_art=1917)

Trino Silva, salah satu dari pemimpin buruh lainnya mengatakan dalam sebuah wawancara::

“Para buruh harus memilih presiden ALCASA. Tetapi Dewan Direksi tidak boleh hanya terdiri dari buruh. Kami sedang berpikir mengenai sebuah badan direksi yang beranggotakan 14 orang: tujuh anggota inti, dan tujuh anggota cadangan. Dari tujuh anggota inti tersebut, empatnya adalah buruh ALCASA, yang dua wakil dari pemerintah (sehingga mereka bisa mengawasi apa yang sedang kita lakukan dengan perusahaan kita), dan yang satu lagi adalah perwakilan dari komunitas yang telah diorganisir.”

Ia lalu menambahkan:

“ALCASA bukan hanya milik buruh ALCASA, juga bukan hanya untuk Trina Silva dan buruh ALCASA, tetapi milik semua masyarakat. Oleh karena itu masyarakat publik punya hak untuk mengirim perwakilan ke Dewan Direksi; pertama untuk transparansi, dan kedua untuk memastikan bahwa ALCASA bermanfaat bagi semua rakyat.” (Aluminum Workers in Venezuela Choose Their Managers and Increase Production, interview by M. Harnecker, http://www.venezuelanalysis.com/articles.php?artno=1407)

Pengalaman di ALCASA dan partisipasi komunitas di dalam pengelolaan pabrik ini telah membawa mereka kepada gagasan-gagasan unggul lainnya, yang menunjukkan kekuatan dari kontrol buruh untuk merubah masyarakat. Tahun lalu ALCASA menghabiskan dana 24 miliar bolivar untuk pelayanan kesehatan bagi buruh di klinik-klinik swasta. Serikat buruh mengklaim memiliki beberapa tanah dekat dengan pabrik dan mereka akan memberikan tanah ini kepada negara untuk dibangun sebuah klinik publik untuk buruh ALCASA dan masyarakat sekitar. ALCASA dan beberapa perusahaan di daerah juga ikut menyumbang dan membangun sebuah dapur industri untuk buruh dan masyarakat. Ada sekitar 200 juru masak di daerah tersebut yang bisa mereka organisir dan dipekerjakan. Mereka juga ingin menghentikan monopoli transportasi di daerah tersebut. Mereka ingin membantu mendanai dan menciptakan sebuah sistem transportasi publik yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih terjangkau. Ini merupakan tindakan nyata dari kontrol buruh, demokrasi buruh, yang dapat menggantikan pasar sebagai regulator ekonomi. Kaum buruh bisa melihat dengan jelas apa yang perlu dilakukan, apa yang perlu ditingkatkan, dan bisa mengusulkan investasi di daerah-daerah ini. Jika pengalaman ini diikuti dalam skala nasional, dan kekayaan sosial tersedia untuk semua melalui ekonomi yang terencana secara demokratis, dengan mudah Venezuela dapat berkembang cepat.

Namun ada beberapa bahaya yang dihadapi ALCASA. ALCASA sebenarnya adalah perusahaan yang tengah merugi. Kaum reformis dan para birokrat dapat menggunakan kreativitas para buruh guna membuatnya menjadi perusahaan yang menghasilkan laba, dan kemudian mencoba mendepak kontrol buruh. Atau, jika ALCASA terus merugi, kaum reformis mungkin mencoba berargumentasi bahwa kontrol buruh tidak bisa bekerja secara efektif dan harus ditinggalkan; argumen ini adalah bagian dari serangan umum terhadap kelas buruh dan elemen-elemen kontrol buruh atau manajemen atas ekonomi yang mereka memiliki.

Saya berharap setiap orang di sini memiliki kesempatan untuk melihat artikel Jorge Martin yang terbit sekitar satu setengah minggu yang lalu mengenai pengambil-alihan pabrik yang terbengkelai. Jumlah total perusahaan yang terbengkelai yang sedang diinvestigasi di Venezuela adalah 1149. Ini merupakan tindakan yang direncanakan untuk mempertahankan pekerjaan, menghentikan  sabotase dari para bos, dan menghentikan ketergantungan Venezuela pada impor. Jika negara menjalankan perusahaan-perusahaan ini di bawah kontrol buruh, mereka perlu menyediakan perusahaan-perusahaan ini sumber bahan baku. Perusahaan-perusahaan ini pada gilirannya akan menjual produk jadi. Hal ini akan memaksa dimulainya sebuah perencanaan ekonomi dan pada akhirnya memaksa  Chavez untuk mempertimbangkan pengambil-alihan perusahaan milik kaum borjuis. Tuntutan ini kemungkinan besar akan datang dari kelas buruh sendiri. Kaum buruh akan mulai menanyakan beberapa pertanyaan: kenapa nasionalisasi terbatas pada pabrik-pabrik yang bangkrut atau sekarat? Kenapa negara cenderung menasionalisasi kerugian dan memprivatisasi laba? Agar perusahaan-perusahaan ini tidak keburu terbengkelai, perusahaan-perusahaan yang masih sehat harus segera dinasionalisasi, mereka harus menjadi bagian dari perencanaan umum produksi. Hal ini tidak akan mungkin terjadi selama bagian-bagian kunci dari ekonomi, seperti lembaga kredit dan perbankan, tetap berada di tangan swasta. Perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi ini akan berada di atas belas kasih kapitalisme, akan menghadapi sabotase, dan akan menghadapi penolakan dalam penjualan produk. Hal ini akan memaksa Chavez dan pemerintah untuk mengambil jalan ekspropriasi.

Artikel Jorge Martin juga menjelaskan bahwa bagi setiap pemilik perusahaan yang ingin tetap membuka perusahaannya, negara akan membantu mereka dengan kredit berbunga rendah, tetapi hanya dengan syarat “dimana para pemilik perusahaan memberikan partisipasi buruh dalam manajemen, pelaksanaan, dan keuntungan perusahaan.”

Di bawah kondisi normal, ini akan menjadi trik yang cerdas untuk melucuti kelas buruh. Namun di Venezuela sekarang, ini akan meningkatkan kepercayaan-diri para buruh dan mempertajam perjuangan kelas di pabrik-pabrik ini.

Kini, poin akhir yang ingin saya sampaikan mengenai Venezuela adalah pertemuan nasional buruh-buruh yang terlibat di dalam pengalaman-pengalaman kontrol buruh yang dilaksanakan pada tanggal 16-18 Juni. Ini melibatkan buruh INVEVAL, ALCASA, PDVSA dan beberapa perusahaan-perusahaan lainnya. Beberapa keputusan yang diambil adalah:

  1. Membangun Front Nasional Untuk Mempertahankan Co-Manajemen Revolusioner, perkembangan sosialis dari salam … di tingkat lokal dan negara.
  2. Mengkarakterisasikan cogestion kita sebagai gerakan yang akan mempengaruhi relasi-relasi kapitalis dan bergerak menuju kontrol buruh, kekuasaan dewan-dewan rakyat dan konstruksi negara sosialis.
  3. Front Nasional mengusulkan co-manajemen tenaga kerja, sosial, dan militer.
  4. Proposal-proposal untuk co-management revolusioner harus juga mengikutsertakan proposal bahwa perusahaan-perusahaan mesti menjadi milik Negara, tanpa ada pembagian saham dengan buruh, dan bahwa semua keuntungan akan dibagikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui dewan-dewan perencanaan sosialis. Dewan-dewan perencanaan sosialis ini harus dipahami sebagai badan yang melaksanakan keputusan yang diambil oleh rakyat di dalam majelis-majelis.
  5. Memperjuangkan, mempromosikan dan mensistematisasikan pendidikan sosial dan politik dan ideologi sosialis guna memperdalam Revolusi Bolivarian dengan membentuk posko-posko lokal, regional dan nasional dengan tujuan membangun Jaringan Nasional Pendidikan Sosial Politik Revolusioner.
  6. Membangun solidaritas dan menyebarkan revolusi ke seluruh Amerika Latin dan dunia.
  7. Merangkul kelas-jelas yang tersingkirkan, tereskploitasi, dan tertindas sebagai kelas sekutu dalam perjuangan untuk membangun sosialisme di abad ke-21.

Dari resolusi-resolusi ini sangat jelas bahwa cogestion atau co-management di Venezuela dilihat sebagai sebuah langkah menuju pembangunan masyarakat sosialis. Pertemuan nasional mengenai pengalaman kontrol buruh jelas merupakan sebuah langkah besar ke arah yang tepat. Ini membawa bersama-sama berbagai kelompok buruh yang berbeda-beda dan membawa mereka semua di bawah satu bandera, ini memberikan bentuk pada gerakan dan memberikan bentuk pada ideologi kaum buruh, yang, dengan tak terelakkan, bergerak ke arah sosialisme. Para buruh, melalui pengalaman mereka sendiri, telah mengambil kesimpulan bahwa kontrol buruh merupakan alat yang sangat kuat di tangan kelas buruh. Perjuangan untuk kontrol buruh secara langsung menolak kepemilikan pribadi atas alat-alat  produksi, dan merupakan perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang baru di dalam masyarakat yang lama. Transformasi masyarakat sosialis bergantung pada transformasi mode produksi, dan kontrol buruh dan manajemen buruh merupakan metode revolusioner dari kelas buruh untuk menjalankan transformasi ini dan menyerang jantung kapitalisme – dari dalam pabrik-pabrik dan tempat kerja. Inilah mengapa revolusi di Venezuela sedang bergerak ke arah sosialisme – karena bentuk perjuangan kelas buruh yang bertujuan untuk membela revolusi, pekerjaan, kehidupan, dan kepentingan-kepentingan mereka terjadi di dalam pabrik di mana mereka melawan musuh mereka, kapitalisme dan para bos, dalam bentuk pemogokan dan demonstrasi, dan juga dalam bentuk kontrol buruh dan manajemen buruh. Tujuan sosialis dari gerakan revolusioner lahir dari perjuangan ini, dan manajemen buruh meletakkan pondasi-pondasi untuk masyarakat yang baru.

Gerakan kontrol buruh sedang membawa kelas buruh pada satu kesimpulan: bahwa revolusi Bolivarian harus putus dengan kapitalisme. Kaum buruh melihat bahwa untuk mencapai tujuan mereka, Revolusi harus putus, secara radikal, dengan kapitalisme. Untuk memecahkan masalah-masalah seperti pengangguran, perumahan, pendidikan, dan produksi pangan, kita perlu menyusun dan merencanakan ekonomi berdasarkan pada kebutuhan mayoritas, bukan keuntungan bagi minoritas. Namun, kita tidak dapat merencanakan apa yang kita tidak kontrol, dan kita tidak dapat mengontrol apa yang bukan milik kita sendiri. Sepanjang tuas-tuas paling penting dari kekuatan ekonomi tetap berada di tangan para bos, mereka akan dapat mengorganisir sabotase, dan bahkan mungkin menumbangkan revolusi.

Kontrol dari satu atau beberapa pabrik, seperti di Spanyol 1936, atau di Chile pada awal tahun 1970-an, atau di Venezuela hari ini bukan berarti akhir dari kapitalisme. Tak dapat diabaikan, selama para kapitalis tetap mengendalikan keseluruhan ekonomi, kontrol buruh tidak dapat dipertahankan. Kontrol buruh merupakan sebuah langkah yang besar. Ini memberikan buruh pengalaman yang tak ternilai dalam administrasi yang merupakan esensi dalam ekonomi terencana sosialis. Namun, sekali lagi, sepanjang elemen-elemen kunci dari ekonomi tetap di tangan pribadi, sepanjang tidak ada nasionalisasi ekonomi terencana yang sejati, pengalaman kontrol buruh tidak akan memiliki karakter yang penuh dan memuaskan.

Sekali lagi, dimana kontrol buruh berkembang dari bawah, dari dalam pabrik-pabrik, manajemen buruh berkembang dari atas dan hanya signifikan dalam konteks ekonomi terencana sosialis, dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan monopoli. Ini berarti manajemen dari keseluruhan rencana ekonomi dijalankan oleh buruh, tidak hanya terbatas pada pabrik milik mereka sendiri atau ekonomi dalam skala lokal, tetapi juga membuat keputusan investasi secara umum dan merencanakan pertumbuhan ekonomi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Kaum sosialis bukanlah sindikalis yang percaya bahwa kontrol atas industri-industri atau perusahaan-perusahaan individu oleh para buruh di dalamnya bisa menjamin jalannya industri tersebut secara harmonis tanpa manajemen ekonomi oleh buruh secara keseluruhan.

Ini juga berarti bahwa kepemilikan atas industri tidak bisa tetap berada di tangan kapitalis. Hanya kepemilikan publik atas monopoli-monopoli besar yang akan menjamin manajemen buruh dan kontrol buruh di tiap-tiap pabrik.

Dewan-dewan buruh ini harus melibatkan semua seksi dari kelas buruh termasuk penyewa rumah, ibu rumah tangga, mahasiswa dan para pensiunan serta organisasi-organisasi serikat buruh. Pemilihan-pemilihan para delegasi yang reguler, tunduk pada recall sewaktu-waktu, dan para pejabat terpilih yang memperoleh upah sama dengan seorang tenaga ahli akan melindungi kaum buruh dari tumbuhnya birokrasi yang dapat merebut kekuasaan.

Perjuangan untuk kontrol buruh harus bergerak maju, harus diperluas, dan harus dikaitkan dengan tuntutan untuk transformasi masyarakat sosialis. Kaum buruh di Venezuela sedang melakukan hal ini. Nasionalisasi harus diperluas ke bank-bank, sektor telekomunikasi, tanah dan pusat-pusat produksi pangan, dan ke industri-industri manufaktur dan industri berat. Kekuasaan ekonomi oligarki dan kaum imperialis harus dihancurkan. Kelas buruh Venezuela sedang mengalami transformasi secara massif dan sadar akan kekuatan dan tujuannya. Disilah letak harapan bagi Revolusi Bolivarian. Keberhasilan perluasan kontrol buruh dan pembangunan sosialisme di Venezuela akan tersebar ke seluruh benua. Ini akan memberikan harapan dan keyakinan kepada kaum buruh di Bolivia, Argentina, Brasil, Meksiko, dan Kuba. Revolusi Amerika Latin akan menjadi sumber inspirasi bagi seluruh dunia.

Saya akan mengakhirinya di sini dengan kata-kata Hugo Chavez: “Sebuah Revolusi merupakan suatu proses di mana model dan gagasan-gagasan yang baru lahir, sedangkan gagasan-gagasan yang lama mati, dan dalam Revolusi Bolivarian, kapitalisme akan dihapuskan!”

(1) Konflik ini telah diselesaikan melalui kompromi jalan tengah. Para dewan direksi akan dibentuk dari tiga anggota yang ditunjuk oleh pemerintah dan dua oleh koperasi buruh. Tetapi Chavez bersikeras bahwa direktur utama yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemimpin utama dari perjuangan buruh.

Diterjemahkan oleh Syaiful dari “Workers’ Control and Nationalization – Part Four”, Rob Lyon, 20 Februari 2006.

Hands off Venezuela dan Iran

Oleh Ted Sprague
27 Juni 2009

Mengobarnya gerakan di Iran menimbulkan banyak kebingungan di antara pendukung Revolusi Venezuela dalam menyikapi apa yang sedang terjadi di Iran. Ini semakin diperparah dengan pernyataan Chavez bahwa dia mendukung Ahmadinejad dan menggambarkan rejim Iran sebagai rejim progresif anti-imperialis. Kampanye Hands off Venezuela (HoV) selalu mengambil posisinya dari prinsip membela kemenangan Revolusi Venezuela, dan bila Chavez melakukan hal-hal yang keliru maka adalah tugas dari aktivis-aktivis kampanye HoV untuk mengkritisinya dengan keras.

Ketika Chavez melakukan hal-hal yang mendorong kemenangan Revolusi Bolivarian (seperti menyerukan pendudukan pabrik, pembentukan dewan komunal dan dewan pabrik, dan lain-lain), ini kita dukung dengan segenap hati dan bersama-sama dengan rakyat Venezuela kita berusaha merealisasikan seruan-seruan dan kebijakan-kebijakan tersebut. Akan tetapi, HoV bukanlah Chavista atau pengekor Chavez. Ini yang membedakan kita dari banyak kampanye-kampanye solidaritas lainnya. Banyak orang yang kadang-kadang bingung dan menanyakan: kamu pro-Chavez? Dan kita jawab: tidak, kita pro-Revolusi Venezuela. Aktivis-aktivis yang kebingungan dan tidak mengerti prinsip ini biasanya jatuh ke dalam dua ekstrim: menjadi pendukung Chavez yang buta atau menjadi penghujat Chavez yang buta juga.

Dari prinsip membela Revolusi Venezuela ini maka kita bisa lebih jelas menyikapi gerakan yang sedang terjadi di Iran, dan tetap konsisten. Pertama-tama, sekutu sejati dari Revolusi Venezuela adalah kaum pekerja seluruh dunia, dan dalam hal Iran maka sekutu sejatinya adalah kaum buruh Iran yang selama 30 tahun telah ditindas oleh rejim Mullah Iran. Hanya karena rejim Iran itu anti-Amerika bukan berarti rejim tersebut adalah rejim pro-pekerja. Bukankah rejim Korea Utara adalah juga anti-Amerika? Dan Taliban juga adalah anti-Amerika.

Selama 5 tahun belakangan ini, Venezuela telah melakukan hubungan dagang dan diplomasi dengan Iran. Dalam ekonomi global, tidak ada salahnya melakukan hubungan dagang dengan negara-negara lain, bahkan bila negara tersebut bukanlah negara pro-pekerja. Tidak mungkin Venezuela bisa mengisolasi dirinya secara ekonomi. Ini akan berakibat buruk terhadap perkembangan ekonomi Venezuela. Venezuela pun masih melakukan hubungan dagang minyak dengan Amerika yang sudah berulang kali mencoba menggulingkan pemerintahan Chavez. Akan tetapi kita tidak boleh membingungkan hubungan ekonomi dengan sikap kita akan karakter sesungguhnya dari negara-negara tersebut. Iran bukanlah negara pro-pekerja. Semenjak kegagalan Revolusi Iran 1979 yang dibajak oleh para Mullah, semua hak pekerja dan wanita telah dirampas. Tidak ada kebebasan membentuk serikat buruh dan untuk mogok. Bahkan perayaan May Day dilarang. Tahun ini, ratusan buruh dipukuli dan ditangkap saat mencoba merayakan May Day.

Pernyataan Chavez bahwa rejim Iran adalah sahabat Venezuela sangatlah merugikan, sebab ini akan membingungkan rakyat Venezuela dan mengasingkan kaum revolusioner Iran yang sedang berjuang melawan penindasan pemerintahan Iran. Banyak kaum revolusioner Venezuela yang sudah mengkritik dengan keras langkah Chavez ini, salah satunya adalah kelompok Marxis Venezuela CMR (Corriente Marxista Revolucionaria, Tendensi Marxis Revolusioner). Aktivis-aktivis HoV pun sudah mengeluarkan kritik yang keras. Dalam momen seperti yang sekarang terjadi di Iran, kita bisa melihat bahwa sikap Chavez terhadap Iran sangat berbahaya karena ini membuat Venezuela berdiri di camp reaksioner yang membunuhi para demonstran beberapa minggu terakhir ini.  Chavez dilihat sebagai pemimpin dan dia punya tanggung jawab yang besar. Bukan hanya rakyat Venezuela yang menghormati dan mendengarkan dia, jutaan rakyat di dunia mendukungnya juga dan dukungan Chavez terhadap Iran akan (dan telah) membingungkan mereka. Di Timur Tengah, berdasarkan survey pada bulan April dan Mei 2009 Chavez adalah pemimpin yang paling populer karena Revolusi Bolivarian dilihat sebagai inspirasi. Chavez seharusnya menggunakan sentimen ini untuk mengobarkan revolusi di Timur Tengah dengan cara mendukung gerakan-gerakan buruh di sana, dan bukannya bersahabat erat dengan pemerintah Iran sembari memujinya sebagai negara anti-imperialis

Di Indonesia sendiri, media-media juga telah berusaha menggambarkan situasi di Iran sebagai intervensi asing. Dengan menggunakan sentimen Islam dan anti-imperialis, kelompok-kelompok fundamentalis Islam di Indonesia mencoba mendiskreditkan gerakan demokrasi di Iran yang sekarang sedang berkobar. Kemenangan gerakan rakyat Iran jelas akan memukul fundamentalisme dengan sangat telak, dan inilah mengapa kelompok-kelompok fundamentalis di Indonesia mendukung rejim Iran.

Di Iran sendiri, para demonstran meneriakkan “Allahu Akbar” karena ini bukanlah pertentangan antara Islam dan Barat (intervensi asing), melainkan antara Islam Kanan Reaksioner (baca para penguasa Iran) dan Islam Kiri (baca rakyat jelata). Ini bukanlah pertentangan agama seperti yang ingin digambarkan oleh para pendukung Iran yang menuduh jutaan rakyat Iran yang turun ke jalan sebagai agen-agen Amerika Serikat yang ingin menghancurkan Islam. Ini adalah klasik perjuangan kelas yang sekarang masih dalam tahapan embrio di Iran.

Hands off Venezuela mengutuk semua intervensi kapitalis-asing di Iran yang mencoba memanuver untuk kepentingan imperialis mereka. HoV mendukung intervensi buruh sedunia, yakni dukungan solidaritas dari rakyat pekerja sedunia kepada perjuangan buruh Iran. Inilah satu-satunya intervensi revolusioner yang kita dukung. Seperti yang diserukan oleh Marx dan yang telah menjadi slogan rakyat pekerja di semua negara: “Buruh sedunia, bersatulah!”

Revolusi di Iran telah dimulai. Walaupun sekarang rejim Iran telah berhasil merepresi para demonstran, tetapi untuk pertama kalinya rakyat Iran bergerak secara massif. Mereka telah belajar banyak dan akan bergerak lagi di kemudian hari dengan lebih besar dan lebih terorganisasi. Venezuela harus mengambil posisi yang tepat, yakni mendukung gerakan buruh Iran untuk menumbangkan rejim reaksioner Iran. Revolusi di Iran akan menjadi percikan revolusi di Timur Tengah, seperti halnya Revolusi Venezuela telah memercikkan revolusi di Amerika Latin. Bersama-sama, Venezuela dan Iran, Amerika Latin dan Timur Tengah, dapat menjadi titik tolak revolusi untuk sosialisme sedunia

Ted Sprague, aktivis Hands off Venezuela